Firman Allah SWT dalam surat Al-Ahzab ayat 28:
m7 c
CG .F~?{
+‘ž\ L
u z3 e
,6
.4+ Y J
.‰ z ª ‘
¦ §4 . z4=
u ,K 19:
˜•] ”T˜9:
GŠ, T˜
ˆ2 4y
iW
Artinya: Hai nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu: Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, Maka marilah supaya kuberikan kepadamu
mutah dan Aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Q.S. Al-Ahzab:28
8. Riddah murtad
Kata riddah merupakan isim masdar dari kata “ ” yang berarti mundur,
kembali ke belakang. Sedangkan dari segi istilah adalah keluar dari agama Islam menjadi kafir, baik dengan niat, perkataan maupun perbuatan yang menyebabkan
orang yang bersangkutan dikategorikan kufur.
47
Jadi riddah atau murtad ialah keluar dari agama Islam, baik pada agama lain ataupun tidak beragama. Di
Indonesia, putusnya perkawinan karena murtadnya salah satu baik suami maupun isteri termasuk fasad atau batal demi hukum, dan pemutusannya dilakukan
didepan sidang Pengadilan Agama, oleh karena itu riddahnya seseorang yang dinyatakan bukan didepan sidang Pengadilan Agama dianggap tidak sah.
48
D. Prosedur Perceraian
46
Jamil Latif, Aneka Hukum Perceraian Di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981, h.56
47
Muhammad Amin Suma, dkk., Pidana Islam Di Indonesia: Peluang, Prospek dan Tantangan,
Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001, h.63
48
Latif, Aneka Hukum Perceraian Di Indonesia, h.72
Sebelum membahas perceraian karena isteri nusyuz secara khusus, terlebih dahulu penulis akan menggambarkan prosedur perceraian baik penerimaan
perkara sampai jalannya persidangan secara global, mulai dari pendaftaran perkara dikepaniteraan pengadilan sampai perkara tersebut disidangkan.
Awal surat gugatan atau permohonan yang telah dibuat dan ditandatangani diajukan ke kepaniteraan Pengadilan Agama surat gugatan diajukan pada sub
kepaniteraan gugatan
sedangkan permohonan
pada sub
kepaniteraan permohonan. Undang-Undang membedakan antara perceraian atas kehendak
suami dan perceraian atas kehendak isteri. Hal ini karena karakteristik hukum Islam dalam perceraian memang menghendaki demikian.
49
Perceraian atas kehendak suami disebut dengan cerai talak dan perceraian atas kehendak isteri disebut cerai gugat. Menurut hukum Islam suamilah yang
memegang tali perkawinan, oleh karenanya suamilah yang berhak melepaskan tali perkawinan dengan mengucapkan ikrar talak. Permohonan cerai talak meskipun
bentuknya adalah permohonan tetapi pada hakekatnya adalah kontentius perkara gugatan. Sedangkan perceraian atas kehendak isteri disebut dengan cerai gugat.
50
Sebelum perkara terdaftar dikepaniteraan, panitera melakukan penelitian terlebih dahulu terhadap kelengkapan berkas perkara penelitian terhadap bentuk
dari isi gugatan permohonan sudah dilakukan sebelum perkara didaftarkan.
49
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Peradilan Agama, Jakarta: Pustaka Pelajar, 2003, cet.ke-4, h.206
50
Ibid., h.208
Misalnya dalam membuat surat gugatan, kepaniteraan dibolehkan memberikan arahan pada penggugat apabila dalam gugatan yang dibuat tidak sesuai. Apabila
terjadi kesalahan dalam gugatan atau permohonan maka tidak boleh didaftarkan sebelum petita dan positanya jelas, seperti ada petita namun tidak didukung oleh
posita berarti gugatan atau permohonan tidak jelas.
51
Jika hal tersebut terjadi maka gugatan atau permohonan tersebut terlebih dahulu harus diperbaiki, Panitera sebagai pihak yang mempunyai otoritas dalam
meneliti berkas gugatan atau permohonan sebaiknya melakukan penelitian tersebut disertai dengan membuat resume tentang kelengkapan berkas perkara,
lalu berkas perkara beserta resume tersebut diserahkan kepada Ketua Pengadilan dengan buku ekspedisi lokal sebenarnya. Dengan disertai saran tidak misalnya
berbunyi “syarat-syarat cukup dan siap untuk disidangkan”.
52
Kemudian penggugat atau pemohon menghadap kemeja I untuk menaksir besarnya biaya perkara dan menulisnya pada Surat Kuasa Untuk Membayar
SKUM. Besarnya biaya perkara diperkirakan harus telah mencukupi untuk menyelesaikan perkara tersebut. Hal ini sejalan dengan pasal 193 Rbg pasal 182
ayat 1 HIR pasal 90 ayat 1 Undang-Undang No.3 tahun 2006 perubahan dari Undang-Undang No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang meliputi:
a. Biaya kepaniteraan dan biaya materai.
51
Ibid., h.76
52
Raihan A Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta: PT. raja Grafindo Persada, 2001, ed.ke-2, cet.ke-8, h.129
b. Biaya pemeriksaan, saksi ahli, juru bahasa dan biaya sumpah.
c. Biaya pemeriksaan setempat dan perbuatan hakim yang lain.
d. Biaya pemanggilan, pemberitahuan dan lain-lain atas perintah pengadilan
yang berkenaan dengan perkara tersebut.
53
Ketentuan diatas tidak berlaku bagi yang tidak mampu dan diizinkan untuk mengajukan gugatan perkara secara Prodeo cuma-cuma. Ketidakmampuannya
dapat dibuktikan dengan melampirkan surat keterangan dari Lurah atau Kepala Desa setempat yang dilegalisir oleh Camat. Setelah itu, penggugat atau pemohon
menghadap ke meja II dengan menyerahkan surat gugatanpermohonan dan Surat Kuasa Untuk Membayar SKUM yang telah dibayar. Setelah selesai, kemudian
surat gugatanpermohonan tersebut dimasukan dalam map berkas acara, kemudian menyerahkannya pada Wakil Panitera untuk disampaikan kepada Ketua
Pengadilan melalui panitera.
54
Setelah terdaftar, gugatan diberi nomor perkara kemudian diajukan kepada Ketua Pengadilan, setelah Ketua Pengadilan menerima gugatan maka ia menunjuk
hakim yang ditugaskan untuk menangani perkara tersebut. Pada prinsipnya pemeriksaan dalam persidangan dilakukan oleh hakim maka ketua menunjuk
seorang hakim sebagai ketua majelis dan dibantu dua orang hakim anggota.
55
53
Pasal 90 ayat 1, Undang-Undang No.3Tahun 2006 Perubahan Undang-Undang No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, h.74
54
M. Fauzan, Pokok-pokok Acara Perdata Peradilan Agama dan mahkamah Syar’iyah Di Indonesia,
Jakarta: Kencana, 2005, cet.ke-2, h.14
Setelah itu hakim yang bersangkutan dengan surat ketetapannya dapat menetapkan hari, tanggal serta jam, kapan perkara itu akan disidangkan, ketua
majelis memerintahkan memanggil kedua belah pihak supaya hadir dalam persidangan. Pasal 121 HIR,
56
untuk membantu Majelis Hakim dalam menyelesaikan perkara, maka ditunjuk seorang atau lebih panitera sidang dalam
hal ini panitera, wakil panitera, panitera muda dan panitera pengganti.
57
Tata cara pemanggilan dimana harus secara resmi dan patut, yaitu: a.
Dilakukan oleh jurusita atau jurusita pengganti diserahkan kepada pribadi yang dipanggil ditempat tinggalnya;
b. Apabila tidak ditemukan maka surat panggilan tersebut diserahkan kepada
Kepala Desa dimana ia tinggal; c.
Apabila salah seorang telah meninggal dunia maka disampaikan kepada ahli warisnya;
d. Setelah melakukan pemanggilan maka jurusita harus menyerahkan risalah
tanda bukti bahwa para pihak telah dipanggil kepada hakim yang akan memeriksa perkara yang bersangkutan;
e. Kemudian pada hari yang telah ditentukan sidang perkara dimulai.
58
55
R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata: Tata Cara dan Proses Persidangan, Jakarta: Sinar Grafika, 2004, cet.ke-6, h.39
56
M. Fauzan, Pokok-pokok Acara Peradilan Agama, h.13
57
A. Basiq Djalil, Peradilan Agama Di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006, cet.ke-1, h.214
58
R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata, h.40
Sedangkan proses pemeriksaan perkara didepan sidang dilakukan melalui tahap-tahap dalam hukum acara perdata sebagaimana yang telah tertera dalam UU
No.3 tahun 2006 perubahan dari UU No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama pasal 54
59
: “Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Agama dalam lingkungan
Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus
dalam Undang-Undang ini”.
Setelah hakim membuka sidang dan dinyatakan terbuka untuk umum, dilanjutkan dengan mengajukan pertanyaan tentang keadaan para pihak, ini hanya
bersifat cecking identitas para pihak apakah para pihak sudah mengerti mengapa mereka dipanggil untuk menghadiri sidang. Pada upaya perdamaian, inisiatif
perdamaian dapat timbul dari hakim. Penggugat ataupun tergugat. Hakim harus sungguh-sungguh mendamaikan para pihak. Apabila ternyata upaya perdamaian
yang dilakukan tidak berhasil, maka sidang dinyatakan tertutup untuk umum dilanjutkan ketahap pemeriksaan, diawali dengan membaca surat gugatan.
60
Selanjutnya pada tahap dari tergugat, pihak tergugat diberikan kesempatan untuk membela diri dan mengajukan segala kepentingannya terhadap penggugat
melalui hakim. Pada tahap replik penggugat kembali menegaskan isi gugatannya yang dilakukan oleh tergugat dan juga mempertahankan diri atas sanggahan-
59
Djalil, Peradilan Agama Di Indonesia, h.202-203
60
R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata, h.41-42
sanggahan yang disangkal tergugat. Kemudian pada tahap duplik, tergugat dapat menjelaskan kembali jawabannya yang disangkal oleh penggugat.
61
Tahap Replik dan Duplik dapat diulang-ulang sampai hakim dapat memandang cukup, kemudian dilanjutkan dengan pembuktian. Pada tahap
pembuktian, penggugat dan tergugat mengajukan semua alat-alat bukti yang dimiliki untuk mendukung jawabannya sanggahan, masing-masing pihak berhak
menilai alat bukti pihak lawannya. Kemudian tahap kesimpulan, masing-masing pihak mengajukan pendapat
akhir tentang hasil pemeriksaan. Kemudian pada tahap putusan, hakim menyampaikan segala pendapatnya tentang perkara tersebut dan menyimpulkan
dalam putusan dan putusan hakim adalah untuk mengakhiri sengketa.
62
61
Ibid., h.43
62
Ibid., h.45
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG NUSYUZ
A. Pengertian dan Dasar Hukum Nusyuz 1. Pengertian Nusyuz
Nusyuz berarti meninggi atau terangkat. Kalau dikatakan isteri nusyuz terhadap suaminya berarti isteri merasa dirinya sudah lebih tinggi kedudukannya
dari suaminya, sehingga ia tidak lagi merasa berkewajiban mematuhinya. Secara definitif nusyuz diartikan dengan: “kedurhakaan isteri terhadap suami dalam hal
menjalankan apa-apa yang diwajibkan Allah atasnya.
63
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Nusyuz seorang berarti: “Perbuatan tidak taat dan membangkangnya seorang isteri terhadap suaminya tanpa alasan
yang tidak dibenarkan oleh Hukum Islam”.
64
Selanjutnya dijelaskan membangkang artinya: tidak mau menuruti perintah, mendurhakai, menentang
dan menyanggah.
65
Nusyuz bermakna kedurhakaan yang dilakukan seorang isteri terhadap suaminya. Hal ini bisa terjadi dalam bentuk pelanggaran perintah penyelewengan
63
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan di Indonesia, h.190-191
64
Departemen pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: balai Pustaka, 1998, h.619
65
Ibid., h.76