16
lumut janggut putih. Kekhasan hutan ini adalah terdapatnya dataran yang ditumbuhi rumput Isachne pangrangensis dan bunga abadi Eidelweis Anaphalis javanica Van
Stennis, 1972. Kawasan hutan TNGGP yang memiliki luas area sekitar 21.975 ha merupakan
lahan terbasah di pulau jawa. Kelembaban lingkungan mikro hutan tropis dan tanah yang tinggi merupakan habitat yang disukai oleh berbagai jenis flora, karena keadaan
lingkungan seperti itu dapat menjaga vegetasi tetap hijau dan bertumbuh. Keragaman hayati yang tinggi di kawasan ini menjadikannya sebagai salah satu kawasan
konservasi di Indonesia. Dalam rangka untuk menjamin pemanfaatan dan pelestarian keanekaragaman
tumbuh-tumbuhannya, di kaki Gunung Gede Pangrango dibuatlah sebuah kawasan konservasi ex-situ. Kawasan ini memiliki peran sebagai penyangga kawasan taman
nasional dan dalam pengelolaan tumbuhan asli dari kawasan hutan TNGGP maupun jenis-jenis tumbuhan introduksi dari luar yang dikelola dengan baik didalam suatu
Kebun Raya. Kebun Raya merupakan suatu tempat untuk mengumpulkan dan memelihara tumbuh-tumbuhan, yang memiliki fungsi penting sebagai tempat
pendidikan, estetika, ilmu pengetahuan dan rekreasi Adi, 2003.
2.5 Kawasan Kebun Raya Cibodas KRC
2.5.1 Sejarah
Kawasan KRC didirikan pada masa pemerintahan Hindia Belanda, yakni zaman pemerintahan Raja Willem III. Pada tanggal 11 April 1852, Johannes Ellias
17
Taijasmann yang merupakan seorang kurator Kebun Raya Bogor pada waktu itu mendirikan Kebun Raya Cibodas dengan nama Bertguin te Tjibodas Kebun
Pegunungan Cibodas. Pendirian Kebun Raya Cibodas dimaksudkan sebagai tempat aklimatisasi jenis-jenis tumbuhan asal luar negeri yang memiliki nilai penting dan
ekonomi yang tinggi, salah satunya adalah Pohon Kina Chinchona calisaya. Kebun Raya Cibodas awalnya merupakan pengembangan dari Kebun Raya
Bogor, dengan nama Cabang Balai Kebun Raya Cibodas. Mulai tahun 2003 nama Kebun Raya Cibodas menjadi lebih mandiri sebagai Unit Pelaksana Teknis Balai
Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Cibodas, dalam kedeputian Ilmu Pengetahuan Hayati Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia LIPI Kebun Raya Cibodas, 2014.
2.5.2 Tinjauan umum KRC
Kebun Raya adalah kawasan konservasi tumbuhan secara ex-situ yang memiliki koleksi tumbuhan terdokumentasi dan ditata berdasarkan pola klasifikasi
taksonomi, bioregion, tematik, atau kombinasi dari pola-pola tersebut untuk tujuan kegiatan konservasi, penelitian, pendidikan, wisata dan jasa lingkungan Perpres RI
Nomor 93 Tahun 2011. Secara geografis KRC berada pada lereng Gunung Gede Pangrango dengan
ketinggian 1300-1425 mdpl. Luas areal efektifnya sekitar 80 ha dan sisanya sekitar 6 ha masih areal hutan. Keadaan topografinya bervariasi landai, berbukit-bukit,
bergelombang, dan bagian yang curam. Kawasannya memiliki hawa sejuk dengan panorama yang indah dengan persentase kawasan yang miring sekitar 60.
18
KRC memiliki curah hujan sebesar 3.300 mmtahun. Suhu udara berkisar antara 18
hingga 24 C dengan curah hujan per tahun 3380 mm. Curah hujan
tertinggi dicapai pada bulan Januari 2288,5 mm dan terendah pada bulan Agustus yaitu 744 mm. Kelembaban rata-rata di KRC berkisar antara 80-90.
2.5.2 Hutan terfragmentasi KRC
Kurang lebih 10 luasan KRC atau sekitar 8.43 hektar merupakan kawasan berhutan, termasuk didalamnya hutan yang terfragmentasi dan hutan yang terhubung
dengan kawasan hutan TNGGP yang mengelilingi kawasan kebun raya. Sisa hutan tersebut terbagi menjadi empat blok hutan, yaitu hutan Wornojiwo 3,934 ha, hutan
Kompos 2,555 ha, hutan Jalan Akar 1,086 ha dan hutan Lumut 0,855 ha. Petak-petak hutan di KRC berpotensi untuk dikembangkan sebagai
laboratorium lapangan dan keperluan pendidikan lingkungan. Akan tetapi, ukurannya yang kecil dan tingginya derajat fragmentasi, hutan sisa KRC sangat rentan terhadap
gangguan secara biotik maupun abiotik Mutaqien, dkk., 2011. Konsekuensi dari fragmentasi dan efek tepi termasuk meningkatnya kerentanan terhadap invasi oleh
tumbuh-tumbuhan dan hewan asing Ecroyd dan Brockerhoff, 2005. Hutan alam di Pulau Jawa pada umumnya merupakan kantong-kantong
habitat untuk perlindungan keanekaragaman hayati. Akan tetapi, Seiring meningkatnya angka pertumbuhan penduduk dan kebutuhan lahan untuk
menyediakan pemukiman, pertanian, pembangunan sarana jalan dan infrastruktur lainnya menyebabkan pengikisan kantong-kantong habitat tidak dapat dihindari.
Hingga pada akhirnya fungsi utama hutan sebagai pelindung keanekaragaman hayati