b. Menarik diri dalam pertemuan
Dari beberapa informan diperoleh informasi bahwa seringkali ketika akan dilakukan pertemuan resmi oleh pihak pengelola para pedagang enggan
menghadiri acara tersebut. Sikap pedagang yang melakukan hal itu disebabkan oleh faktor akumulasi kekecewaan yang dirasakan akibat janji pihak pengelola
yang tak kunjung direalisasikan sejak pernyataan yang diucapkan pihak pengelola terhadap pedagang Agustus 2008, bahwa pengelola akan membangun pasar yang
baru di area terminal kecil yang sekarang ditempati transportasi umum. “Sebelum digusur memang ada pemberitahuan lalu mereka berjanji akan
membangun pasar baru yang nantinya akan lebih bagus seperti pasar Kranji. Namun kenyataannya sejak penggusuran Agustus 2008 sampai sekarang belum
ada tuh bentuk jadinya, malahan kita yang semakin tercekik dengan segala macam masalah di penampungan sementara. Jadi kalau ada pertemuan semacam
itu, paling pada malas datang karena cuma akan diberi ucapan manis.
”
67
Resistensi pedagang dengan tidak ikut hadir dalam acara pertemuan- pertemuan, menurut James Scott merupakan resistensi simbolis, yaitu salah satu
bentuk perlawanan pedagang terhadap pengelola karena akumulasi kekesalan akibat dipertemuan-pertemuan tersebut hanya akan diberikan janji tanpa bukti.
Hal ini juga dilakukan pedagang untuk menunjukkan sikap atau paling tidak menurut mereka agar pengelola ngeh pada nasib mereka.
c. Bersikap acuh tak acuh
Sikap ini dilakukan ketika ada pihak pengelola yang mendatangi pedagang untuk mendata ataupun sekedar berkeliling pasar. Mereka bersikap kurang
kooperatif terhadap petugas tersebut. Misalnya saat petugas itu menyapa para
67
Wawancara Pribadi dengan informan, Bekasi, 12 Juni 2011.
pedagang yang hanya disambut dengan anggukan dan ekspresi malas. Tidak semua pedagang melakukan sikap ini, ini dikarenakan terdapat pedagang baru
yang kurang mengerti kondisi pasar.
2. Resistensi semi terbuka
a. Pertemuan yang diadakan oleh inisiatif pedagang
Perubahan luas bangunan pasar yang semakin menyempit, akses menuju lorong ke dalam pasar yang juga mengecil, serta eskalasi harga barang dagang
yang tidak tentu menjadi sumber kekuatan tersendiri bagi mereka untuk melakukan protes. Berbeda dengan tindakan-tindakan resistensi yang lain, kali ini
pedagang mencoba melakukan pertemuan dengan pihak pengelola pasar. Bila sebelumnya pola pertemuan antara keduanya up to bottom sekarang menjadi
bottom to up. Pedagang berkumpul untuk mengatakan bagaimana nasib dan kondisi mereka di dalam penampungan sekarang.
“Mereka tidak merasakan sesaknya kondisi di penampungan, tempat yang panas, sempit, kecil serta becek gara-gara bekas tumpukan sampah terdahulu.
Belum lagi masyarakat yang malas datang kemari karena kondisi seperti ini”
68
Dari beberapa informan, yang paling gelisah dalam mengutarakan masalah ini yaitu AM 23 tahun.
“Kami sudah pernah melakukan pertemuan sebelumnya tapi yang ini kayanya beda, karena kami akan mengutarakannya, bagaimana selama tiga
68
Wawancara Pribadi dengan informan, Bekasi, 12 Juni 2011.
tahun dipenampungan diterlantarkan tanpa kejelasan bagaimana pasar akan dibangun
”
69
Namun, seperti yang sudah diketahui oleh pedagang, pada akhirnya mereka kembali kepada aktivitas semula yaitu berdagang karena dengan alasan untuk
kepentingan bersama. Pedagang sepertinya merasakan tahu sama tahu, karena bila protes tersebut terlalu keras dilakukan mereka tetap kalah, karena dalam
perjanjian dengan pihak pengelola di tahun 1988. Pedagang diberi hak untuk menempatiberdagang selama 20 tahun yang telah habis masanya di tahun 2008
bersamaan dengan waktu penggusuran. Hal ini sesuai dengan Perda Bekasi tentang retribusi pasar pasal 3 tahun 2005. Seperti yang diungkapkan oleh KS.
“Pedagang hanya diberikan hak pakai untuk menempati pasar selama 20 tahun setelah habis masanya kebijakan ada pada PT. Sempurna Abadi Dinamika
selaku yang bertanggungjawab atas Pasar Sumber Arta ini, mau menggusur kek, mau ngebebangun apartemen kek”
70
Dilihat dari pernyataan KS dapat dilihat bahwa pedagang memang dalam posisi tawar yang lemah untuk melakukan perlawanan. Karena mereka hanya
diberikan hak pakai dengan jangka waktu. Namun informan yang dahulu sempat merasakan punya dua kios mengatakan.
“Seingat saya, terdapat peraturan bahwa pasar Sumber Arta akan diambil alih oleh pemerintah Kota Bekasi, karena tidak diperbolehkan adanya
kepemilikan atas pasar pribadi lebih dari tiga tahun”
71
Perkataan P juga diperkuat oleh Pak KS selaku bagian Pemasaran pasar Sumber Arta dalam wawancara tertutup.
69
Wawancara Pribadi dengan informan, Bekasi, 12 Juni 2011.
70
Wawancara Pribadi dengan informan, Bekasi, 17 Juni 2011.
71
Wawancara Pribadi dengan informan, Bekasi, 7 Maret 2011
“Terdapat Memorandum of Understanding MoU antara PT. Sempurna Abadi Dinamika dengan Pemerintah Kota Bekasi mengenai penyerahan pasar
setelah dibangun dan dikelola selama lima tahun.”
72
Semenjak diresmikan pada tahun 1988 hingga sekarang praktis belum ada proses pemindahan wewenang dari PT. Sempurna Abadi Dinamika kepada
Pemerintah Kota Bekasi. “Pasar ini belum dibangun tapi sudah dikelola. Belum dibangun karena
bentuk fisiknya masih begini, nah kalau sudah dibangun seperti rencana yang dicanangkan kemudian berlalu lima tahun. Barulah kita serahkan kepada
Pemerintah Kota Bekasi untuk mengelolanya.”
73
Perbedaan makna pembangunan antara pedagang dengan pengelola sepertinya menjadi salah satu penyebab mengapa begitu lama pengerjaan pasar yang
rencanya akan dibuat tiga tingkat tersebut. Bagi pedagang makna membangun pasar adalah cukup seperti merenovasi infrastruktur tanpa menggusur,
memperbaiki tanpa menghancurkan bangunan yang lama. Karena menurut mereka bila kejadiannya seperti itu akan menghemat biaya. Sedangkan menurut pengelola
membangun pasar yaitu membangun fisik pasar, seperti pasar semi modern seperti pasar Kranji yang berada di Bekasi Selatan. Namun setidaknya sudah terdapat
aksi kolektif dari pedagang untuk melakukan pertemuan yang digagas oleh mereka. Aksi kolektif dengan mengadakan forum dari pihak pedagang terhadap
pengelola dalam proses menagih janji pembangunan pasar baru, karena adanya keyakinan bersama yang memungkinkan terjadi dan terciptanya suatu pemikiran
yang kemudian di manifestasikan dalam aksti kolektif.
72
Wawancara Pribadi dengan informan, Bekasi, 17 Juni 2011
73
Makna dibangun berdasarkan pernyataan KS yaitu dibangun pasar secara fisik seperti pasar Kranji di Bekasi Selatan dengan 3 tingkat dan bangunan yang semi-modern.
b. Membuat Spanduk Pernyataan
Proses terpasangnya spanduk yang berada di Terminal Sumber Arta merupakan inisiatif dari pedagang yang kecewa terhadap sikap pengelola. Setelah
dua tahun berlalu pasca penggusuran pedagang memberanikan diri untuk memasang pernyataan sikap. Sikap tersebut diambil menurut AD, karena isu yang
berkembang dikalangan pedagang adalah penghilangan Pasar Sumber Arta dan cap jelek terhadap Pasar Sumber Arta.
“Memang, kami akui pasar lama becek, tapi coba lihat sekeliling abang sekarang? Keadaan dipenampungan ini terlalu parah. Kalo siang panas, hujan
sedikit banjir, dan semrawut. Lebih semrawut dari pasar lama. Jadi kalau pasar ini dibilang jelek, semrawut, panas dan gak pantas didirikan, salah mereka
pengelola dong yang membuatnya seperti ini. Kita udah bayar dengan harga
yang gak dikit jumlahnya.”
74
Pada awalnya memang tidak ada maksud untuk memasang spanduk tersebut, karena pedagang mengerti bahwa Sumber Arta merupakan milik Pak Entong.
Namun hal itu tidak cukup menahan akumulasi kekecewaan pedagang. Salah satu informan menuturkan bahwa ketika isu tersebut berkembang, pedagang merasa
nilai atas eksistensi mereka terancam. “Sengaja kami pasang spanduk disana, agar pengelola tahu bahwa kami
tak ingin ada penggusuran lagi sebelum ada bukti nyata pasar baru yang dijanjikan”
75
Spanduk yang bertuliskan “Kami Pedagang Pasar Akan Tetap Menjaga dan Mengelola Pasar Tradisional Sumber Arta ini”. Maksud dari kalimat yang tertulis
di spanduk adalah bentuk kekecewaan pedagang terhadap isu akan ditiadakannya pasar. Karena pedagang merasa respon pengelola terhadap pasar semakin
74
Wawancara Pribadi dengan informan, Bekasi, 23 Juni 2011.
75
Wawancara Pribadi dengan informan, Bekasi, 23 Juni 2011.
berkurang, terlebih semakin jarangnya komunikasi antara kedua belah pihak didalam forum. Menurut peneliti, tindakan memasang spanduk merupakan cara
arena hubungan kekuasaan yang tidak seimbang, pihak lemah yang berada pada struktur bawah berusaha menyeimbangkan hubungan mereka melalui resistensi
agar tidak terlalu terekspolitasi oleh pengelola. “Kita hanya bisa berbuat seperti ini, beda dengan pasar lain yang kalo
ada apa-apa langsung demo. Kalau disini tidak, yang ada malah takut karena kita gak punya kesatuan yang kuat. Pasar ini kalo diistilahkan itu pasar sabar, ya ada
kebijakan ini ya ngikut, ada kebijakan itu ngikut juga, ya karena faktor itu.”
76
Data di atas menunjukkan bahwa pedagang akan melakukan tindakan terhadap apa yang dianggap akan merugikan dirinya. Bagi pedagang yang terkena
dampak memandang bahwa upaya penggusuran telah sedikit banyak menurunkan pendapatan usahanya dan akan membawa kepada suatu bentuk penderitaan jika
kehilangan pendapatan, karena itu harus dilakukan tindakan protes. Protes dengan menggunakan spanduk menurut Scott termasuk bentuk resistensi semi-terbuka
yang dilakukan oleh pedagang, menunjukkan bahwa mereka memilih bentuk perlawanan demikian karena berusaha menghindari kerugian yang Iebih besar.
Kerugian besar disini adalah terdapat rencana penampungan sementara yang sekarang ditempati pedagang akan digusur kembali. Keberadaan tempat usaha
yang terancam akibat penggusuran mengancam sumber pendapatan pedagang sehingga pedagang pun memprotes secara agak terbuka.
76
Wawancara Pribadi dengan informan, Bekasi, 12 Juni 2011.
C. Faktor Penyebab
1. Masa Hak Pakai Yang Telah Berakhir
Sepertinya salah satu faktor penyebab terbesar pedagang Pasar Sumber Arta tidak melakukan resistensi terbuka adalah karena dalam perjanjian antara PT.
Sumber Abadi Dinamika SAD milik Pak Entong yang menaungi Sumber Arta dengan Pemkot Bekasi disebutkan bahwa izin pakaisewa berlaku untuk jangka
waktu selama dua puluh tahun 20 pada Perda Kota Bekasi pasal 4 ayat 2 tentang Retribusi Pasar Di Kota Bekasi. Faktanya jangka waktu hak pakai telah berakhir
tahun 2008 terhitung semenjak diresmikan pada tahun 1988. Jadi, sebenarnya pedagang telah mengetahui hal ini sejak lama, namun mereka mempunyai alasan
kuat untuk melakukan sikap resisten yaitu mereka membayar uang iuran untuk pasar yang akan dibangun nantinya. Fakta unik yang terdapat dari Sumber Arta
adalah Pasar tersebut di resmikan oleh Bupati Bekasi Sukamartono sehingga seringkali terjadi bias isu apakah pasar akan ditiadakan atau tetap dipertahankan.
2. Pasar Baru Yang Tak Kunjung Dibangun
Menurut KS, pengelola berencana membangun pasar tradisional dengan bangunan fisik yang modern. Pasar dengan bangunan tiga tingkat dimana masing-
masing tingkat mempunyai fungsi. “Pengelola berencana mendirikan pasar yang baru untuk pedagang dengan
tiga tingkat. Tingkat satu untuk pedagang sayur, tingkat dua untuk pedagang pakaian, kelontong dan sebagainya dan tingkat tiga dikhusukan bagi parkir. Tapi
semua itu baru rencana, karena masih prosesnya masi h tertahan di walikota.”
77
77
Wawancara Pribadi dengan informan, Bekasi, 17 Juni 2011.
Dari wawancara dengan informan tersebut, ia mengungkapkan kebenaran akan dibangunnya pasar untuk pengganti pasar lama yang digusur. Namun, proses
rencana tersebut masih tertahan di walikota Bekasi, karena berdasarkan Perda Kota Bekasi tentang Retribusi Pasar Di Kota Bekasi nomor 8 pasal 9 ayat 3 tahun
2005 yaitu sebelum pelaksanaan pembangunan atau renovasi pasar sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan 2 pasal ini, terlebih dahulu harus memiliki izin
prinsip dari walikota.
78
Pengelola beralasan bahwa walikota Bekasi saat ini sedang dalam status nonaktif sehingga rancangan dan prosesnya terhambat akibat
masalah kaskus penyuapan. Namun alasan ini dibantah oleh pedagang dengan alasan justru pada saat walikota belum menjadi status tersangka, pasar sudah lebih
dahulu digusur. “Bagi kami, alasan seperti itu gak masuk akal, digusurnya kapan, masuk
penjaranya kapan. Pihak pengelola hanya berkilah dengan alasan itu.”
79
Kehadiran bangunan apartemen pun merupakan salah satu sebab utama Pasar Sumber Arta digusur dan menjadi salah satu faktor sosio-psikologis karena sistem
sosial yang dahulu telah terbangun lama kini berubah akibat pembangunan itu. Contohnya adalah manajemen pengelolaan dan penempatan blok-blok pedagang
yang semrawut. Dahulu lokasi berjualan ditentukan oleh blok agar rapih sedangkan kondisi yang terjadi dipenampungan sekarang adalah sebaliknya.
Lapak jual daging berdekatan dengan toko kelontong, toko obat berdekatan dengan tukang daging, toko pakaian dekat dengan penjual ayam potong dan ikan
asing.
78
Perda Kota Bekasi tentang Retribusi Pasar Di Kota Bekasi nomor 8 pasal 9 ayat 3 tahun 2005.
79
Wawancara Pribadi dengan informan, Bekasi, 1 Agustus 2011.
Berdasarkan observasi dilapangan, belum terlihat adanya sebuah kegiatan membangun pasar baru seperti yang dikatakan oleh pengelola. Fenomena di atas
dapat dikategorikan sebagai adanya kondisi deprivasi relatif yang dialami pedagang dalam melihat kenyataan yang terjadi di Pasar Sumber Arta, yakni ada
kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Dalam tipologi deprivasi relatif Gurr, fenomena tersebut termasuk deprivasi relatif aspirasional, yaitu terjadinya
kesenjangan antara harapan dengan kenyataan yang dialami oleh pedagang. Masyarakat semakin meningkat ekspektasinya terhadap terjadinya perubahan-
perubahan, walaupun kenyataannya belum terlaksana.
80
3. Intimidasi Pengelola
Berdasarkan wawancara mendalam diketahui bahwa terdapat proses intimidasi dari pihak pengelola terhadap pedagang. Proses intimidasi biasanya dilakukan
oleh H yang biasa disebut “Bos Besar” oleh pedagang. “Kalo disini yang paling sering dialami pedagang itu diambil barang
dagangnya kemudian gak dibayar. Saya kesal tapi karena dia yang megang pasar ini, saya mau ngomong apa. Contohnya dia minta sayur yang saya jual tapi gak
dibayar. Kalo saya bilang keberatan nanti ada orang suruhan kantor yang datangi saya. Jadi mau tidak mau kita harus merelakan bila tidak mau repot
kedepannya
.”
81
Pedagang yang biasanya menjadi objek intimidasi adalah penjual sayur. Menurut AM, ini berkaitan dengan kebutuhan sehari-hari.
82
Berbeda dengan penjual sayur, penjual daging juga mendapat perlakuan yang sama, tapi tidak
sesering penjual sayur karena masih ada faktor segan terhadap bos daging disini
80
Andi Suriadi, “Resistensi Masyarakat Dalam Pembangunan Infrastruktur Perdesaan,” h. 55.
81
Wawancara Pribadi dengan informan, Bekasi, 12 Juni 2011.
82
Maksud dari kebutuhan sehari-hari adalah sayur yang merupakan salah satu bahan yang biasanya dimasak untuk keperluan sehari-hari.