Perempuan dan Isu Gender

BAB II SEJARAH PEREMPUAN INDONESIA

E. Perempuan dan Isu Gender

Kata seks berasal dari sex, bahasa Inggris, berarti jenis kelamin. Pemahaman ini kemudian diperjelas dengan ciri-ciri yang membedakan antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang bersifat biologis. Sedangkan gender adalah kelompok kata yang mempunyai sifat maskulin, feminis, atau tanpa keduanya, netral. 17 Perjalanan sejarah perspektif perempuan, memperlihatkan fakta bahwa perempuan masih hidup dalam dominasi kekuasaan maskulin di sekitar kehidupannya, baik secara keluarga dan bermasyarakat. Tetapi hal itu tidak membuat perempuan hanya menjadi sosok sekunder yang hanya menerima keadaan apa adanya. Baik secara individual atau kekuatan kolektif, seorang perempuan harus mampu menyerap nilai-nilai dari dunia maskulin secara lebih baik. Sehingga mampu mendeklarasikan dirinya menjadi rekan sejajar di hadapan suami maupun laki-laki. 18 Isu yang berkembang jika perempuan selalu ditempatkan pada sektor domestik, perempuan akan lebih dominan tumbuh dalam aspek emosional ketimbang rasional. Namun jika perempuan berkiprah di sektor publik dan mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki maka perempuan akan dapat mengembangkan diri. Dari sinilah perempuan akan dapat memanfaatkan 17 Fadilah Suralaga, dkk, Pengantar Kajian Gender, Jakarta: Pusat Studi Wanita UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan McGill-ICIHEP, 2003, h. 54. 18 Nurinwa Ki. S Hendrowinoto, dkk, Ibu Indonesia dalam Kenangan, Jakarta: Bank Naskah Gramedia dan Yayasan Biografi Indonesia, 2004, h. 4. kesempatan yang ada dengan jalan atau akses-akses yang telah tersedia untuk dapat mengembangkan diri lebih maksimal dalam memanfaatkan akses-akses pembangunan. Perbedaan antar jenis kelamin yang diungkapkan secara ilmiah oleh Charles Darwin dalam bukunya The Desent of Man. Uraian Darwin mengenai perbedaan cukup membuat kontroversial. Ia menyatakan bahwa, “laki-laki dan perempuan berbeda dalam ukuran, kekuatan tubuh, dan yang lainnya juga dalam hal pemikiran.” Setelah diteliti lebih lanjut oleh seorang ilmuwan perempuan, M. A. Hardaker, yang menulis majalah Popular Science Monthly 1822 menjelaskan, bahwa perempuan mempunyai kemampuan berfikir dan kreatifitas yang lebih rendah dibanding laki-laki akan tetapi perempuan mempunyai kemampuan intuisi dan persepsi yang lebih unggul dari laki-laki. Perkembangan selanjutnya, banyak yang mennyangkal teori Darwin mengenai perbedan kemampuan intelejensia laki- laki dan perempuan. Secara mendasar biologis perempuan memang berbeda dengan laki-laki tetapi perbedaan tersebut tidak membuat perempuan memiliki intelejensia dibawah laki-laki. Kemampuan intelejensia manusia diukur secara keseluruhan kehidupan, dimana perempuan mampu memasuki dunia pendidikan yang tadinya dipercaya hanya laki-laki yang mampu. Hal ini mempengaruhi kebijakan diseluruh negara-negara di dunia, perempuan diberikan hak yang sama untuk pendidikan dalam Undang-Undang Negara. Bahkan di beberapa negara maju, perempuan lebih tinggi pendidikannya dibanding laki-laki. Penemuan terakhir membuktikan bahwa perempuan lebih menggunakan kedua belah otaknya dalam berfikir sedang laki-laki terkonsentrasi pada otak bagian kiri. Oleh karenanya cara berfikir perempuan lebih naratif dan kontekstual, laki-laki lebih formal, linear dan abstrak. 19 Kultur masyarakat Indonesia yang menempatkan perempuan dalam rumah tangga, menyebabkan perempuan adalah gambaran orang yang bodoh, buta huruf, dan sebagainya. Terlebih lagi tidak diberikannya kesempatan untuk mendapatkan pendidikan karena tanggung jawabnya sebagai istri. Jika dilihat dari faktor ekonomi perempuan tidak bisa berkembang karena bergantung pada laki-laki. Kaum perempuan tak memiliki power, atau kontrol terhadap apapun, sehingga dalam pengambilan keputusan akan cenderung bergantung pada laki-laki. Wacana yang berkembang bahwa pihak perempuan merasa di diskriminasikan kedudukannya oleh laki-laki. Perkembangan selanjutnya, banyak perempuan berusaha untuk menjadi lebih mandiri untuk mendapatkan kedudukan dan partner yang sejajar dengan laki-laki baik dalam lingkup domestik maupun publik. Karena mereka memahami tanggung jawabnya akan mendidik calon generasi masa depan. Kaum perempuan menyadari bahwa pentingnya pendidikan agar dapat menjadi ibu dan istri yang baik. Masa sultanat Aceh, perempuan banyak memegang tampuk kekuasaan untuk kesejahteraan rakyatnya. Perempuan turut duduk dalam pemerintahan untuk bersama dengan laki-laki mengatur negara demi tegaknya keadilan dan kemakmuran rakyat. Pemerintah Aceh mengambil Islam sebagai dasar negara dan Qonun serta Hadist sebagai sumber hukum, bahwa kedudukan perempuan sejajar dengan laki-laki dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Salah satunya 19 Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru Tentang Relasi Gender, Bandung: Mizan, 1999, cet ke-1, h. 87-95. adalah Ratu Nihrasiyah 1400-1428, dengan peranannya yang sangat menonjol dalam bidang politik dan militer sejak zaman Kerajaan Samudera Pasai. Setelah kepergian Sultan Iskandar Muda, tampuk kekuasaan Kerajaan Aceh berturut-turut beralih pada perempuan. Sri Ratu Safiatuddin Syah 1641- 1675, anak dari Sultan Iskandar Muda dan mantan permaisuri Sultan Iskandar Muda Sani Alauddin Muahyatsyah. Kemudian digantikan oleh Ratu Safiatuddin dengan gelar Sri Ratu Nurul Alam Nakiatuddin 1675-1678. Namun hanya menjabat selama 2 tahun. Kemudian digantikan oleh Sri Ratu Nakiatuddin Inayat Syah. Seorang yang bijaksana dengan pengetahuan yang luas dalam berbagai bidang. Setelah mangkat digantikan oleh Ratu Kemalat Syah 1678-1688. Berturut-turut kerajaan Aceh dipimpin oleh seorang perempuan, hal ini membuktikan perempuan mampu berdiri sebagai pemimpin seperti yang dilakukan oleh laki-laki yang berani menghadapi berbagai masalah seperti perjuangan melawan Belanda, Inggris, Portugis, dan lainnya. Masih banyak pula perempuan Aceh yang turut berjuang untuk kepentingan bersama seperti Cut Nyak Dien, Cut Mutia, Teuku Fakinah, dan Pocut Baren. 20 Di panggung sejarah Kerajaan Demak abad ke-16, Ratu Kalimanyat mempunyai peranan yang menonjol sebagai penguasa Jepara, ketika kerajaan Demak mengalami masa-masa suram. Dalam Babad Demak Jilid 2 dimuat silsilah yang menempatkan Ratu Kalimanyat sebagai putri sulung Sultan Trenggana. Daerah Kalimanyat yang luas meliputi empat kota pelabuhan di pantai Utara Jawa Tengah. Oleh karena itu, selain dikenal sebagai penguasa yang kaya raya, yakni 20 Ismail Suny, Bunga Rampai Tentang Aceh, Jakarta: Bharata Karya Aksara, 1980, h. 291-295. dengan diberlakukanya sistem comenda dalam pelayaran dan perdagangan. Ratu Kalimanyat juga seorang penguasa politik dan pedagang. Di bawah pemerintahan Ratu Kalimanyat, Jepara lebih diarahkan kepada sektor perdagangan dan angkatan laut. Keduanya berkembang dengan baik, melalui dukungan dan kerjasama dengan beberapa daerah kerajaan maritim lainnya, seperti: Johor, Maluku, Banten, dan Cirebon. Walaupun telah mengalami kekalahan dalam pertempuran melawan Portugis, Ratu Kalimanyat tetap berkuasa dan terus melakukan perlawanan kepada Portugis di Malaka. Orang Portugis mengakui akan kebesaran Ratu Kalimanyat, dalam bukunya De Couto menyebutnya sebagai Rainha de Japara, Sembora Pedoresa e rica Ratu Jepara: seorang wanita yang kaya dan berkuasa. 21 Dalam abad ke-19, selama tahun-tahun menjelang Perang Jawa 1825- 1830 terdapat bukti tentang peranan perempuan dalam perdagangan, militer politik dan kehidupan sosial di kalangan Istana di Jawa Tengah oleh Nyi Ageng Serang. Terdapat pula di daerah Timur Indonesia, banyak pula perempuan- perempuan yang berjuang untuk kepentingan bangsanya. Misalnya, Christina Tiahahu yang berjuang melawan Belanda di Maluku 1817-1819, perempuan berperan dalam bidang kesejahteraan masyarakat. 22 Di samping suami, perempuan bergerak dengan semangat kepahlawanan dan kesatriaan untuk melawan imperealisme, kolonialisme, dan kapitalisme yang hendak menghancurkan Tanah Air. Perempuan berani tampil ke depan medan 21 Chusnul Hayati, dkk, Peranan Ratu Kalimanyat di Jepara pada Abad XVI, Jakarta: CV. Putra Prima, 2000, h. 55-67. 22 Restu Gunawan, Seminar Kebangkitan Pergerakan Nasional: 25- 27 Mei 1988, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988, h. 209-212. perang untuk pemerintahan, pendidikan, dan agama. Hal tersebut membuktikan bahwa perempuan pun dapat menjadi pemimpin, baik bagi dirinya maupun bagi kalangan masyarakat.

F. Sejarah Pergerakan Perempuan