Solichah sebagai Motor Penggerak dan Pembangun Muslimat NU

BAB IV SOLICHAH A. WAHID HASYIM DALAM MEMBERDAYAKAN

MUSLIMAT NAHDLATUL ULAMA

E. Solichah sebagai Motor Penggerak dan Pembangun Muslimat NU

Di akhir abad ke XIX dan XX, pergerakan kebangsaan mencapai tahap yang menentukan. Semangat ini mulai dialami bangsa Indonesia sampai bergema ke pesantren yang dikobarkan oleh alim ulama yang semacam perlawanan langsung dari rakyat yang menolak bekerjasama dengan penjajah. Salah satunya adalah menolak subsidi dari pemerintah Belanda. Kehidupan masyarakat santri di Jombang, Nahdlatul Ulama dipahami sebagai sebuah agama. Mereka beranggapan, Islam adalah Nahdlatul Ulama dan Nahdlatul Ulama adalah Islam. Tentunya kiprah keluarga besar santri di Jombang tidak dapat dilepaskan dari Nahdlatul Ulama. Organisasi yang dibangun oleh para Kyai ini tidak terlepas dari peran utama ayah dan mertua Solichah, Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari dan Kyai Bisri Sansuri. Dalam kehidupan masyarakat Jombang bahwa makna kebahagian hidup tidaklah diukur dari kesejahteraan material duniawi. Karena kebahagian itu bersifat semu. Donya iku ngono kanggo sangu ibadah 68 . Pepatah ini diteruskan kepada generasi selanjutnya sebagai pijakan untuk kepentingan agama dan umat beragama juga bangsa dan negara Indonesia. 68 Harta kekayaan duniawi sebagai bekal menyempurnakan ibadah. Pepatah bijak yang sering disampaikan dari generasi tua kepada generasi selanjutnya dalam tradisi masyarakat pedesaan di Jawa Timur, agar para pemuda Islam lebih memikirkan dan berjuang demi kepentingan agama. Lihat, Nurinwa Ki. S. Hendrowinoto, dkk, Ibu Indonesia dalam Kenangan, Jakarta: Bank Naskah Gramedia dan Yayasan Biografi Indonesia, 2004, h. 185. Proses historis berdirinya Muslimat Nahdlatul Ulama tidak dapat dilepaskan dari perkembangan Nahdlatul Ulama NU. Organisasi keulamaan yang ingin memurnikan ajaran agama ini, terdapat suatu kecenderungan tertentu dan memerlukan hadirnya peranan yang dimainkan oleh perempuan NU atau nyai- nyai istri-istri para kiai yang ikut muktamar untuk menangani masalah ‘kewanitaan’. Kaum perempuan Nahdlatul Ulama menganggap bahwa kemajuan perempuan harus dimulai oleh perempuan itu sendiri kaum laki-laki hanya memfasilitasi dan memberikan dukungannya. 69 Diadakannya Muktamar Nahdlatul Ulama, istri-istri dari para anggota NU sudah mengadakan pengajian-pengajian, diskusi-diskusi kecil, dan rapat-rapat, kesemuanya itu dimasukkan dalam agenda Muktamar. 70 Setelah perjalanan panjang dari Kongres Nahdlatul Ulama yang ke-13, Muslimat yang ikut aktif dalam Kongres Nahdlatul Ulama yang ke-16 yang diselenggarakan pada 26-29 Maret 1946 di Purwokerto, Banyumas, Muslimat Nahdlatul Ulama resmi menjadi badan otonom NU. Setelah menjadi badan otonom dari Nahdlatul Ulama, Muslimat masuk menjadi anggota KOWANI Kongres Wanita Indonesia, yang merupakan federasi organisasi perempuan ditingkat nasional. Tujuan yang sama yakni, memperjuangkan kemajuan perempuan. Kemajuan Muslimat dalam KOWANI terbilang baik karena beberapa kali anggota Muslimat menjabat sebagai dewan pimpinan. Tahun 1956-1965 oleh 69 Wawancara Pribadi dengan Ny. Asmah Syachroni, Jakarta, 15 April 2008. 70 Wawancara Pribadi dengan Ny. Hj. Aisyah Hamid Baidlowi, Jakarta, 4 April 2008. Mahmudah Mawardi sebagai Anggota Presidium mewakili Muslimat. Solichah menjabat sebagai Anggota Dewan Pimpinan KOWANI tahun 1968-1973. 71 Aktifitas Solichah dalam Muslimat mulai terlihat setelah masa pendudukan Jepang. Di awali dengan mengisi ceramah dalam berbagai pengajian Muslimat, yang waktu itu masih bernama NUM, organisasi otonom di bawah Nahdlatul Ulama. 72 Selain aktif dalam membuka ranting-ranting baru Muslimat, Solichah dan teman-temannya juga aktif menjadi penceramah dalam pengajian ibu-ibu Muslimat. Adapun yang sering dijadikan tema dalam ceramahnya adalah bagaimana seorang perempuan bisa menjadi ibu yang shalihatun khamilatun, antara lain dengan menjelaskan tentang kandungan makna al-Quran, perintah Tuhan untuk mengerjakan ibadah shalat, pentingnya membina kerukunan antar umat beragama, dan ketauhidan. Dari tema tersebut ia menjabarkan secara konteks pada sosial kultural yang dihadapi saat itu. 73 Solichah selalu mengingatkan kepada ibu-ibu, khususnya generasi muda perempuan agar tidak melupakan pentingnya belajar, untuk meningkatkan derajat perempuan di kemudian hari. Tahun 1946-1950, Solichah menjabat sebagai Ketua Muslimat NU MWC Majelis Wakil Cabang Kecamatan Diwek, Jombang. Dari sinilah karirnya mulai melejit hingga ia bersama dengan teman-temannya ikut aktif menyuburkan benih- benih Muslimat NU di Jakarta, setelah ikut suaminya untuk tinggal di Jakarta. 71 Ny. Saifuddin Zuhri, Sejarah Muslimat Nahdlatul Ulama, Jakarta: PP Muslimat NU Jakarta, 1979, h. 65. 72 “Ibunda Gus Dur Dimakamkan di Tebuireng”, Suara Pembaruan, 31 Juli, Jombang: 1994. 73 Saifullah Ma’sum dan Ali Zawawi, ed., 50 Tahun Muslimat NU Berkhidmat untuk Agama, Negara dan Bangsa,Jakarta: PP Muslimat NU, 1996, h. 47. Solichah duduk dalam jajaran Pengurus Pucuk Pimpinan PP Muslimat NU sejak Kongres Ke-4 di Palembang pada 1952, bertepatan dengan Muktamar Ke-19 NU. Dalam kongres selanjutnya pada 1954 di Surabaya, bertepatan dengan Muktamar Ke-20 NU, posisinya naik menjadi bendahara. Posisinya tidak berubah hingga Kongres Ke-6 Muslimat yang diselenggarakan di Medan pada 1959, bertepatan dengan Muktamar ke-21 NU. Kemudian posisinya naik menjadi Ketua I, pada Kongres Ke-7 Muslimat NU yang diadakan di Jakarta bertepatan dengan Muktamar Ke-22 NU. Selama kurang lebih 20 tahun, Solichah menjabat sebagai Ketua I sampai tahun 1972. Pengabdiannya dalam Muslimat NU terus berlangsung sampai pada Kongres Ke-12 Muslimat NU di Yogyakarta, Solichah duduk dalam Penasehat Pucuk Pimpinan Muslimat NU. 74 Sebagai pemimpin beliau bukan hanya menganjurkan saja tetapi juga memberikan contoh nyata terhadap apa yang dianjurkannya itu. Banyak pengorbanan yang telah beliau lakukan demi kepentingan organisasi. Menurut Ibu Asmah Syachroni, beliau mempunyai kharisma dan beliau berhasil dalam memimpin. Keberhasilannya tersebut tak lepas dari didikan almarhum Pak Wahid Hasyim semasa hidupnya. 75 Selama dalam Muslimat banyak prestasi yang telah dicapai diantaranya: aktifitasnya dalam penumpasan pemberontakan PKI, ia duduk sebagai muslimah terdepan yang menginginkan pembubaran PKI setelah peristiwa Gestapu. Kemudian keberhasilannya dalam sosialisasi Program KB Keluarga Berencana kepada masyarakat yang banyak ditentang oleh masyarakat. 74 Muhammad Dahlan dkk, ed., Sholichah A. Wahid Hasyim, Muslimah di Garis Depan, Jakarta: Yayasan K. H. A. Wahid Hasyim, 2001, h. 56-58 75 Chatibul Umam, “Sosiawan Muslimah”, Risalah Islamiyah, No. 7 September 1977, h. 37 Kemudian ikut ambil bagian dalam perdamaian antara ‘Kubu Cipete’ dan ‘Kubu Situbondo’. Dan idenya dalam pembangunan Yayasan Kesejahteraan Muslimat NU tahun 1963 dan Yayasan Kemaslahatan Keluarga NU tahun1978. Sehingga beliau dipercaya sebagai pemimpin dari yayasan berdiri hingga beliau wafat tahun 1994. 76 Perhatiannya kepada generasi muda cukup besar. Bahkan, menjelang akhir hayatnya, beliau masih memikirkan angkatan muda NU, khususnya kalangan Fatayat 77 dan Muslimat NU. Beliau selalu berpesan kepada putrinya, Aisyah Hamid, agar selalu melestarikan kedekatan dengan angkatan muda, sehingga merasa terayomi. 78

F. Pejuang Peningkatan Status, Hak dan Peran Perempuan Melalui