Pembagian Hadis Kontribusi Ali Mustafa Yaqub terhadap perkembangan kajian hadis Kontemporer di Indonesia

32 madzhab Hanafî mengutamakan penafsiran ayat al-Qur’an tersebut di atas hadis ahâd. Sedangkan para pengikut madzhab Maliki mengutamakan praktek penduduk kota Madinah di atas hadis ahâd seperti itu, dengan alasan bahwa praktek mereka memberikan petunjuk yang lebih dekat kepada sunnah nabawiyah ketimbang apa yang hanya dirawikan oleh perorangan. 13 Prasarat minimal untuk memenuhi kriteria mutawâtir adalah jumlah banyak perawi berimbang pada generasi sahabat selaku saksi primer, generasi tâbi’în, dan tâbi’ al-tâbî’în selaku penyambung transmisi periwayatan, sehingga mereka mustahil bersepakat berbohong. 14 Untuk generasi sesudahnya karena sudah membudaya proses belajar mengajar hadis memanfaatkan jasa media dokumen kitab, maka tak penting lagi pelacakan jumlah tersebut. Al-Suyûti menyatakan 10 orang untuk setiap generasi periwayat. 15 Apabila sebuah hadis diriwayatkan oleh sembilan orang saja dalam salah satu jenjang periwayatannya meskipun dalam jenjang yang lain jumlah itu mencapai seratus orang rawi misalnya, maka hadis tersebut tetap disebut hadis ahâd, karena persyaratan sepuluh orang itu tidak terpenuhi dalam semua jenjang. 16 Sementara itu, ahâd secara kebahasaan berarti wâhid satu. Dalam terminologi ilmu hadis, hadis ahâd adalah hadis yang diriwayatkan satu orang atau lebih dalam setiap jenjang tabaqah periwayatannya, dan jumlah itu 13 Badri Khaeruman, Otentisitas Hadis; Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004, h. 273. 14 Wahbah al-Zuhaili, Usûl Fiqh al-Islâmi, Beirût: Dâr al-Fikr, 1986, juz 1, h. 452. 15 Al-Suyûti, Tadrîb al-Râwi, al-Qahirah: Dar al-Hadis, 2002, h. 177. 16 Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, h. 132. 33 tidak mencapai jumlah periwayat yang ditentukan dalam hadis mutawâtir. 17 Jelasnya, hadis ahâd itu diriwayatkan dari Nabi saw. oleh satu orang sahabat atau lebih, kemudian dari mereka hadis itu diriwayatkan oleh satu orang tâbi’i murid sahabat atau lebih, dan seterusnya. Namun jumlah mereka dalam setiap jenjang nya tidak mencapai jumlah yang ditentukan dalam hadis mutawâtir. Imâm Ibn Hazm w. 456 H menegaskan, umat Islam secara keseluruhan, baik ahlussunnah, khawârij, syî’ah maupun qadâriyah menerima hadis ahâd sebagai hujjah. Baru pada awal abad kedua hijriyyah para ahli kalam dari kelompok Mu’tazilah berpendapat lain. Mereka menentang konsensus umat tadi dengan mengatakan bahwa hadis ahâd tidak sah dijadikan hujjah dalam agama. 18 Bila ditelusuri mayoritas fuqaha’ dengan mengecualikan al-Jubbâ’i dari Mu’tazilah sepakat mengakui kehujjahan hadis ahâd. Persyaratan yang harus terpenuhi sangat bervariasi antara fuqaha’ berbagai madzhab. 1 Hanâbilah: mencukupkan dengan kesahihan sanad; 2 Syâfi’iyyah: mensyaratkan a. sanad harus sahîh, baik periwayat faqîh dan ‘âlim atau tidak. b. perawi harus hâfiz dan dâbit. c. hadisnya tidak kontradiksi dengan hadis lain yang sanadnya terdiri dari para pakar hadis; 3. Mâlikiyyah mensyaratkan: substansi hadis ahâd tersebut tidak bertentangan dengan praktek keagamaan warga Madinah; 19 4. Hanâfiyyah mensyaratkan: bahwa prilaku perawi harus 17 Mahmûd Tahhân, Taisîr Mustalah al-Hadîts, Beirût: Dâr al-Fikr, 1986, h. 22. 18 Al-Suyûti, Tadrîb al-Râwi, al-Qahirah: Dar al-Hadis, 2002, h. 73. 19 Mustafa Sa’îd al-Khinn, Atsaru al-Ikhtilâf al-Qawâ’id al-Usûliyah, Beirut: Muassasah al-Risalah, 1982, h. 411-412. 34 sejalan dengan hadis yang ia riwayatkan, sebab penyimpangan mengindikasikan nasakh. Bila perawi bukan seorang faqîh dan cara pengungkapan hadis dengan penyaduran riwayat bi al-Ma’na, substansi hadis tidak boleh menyalahi qiyas serta prinsip-prinsip syari’ah secara umum. 20 Di dalam buku Otentisitas Hadis karya Badri Khaeruman disebutkan bahwa, al-Ghazali merinci lebih jauh penjelasan para ulama tentang syarat ke- sahih -an suatu hadis sebagai berikut: 1. Setiap perawi dalam sanad suatu hadis haruslah seorang yang dikenal sebagai penghafal yang cerdas dan teliti serta benar-benar memahami apa yang didengarnya. Kemudian ia meriwayatkannya setelah itu, tepat seperti aslinya. 2. Di samping kecerdasan yang dimilikinya, ia juga harus seorang yang mantap kepribadiannya dan bertakwa kepada Allah, serta menolak dengan tegas setiap pemalsuan atau penyimpangan. 3. Kedua sifat tersebut di atas point 1 dan 2 harus dimilki oleh masing- masing perawi dalam seluruh rangkaian para perawi suatu hadis. Jika hal itu tidak terpenuhi pada diri seorang saja dari mereka, maka hadis tersebut tidak dianggap mencapai derajat sahîh. 4. Mengenai matn materi hadis itu sendiri, ia harus tidak bersifat syadz yakni salah seorang perawinya bertentangan dalam periwayatannya dengan perawi lainnya yang dianggap lebih akurat dan lebih dapat dipercaya. 5. Hadis tersebut harus bersih dari ‘illah qadihah yakni cacat yang diketahui oleh para ahli hadis, sedemikian sehingga mereka menolaknya. Dengan demikian, al-Ghazali mengakui adanya hadis ahâd dan mutawâtir. Ini menunjukkan bahwa al-Ghazali mengakui adanya pembagian hadis, yakni bahwa hadis itu ada yang mutawâtir dan ada yang ahâd, jika dilihat dari segi periwayatannya. Sedangkan dilihat dari segi kualitasnya, tentu 20 Wahbah al-Zuhaili, Usûl Fiqh al-Islâmi, Beirût: Dâr al-Fikr, 1986, juz 1, h. 471- 472. 35 saja al-Ghazali mengakui adanya hadis sahîh, hasan, da’if, dan bahkan hadis mawdu’. 21

C. Kajian Hadis di Indonesia

Melacak kajian hadis di Indonesia, tidak akan terlepas dari perkembangan hubungan antara Muslim di kepulauan Nusantara ini dengan pusat pendidikan Islam yang ada di Timur Tengah, yang menurut Azyumardi, khususnya pada abad ke-17 dan ke-18 merupakan masa yang panjang dan dinamis dalam sejarah sosio-intelektual kaum Muslim. 22 Hal tersebut kemudian didukung oleh semakin kuatnya semangat baru dalam keagamaan religious revivalism di sebagian besar kepulauan Nusantara, seperti Jawa dan Sumatera. Penyebabnya antara lain berkembangnya hubungan laut antara Eropa dan Asia dan tentunya dengan Jawa, terutama setelah dibukanya terusan Suez pada tahun 1869, yang melancarkan proses penyebaran Islam ke daerah-daerah pedesaan di Jawa. Untuk beberapa puluh tahun terakhir di abad ke-19, Jawa seolah-olah dilanda oleh intensitas kehidupan Islam. 23 Di samping itu, perkembangan selanjutnya yang cukup penting ialah sejak pertengahan abad ke-19, banyak sekali anak- anak muda dari Jawa yang menetap beberapa tahun di Makkah dan Madinah untuk memperdalam pengetahuan mereka. 21 Badri Khaeruman, Otentisitas Hadis; Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004, h. 274-275. 22 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Cet. I, Bandung: Mizan, 1994, h. 15 dan 23. 23 Muhammad Dede Rudliyana, Perkembangan Pemikiran Ulum al-Hadis Dari Klasik Sampai Modern, Bandung: Pustaka Setia, 2004, h. 133. 36 Bahkan, banyak di antara mereka yang menjadi ulama yang terkenal dan mengajar di Makkah atau di Madinah. Karena para ulama dari Jawa ini turut aktif dalam alam intelektualisme dan spiritualisme Islam yang berpusat di Makkah, mereka juga mempengaruhi perubahan watak Islam di Nusantara. Semakin kuatnya keterlibatan mereka dalam kehidupan intelektual dan spiritual Timur Tengah, Islam di Nusantara, dan semakin jelas di Jawa menyebabkan hilangnya sifat-sifat lokal dan titik beratnya pada aspek tarekat semakin berkurang walaupun tidak berarti hilang sama sekali. 24 Pada akhir abad ke-19, terdapat beberapa ulama kelahiran Jawa yang diakui kebesarannya di Timur Tengah. Mereka menjadi pengajar tetap di masjid al-Haram di Makkah, seperti Syekh Nawawi Banten dan Syekh Mahfudz dari Tremas w. 1919 20 M, Perkembangan pemikiran ‘ulum al- Hadis di Indonesia tidak akan terlepas dari pengaruh pendidikan ulama Indonesia di Timur Tengah, khususnya di Haramayn. Sedikitnya karya ulama Indonesia dalam bidang hadis dan ulum al- Hadis, menjadikan semakin sulitnya melacak informasi kekuatan dari pemikiran ‘ulum al-Hadis di Indonesia. Bahkan, Dalam penelitian Martin, dijelaskan bahwa perhatian ulama Indonesia pada pelajaran hadis dan ulum al- Hadis sama sekali baru. Satu hal yang cukup menarik dari perkembangan ini ialah bahwa para pelajar dari berbagai daerah di Nusantara yang melanjutkan pelajaran di Makkah biasanya baru dapat menyempurnakan pelajaran mereka 24 Muhammad Dede Rudliyana, Perkembangan Pemikiran Ulum al-Hadis Dari Klasik Sampai Modern, Bandung: Pustaka Setia, 2004, h. 134. 37 setelah memperoleh bimbingan terakhir dari ulama kenamaan kelahiran Jawa. 25 Pada dasarnya, hampir semua kajian ke-Islam-an sentral yang ada saat ini, embrionya telah ada pada masa Nabi Muhammad saw. Hanya saja bentuknya masih sangat sederhana dan tidak tersusun secara sistematis seperti masa sekarang ini. Begitu pula halnya dengan hadis sebagai suatu cabang ilmu. Dalam sudut pandang ini secara praktis, ilmu hadis sesungguhnya sudah dikenal semenjak Nabi saw masih hidup. Tentu saja cakupan kajiannya masih sangat terbatas, karena semua kesulitan yang dihadapi para sahabat dengan mudah dapat berpulang langsung kepada Nabi untuk dilakukan klarifikasinya. Sebagai sebuah disiplin ilmu, ilmu hadis mempunyai obyek sentral dalam pengkajiannya. Ilmu yang populer dengan sebutan Ilmu Mustalah Hadis ini memfokuskan pusat kajiannya pada penelitian otentisitas suatu hadis. Meski masih sangat terbatas dan belum terdapat acuan metodologinya, peristiwa pengecekan otentisitas hadis sesungguhnya telah pernah terjadi pada masa Nabi. Hal ini bisa kita lihat pada suatu peristiwa dimana Umar bin al-Khattab memperoleh informasi bahwa Nabi menceraikan semua istri beliau. Umar pun kaget dan langsung mengecek kebenaran matan hadis itu bukan mengecek siapa yang menyampaikan hadis itu karena para sahabat semuanya dikenal adil dan ternyata hadis itu salah. Kekagetannya itu tentu saja karena Umar 25 Muhammad Dede Rudliyana, Perkembangan Pemikiran Ulum al-Hadis Dari Klasik Sampai Modern, Bandung: Pustaka Setia, 2004, h. 134.