Resistensi pedagang pasar Sumber Arta Bekasi Barat
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Untuk memenuhi persyaratan memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S. Sos)
Disusun Oleh: M. Tri Panca W. Nim. 106032201088
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
(2)
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 20 Agustus 2011
(3)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Untuk memenuhi persyaratan memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S. Sos)
Oleh: M. Tri Panca W NIM. 106032201088
Pembimbing Skripsi:
SaifudiiVAsrori. M. Si NIP. 19770119 200912 1 001
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HID AYATULLAH JAKARTA
(4)
(5)
Resistensi Pedagang Pasar Sumber Arta Bekasi Barat
Pasar Sumber Arta merupakan pasar tradisional dengan status kepemilikan swasta. Pasar ini resmi berdiri tahun 1988 yang kemudian menjelma menjadi pusat perdagangan dan jasa, sumber penghasilan pedagang dan lembaga sosial. Penggusuran yang telah dilakukan pengelola pasar pada tahun 2008 menghasilkan resistensi (perlawanan) dari pedagang. Perlawanan sendiri tidak selalu bentrokan fisik namun juga berbentuk perilaku seperti yang dilakukan oleh pedagang pasar.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran perlawanan yang dilakukan pedagang pasar, berbagai faktor yang melatarbelakangi perlawanan dan bentuk-bentuk resistensi yang terjadi. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori pembangunan dari Rostow yaitu lima tahap pembangunan, teori Clifford Geertz tentang pasar tradisional yaitu sebuah bentuk konkret bagi segala kegiatan, suatu lingkungan hidup yang dalam pandangannya bersifat alamiah disamping bersifat kultural yang seluruh kehidupan dibentuk olehnya. Kemudian teori resistensi dari James Scott yaitu sebuah bentuk perlawanan sehari-hari yang dilakukan oleh kelompok lemah (everyday forms of resistance). Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif yaitu penelitian yang diarahkan untuk memberikan gejala-gejala, fakta-fakta, atau kejadian-kejadian secara sistematis dan akurat, mengenai sifat-sifat populasi atau daerah tertentu. Sedangkan pendekatan kualitatif menghasilkan data berupa kata-kata tertulis atau dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, observasi serta studi kepustakaan. Wawancara dilakukan dengan informan sebanyak sembilan orang.
Hasil penelitian menunjukkan gambaran perlawanan, faktor-faktor dan bentuk resistensi. Pertama, gambaran perlawanan. yaitu bagaimana resistensi itu terjadi. Kedua, faktor penyebab terjadinya resistensi pedagang Pasar Sumber Arta yaitu a) masa hak pakai yang telah berakhir, b) pasar pengganti yang tidak kunjung dibangun, c) terdapat proses intimidasi sehingga menghasilkan akumulasi kekecewaan terhadap pihak pengelola. Dan yang terakhir, kurang berfungsinya perkumpulan Warga Rusun Pasar (WRP) yang menjadi alat komunikasi antar pedagang serta menjadi tempat membangun pemikiran dan sikap kolektif dalam melakukan sikap resisten. Adapun bentuk-bentuk resistensi pedagang Sumber Arta, terdapat dua bentuk yaitu resistensi tertutup dan semi-terbuka. Masing-masing dari bentuk resistensi tertutup yaitu menggerutu, berkata kasar, menarik diri dari pertemuan dan bersikap acuh tak acuh terhadap pengelola. Sedangkan bentuk resistensi semi-terbuka ialah mengadakan pertemuan yang diinisatif oleh pedagang terhadap pengelola dan membuat spanduk pernyataan sikap.
(6)
hidayah-Nya, serta tidak lupa shalawat dan salam dihaturkan selalu kepada Nabi Muhammad SAW, keluarganya, sahabat dan umatnya. Seorang figur yang pantas untuk ditauladani bagi manusia dalam kehidupan.
Skripsi ini tentunya tidak dapat rampung tanpa bantuan, bimbingan, arahan, dukungan dan kontribusi dari beberapa pihak. Oleh karena itu penulis juga tak lupa mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak yang telah memberi inspirasi dan juga banyak berkontributif dalam memberikan sumbangan pemikiran, pesan moral dan lain-lain sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan, diantaranya adalah:
1. Kedua orang tuaku tercinta dan tersayang, H.M. Sardi A.R. dan Hj. Siti Rohaeni yang telah memberikan pendidikan, kepercayaan, kesabaran, semangat, pengorbanan, serta segala doa yang selalu terus mereka panjatkan untuk penulis agar sukses dan berhasil dalam penulisan skripsi ini dengan nilai yang terbaik.
2. Kakakku tersayang, Adri Rubiyanto, Budi Luhur, Sofia Maulida, Kak Diah yang kerap kali mengajarkan penulis tentang artinya manusia berpendidikan dan pentingnya renungan spiritual, di saat penulis mengalami perasaan stagnansi dan kemunduran diri dalam proses penulisan.
(7)
4. Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Bapak Prof. Dr. Bahtiar Effendy.
5. Ketua jurusan Prodi Sosiologi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Bapak Dr. Zulkifly, MA dan Sekretaris jurusan Ibu Joharotul Jamilah, S. Ag. M.Si.
6. Seluruh dosen dan staff pengajar pada program studi sosiologi atas segala motivasi, ilmu pengetahuan, bimbingan, wawasan dan pengalaman yang mendorong penulis selama menempuh studi.
7. Dosen pembimbing Bapak Saifudin Asrori, M.Si yang selalu setia dalam memberikan saran, kritik dan gagasan dalam proses penulisan skripsi ini.
8. Sahabat-sahabatku Andri Prakarsa yang berbagi pengalaman dan menemaniku sejak zaman putih abu-abu hingga sekarang, you’re the best, my friend. Para pejuang sosiologi M. al-Aufar, Muhammad Ayub, Irvan Matondang, Ghundar Muhammad al-Hasan yang telah menjadi sahabat terbaik, pengalaman kita terekam tak pernah mati. Teman-teman sosiologi 2006 lainnya Nana, Erfan, Fina, Azharina, Rahmi, Rizkiyah, Dijah, Budiman,
(8)
9. Seseorang disana yang tetap memberikan dukungannya dikala penulis mengalami stagnansi.
10.Pedagang pasar, pengelola serta organisasi terkait yang menerima penulis dengan terbuka untuk melakukan penelitian skripsi, serta para karyawan yang tentunya tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu.
11.Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.
Penulis menyadari bahwa tidak ada sesuatu yang sempurna, begitu pula dengan skripsi ini yang masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun dari para pembaca untuk perbaikan di masa mendatang sangat penulis harapkan.
Jakarta, Agustus 2011
(9)
KATA PENGANTAR ...……… ii
DAFTAR ISI.……….. v
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah……….1
B. Tinjauan Pustaka.……….. 8
C. Pembatasan dan Pertanyaan Penelitian………... 11
D. Model Analisis………...11
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian…….………...12
F. Metodologi Penelitian……….………...13
1. Jenis Penelitian….………... ...13
2. Teknik Pengumpulan Data.………... 14 3. Instrumen Penelitian………....……….. 16
G. Sistematika Penulisan..……….... 17 BAB II KAJIAN TEORI A. Pembangunan………...19
1. Definisi………...19
(10)
1. Pengertian………...27 2. Bentuk Resistensi………...31
BAB III GAMBARAN UMUM PENELITIAN
A. Sejarah Sumber Arta………..34 B. Kondisi Sosial Lingkungan Kampung Cibening…………38 C. Kondisi Ekonomi………...40
BAB IV TEMUAN PENELITIAN
A. Resistensi Pedagang Pasar Sumber Arta………..43
B. Bentuk-Bentuk Resistensi……….………...47
1. Resistensi Tertutup……….47
2. Resistensi Semi-Terbuka…..………..50
C. Faktor Penyebab………...55
1. Masa Hak Pakai Yang Telah Berakhir………...55 2. Pasar Baru Yang Tak Kunjung Dibangun………..55
3. Intimidasi Pengelola………...57
4. Warga Rusun Pasar (WRP)………58
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
(11)
(12)
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Pertumbuhan sektor informal merupakan ciri khas yang melekat pada pembangunan perkotaan.1 Di Indonesia sektor ini dianggap sumber perekonomian yang melekat pada sektor formal, contoh pertumbuhan industri membuat berkembangnya kebutuhan akan pakaian, makan, tempat tinggal dan lain-lain. Sektor informal mempunyai fungsi sebagai penampung gejolak sosial (holding tank) dan urbanisasi prematur sehingga keberadaannya sering tergusur oleh pembangunan.2 Penggusuran Pasar Sumber Arta di daerah Bekasi Barat merupakan salah satu bukti konkrit ketidakberdayaan sektor informal berhadapan dengan modal dan Negara.
Sumber Arta merupakan sebuah pasar tradisional yang berdiri dan diresmikan pada tahun 1988 yang tumbuh serta hidup bersama di masyarakat. Pasar ini mempunyai beberapa fungsi: pertama, menaungi sektor informal seperti pedagang sayur, buah, kelontong, daging, pakaian dan sebagainya. Kedua, sebagai jalur distribusi barang dan jasa yaitu jenis barang yang diperjualbelikan tidak
1
International Labour Organization (ILO) mendefinisikan sektor informal sebagai pekerjaan-pekerjaan di pinggiran kota besar, tetapi juga meliputi berbagai aktivitas ekonomi antara lain ditandai dengan: mudah untuk dimasuki, bersandar pada sumberdaya lokal, usaha milik sendiri, operasinya dalam skala kecil, padat karya dan teknologinya bersifat adaptif, keterampilan dapat diperoleh diluar sistem sekolah formal, dan tidak terkena langsung oleh regulasi dan pasarnya bersifat kompetitif.
2
(13)
besar, mudah dibawa, bahan pangan yang mudah disimpan, tekstil, barang pecah belah kecil dan sejenisnya. Kemudian yang terakhir, sebagai tempat bertemunya berbagai macam kepentingan masyarakat.
Munculnya sektor informal di perkotaan sebenarnya tidak terlepas dengan adanya proses urbanisasi. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya urbanisasi yaitu pertama makin berkurangnya sumber-sumber kehidupan, seperti menurunnya daya dukung lingkungan, susahnya memperoleh hasil tambang, kayu atau bahan pertanian. Kedua, menyempitnya lapangan pekerjaan di tempat asal akibat lahan pertanian yang semakin tidak ada, sedangkan yang ketiga karena alasan pendidikan, pekerjaan atau perkawinan.3 Strategi industrialisasi yang terlalu menitikberatkan pada pergeseran sektor pertanian ke sektor industri pun menyebabkan meningginya eskalasi urbanisasi di Indonesia. Proses urbanisasi semakin meningkat ditambah dengan kebijakan yang memusatkan ekonomi di perkotaan, sedangkan sektor pertanian dianggap penyangga untuk proses kelangsungan dan keberhasilan industrialisasi. Sumber Arta sebagai pasar tradisional juga merupakan penampung gejolak sosial urbanisasi, hal ini terlihat dari beragamnya jenis etnis suku yang berjualan di pasar tersebut antara lain Sunda, Jawa, Batak, Minangkabau, etnis Tionghoa dan lain-lain.4
Faktor lain dari industrialisasi adalah meningkatnya kepadatan penduduk yang disebabkan sentralitas ekonomi di perkotaan. Terjadinya ledakan penduduk di perkotaan ikut berimplikasi terhadap tingkat pengangguran yang cenderung
3Chotib, “Mobilitas Penduduk,” artikel diakses pada 16 Agustus 2011 dari
http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/ea3efedb6ec0bdbe7c574fcb773661d5a24a8cce.pdf 4
(14)
naik akibat urbanisasi. Keadaan ini berbanding terbalik dengan pedesaan dimana semakin sedikit tenaga kerja yang berada di desa disebabkan oleh perpindahan tenaga kerja ke daerah perkotaan. Bila kita cermati persoalan urbanisasi ini ternyata perpindahan penduduk dari desa ke kota selalu melampaui tingkat penciptaan lapangan pekerjaan di kota. Dengan kata lain perkotaan tidak dapat menyerap tenaga kerja yang terlampau tinggi akibat urbanisasi. Fenomena ini terjadi akibat kurang cepatnya proses industrialisasi dikembangkan, akan berkecenderungan semakin mempertinggi tingkat tenaga kerja yang datang ke kota tersebut.
Efek negatif dari tidak terserapnya tenaga kerja tersebut melahirkan pengangguran di perkotaan yaitu tenaga kerja produktif yang tidak bekerja. Berdasarkan data Sakernas sampai Agustus 2007, angka Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pemuda tingkat nasional sebanyak 15,30 persen, dengan TPT laki-laki 13,52 persen dan perempuan 18,20 persen. Sementara TPT pemuda di perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan TPT pemuda di perdesaan yaitu 19,70 persen dan 11,71 persen. Jika dilihat dari wilayah, pengangguran terbuka pemuda di wilayah perkotaan jauh lebih besar dibandingkan dengan pemuda di wilayah perdesaan. Hal ini dimungkinkan karena tenaga kerja pemuda pedesaan terserap di sektor pertanian. Menumpuknya pengangguran terbuka pemuda di perkotaan dapat memicu kriminalitas dan konflik sosial.
(15)
Tabel Tingkat Pengangguran Terbuka Pemuda Menurut Jenis Kelamin dan Wilayah Perkotaan/Pedesaan per Propinsi Tahun 20075
Sumber: BPS, Sakernas, Agustus 2007
Sedangkan angka pengangguran muda pada bulan Agustus 2010 mencapai 7, 14 persen dari 220 juta penduduk Indonesia.
5
Direktorat Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga, Laporan Akhir: Strategi Pengembangan SDM di Bidang Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga (Jakarta: Bappenas, 2009), h. 106.
(16)
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)
Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan, 2008–2010
(persen)6
Tabel diatas menunjukkan bahwa tingkat pengangguran masih tetap tinggi meski mengalami penurunan. Namun Badan Pusat Statistik (BPS) menilai angka pengangguran terbuka turun tidak signifikan. Karena signifikansi pertumbuhan ekonomi hanya sekitar 6 persen saja dan ditambah adanya intervensi pemerintah seperti mulainya pembangunan sarana pendidikan dan pembebasan biaya pendidikan di beberapa daerah.7 Pasang surutnya pengangguran bukan tidak mungkin disebabkan oleh kebijakan struktural yang kurang memperhatikan kepentingan masyarakat arus bawah yang banyak dijumpai dalam tingkatan produktif.
6
Badan Pusat Statistik, KEADAAN KETENAGAKERJAAN AGUSTUS 2010, No. 77/12/Th. XIII (Jakarta: BPS, 2010), h. 6.
7
Erlangga Djumena, “Pengangguran Turun Sedikit,” artikel diakses pada4 Februari 2011dari http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/12/02/15420920/Pengangguran.Turun.Sedikit
(17)
Kembali pada konteks problematika sosial yang dihadapi pedagang pasar, terkait dengan pasar tradisional dan pembangunan setidaknya hal yang sering mencuat adalah penggusuran pasar. Yaitu fenomena di daerah perkotaan yang menggambarkan banyak kasus tentang bagaimana pembangunan kurang bersimpati pada masyarakat. Selanjutnya adalah rasa ketidakpuasan pedagang atas perlakuan yang dialami pedagang dengan dalih ketertiban dan terkadang terdapat motif ekonomi yang lebih besar dibalik kejadian tersebut. Potret kondisi sosial seperti ini seharusnya menjadi concern para stakeholder, terlebih pemerintah sebagai pihak yang mengeluarkan kebijakan terkait dengan kesejahteraan sosial dan pemberdayaan masyarakat kecil.
Jika kita melihat pasar sebagai sebuah bentuk sistem perekonomian tradisional, kita akan mendapatkan gambaran bagaimana sektor informal ini dapat bertahan di tengah arus pembangunan yang serasa mencekik sektor ini. Pasar bukan saja sebagai distribusi barang dan saja tetapi juga sebuah lingkungan kehidupan bagi masyarakat hidup berdampingan, berkembang dan kemudian menjadi habitus, menjadi sifat kultural yang kemudian kehidupan bermasyarakat dibentuk olehnya. Tidak sedikit pasar tradisional yang hilang dari relasi kehidupan bermasyarakat dan berganti menjadi gedung mewah, apartemen hingga pasar modern. Akibat hilangnya pasar, otomatis berkurangnya pendapatan bagi para pedagang. Implikasi yang paling jelas adalah perlawanan terhadap penggusuran tempat mereka berjualan. Perlawanan tersebut dapat bermacam mulai dari perlawanan terbuka hingga tertutup yang tidak begitu mencuat ke permukaan. Contoh kasus penggusuran pasar sudah banyak terjadi, namun tingkat perlawanan
(18)
di setiap kasusnya mungkin berbeda. Bentuk perlawanan pedagang pasar yang sering terlihat dan terbuka ialah bentrokan fisik antara pedagang dengan aparat pemerintah (Satpol PP) yang kadang berujung korban, pedagang dengan pedagang serta pedagang dengan pengembang dalam kasus penggusuran pasar oleh apartemen maupun pusat perbelanjaan modern. Inilah yang menjadi sebuah kecemasan sosial bagaimana pasar yang seharusnya menjadi perekonomian idola masyarakat arus bawah harus dijaga dan bukan digusur untuk kepentingan ketertiban ekonomi suatu kota atau permainan modal.
Common sense yang tercipta di masyarakat yaitu perlawanan selalu dikaitkan dengan bentrokan fisik, ini tidak terlepas dari peran media yang melihat konflik pedagang selalu dari sisi bentrokan terbuka fisik. Bagi James Scott justru strategi perlawanan yang seharusnya menarik untuk dilihat dan dikaji ialah everyday forms of resistance yang terdiri dari kumpulan pola perilaku sehari-hari dari para pedagang untuk melakukan perlawanan.8 Strategi tersebut dapat dikatakan perlawanan khas dari pekerja sektor informal dimana dalam kasus ini ialah pedagang pasar.
Pasar sebagai tiang penyangga ekonomi masyarakat, seringkali menjadi korban akibat perspektif kelembagaan pemerintah terhadap sektor ini. Mungkin perspektif ini menelurkan kebijakan yang cenderung kurang bersahabat dengan para pedagang pasar sebagai salah satu civil society yang berdiri sendiri dan mandiri.9 Seakan menjadi lumrah bahwa terkadang kebijakan dipengaruhi oleh
8
Marzani Anwar, Adaptasi dan Resistansi (Jakarta: Penamadani, 2006),h. 150. 9
(19)
motivasi ekonomi dalam membangun tingkat perekonomian kota tersebut. Sehingga dapat dikatakan perspektif kebijakan pemerintah akan sektor informal tergantung pada berfungsi atau tidaknya pasar tersebut bagi pendapatan daerah. Bila dianggap tidak mendukung maka sikap yang diambil pemerintah ialah penggusuran.10
Pedagang Pasar Sumber Arta sepertinya tak henti-henti mendapatkan kejutan dalam ruang lingkup tempat mereka berjualan. Penggusuran yang telah terjadi sepertinya menyimpan masalah yang tak begitu mencuat ke permukaan. Tempat mereka yang hancur untuk digantikan lahan apartemen menjadi kenyataan di depan mata, nasib mereka dalam mempertahankan pilar ekonomi dan institusi sosial masyarakat kini berganti gedung apartemen. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa persoalan penting yang dikaji dalam membahas resistensi dengan kaitannya pembangunan di Indonesia adalah masalah faktor penyebab, bentuk-bentuk resistensi dan gambaran perlawanan. Untuk itu peneliti tertarik mengambil mengambil tema masalah konflik dengan judul “Resistensi Pedagang
Pasar Sumber Arta Bekasi Barat” untuk melihat gambaran resistensi,
bentuknya serta faktor penyebab.
B. TINJAUAN PUSTAKA
Terdapat beberapa penelitian tentang resistensi di Indonesia, peneliti akan mencoba mereview penelitian yang dibuat oleh Eko Siswono tahun 2009 dan I
10
(20)
Gusti Ngurah Jayanti tahun 2010. Karena kedua penelitian tersebut layak untuk menjadi model penelitian tentang resistensi di Indonesia.
Pertama, Eko Siswono dalam disertasinya Resistensi dan Akomodasi: Suatu Kajian Tentang Hubungan-Hubungan Kekuasaan pada Pedagang Kaki Lima (PKL), Preman dan Aparat di Depok mendeskripsikan mengenai resistensi pedagang kaki lima akibat Peraturan Daerah (Perda).11 Ia menekankan bagaimana relasi kuasa terjalin diantara tiga komponen dalam dalam melakukan strategi untuk menguatkan kontrol atas lahan trotoar. Ia memakai Gidden untuk menjelaskan praktek sosial diantara mereka, oleh sebab itulah menandai bekerjanya kekuasaan akibat hubungan antara struktur dan agensi. Resistensi terjadi karena Perda yang menurut para pedagang PKL tidak sesuai dengan realitas yang harus mereka hadapi.
Kedua, tesis dari I Gusti Ngurah Jayanti dengan judul Resistensi Terhadap Kebijakan Pemerintah Atas Penutupan Kegiatan Galian C di Daerah Aliran Sungai (DAS) Unda Klungkung: Sebuah Kajian Budaya.12 Ia menerangkan bagaimana resistensi terjadi karena kebijakan yang cenderung dari atas ke bawah top-down tanpa adanya partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan, sehingga dianggap tidak transparan dan melahirkan resistensi
11Eko Siswono, “Resistensi dan Akomodasi: Suatu Kajian Tentang Hubungan
-Hubungan
Kekuasaan pada Pedagang Kaki Lima (PKL), Preman dan Aparat di Depok,” (Disertasi S3
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Departemen Antropologi Program Pasca Sarjana, Universitas Indonesia, 2009), h. 13.
12I Gusti Ngurah Jayanti, “Resistensi Terhadap Kebijakan Pemerintah Atas Penutupan Kegiatan
Galian C di Daerah Aliran Sungai (DAS) Unda Klungkung: Sebuah Kajian Budaya,” diakses 17
Agustus 2011 dari http://culturalstudiesbali.wordpress.com/2010/08/03/resistensi-terhadap- kebijakan-pemerintah-atas-penutupan-kegiatan-galian-c-di-daerah-aliran-sungai-das-unda-klungkung-sebuah-kajian-budaya/.
(21)
komunitas penambang pasir. Bentuk resistensi yang dilakukan oleh masyarakat salah satunya menempuh jalur formal dengan menyampaikan inspirasi mereka pada lembaga pemerintahan. Komunitas penambang pasir berunjuk rasa ke kantor Bupati dan Gedung Dewan Perwakilan Daerah Klungkung. Resistensi juga terlihat dengan tetap dilakukannya aktivitas penambangan secara diam-diam.
Pada penelitian pertama, Eko Siswono meninjau resistensi dengan menggunakan analisa struktur dan agen milik Gidden dalam melihat fenomena perlawanan PKL dan mentendesikan penelitian tersebut pada negosiasi dan akomodasi para aktor yang berkaitan dengan PKL. Misalnya sikap aparat pemerintah kota yang mendua. Resistensi menjadi jalur alternatif lunak ketika melunaknya penertiban karena terjadinya kepentingan dikedua pihak. Akibatnya terjadi kontra-produktif dan distorsi dari aparat terhadap PKL. Perbedaan dalam memaknai ruang terbuka publik juga menjadi penekanan dalam penelitian ini yaitu trotoar. Adapun pada penelitian kedua I Gusti melihat resistensi masyarakat karena disebabkan oleh menetapkan kebijakan tanpa partisipasi masyarakat sehingga mereka memilih jalur terbuka dengan berunjuk rasa ke Gedung Bupati dan mendatangi Gedung Perwakilan Daerah.
Dua penelitian sebelumnya memang mendeskripsikan bagaimana resistensi kelompok lemah itu berjalan melawan kelas penguasa. Berbeda dengan kajian sebelumnya penelitian ini mencoba menggambarkan bagaimana resistensi akibat penggusuran dapat terjadi di pasar tradisional Sumber Arta yang merupakan pasar dengan status kepemilikan swasta. Peneliti mencoba
(22)
mengungkapkan bentuk dan faktor apa yang membuat para pedagang di pasar Sumber Arta berani melakukan resistensi.
C. PEMBATASAN DAN PERTANYAAN PENELITIAN
Berdasarkan pemaparan diatas maka peneliti mencoba untuk membatasi pada resistemsi (perlawanan) pedagang pasar Sumber Arta. Perlawanan tidak selalu bentrok fisik namun juga berbentuk perilaku yang dilakukan oleh pedagang pasar Sumber Arta, Bekasi.
Sedangkan pertanyaan penelitian yang akan menjadi kajian dalam penelitian ini adalah :
a. Bagaimana bentuk-bentuk resistensi yang dilakukan pedagang terhadap pembangunan apartemen di pasar Sumber Arta?
b. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan pedagang pasar berani melakukan resistensi?
(23)
Penggusuran pasar yang dilakukan pengelola Pasar Sumber Arta menyebabkan resistensi (perlawanan) dari para pedagang pasar. Terdapat dua bentuk resistensi yang dilakukan oleh pedagang pasar yaitu resistensi tertutup dan semi-terbuka. Resistensi pedagang muncul dikarenakan dua faktor antara lain: psikologi sosial dan struktural.
E. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Tujuan dari penelitian ini adalah
1. Untuk mengetahui faktor penyebab resistensi pedagang Pasar Sumber Arta.
2. Untuk menggambarkan bentuk-bentuk resistensi pedagang pasar terhadap penggusuran Pasar Sumber Arta.
Manfaat dari penelitian ini adalah
Penelitian ini diharapkan memberikan masukan kepada para pelaku sektor informal khususnya pedagang Pasar Sumber Arta, dan Pemerintah Kota Bekasi umumnya untuk bersama-sama memberikan kontribusi pada kebijakan pembangunan yang memperhatikan sektor informal.
(24)
F. METODOLOGI PENELITIAN
Metodologi yang penulis pakai dalam melakukan penelitian adalah sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Penelitian yang digunakan dalam menganalisa fenomena resistensi pedagang Pasar Sumber Arta yaitu kualitatif. Karena untuk menggambarkan resistensi pedagang pasar Sumber Arta metode ini dirasa pantas dalam meneliti perilaku sehari-hari, bahasa percakapan dan kejadian yang berkaitan dengan pedagang. Berdasarkan hal tersebut diharapkan dapat menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Penelitian kualitatif juga merupakan salah satu turunan dari tradisi yang fundamental dalam ilmu pengetahuan di bidang sosial, yang terkait dengan individu dengan bahasa dan peristiwanya.13 Sedangkan metode penelitian deskriptif yaitu penelitian yang diarahkan untuk memberikan gejala-gejala, fakta-fakta, atau kejadian-kejadian secara sistematis dan akurat, mengenai sifat-sifat populasi atau daerah tertentu. Dalam penelitian deskriptif cenderung tidak perlu mencari atau menerangkan saling hubungan dan menguji hipotesis.14
13
Nurul Zuriah, Metodologi Penelitian Sosial Dan Pendidikan: Teori-Aplikasi (Jakarta:PT Bumi Aksara, 2006), h. 92.
14
(25)
2. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data di lapangan peneliti menggunakan teknik sebagai berikut:
a. Wawancara
Teknik wawancara merupakan sebuah proses interaksi dan komunikasi verbal dengan tujuan untuk mendapatkan informasi penting yang diinginkan. Wawancara ialah alat pengumpul informasi dengan cara mengajukan sejumlah pertanyaan secara lisan untuk dijawab secara lisan pula. Ciri utama dari wawancara adalah adanya kontak langsung dengan tatap muka antara pencari informasi (interviewer) dan sumber informasi (interviewee).15 Teknik wawancara merupakan salah satu elemen penting dalam proses penelitian. Wawancara (interview) dapat diartikan sebagai cara yang dipergunakan untuk mendapatkan informasi (data) dari responden dengan cara bertanya lengsung secara tatap muka (face to face)16. Peneliti melakukan wawancara dengan lima pedagang pasar (dua penjual sayur, satu penjual buah, satu penjual daging dan satu penjual pakaian), tiga tokoh masyarakat dan seorang karyawan dari pengelola pasar Sumber Arta.
15
Nurul Zuriah, Metodologi Penelitian Sosial Dan Pendidikan: Teori-Aplikasi, h. 179. 16
Bagong Suyanto dan Sutinah, Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), h. 69.
(26)
b. Observasi
Sutrisno Hadi mengemukakan bahwa observasi merupakan suatu proses yang kompleks, digunakan bila berkenaan dengan perilaku manusia, proses kerja, dan bila informan yang diamati tidak terlalu besar. 17 Observasi juga tidak terbatas pada orang, tetapi juga objek-objek lainnya. Sedangkan S. Margono mengartikan observasi adalah pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian. Pengamatan dan pencatatan dilakukan terhadap objek di tempat terjadi atau berlangsungnya peristiwa. Metode observasi sebagai alat pengumpul data, dapat dikatakan berfungsi ganda, sederhana, dan dapat dilakukan tanpa menghabiskan biaya. Namun, dalam melakukan observasi peneliti dituntut memiliki keahlian dan penguasaan kompetensi tertentu.18 Penelitian ini menggunakan teknik observasi langsung yaitu dengan mengamati, meneliti, menyaksikan kejadian langsung bersama objek yang diselidiki atau yang diamati di Pasar Sumber Arta dan lingkungan Kampung Cibening karena berkaitan dengan sejarah pasar yang tidak terlepas dari wilayah kampung tersebut.
17
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2008), h. 145.
18
(27)
3. Instrumen Penelitian
Beberapa instrumen yang diperlukan dalam penelitian ini yaitu pertama, buku kecil untuk mencatat kejadian, hasil pengamatan dan wawancara. Kedua, tape recorder untuk melakukan rekam wawancara terhadap informan untuk mendapatkan data yang terkadang tidak tercatat di buku kecil hasil wawancara. Ketiga, buku catatan untuk melakukan sistematisasi hasil dari pengumpulan data-data yang belum sudah dianalisa. Keempat, kamera untuk memfoto kejadian, keadaan demografis, geografis dan kejadian yang menarik serta penting untuk kelengkapan data penelitian.
4. Sumber Data
Dalam penelitian ini dikategorikan kedalam dua jenis, yaitu: data primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh melalui hasil wawancara dengan informan dan observasi. Sedangkan data sekunder dalam penelitian ini diperoleh melalui kepustakaan, seperti buku-buku, skripsi, tesis, dan internet, yang berhubungan dengan penelitian.
5. Waktu dan Tempat Penelitian
Waktu dan penelitian ini dimulai sejak bulan Februari 2011 sampai dengan Juni 2011. Sedangkan lokasi penelitian dilakukan di Pasar Sumber Arta, Bekasi.
(28)
6. Pengolahan dan Analisis Data
Data dikumpulkan dari para informan yang kemudian membentuk suatu data yang sistematis dan menghasilkan kesimpulan. Kesimpulan merupakan jawaban dari data yang telah didapatkan. Sedangkan tenik dalam penulisan skripsi mengacu pada buku “Pedoman penulisan karya ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh Center for Quality Development and Assurance ( CeQDA) tahun 2007.
G. SISTEMATIKA PENULISAN
BAB I PENDAHULUAN
Membahas tentang latar belakang masalah yang diangkat dalam penelitian, pembatasan dan pertanyaan penelitian, tinjauan pustaka, model analisis, tujuan dan manfaat, metodologi penelitian dan sistematika penelitian.
BAB II KAJIAN TEORI
Membahas kajian teori mengenai
1. Pembangunan
a. Definisi
(29)
2. Pasar Tradisional
a. Pengertian, manfaat dan fungsi
3. Resistensi
a. Pengertian
b. Bentuk Resistensi
BAB III DESKRIPSI GEOGRAFIS DAN DEMOGRAFI
Membahas kondisi sejarah pasar Sumber Arta, kondisi ekonomi dan keadaan sosial di lingkungan Kampung Cibening.
BAB IV TEMUAN HASIL PENELITIAN
Temuan hasil dari penelitian tentang bagaimana gambaran resistensi pedagang pasar terhadap penggusuran pasar Sumber Arta, bagaimana bentuk resistensi para pedagang dan faktor yang menyebabkan resisteni dapat terjadi.
BAB V PENUTUP
(30)
A.
Pembangunan
1. Definisi
Untuk mendefinisikan isitilah pembangunan memang terdapat perbedaan diantara ilmuwan. Namun secara umum dapat diartikan sebagai suatu upaya terkoordinasi untuk menciptakan alternatif yang lebih banyak secara sah kepada setiap warga Negara untuk memenuhi dan mencapai aspirasinya yang paling manusiawi.18 Di Indonesia, kata pembangunan sudah menjadi kata kunci bagi segala hal yang diartikan sebagai usaha untuk memajukan kehidupan masyarakat dan warganya. Seringkali, kemajuan yang dimaksud terutama adalah kemajuan material. Maka, pembangunan sering diartikan sebagai kemajuan yang dicapai oleh sebuah masyarakat dibidang ekonomi.19 Dari beberapa studi kepustakaan, masalah sentral dalam studi mengenai pembangunan sepertinya berkutat pada persoalan ekonomi. Problematika seperti meningkatkan tingkat produktifitas bekerja suatu negara, meletakkan dasar-dasar ekonomi agar bisa bersaing di pasar internasional hingga yang paling mendasar seperti bagaimana bertahan hidup.
18
Syamsiah Badruddin, “Teori dan Indikator Pembangunan,” artikel diakses pada 21 Februari 2011 dari http://profsyamsiah.wordpress.com/2009/03/19/pengertian-pembangunan/. 19
(31)
Pembangunan dapat dilihat dari dua macam, pertama adalah pembangunan materiil, yaitu pembangunan berorientasi ekonomi yaitu mengenai apa yang mau dihasilkan dan dibagi. Kedua, pembangunan spiritual, yaitu pembangunan yang mentendensikan kualitas dari manusia-manusia di dalam masyarakat tersebut.20 Tetapi kemudian pembangunan seringkali meminggirkan permasalahan sumber daya manusia, karena manusia masih dianggap sebagai faktor pendukung produksi untuk meningkatkan produksi. Oleh karena itu masalah yang kurang dipersoalkan adalah bagaimana menciptakan kondisi lingkungan, baik lingkungan politik maupun lingkungan budaya, yang mendorong lahirnya manusia kreatif yang berorientasi bagaimana potensi nilai-nilai individu yang ada dimasyarakat dimaksimalkan untuk menunjang proses pembangunan, contohnya pendidikan. Dalam mengusung pembangunan, dua aspek inilah yang semestinya di dorong agar terjadi balance antara pembangunan materi yang menekankan pada pembangunan berorientasi fisik seperti sarana dan gedung pusat pelayanan publik dengan skill individu yang menyeimbangi kemajuan teknologi tersebut. Banyak teoritisi menekankan bahwa pembangunan itu harus berorientasi ekonomi, karena masalah internal seperti ini harus diperbaiki terlebih dahulu sehingga ketika sistem perekonomian modern mulai 4terwujud maka persoalan seperti pendidikan, kesejahteraan, politik dan sebagainya akan mengekor dengan sendirinya. Stabilitas masyarakat akan tetap terjaga selama pondasi internal berkembang sesuai dengan arahnya. Hal tersebut mirip dengan bangunan pemikiran sosiolog klasik Karl Marx yang menyatakan bahwa ekonomi sebagai pondasi bagi
20
Arief Budiman, Kebebasan, Negara, Pembangunan: Kumpulan Tulisan 1965-2005 (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2006), h. 25.
(32)
suprastruktur seperti pendidikan, politik, hukum dan lain-lain.21 Ironisnya ide ekonomi sebagai pondasi, sepertinya dipahami bahwa ekonomi diatas segala-galanya sehingga kerap kali melupakan asas sosial budaya.
2. Strategi Pembangunan Ala Rostow
Dalam bukunya yang berjudul, The Stages of Economic Growth, A Non-Communist Manifesto, W.W. Rostow mencoba memformulasikan tahapan pembangunan dalam sebuah masyarakat. Untuk mencapai sebuah pembangunan yang mumpuni ia membagi pembangunan menjadi lima tahap, yaitu:
1. Masyarakat Tradisional
Pada masyarakat ini ilmu pengetahuan masih belum banyak dikuasai. Karena masyarakat masih diliputi oleh mitos dan kepercayaan-kepercayaan lokal. Manusia masih dikuasai oleh alam sehingga produksi masih sangat terbatas. Kemajuan berjalan lambat dan pola produksi masih dipakai untuk konsumsi pribadi.
2. Prakondisi untuk Lepas Landas
Fase ini berawal dengan adanya factor eksternal yaitu campur tangan dari masyarakat yang sudah lebih maju. Dampak dari ekspansi luar menyadarkan masyarakat sedikit demi sedikit, seperti mulai meningkatnya ketertarikan terhadap peningkatan tabungan, investasi pada sektor-sektor produktif yang menguntungkan, seperti pendidikan.
21
(33)
Investasi ini tidak hanya dilakukan oleh negara tapi juga perorangan sehingga terbentuk peningkatan produksi yang semakin melaju.
3. Lepas Landas
Tahapan ini ditandai dengan mulai berkembangnya industri-industri baru dengan sangat pesat. Keuntungan sebagian besar diinvestasikan kembali ke pabrik yang baru. Sektor perekonomian modern pun mulai berkembang. Di sektor pertanian, teknik-teknik baru juga tumbuh seiring masuknya teknologi yang kemudian menjadikan pertanian sebagai usaha komersial untuk mencari keuntungan, dan tidak lagi sekedar konsumsi pribadi.
4. Bergerak ke Kematangan Ekonomi
Industri berkembang pesat seiring pertumbuhan penduduk, negara pun memantapkan posisinya dalam perekonomian global. Laju lalu lintas barang ke dalam dan keluar pun menjadi rutinitas perdagangan nasional. Produksi tidak terbatas pada pemenuhan barang konsumtif tetapi juga barang modal. Impor menjadi sebuah kebutuhan baru. 5. Jaman Konsumsi Massal yang Tinggi
Akibat naiknya pendapat masyarakat dalam perekonomian, konsumsi tidak lagi terbatas pada kebutuhan pokok, tetapi meningkat ke kebutuhan yang lebih tinggi. Pada fase terakhir ini, investasi tidak lagi menjadi tujuan yang paling utama. Karena ketika taraf kedewasaan dicapai maka terjadi surplus ekonomi akibat stabilitas.22
22
(34)
Syamsyiah Badrudin dalam sebuah tulisan mengatakan bahwa merumuskan pembangunan melalui kebijakan ekonomi dalam banyak hal membuktikan keberhasilan.23 Dikatakan berhasil ketika beberapa faktor berikut sangat dipertimbangkan yaitu seperti kebijakan ekonomi di negara-negara tersebut yang umumnya dirumuskan secara konsepsional dengan melibatkan pertimbangan dari aspek sosial lingkungan serta didukung mekanisme politik yang bertanggung jawab sehingga setiap kebijakan ekonomi dapat diuraikan kembali secara transparan, adil dan memenuhi kaidah-kaidah perencanaan.24 Dalam aspek sosial, bukan saja aspirasi masyarakat ikut dipertimbangkan tetapi juga keberadaan lembaga-lembaga sosial (social capital) juga ikut dipelihara bahkan fungsinya ditingkatkan. Sementara dalam aspek lingkungan, aspek fungsi kelestarian natural capital juga sangat diperhatikan demi kepentingan umat manusia. Dari semua itu, yang terpenting pengambilan keputusan juga berjalan sangat bersih dari beragam perilaku lobi yang bernuansa kekurangan (moral hazard) yang dipenuhi kepentingan tertentu (vested interest) dari keuntungan semata (rent seeking).25
Pada akhirnya seringkali terdapat statement bahwa pembangunan merupakan suatu proses yang dapat bergerak maju atas kekuatan sendiri (self sustaining process) tergantung kepada manusia dan struktrur sosialnya, sehingga pembangunan bukan hanya yang dikonsepsikan sebagai usaha pemerintah belaka.26 Hal ini tak sepenuhnya benar, karena dalam proses pembangunan
23
Syamsiah Badruddin, “Teori dan Indikator Pembangunan,”
24Syamsiah Badruddin, “Teori dan Indikator Pembangunan.” 25
Syamsiah Badruddin, “Teori dan Indikator Pembangunan.” 26
H. Bintoro Tjokromidjojo dan Mustopadidjaja A.R., Teori & Strategi Pembangunan Nasional (Jakarta: CV. Haji Masagung, 1990), h. 1.
(35)
terdapat stakeholder yang saling berkaitan yaitu, Negara, Pasar (pengusaha), dan Masyarakat. Dalam pengelolaan negara, Indonesia telah bertekad berpijak pada asas keadilan sosial sebagai tujuan akhir dari pembangunan. Semua strategi dan kebijakan serta pelaksanaan pembangunan dipilih untuk kemaslahatan bersama, keseimbangan antara si kaya dan si miskin yang kemudian harus selalu di perkecil untuk menghindari ketidakadilan. Hal ini bukan tanpa dasar bahwa keadilan sosial sebagai syarat utama sebuah pembangunan harus dihadapkan dengan realitas masyarakat Indonesia yang dihuni oleh berbagai macam kultur, adat, agama dan etnis yang beragam sehingga tanpa adanya tali keadilan niscaya keragaman tersebut mudah menyulut keretakan.27
B. Pasar Tradisional
1. Pengertian, manfaat dan fungsi
Dalam arti yang luas, pasar merupakan sebuah bentuk transaksi jual beli yang melibatkan keberadaan produk barang atau jasa dengan alat tukar berupa uang atau alat tukar lainnya sebagai alat transaksi pembayaran yang sah dan disetujui oleh kedua belah pihak. 28 Menurut Clifford Geertz pasar tradisional merupakan suatu lembaga ekonomi dan suatu cara hidup, suatu bentuk umum kegiatan perdagangan yang mencakup semua segi kehidupan masyarakat disamping merupakan suatu alam kebudayaan masyarakat yang hamper-hampir
27
Ahmad Erani Yustika, Negara Vs. Kaum Miskin, h. 3. 28
Harry Waluyo, Pasar Tradisional Sebagao Daya Tarik Wisata Belanja (Jakarta: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia, 2006), h, 4.
(36)
saja merupakan suatu kebulatan yang lengkap.29 Pasar tersebut merupakan latarbelakang kongkrit bagi segala bentuk kegiatan, suatu lingkungan hidup yang dalam pandangannya bersifat alamiah disamping bersifat kultural yang seluruh kehidupan dibentuk olehnya. Ada beberapa point of view yang kita dapat gunakan untuk menganalisa sebuah pasar dengan segala proses kegiatan didalamnya, Geertz menyatakan, untuk dapat memahami pasar dalam bentuknya yang luas, kita harus melihat dari tiga sudut pandang.
Sudut pandang pertama, yaitu sebagai suatu pola aliran barang dagang dan jasa. Salah satu ciri pasar yang menonjol adalah jenis barang yang diperjualbelikan tidak besar, mudah dibawa, bahan pangan yang mudah disimpan, tekstil, barang pecah belah kecil dan sejenisnya. Kedua, sebagai sebuah suatu kumpulan mekanisme ekonomi yang mempertahankan dan mengatur aliran-aliran barang dan jasa, yaitu menjaga ciri khas sistem tawar-menawar dalam setiap transaksi, apapun barangnya meskipun ukurannya kecil, lakunya sangat cepat. Barang-barang mengalir sangat cepat di jalur pasar dan melalui transaksi kecil yang banyak. Aliran barang tersebut tidak bersifat langsung, namun cenderung berputar-putar dari satu pedangang ke pedagang lain untuk waktu yang cukup lama. Dan yang ketiga, sebagai sebuah sistem sosial dan kultural di dalam mana mekanisme tersebut berada. Pasar bukan sekedar sarana distribusi yang sederhana, tetapi juga sebagai tempat memproduksi barang yang diperlukan. Karena pada
29
Taufik Abdulllah, ed., Agama, Etos Kerja dan Perkembangan EkonomI (Jakarta: LP3ES, 1982), h. 161.
(37)
umumnya barang yang diperdagangkan dalam pasar diolah dan dibuat di dalam pasar juga.30
Sebagai sekumpulan mekanisme ekonomi yang memelihara dan mengatur aliran barang dan jasa, ada beberapa hal penting yang menurut Geertz harus diperhatikan yaitu: suatu sistem harga bergeser, suatu neraca kredit yang kompleks yang dikelola secara hati-hati dan terbaginya resiko dari laba.31 Hal yang disebutkan tersebut merupakan beberapa ciri yang terjadi di dalam mekanisme penjualan barang dan jasa di pasar tradisional. Ketiga hal itu tidak dapat dipisahkan dari peran pedagang pasar sebagai pelakunya. Pedagang-pedagang pasar adalah individu-individualis dalam pengertian bahwa mereka bekerja sendiri-sendiri lepas dari organisasi ekonomi, mengambil keputusan sama sekali atas dasar apa yang menurut pandangan mereka adalah kepentingan mereka sendiri.32
Hubungan antara pedagang pasar adalah hubungan sosial yang sangat spesifik yaitu hubungan perdagangan yang dipisahkan secara berhati-hati dari relasi kemasyarakatan umum.33 Persahabatan, hubungan tetangga dan bahkan hubungan kekerabatan adalah suatu hal, sedangkan perdagangan adalah hal yang lain. Tawar-menawar, hutang piutang dan persekutuan dagang umumnya bebeas dari kekangan norma yang batasannya samar-samar. Jadi, ekonomi pasar tradisional itu diatur oleh kebiasaan-kebiasaan tetap yang diperkuat oleh
30
Abdulllah, Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi, h. 161. 31
Abdulllah, Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi, h. 162. 32
Abdulllah, Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi, h. 164. 33
(38)
penggunaan terus menerus selama berabad-abad. Apa yang tak dipunyai oleh ekonomi pasar tradisional bukan ruang gerak tetapi organisasi, bukan kebebasan tetapi bentuk.34
C. Resistensi
1. Pengertian
Tema mengenai resistensi atau perlawanan menjadi sesuatu yang menarik bagi para ilmuwan sosial. Di akhir tahun 1980-an, resistensi menjadi trend dalam menelaah kasus-kasus yang mudah diamati serta bersifat empiris. Bagi para peneliti sosial, resistensi dianggap berciri kultural, sebab ia muncul melalui ekspresi serta tindakan keseharian masyarakat. Analisa resistensi sendiri terhadap suatu fenomena banyak melihat hal-hal yang ada dalam keseharian masyarakat baik berupa kisah-kisah, tema pembicaraan, umpatan, serta puji-pujian dan perilaku lainnya sehingga resistensi menjadi gayung bersambut dalam keilmuan sosial.35
Sebagian orang berpendapat isu mengenai resistensi sendiri mencuat sejak tahun 1960-an dimana saat itu mulai banyak otokritik terhadap ilmu-ilmu sosial yang dianggap menganut paradima positivistik yang kerap mereduksi makna manusia menjadi sekumpulan angka-angka dan kehilangan semangat untuk perubahan. Situasi sejarah saaat 1960-an adalah ketika tengah berjayanya rezim
34
Abdulllah, Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi, h. 166. 35
Yusran Darmawan, “Resistensi dalam Kajian Antropologi,”artikel diakses pada 27 April 2011 dari http://timurangin.blogspot.com/2009/08/resistensi-dalam-kajian-antropologi.html.
(39)
totaliter seperti Hitler di Jerman, Mussoulini di Italia serta berbagai rezim lainnya di Afrika. Kondisi seperti ini seperti menjadi ancaman bagi kelangsungan memproduksi metode ilmu sosial sebab harus memproduksi suatu pengetahuan yang menguntungkan satu rezim. Pada saat inilah muncul ilmu sosial kritis yang tidak hanya mengkritik pada tataran ideologi namun juga mengkritik konfigurasi sistem sosial yang represif.36
Dalam khazanah antropologi, benih-benih kritik internal atau refleksi yang dapat dilihat sebagai upaya resistensi telah muncul terhadap arus besar keilmuan antropologi saat itu. Kritis tersebut mencuat ketika Talal Asad mengeluarkan buku berjudul Anthropology as Colonial Encounter. Ia melihat bahwa realitas kebanyakan antropolog masih terharu-biru oleh imajinasi para penjelajah Eropa yang terobsesi menemukan masyarakat primitif untuk dianalisa dan ditekuk dalam satu kategori.37 Imaji tentang penaklukan, kekuasaan, serta menemukan masyarakat primitif dan eksotik telah membimbing antropolog pada bentuk etnografi. Poin yang dipetik dari Talal Asad adalah mereka para antropolog (ilmuwan sosial) masih terbelenggu dalam dikotomi masyarakat primitif dan modern sehingga seakan-akan terdapat sebuah ego bahwa primitif itu adalah barbar dan tak berperadaban.
Berbeda dengan penelitian ilmuwan sosial sebelumnya yang masih cenderung untuk menemukan primitifnya suatu sistem sosial di sebuah masyarakat atau kelompok, Lila Abu-Lughod mencoba menggambarkan dalam
36
Yusran Darmawan, “Resistensi dalam Kajian Antropologi.” 37
(40)
penelitiannya mengenai resistensi perempuan di sebuah komunitas Bedouin, Gurun Mesir Barat. Penelitian yang bertujuan mendeskripsikan bagaimana kaum yang sering disisihkan (perempuan) melakukan perlawanan terhadap struktur yang ada. Lila mencoba mengangkat bagaimana strategi dan bentuk perlawanan perempuan di dalam sebuah struktur budaya yang mengekang hak-hak kaum perempuan.
Lila Abu-Lughod mengungkapkan dalam sebuah tulisannya mengenai resistensi sebagai berikut.
“…resistance is, I would argue, a growing disaffection with ways we have understood power, and the most interesting thing to emerge from this work on resistance is a greater sense of the complexity of the nature and forms of domination.”38
(...perlawanan, saya berpendapat, sebuah ketidakpuasan yang berkembang dengan cara-cara kita memahami kekuatan, dan hal paling menarik yang muncul dari ini bekerja pada resistensi adalah rasa yang lebih besar dari kompleksitas sifat dan bentuk-bentuk dominasi).
Dari beberapa fakta yang didapatkannya mengenai bentuk perlawanan perempuan terhadap kuasa laki-laki dalam struktur sosial, ia mengungkapkan bahwa sesungguhnya untuk mempelajari hal tersebut diperlukan interpretasi dalam memotret fenomena sehingga akan membawa kita pada berbagai bentuk relasi di dalam sebuah struktur komunitas yang saling bertalian. Lila juga menganjurkan resistensi sebagai sebuah strategi untuk menganalisa kuasa (resistance as a diagnostic of power). Hal tersebut ia dapat setelah terinspirasi
38
Lila Abu-Lughod, “The Romance of Resistance: Tracing Transformation of Power Through Bedouin Women,” artikel diakses pada 17 Juni 2011 dari http://www.jstor.org/pss/645251
(41)
dari tulisan Foucault, sesungguhnya dimana ada kekuasaan disitu terdapat resistensi (where there is power, there is resistance).39
Di kalangan ilmuwan sosial, resistensi terkadang dimaksudkan dalam paradigma konflik, padahal keduanya memiliki bentuk yang berbeda. Lazimnya resistensi menjadi titik tengah dari dinamika teori konflik Marxian dan teori konflik Non-Marxian. Jika konflik masih berkutat pada frame teoritis dalam melihat realitas, maka resistensi menekankan pada aspek empiris serta melakukan sensitizing atau dialog secara kreatif terhadap realitas sosial.40 Inilah yang kemudian menjadi titik tengah atau jalan keluar dari kecenderungan teori konflik yang lebih melihat persoalan dari atas sehingga sarat dengan adanya generalisasi. Berdasarkan hal tersebut maka resistensi lebih menekankan pada aspek manusia yang kemudian hal ini selaras dengan lahirnya studi etnografi baru (new ethnography) yang telah mengalami pergeseran memandang manusia yaitu dari obyek ke subyek.41 Antropolog Cliffort Geerrtz sendiri mengatakan bahwa antropolog tampaknya harus berada di tengah-tengah karena posisinya yang tidak melulu pemikiran teori, melainkan lapangan empiris yang langsung bersumber dari warga masyarakat yang nyata.42 Hal ini terlihat bagaimana ia melakukan metode etnografi dalam melakukan studi atas Islam di Mojokuto, Geerzt melakukan partisipasi lapangan dalam kehidupan bermasyarakat di Jawa, ikut
39
Lila Abu-Lughod, “The Romance of Resistance: Tracing Transformation of Power Through
Bedouin Women.” 40
Yusran Darmawan, “Resistensi dalam Kajian Antropologi.” 41
Yusran Darmawan, “Resistensi dalam Kajian Antropologi.” 42
(42)
merasa, sehingga dapat menggambarkan bagaimana sistem sosial hadir dalam keseharian masyarakat.
Sejarah resistensi memang bermula pada khazanah antropologi karena memang gagasan tersebut berada pada posisi di tengah-tengah antara pemikiran Marxisme dalam antropologi dan pemikiran antropologi simbolik yang lebih berorientasi pada kebudayaan atau yang memiliki sensitivitas budaya. Dalam keilmuan sosiologi sepertinya bermula ketika terjadi kritik internal oleh mazhab Frankfurt Jerman, sosiologi dikritik karena saintisme-nya, karena menjadikan metode ilmiah sebagai tujuan itu sendiri, selain itu sosiologi juga dituduh melanggengkan status quo sehingga keilmuan ini tidak mampu menyumbangkan hal-hal bermakna bagi perubahan politik yang dapat melahirkan “masyarakat yang adil dan manusiawi”.43
Resistensi bermaksud melakukan rekonsiliasi dari dua kutub pemikiran antropologi. Jika jalan tengah ini diterima, maka isu materi yang ada pada kajian Marx bisa tercermin dalam kajian antropologi yang menganalisis berbagai peristiwa lokalitas.
2. Bentuk Resistensi
James Scott dalam studinya Weapons of the Weak: Everyday Forms of Peasant Resistance tentang resistensi petani di Malaysia.44 Menurutnya selama ini telah banyak bermunculan literatur mengenai bentuk-bentuk resistensi yang dipakai oleh petani. Terlebih pada bentuk perlawanan diantara kelompok sosial
43
George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2009), h. 303. 44
John Martinussen, Society, State and Market: A guide to competing theories of development (London & New York: Zed Books Ltd, 1999), h. 316.
(43)
dalam civil society. Berbeda dengan sebelumnya, Scott mencoba mengobservasi serta mendeskripsikan tentang merasakan serta tingkahlaku masyarakat miskin di perkampungan Malaysia yang menjadi sebuah kerangka sosial kehidupan mereka dalam melakukan kegiatan perlawanan. Scott membuat tiga level perbedaan atas resistensi:
a. Ketika tingkat ekonomi makro dan proses perpolitikan diberikan kepada petani namun hal tersebut jauh dari kerangka sosial yang diharapkan oleh para petani.
b. Intervensi pemerintah yang kurang melakukan observasi terhadap norma dalam kehidupan masyarakat sekitar.
c. Dan yang terakhir, terdiri dari peristiwa lokal dan kondisi perasaan serta pengalaman dari masing-masing individu.45
Scott mendokumentasikan kehidupan sehari-hari warga dan sejarah mereka, dan menunjukkan bagaimana mereka melakukan perlawanan dari campur tangan negara dan agen perusahaan ekonomi. Bentuk-bentuk perlawanan mereka yaitu teknik rendah diri (low-profile techniques), sebagian bersembunyi dan menghindar, mengidentifikasikan diri dengan menyeret kaki mereka (foot-dragging evasions) dan pasif, daripada penolakan terbuka atau perlawanan terbuka (open rejection or struggle).46 Meski menurut Scott bentuk-bentuk perlawanan tersebut kurang efektif, tetapi karena ada satu alasan bagi mereka
45
John Martinussen, Society, State and Market: A guide to competing theories of development, h. 316.
46
John Martinussen, Society, State and Market: A guide to competing theories of development, h. 317.
(44)
melakukannya yaitu mereka tidak ingin tergabung kedalam pola produksi kapitalis dan terjebak pada relasi kelas.
Resistensi dalam studi James Scott yaitu fokus pada bentuk-bentuk perlawanan yang sebenarnya ada dan terjadi disekitar kita dalam kehidupan sehari-hari, ia menggambarkan dengan jelas bagaimana bentuk perlawanan kaum minoritas lemah. Mereka yang tidak punya kekuatan dalam melakukan penolakan terbuka ternyata mempunyai cara lain dalam menghindari intervensi dari negara dan perusahaan. Menurut Scott terdapat beberapa bentuk resistensi yaitu:
a. Resistensi tertutup (simbolis atau ideologis) yaitu gossip, fitnah, penolakan terhadap kategori-kategori yang dipaksakan kepada masyarakat, serta penarikan kembali rasa hormat kepada pihak penguasa.
b. Resistensi semi-terbuka (protes sosial atau demostrasi)
c. Resistensi terbuka, merupakan bentuk resistensi yang terorganisasi, sistematis dan berprinsip. Manifestasi yang digunakan dalam resistensi adalah cara-cara kekerasan (violent) seperti pemberontakan.47
Pada akhirnya pendekatan terhadap penelitian level lokal dan bentuk-bentuknya mungkin dapat bernilai dalam memahami dinamika pembangunan. Perlawanan sehari-hari dan bentuknya merupakan gejala yang terjadi disekitar kita, yang kadang sering terlupa bahwa perlawanan atau penolakan akan suatu hal tidak harus terbuka, karena memang secara tidar sadar kita melakukan perlawanan secara diam-diam (tak terbuka).
47
Andi Suriadi, “Resistensi Masyarakat Dalam Pembangunan Infrastruktur Perdesaan,”
(45)
A. Sejarah Sumber Arta
Sumber Arta merupakan pasar yang terbentuk dari kegiatan ekonomi sekelompok warga yang mencoba menjual hasil dari kebun pribadi, toko kelontong, hingga warung makan dalam skala kecil di Kampung Cibening pada tahun 1950-an.46 Kegiatan tersebut semakin mantab dilakukan warga saat dimulainya proyek besar pembangunan sungai buatan Kalimalang di tahun 1956.47 Pembuatan sungai buatan yang dimulai era presiden Soekarno itu, bermaksud untuk membantu pengairan sawah dan minum untuk daerah Jakarta yang kekurangan air. Setelah proyek Kalimalang selesai berefek pada berdatangannya warga dari luar daerah untuk ikut serta dalam proses perdagangan di Kampung Cibening.
Awalnya kemunculan lokasi berjualan berada di sepanjang bagian Barat kampung Cibening yang berbatasan dengan Kelurahan Pondok Kelapa, Jakarta Timur. Konsentrasi pedagang yang paling banyak sebenarnya berada di bagian Selatan yang disebut dengan daerah Kincan yang kemudian harus ikut bergabung dengan pedagang di bagian Utara akibat proyek Kalimalang. Semenjak perpindahan pedagang dari bagian selatan tersebut, kemudian menjadi kumpulan
46
Wawancara Pribadi dengan HS, Bekasi, 23 Februari 2011. 47
(46)
pedagang yang tidak pisah karena sekarang berada disatu lokasi. Kondisi inilah yang kemudian menjadi cikal bakal Pasar Sumber Arta.
Perpindahan beberapa pedagang dari bagian selatan ke utara telah membentuk sebuah sistem sosial yang baru karena menurut salah satu mantan pedagang yang kini telah digantikan anaknya, para pedagang merasakan keharusan membentuk sebuah pasar. Hal itu masih berada pada tataran kultural karena mereka belum mampu untuk mengkoordinasikan untuk membentuk pasar seutuhnya. Maksudnya adalah membangun bentuk fisik, disebabkan lahan yang mereka tempati merupakan hak milik Entong Kukuh yang sebelumnya telah dibeli dari Kuncoro yang sama-sama merupakan tuan tanah keturunan etnis TiongHoa. Disaat kepemilikan Kuncoro, bagian utara Kampung Cibening dibeli untuk dibangun perumahan kavling namun beralih kepemilikan kepada Entong Kukuh. Ia belum mempunyai rencana membangun sesuatu di area seluas +/- 2 hektar karena itu ia membiarkan kegiatan perdagangan yang sudah berjalan dengan membangun fisik pasar bagi masyarakat yang berjualan.48
Tidak cukup berhenti membangun fisik pasar, Pak Entong (panggilan warga terhadapnya) juga membangun terminal kecil lengkap dengan mobil transportasi, membuka jalan dan mengaspalnya. Hal ini di kemudian hari diteruskan oleh Pemerintah Kabupaten Bekasi untuk ditindaklanjuti seperti diresmikannya trayek Sumber Arta - Pondok Kopi dan peresmian terminal Sumber Arta. Hingga sekarang semua yang dibangun masih bisa dilihat bentuk fisiknya kecuali pasar yang sudah digusur.
48
(47)
Sebagai pusat perdagangan tradisional bagi masyarakat sekitar, Sumber Arta telah tiga kali mengalami perubahan fungsi.49 Pertama, Kuncoro sebagai pemilik pertama lahan berencana untuk membangun kavling perumahan. Kedua, setelah beralih kepemilikan kavling yang tidak jadi dibangun difungsikan menjadi pasar tradisional serta menjadi misbar (gerimis bubar).50 Ketiga, dibangun bangunan fisik guna memudahkan, menata serta memfungsikan seutuhnya menjadi pasar tradisional. Nama Sumber Arta sendiri diberikan oleh Entong Kukuh sebagai pemilik yang selanjutnya diresmikan oleh Bupati Bekasi pada tahun 1988. Peresmian tersebut menandakan bahwa pasar telah resmi diakui sebagai pasar tradisional warga Bekasi.
49
Wawancara Pribadi dengan informan HS. Bekasi, 23 Februari 2011. 50
Menurut warga sekitar misbar adalah sebutan tempat bagi masyarakat untuk menonton film dengan biaya yang murah. Misbar adalah tempat luas dengan layar putih dimana film dipantulkan ke layar dari roll yang diputar oleh manusia dengan proyektor manual. Misbar merupakan cikal bakal tontonan bioskop modern.
(48)
Sumber: Google Maps, Agustus 2011
Keterangan Gambar: A: Penampungan Sementara/ Pasar yang sekarang
B: Apartemen
(49)
Struktur diatas tidak baku kecuali pemilik, maksudnya adalah tidak terdapat struktur yang sistematis seperti perusahaan pada umumnya. Menurut KS, salah satu pegawai pengelola pasar, karena Sumber Arta merupakan pasar pribadi di bawah naungan PT. Sempurna Abadi Dinamika milik Pak Entong.51
B. Kondisi Sosial Kampung Cibening
Pasar Sumber Arta berdiri dilingkungan kampung Cibening tepatnya di jalan KH. Noer Ali RT 05 RW 03 kelurahan Bintara Jaya kecamatan Bekasi Barat. Pasar sendiri berada di bagian selatan kelurahan Bintara Jaya, menurut tokoh masyarakat setempat Kampung Cibening itu lebih luas dari Kelurahan Bintara Jaya. Kelurahan Bintara Jaya mempunyai luas wilayah 234,168 ha (dua ratus tiga puluh empat koma seratus enam puluh delapan hektar are) dengan batas wilayah sebagai berikut.52
1. Utara : Berbatasan dengan Kelurahan Bintara Kecamatan Bekasi Barat. 2. Selatan : Berbatasan dengan Kelurahan Jatibening Kecamatan Pondok
Gede.
3. Timur : Berbatasan dengan Kelurahan Jakasampurna Kecamatan Bekasi Barat.
4. Barat : Berbatasan dengan Kelurahan Pondok Kelapa dan Kelurahan Pondok Kopi – Jakarta Timur.
51
Wawancara pribadi dengan informan K, Bekasi, 17 Juni 2011. 52
(50)
Kemudian, untuk jumlah pemeluk beragama di kampung Cibening berdasarkan jumlah penduduk adalah sebagai berikut.
1. Islam : 31.471 jiwa
2. Kristen Protestan : 1.236 jiwa 3. Kisten Katholik : 927 jiwa
4. Hindu : 256 jiwa
5. Budha : 90 jiwa
Berdasarkan data yang didapat dari Kelurahan Bintara Jaya, terdapat gambaran bahwa mengapa begitu banyak masyarakat yang berdagang di kampung Cibening. Berikut adalah data jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan dan mata pencaharian.53
Berdasarkan Tingkat Pendidikan
53
(51)
Berdasarkan Mata Pencaharian
C. Kondisi Ekonomi
Struktur ekonomi masyarakat di kampung Cibening pada umumnya bergerak di sektor jasa perdagangan dan industri kecil. Perekonomian ini didukung oleh Usaha Menengah Kecil (UKM) yang berjumlah sembilan yang antara lain yaitu:54
54
(52)
Berdasarkan data diatas dapat disimpulkan bahwa pergerakan sektor ekonomi kampung Cibening sebenarnya terletak pada sektor informal. Hal ini diperkuat bila dilihat tingkat pendidikan dan mata pencaharian.
Sumber Arta sebagai sebuah pelampung gejolak sosial pengangguran di kampung Cibening juga mempunyai peran besar dalam menyerap pengangguran. Seorang pedagang mengungkapkan salah satu alasan mengapa dirinya berjualan adalah ketidakinginannya untuk menganggur, maka pedagang tersebut memutuskan untuk berjualan. Disamping alasan keengganan untuk menganggur, faktor lainnya adalah pendidikan yang tergolong rendah, yaitu lulusan SMP. Di kampung Cibening terdapat 8.772 orang yang lulus sampai SMP saja selebihnya memilih bergerak di sektor informal. Pedagang pasar Sumber Arta terdiri dari berbagai macam etnis, suku dan agama. Dalam sebuah wawancara P menuturkan.
“Para pedagang tersebut banyak yang datang dari luar daerah, rata-rata dari
mereka datang ke sini karena mengikuti saudara mereka yang telah dulu berjualan disini dan ada juga yang memang sudah turun temurun” 55
Berdasarkan wawancara dan observasi para pedagang rata-rata mengontrak rumah petakan di belakang pasar, meski ada juga yang sudah mempunyai rumah sendiri. Sebut saja UK seorang bos daging yang berdagang di pasar semenjak tahun 90-an yang kini telah mempunyai rumah pribadi dan memiliki 8 orang anak buah yang semuanya berjualan daging. Menurutnya mengapa mereka berjualan, alasannya adalah perekonomian keluarga yang tidak mendukung untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi agar dapat mencari pekerjaan.
55
(53)
“Sekarang sih udah enak, masuk SD dan SMP tidak bayar, coba dulu, boro-boro buat sekolah, buat makan sehari aja nemu, udah bersyukur”56
Dari wawancara tersebut, masalah yang sering diutarakan bila berkaitan dengan alasan berdagang adalah penghasilan ekonomi yang rendah berdampak pada pendidikan. Maka dari itu banyak masyarakat yang berpendidikan rendah serta perekonomiannya dibawah rata-rata memasuki sektor informal dikarenakan kurang terserapnya tenaga produktif yang berurbanisasi dari desa ke kota. Begitupun penghasilan pedagang yang diwawancarai oleh peneliti, P seorang penjual buah yang dahulu mempunyai kios kini tidak lagi menuturkan.
“Kalo masalah modal, kita itung-itungannya perhari, karena sekarang
disesuaikan kondisi. Pendapatan yang sekarang mah berkurang drastis, palingan 250 ribu. Itu belum dihitung ongkos lain-lain yang gak keliatan. Jadi kalo perhitungan saya,
sebulan kadang dapat dikit keuntungan kadang enggak”57
Percakapan diatas tidak jauh berbeda dengan percakapan dengan pedagang lainnya, karena akibat penggusuran yang telah terjadi cukup membuat penurunan drastis pendapatan para pedagang. Faktanya banyak dari kios pedagang disewakan untuk gudang pakaian, obat dan sebagainya. Sedangkan para pemiliknya berdagang ditempat lain, karena kecewa dengan kondisi pasar.
56
Wawancara Pribadi dengan informan UK, Bekasi, 5 Maret 2011. 57
(54)
A. Resistensi Pedagang Pasar Sumber Arta
Resistensi tidak selalu terlihat, karena implementasi dari resistensi itu sendiri berbeda-beda. Ada yang hanya sekedar “tidak ikut”, apatis, sampai pada aksi “perlawanan”, tergantung dari kadar perubahan maupun kekuatan individu/komunitas yang resisten. Kadar perubahan itulah yang akan menentukan sikap perlawanan yang akan tercipta, bagaimana strategi melawan tersebut dilakukan serta seperti apa bentuknya.
Fenomena pembangunan apartemen dan penggusuran Pasar Sumber Arta di Kampung Cibening merupakan perubahan besar bagi pedagang. Apartemen yang memperoleh izin dari Walikota Bekasi kini terhenti prosesnya seiring waktu. Menurut salah satu pekerja pengelola pasar, proses terhenti disebabkan Walikota Bekasi Moechtar Mohammad terjerat kasus korupsi sehingga berimbas pada proses penyelesaian apartemen. Transaksi pembelian apartemen juga terhenti karena belum jelasnya status Pasar Sumber Arta, apakah ditiadakan atau direlokasi kembali dari penampungan sementara.
Pemerintah Kota Bekasi sebagai stakeholder yang mempunyai wewenang dalam merencanakan pembangunan tata ruang kota ternyata baru memiliki
(55)
masterplan di tahun 2011 ini.57Masterplan sebagai sebuah cetak biru bagi sebuah kota merupakan hal yang vital mengingat akan menentukan arah perkembangan kota tersebut. Perencanaan yang strategis untuk membangun sebuah tata ruang kota juga menjadi aspek penting, misalnya aspek sejarah, ekonomi dan sosial-budaya.58 Maka diperlukan sebuah kerangka membangun yang mempunyai relasi fungsional misalnya pembangunan apartemen di Kampung Cibening seharusnya tidak sampai mengganggu keberadaan lingkungan sekitar yaitu Pasar Sumber Arta. Namun kenyataan di lapangan mengungkapkan terjadinya penggusuran hingga ketidakjelasan status pasar tradisional tersebut. Terkait dengan pembangunan apartemen di tengah lokasi Pasar Sumber Arta, dapat dikatakan bahwa pembangunan apartemen berada diluar rencana masterplan Kota Bekasi. Hal ini diperkuat dengan kurangnya sikap proaktif dari wakil rakyat daerah Bekasi dalam mengawasi pembangunan apartemen.
Bila dilihat dari analisa budaya, apartemen merupakan salah satu jawaban alternatif bagi masyarakat yang tingkat mobilitasnya tinggi. Masyarakat bermobilitas tinggi biasanya identik dengan masyarakat perkotaan dimana segala akses dan mobilitas diutamakan. Maka seharusnya apartemen lebih cocok berada di tengah kota bukan dipinggiran kota seperti di Kampung Cibening. Selain itu fakta bahwa terdapat pasar tradisional masyarakat yang digusur demi kepentingan pembangunan apartemen merupakan bukti konkrit bahwa Pemerintah Kota Bekasi lamban dalam mengatasi gejolak sosial seperti ini.
57
Teguh setiawan, “Kota Bekasi Masih Tunggu Masterplan,” artikel diakses pada 19 September 2011 darihttp://bataviase.co.id/node/406468
58
Dony, “Konsep Pembangunan Kota,” artikel diakses pada 20 September 2011 dari http://kotabekasinews.blogspot.com/2009/12/konsep-pembangunan-kota.html
(56)
Kembali pada konteks fenomena Pasar Sumber Arta, sebelum melakukan proses penggusuran pihak pengelola telah melakukan sosialisasi terhadap pedagang dalam bentuk edaran yang ditempel di dinding-dinding kios hingga pertemuan diantara keduanya.59 Rentang waktu sosialisasi resmi dari pihak pengelola adalah satu bulan, sedangkan isu penggusuran telah didengar para pedagang sudah lama. Ini terjadi karena kedekatan beberapa sekuriti dengan para pedagang, karena rata-rata sekuriti adalah warga kampung Cibening yang bekerja di kantor Pasar Sumber Arta. Pada proses akhir diputuskan pasar tetap digusur dengan beberapa penggantian yang diajukan oleh pihak pengelola. Pertama, pedagang akan dibuatkan penampungan sementara untuk pengganti pasar lama. Sedangkan yang kedua, pihak pengelola berjanji akan membangun pasar baru dengan infrastruktur yang lebih bagus.
Perubahan sosial yang dialami pedagang pasar Sumber Arta menjadi sebuah inspirasi untuk melakukan gerak perlawanan. Penggusuran pasar seluas 2 hektar menjadi ± 1 hektar telah berganti dengan bangunan apartemen yang hingga tulisan ini ditulis belum selesai pengerjaannya. Kondisi penampungan yang tidak sesuai dengan harapan pun menambah rasa kecewa pedagang terhadap pengelola yang seakan kurang peduli dengan nasib mereka. Menurut AM, salah satu faktor penggusuran Pasar Sumber Arta adalah karena terjadi permainan kuasa oleh pemilik, yaitu dapat berdirinya apartemen di tengah pasar karena pemilik apartemen tersebut masih satu keluarga dengan Pak Entong.60
59
Wawancara Pribadi dengan informan, Bekasi, 21 Maret 2011. 60
(57)
Tiga tahun berlalu sejak penggusuran Agustus 2008, pedagang di penampungan sementara menanyakan janji pihak pengelola mengenai pembangunan pasar baru. Namun tidak ada penjelasan konkret yang didapat oleh pedagang, seperti yang dituturkan AD.
“Ketika kami bertanya mengenai kapan akan dibangun pasar baru, mereka hanya menjawab rencana pasar baru ini sedang dalam proses di pemerintah. Jika penggusuran pasar saja tidak melibatkan pemerintah, masa membangun melibatkan, ada yang aneh disini.”61
Fakta tentang penggusuran, kondisi penampungan sementara yang tidak sesuai harapan, serta pasar baru yang belum dibangun membuat kelompok lemah ini melakukan sikap resisten terhadap pengelola. Sikap serta tindakan ini kemudian terakumulasi dalam bentuk perlawanan yang sepertinya tidak kasat mata, James Scott menyebutnya everyday forms of resistance. Perlawanan sehari-hari yang cocok dilakukan oleh kelompok lemah untuk mengungkapkan ketidaksetujuan mereka terhadap penguasa yang dalam hal ini pengelola. Sumber Arta merupakan pasar dengan status kepemilikan pribadi, yang berdasarkan fakta tersebut mengharuskan pedagang mengikuti kebijakan pengelola. Kedudukan pedagang inilah yang menyebabkan pedagang Pasar Sumber Arta sebagai kelompok lemah. Salah satu contoh pedagang Pasar Sumber Arta dalam posisi lemah adalah ketika terjadi kasus kebakaran pada Mei 1997. Adalah BP seorang pedagang yang memiliki kios pakaian cukup besar menjadi korban, kemudian ia mencoba menuntut ganti rugi terhadap pengelola. Namun setelah mencoba berbagai cara mulai dari protes terhadap pengelola, bertemu dengan para tokoh masyarakat hingga sempat menemui pengacara, hasilnya tetap nihil karena pasar
61
(58)
tersebut adalah pasar dengan kepemilikan pribadi serta terdapat perjanjian yang lemah antara pedagang dengan pengelola.
“Ibarat perkataan, kita ini hanya menumpang tapi bayar, jadi segala resiko kita yang tanggung.”62
B. Bentuk-Bentuk Resistensi
1. Resistensi Tertutup
Merupakan resistensi yang dilakukan masyarakat, serta mengembalikan rasa hormat kepada pihak penguasa.63 Dalam kasus ini pengelola sebagai sasaran utama pedagang dalam melakukan perlawanan. Selama melakukan penelitian di lokasi pasar ditemukan media oleh pedagang dalam mencetuskan kekesalan pada pihak pengelola.
a. Mengomel, menggerutu, berkata kasar, dan membicarakan pengelola
pasar
Mengomel dan menggerutu karena ketidakjelasan atas pembangunan lokasi pasar yang diharapkan. Bagi mereka ini dilakukan untuk menghindari konfrontasi langsung dari pihak pengelola. Sikap ini diambil karena dirasa aman serta keengganan pedagang yang nantinya berurusan dengan pihak pengelola. Sikap ini jelas terlihat saat wawancara bersama informan berinisial P.
62
Wawancara Pribadi dengan informan, Bekasi, 5 Februari 2011
63Andi Suriadi, “Resistensi Masyarakat Dalam Pembangunan Infrastruktur Perdesaan,” h. 54.
(59)
“Mereka (pengelola) memang tidak mau mengerti masalah yang kami hadapi. Sudah tiga generasi keluarga saya berdagang disini, tapi sepertinya mereka tidak peduli pada nasib kami sebagai pedagang di pasar ini.”64
Kemudian dalam obrolan santai ditengah lapak tukang sayur, informan lain mengatakan.
“Ah! tampang seperti mereka mana mau mengerti, yang mereka pikirkan cuma gimana supaya dapat duit dari pasar ini dan dari apartemen. Liat saja di depan lapak ini, sudah tiga tukang daging nutup kios. Mereka harusnya sadar dong, mereka dapat makan juga dari kita, jadi kita tahu sama tahulah.”65
Ketika perkataan tersebut selesai terucap, terdapat celetukan suara dengan nada tinggi dan kasar dari salah satu pedagang. Hal tersebut memang tidak asing bila ada pembicaraan mengenai perlakuan pengelola terhadap pasar. Pembicaraan yang menjurus kepada penjatuhan atau menghilangkan rasa hormat pada pihak pengelola selalu terjadi bila mereka melihat kawan-kawan sesama mereka yang tutup dan tidak berjualan. Seperti julukan kepada salah satu pekerja di bagian pengelola yang dijuluki sebagai “bos besar”, sebutan ini sebenarnya bermakna penjatuhan kehormatan bagi yang bersangkutan yaitu H. Bukan tanpa sebab hal tersebut diidentikkan dengannya, karena fakta bahwa H bukanlah pemilik dari perusahaan yang menaungi pasar Sumber Arta.
“Sikapnya seperti yang punya pasar ini, padahal kita tahu siapa dia, ada hubungan darah pun tidak ada!”66
64
Wawancara Pribadi dengan informan, Bekasi, 4 Februari 2011 65
Wawancara Pribadi dengan informan, Bekasi, 15 Maret 2011. 66
(60)
b. Menarik diri dalam pertemuan
Dari beberapa informan diperoleh informasi bahwa seringkali ketika akan dilakukan pertemuan resmi oleh pihak pengelola para pedagang enggan menghadiri acara tersebut. Sikap pedagang yang melakukan hal itu disebabkan oleh faktor akumulasi kekecewaan yang dirasakan akibat janji pihak pengelola yang tak kunjung direalisasikan sejak pernyataan yang diucapkan pihak pengelola terhadap pedagang Agustus 2008, bahwa pengelola akan membangun pasar yang baru di area terminal kecil yang sekarang ditempati transportasi umum.
“Sebelum digusur memang ada pemberitahuan lalu mereka berjanji akan membangun pasar baru yang nantinya akan lebih bagus seperti pasar Kranji. Namun kenyataannya sejak penggusuran Agustus 2008 sampai sekarang belum ada tuh bentuk jadinya, malahan kita yang semakin tercekik dengan segala macam masalah di penampungan sementara. Jadi kalau ada pertemuan semacam itu, paling pada malas datang karena cuma akan diberi ucapan manis.”67
Resistensi pedagang dengan tidak ikut hadir dalam acara pertemuan-pertemuan, menurut James Scott merupakan resistensi simbolis, yaitu salah satu bentuk perlawanan pedagang terhadap pengelola karena akumulasi kekesalan akibat dipertemuan-pertemuan tersebut hanya akan diberikan janji tanpa bukti. Hal ini juga dilakukan pedagang untuk menunjukkan sikap atau paling tidak menurut mereka agar pengelola ngeh pada nasib mereka.
c. Bersikap acuh tak acuh
Sikap ini dilakukan ketika ada pihak pengelola yang mendatangi pedagang untuk mendata ataupun sekedar berkeliling pasar. Mereka bersikap kurang kooperatif terhadap petugas tersebut. Misalnya saat petugas itu menyapa para
67
(61)
pedagang yang hanya disambut dengan anggukan dan ekspresi malas. Tidak semua pedagang melakukan sikap ini, ini dikarenakan terdapat pedagang baru yang kurang mengerti kondisi pasar.
2. Resistensi semi terbuka
a. Pertemuan yang diadakan oleh inisiatif pedagang
Perubahan luas bangunan pasar yang semakin menyempit, akses menuju lorong ke dalam pasar yang juga mengecil, serta eskalasi harga barang dagang yang tidak tentu menjadi sumber kekuatan tersendiri bagi mereka untuk melakukan protes. Berbeda dengan tindakan-tindakan resistensi yang lain, kali ini pedagang mencoba melakukan pertemuan dengan pihak pengelola pasar. Bila sebelumnya pola pertemuan antara keduanya up to bottom sekarang menjadi bottom to up. Pedagang berkumpul untuk mengatakan bagaimana nasib dan kondisi mereka di dalam penampungan sekarang.
“Mereka tidak merasakan sesaknya kondisi di penampungan, tempat yang panas, sempit, kecil serta becek gara-gara bekas tumpukan sampah terdahulu. Belum lagi masyarakat yang malas datang kemari karena kondisi seperti ini”68
Dari beberapa informan, yang paling gelisah dalam mengutarakan masalah ini yaitu AM (23 tahun).
“Kami sudah pernah melakukan pertemuan sebelumnya tapi yang ini kayanya beda, karena kami akan mengutarakannya, bagaimana selama tiga
68
(62)
tahun dipenampungan diterlantarkan tanpa kejelasan bagaimana pasar akan dibangun”69
Namun, seperti yang sudah diketahui oleh pedagang, pada akhirnya mereka kembali kepada aktivitas semula yaitu berdagang karena dengan alasan untuk kepentingan bersama. Pedagang sepertinya merasakan tahu sama tahu, karena bila protes tersebut terlalu keras dilakukan mereka tetap kalah, karena dalam perjanjian dengan pihak pengelola di tahun 1988. Pedagang diberi hak untuk menempati/berdagang selama 20 tahun yang telah habis masanya di tahun 2008 bersamaan dengan waktu penggusuran. Hal ini sesuai dengan Perda Bekasi tentang retribusi pasar pasal 3 tahun 2005. Seperti yang diungkapkan oleh KS.
“Pedagang hanya diberikan hak pakai untuk menempati pasar selama 20 tahun setelah habis masanya kebijakan ada pada PT. Sempurna Abadi Dinamika selaku yang bertanggungjawab atas Pasar Sumber Arta ini, mau menggusur kek, mau ngebebangun apartemen kek”70
Dilihat dari pernyataan KS dapat dilihat bahwa pedagang memang dalam posisi tawar yang lemah untuk melakukan perlawanan. Karena mereka hanya diberikan hak pakai dengan jangka waktu. Namun informan yang dahulu sempat merasakan punya dua kios mengatakan.
“Seingat saya, terdapat peraturan bahwa pasar Sumber Arta akan diambil alih oleh pemerintah Kota Bekasi, karena tidak diperbolehkan adanya kepemilikan atas pasar pribadi lebih dari tiga tahun”71
Perkataan P juga diperkuat oleh Pak KS selaku bagian Pemasaran pasar Sumber Arta dalam wawancara tertutup.
69
Wawancara Pribadi dengan informan, Bekasi, 12 Juni 2011. 70
Wawancara Pribadi dengan informan, Bekasi, 17 Juni 2011. 71
(63)
“Terdapat Memorandum of Understanding (MoU) antara PT. Sempurna Abadi Dinamika dengan Pemerintah Kota Bekasi mengenai penyerahan pasar setelah dibangun dan dikelola selama lima tahun.”72
Semenjak diresmikan pada tahun 1988 hingga sekarang praktis belum ada proses pemindahan wewenang dari PT. Sempurna Abadi Dinamika kepada Pemerintah Kota Bekasi.
“Pasar ini belum dibangun tapi sudah dikelola. Belum dibangun karena bentuk fisiknya masih begini, nah kalau sudah dibangun seperti rencana yang dicanangkan kemudian berlalu lima tahun. Barulah kita serahkan kepada Pemerintah Kota Bekasi untuk mengelolanya.”73
Perbedaan makna pembangunan antara pedagang dengan pengelola sepertinya menjadi salah satu penyebab mengapa begitu lama pengerjaan pasar yang rencanya akan dibuat tiga tingkat tersebut. Bagi pedagang makna membangun pasar adalah cukup seperti merenovasi infrastruktur tanpa menggusur, memperbaiki tanpa menghancurkan bangunan yang lama. Karena menurut mereka bila kejadiannya seperti itu akan menghemat biaya. Sedangkan menurut pengelola membangun pasar yaitu membangun fisik pasar, seperti pasar semi modern seperti pasar Kranji yang berada di Bekasi Selatan. Namun setidaknya sudah terdapat aksi kolektif dari pedagang untuk melakukan pertemuan yang digagas oleh mereka. Aksi kolektif dengan mengadakan forum dari pihak pedagang terhadap pengelola dalam proses menagih janji pembangunan pasar baru, karena adanya keyakinan bersama yang memungkinkan terjadi dan terciptanya suatu pemikiran yang kemudian di manifestasikan dalam aksti kolektif.
72
Wawancara Pribadi dengan informan, Bekasi, 17 Juni 2011 73
Makna dibangun berdasarkan pernyataan KS yaitu dibangun pasar secara fisik seperti pasar Kranji di Bekasi Selatan dengan 3 tingkat dan bangunan yang semi-modern.
(64)
b. Membuat Spanduk Pernyataan
Proses terpasangnya spanduk yang berada di Terminal Sumber Arta merupakan inisiatif dari pedagang yang kecewa terhadap sikap pengelola. Setelah dua tahun berlalu pasca penggusuran pedagang memberanikan diri untuk memasang pernyataan sikap. Sikap tersebut diambil menurut AD, karena isu yang berkembang dikalangan pedagang adalah penghilangan Pasar Sumber Arta dan cap jelek terhadap Pasar Sumber Arta.
“Memang, kami akui pasar lama becek, tapi coba lihat sekeliling abang sekarang? Keadaan dipenampungan ini terlalu parah. Kalo siang panas, hujan sedikit banjir, dan semrawut. Lebih semrawut dari pasar lama. Jadi kalau pasar ini dibilang jelek, semrawut, panas dan gak pantas didirikan, salah mereka (pengelola) dong yang membuatnya seperti ini. Kita udah bayar dengan harga yang gak dikit jumlahnya.”74
Pada awalnya memang tidak ada maksud untuk memasang spanduk tersebut, karena pedagang mengerti bahwa Sumber Arta merupakan milik Pak Entong. Namun hal itu tidak cukup menahan akumulasi kekecewaan pedagang. Salah satu informan menuturkan bahwa ketika isu tersebut berkembang, pedagang merasa nilai atas eksistensi mereka terancam.
“Sengaja kami pasang spanduk disana, agar pengelola tahu bahwa kami tak ingin ada penggusuran lagi sebelum ada bukti nyata pasar baru yang dijanjikan!”75
Spanduk yang bertuliskan “Kami Pedagang Pasar Akan Tetap Menjaga dan Mengelola Pasar Tradisional Sumber Arta ini”. Maksud dari kalimat yang tertulis di spanduk adalah bentuk kekecewaan pedagang terhadap isu akan ditiadakannya pasar. Karena pedagang merasa respon pengelola terhadap pasar semakin
74
Wawancara Pribadi dengan informan, Bekasi, 23 Juni 2011. 75
(1)
(2)
Plang Pengelola Pasar Sumber Arta
(3)
(4)
Pedoman pertanyaan untuk pengelola pasar Nama:
Jabatan:
1. Kapan tepatnya pasar Sumber Arta berdiri? 2. Siapa yang mengelola pasar ini?
3. Mengenai penggusuran pasar, kapan hal itu terjadi? 4. Mengapa pasar harus digusur?
5. Apakah ada proses sosialisasi penggusuran terhadap pedagang? 6. Seperti apa bentuknya?
7. Peran apa yang dilakukan oleh pengelola terhadap pasar?
8. Mengapa pengelola tidak menyerahkan pasar kepada pemerintah daerah? 9.
(5)
Pedoman wawancara untuk pedagang pasar: Nama:
Umur:
1. Sejak kapan anda berdagang di Pasar Sumber Arta ini?
2. Sebagai pedagang, apa manfaat Pasar Sumber Arta bagi anda? 3. Seberapa penting Pasar Sumber Arta bagi anda?
4. Ketika ada isu pasar digusur, bagaimana anda menanggapai hal tersebut? 5. Apakah anda rela digusur?
6. Kenapa anda rela digusur?
7. Mengapa anda tidak rela digusur?
8. Mengenai pembangunan apartemen dibekas lahan pasar yang dulu, bagaimana anda menanggapi hal itu?
9. Bagaimana respon pengelola pasar terhadap pedagang setelah penggusuran pasar terjadi?
10.Ketika terjadi penggusuran, apakah para pedagang diberikan kompensasi? 11.Adakah proses intervensi pihak lain dalam proses penggusuran pasar?
Intimidasi?
12.Apakah ada organisasi persatuan pedagang?
13.Apakah ada upaya untuk menolak penggusuran pasar? 14.Bagaimana upaya itu dilakukan?
15.Perubahan yang anda rasakan ketika sebelum dan sesudah pasar digusur? 16.Suku apa saja yang paling berperan di dalam pasar?
(6)
Data Pedagang Pasar Sumber Arta
2011
Keterangan Jenis Barang Jumlah Pedagang
Blok A Pakaian Jadi, Kelontong 103
Blok B 214
Blok C 120
Blok D 121
Blok E 210
Pedagang Lama 20
tidak dipenampungan 53
Pemesan Baru 11
Total 908