LATAR BELAKANG MASALAH Resistensi pedagang pasar Sumber Arta Bekasi Barat

naik akibat urbanisasi. Keadaan ini berbanding terbalik dengan pedesaan dimana semakin sedikit tenaga kerja yang berada di desa disebabkan oleh perpindahan tenaga kerja ke daerah perkotaan. Bila kita cermati persoalan urbanisasi ini ternyata perpindahan penduduk dari desa ke kota selalu melampaui tingkat penciptaan lapangan pekerjaan di kota. Dengan kata lain perkotaan tidak dapat menyerap tenaga kerja yang terlampau tinggi akibat urbanisasi. Fenomena ini terjadi akibat kurang cepatnya proses industrialisasi dikembangkan, akan berkecenderungan semakin mempertinggi tingkat tenaga kerja yang datang ke kota tersebut. Efek negatif dari tidak terserapnya tenaga kerja tersebut melahirkan pengangguran di perkotaan yaitu tenaga kerja produktif yang tidak bekerja. Berdasarkan data Sakernas sampai Agustus 2007, angka Tingkat Pengangguran Terbuka TPT pemuda tingkat nasional sebanyak 15,30 persen, dengan TPT laki-laki 13,52 persen dan perempuan 18,20 persen. Sementara TPT pemuda di perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan TPT pemuda di perdesaan yaitu 19,70 persen dan 11,71 persen. Jika dilihat dari wilayah, pengangguran terbuka pemuda di wilayah perkotaan jauh lebih besar dibandingkan dengan pemuda di wilayah perdesaan. Hal ini dimungkinkan karena tenaga kerja pemuda pedesaan terserap di sektor pertanian. Menumpuknya pengangguran terbuka pemuda di perkotaan dapat memicu kriminalitas dan konflik sosial. Tabel Tingkat Pengangguran Terbuka Pemuda Menurut Jenis Kelamin dan Wilayah PerkotaanPedesaan per Propinsi Tahun 2007 5 Sumber: BPS, Sakernas, Agustus 2007 Sedangkan angka pengangguran muda pada bulan Agustus 2010 mencapai 7, 14 persen dari 220 juta penduduk Indonesia. 5 Direktorat Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga, Laporan Akhir: Strategi Pengembangan SDM di Bidang Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga Jakarta: Bappenas, 2009, h. 106. Tingkat Pengangguran Terbuka TPT Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan, 2008 –2010 persen 6 Tabel diatas menunjukkan bahwa tingkat pengangguran masih tetap tinggi meski mengalami penurunan. Namun Badan Pusat Statistik BPS menilai angka pengangguran terbuka turun tidak signifikan. Karena signifikansi pertumbuhan ekonomi hanya sekitar 6 persen saja dan ditambah adanya intervensi pemerintah seperti mulainya pembangunan sarana pendidikan dan pembebasan biaya pendidikan di beberapa daerah. 7 Pasang surutnya pengangguran bukan tidak mungkin disebabkan oleh kebijakan struktural yang kurang memperhatikan kepentingan masyarakat arus bawah yang banyak dijumpai dalam tingkatan produktif. 6 Badan Pusat Statistik, KEADAAN KETENAGAKERJAAN AGUSTUS 2010, No. 7712Th. XIII Jakarta: BPS, 2010, h. 6. 7 Erlangga Djumena, “Pengangguran Turun Sedikit,” artikel diakses pada4 Februari 2011dari http:bisniskeuangan.kompas.comread2010120215420920Pengangguran.Turun.Sedikit Kembali pada konteks problematika sosial yang dihadapi pedagang pasar, terkait dengan pasar tradisional dan pembangunan setidaknya hal yang sering mencuat adalah penggusuran pasar. Yaitu fenomena di daerah perkotaan yang menggambarkan banyak kasus tentang bagaimana pembangunan kurang bersimpati pada masyarakat. Selanjutnya adalah rasa ketidakpuasan pedagang atas perlakuan yang dialami pedagang dengan dalih ketertiban dan terkadang terdapat motif ekonomi yang lebih besar dibalik kejadian tersebut. Potret kondisi sosial seperti ini seharusnya menjadi concern para stakeholder, terlebih pemerintah sebagai pihak yang mengeluarkan kebijakan terkait dengan kesejahteraan sosial dan pemberdayaan masyarakat kecil. Jika kita melihat pasar sebagai sebuah bentuk sistem perekonomian tradisional, kita akan mendapatkan gambaran bagaimana sektor informal ini dapat bertahan di tengah arus pembangunan yang serasa mencekik sektor ini. Pasar bukan saja sebagai distribusi barang dan saja tetapi juga sebuah lingkungan kehidupan bagi masyarakat hidup berdampingan, berkembang dan kemudian menjadi habitus, menjadi sifat kultural yang kemudian kehidupan bermasyarakat dibentuk olehnya. Tidak sedikit pasar tradisional yang hilang dari relasi kehidupan bermasyarakat dan berganti menjadi gedung mewah, apartemen hingga pasar modern. Akibat hilangnya pasar, otomatis berkurangnya pendapatan bagi para pedagang. Implikasi yang paling jelas adalah perlawanan terhadap penggusuran tempat mereka berjualan. Perlawanan tersebut dapat bermacam mulai dari perlawanan terbuka hingga tertutup yang tidak begitu mencuat ke permukaan. Contoh kasus penggusuran pasar sudah banyak terjadi, namun tingkat perlawanan di setiap kasusnya mungkin berbeda. Bentuk perlawanan pedagang pasar yang sering terlihat dan terbuka ialah bentrokan fisik antara pedagang dengan aparat pemerintah Satpol PP yang kadang berujung korban, pedagang dengan pedagang serta pedagang dengan pengembang dalam kasus penggusuran pasar oleh apartemen maupun pusat perbelanjaan modern. Inilah yang menjadi sebuah kecemasan sosial bagaimana pasar yang seharusnya menjadi perekonomian idola masyarakat arus bawah harus dijaga dan bukan digusur untuk kepentingan ketertiban ekonomi suatu kota atau permainan modal. Common sense yang tercipta di masyarakat yaitu perlawanan selalu dikaitkan dengan bentrokan fisik, ini tidak terlepas dari peran media yang melihat konflik pedagang selalu dari sisi bentrokan terbuka fisik. Bagi James Scott justru strategi perlawanan yang seharusnya menarik untuk dilihat dan dikaji ialah everyday forms of resistance yang terdiri dari kumpulan pola perilaku sehari-hari dari para pedagang untuk melakukan perlawanan. 8 Strategi tersebut dapat dikatakan perlawanan khas dari pekerja sektor informal dimana dalam kasus ini ialah pedagang pasar. Pasar sebagai tiang penyangga ekonomi masyarakat, seringkali menjadi korban akibat perspektif kelembagaan pemerintah terhadap sektor ini. Mungkin perspektif ini menelurkan kebijakan yang cenderung kurang bersahabat dengan para pedagang pasar sebagai salah satu civil society yang berdiri sendiri dan mandiri. 9 Seakan menjadi lumrah bahwa terkadang kebijakan dipengaruhi oleh 8 Marzani Anwar, Adaptasi dan Resistansi Jakarta: Penamadani, 2006,h. 150. 9 Ahmad Erani Yustika, Negara Vs. Kaum Miskin, h. 91. motivasi ekonomi dalam membangun tingkat perekonomian kota tersebut. Sehingga dapat dikatakan perspektif kebijakan pemerintah akan sektor informal tergantung pada berfungsi atau tidaknya pasar tersebut bagi pendapatan daerah. Bila dianggap tidak mendukung maka sikap yang diambil pemerintah ialah penggusuran. 10 Pedagang Pasar Sumber Arta sepertinya tak henti-henti mendapatkan kejutan dalam ruang lingkup tempat mereka berjualan. Penggusuran yang telah terjadi sepertinya menyimpan masalah yang tak begitu mencuat ke permukaan. Tempat mereka yang hancur untuk digantikan lahan apartemen menjadi kenyataan di depan mata, nasib mereka dalam mempertahankan pilar ekonomi dan institusi sosial masyarakat kini berganti gedung apartemen. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa persoalan penting yang dikaji dalam membahas resistensi dengan kaitannya pembangunan di Indonesia adalah masalah faktor penyebab, bentuk-bentuk resistensi dan gambaran perlawanan. Untuk itu peneliti tertarik mengambil mengambil tema masalah konflik dengan judul “Resistensi Pedagang Pasar Sumber Arta Bekasi Barat ” untuk melihat gambaran resistensi, bentuknya serta faktor penyebab.

B. TINJAUAN PUSTAKA

Terdapat beberapa penelitian tentang resistensi di Indonesia, peneliti akan mencoba mereview penelitian yang dibuat oleh Eko Siswono tahun 2009 dan I 10 Ahmad Erani Yustika, Negara Vs. Kaum Miskin, h. 98. Gusti Ngurah Jayanti tahun 2010. Karena kedua penelitian tersebut layak untuk menjadi model penelitian tentang resistensi di Indonesia. Pertama, Eko Siswono dalam disertasinya Resistensi dan Akomodasi: Suatu Kajian Tentang Hubungan-Hubungan Kekuasaan pada Pedagang Kaki Lima PKL, Preman dan Aparat di Depok mendeskripsikan mengenai resistensi pedagang kaki lima akibat Peraturan Daerah Perda. 11 Ia menekankan bagaimana relasi kuasa terjalin diantara tiga komponen dalam dalam melakukan strategi untuk menguatkan kontrol atas lahan trotoar. Ia memakai Gidden untuk menjelaskan praktek sosial diantara mereka, oleh sebab itulah menandai bekerjanya kekuasaan akibat hubungan antara struktur dan agensi. Resistensi terjadi karena Perda yang menurut para pedagang PKL tidak sesuai dengan realitas yang harus mereka hadapi. Kedua, tesis dari I Gusti Ngurah Jayanti dengan judul Resistensi Terhadap Kebijakan Pemerintah Atas Penutupan Kegiatan Galian C di Daerah Aliran Sungai DAS Unda Klungkung: Sebuah Kajian Budaya. 12 Ia menerangkan bagaimana resistensi terjadi karena kebijakan yang cenderung dari atas ke bawah top-down tanpa adanya partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan, sehingga dianggap tidak transparan dan melahirkan resistensi 11 Eko Siswono, “Resistensi dan Akomodasi: Suatu Kajian Tentang Hubungan-Hubungan Kekuasaan pada Pedagang Kaki Lima PKL, Preman dan Aparat di Depok,” Disertasi S3 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Departemen Antropologi Program Pasca Sarjana, Universitas Indonesia, 2009, h. 13. 12 I Gusti Ngurah Jayanti, “Resistensi Terhadap Kebijakan Pemerintah Atas Penutupan Kegiatan Galian C di Daerah Aliran Sungai DAS Unda Klungkung: Sebuah Kajian Budaya,” diakses 17 Agustus 2011 dari http:culturalstudiesbali.wordpress.com20100803resistensi-terhadap- kebijakan-pemerintah-atas-penutupan-kegiatan-galian-c-di-daerah-aliran-sungai-das-unda- klungkung-sebuah-kajian-budaya. komunitas penambang pasir. Bentuk resistensi yang dilakukan oleh masyarakat salah satunya menempuh jalur formal dengan menyampaikan inspirasi mereka pada lembaga pemerintahan. Komunitas penambang pasir berunjuk rasa ke kantor Bupati dan Gedung Dewan Perwakilan Daerah Klungkung. Resistensi juga terlihat dengan tetap dilakukannya aktivitas penambangan secara diam-diam. Pada penelitian pertama, Eko Siswono meninjau resistensi dengan menggunakan analisa struktur dan agen milik Gidden dalam melihat fenomena perlawanan PKL dan mentendesikan penelitian tersebut pada negosiasi dan akomodasi para aktor yang berkaitan dengan PKL. Misalnya sikap aparat pemerintah kota yang mendua. Resistensi menjadi jalur alternatif lunak ketika melunaknya penertiban karena terjadinya kepentingan dikedua pihak. Akibatnya terjadi kontra-produktif dan distorsi dari aparat terhadap PKL. Perbedaan dalam memaknai ruang terbuka publik juga menjadi penekanan dalam penelitian ini yaitu trotoar. Adapun pada penelitian kedua I Gusti melihat resistensi masyarakat karena disebabkan oleh menetapkan kebijakan tanpa partisipasi masyarakat sehingga mereka memilih jalur terbuka dengan berunjuk rasa ke Gedung Bupati dan mendatangi Gedung Perwakilan Daerah. Dua penelitian sebelumnya memang mendeskripsikan bagaimana resistensi kelompok lemah itu berjalan melawan kelas penguasa. Berbeda dengan kajian sebelumnya penelitian ini mencoba menggambarkan bagaimana resistensi akibat penggusuran dapat terjadi di pasar tradisional Sumber Arta yang merupakan pasar dengan status kepemilikan swasta. Peneliti mencoba