55
tersebut, dapat diketahui dengan jelas kepada siapa perintah yang ada di balik hadis itu dan dalam konteks apa ucapan itu lahir. Menurut al-Barrâ’, ternyata
hadis itu diucapkan Nabi saw karena ada suatu peristiwa. Yaitu, peristiwa datangnya seorang laki-laki yang menemui beliau seraya berkata. “Ya
Rasulullah saw, aku berperang kemudian barulah masuk Islam.” Kata Rasulullah saw, “Masuk Islamlah kemudian berperang” akhirnya orang
tersebut menyatakan masuk Islam, kemudian ia meloncat ke medan perang dan terbunuh di sana. Menyaksikan kejaidian itu, Rasulullah saw bersabda,
“Dia beramal sedikit namun diberi pahala yang banyak.”
36
Jadi, sekarang kita bisa mengetahui bahwa hadis tersebut terkait dengan sebuah peristiwa dan
ditujukan kepada seorang tertentu juga. Dengan demikian, kesimpulan bahwa Islam itu suka berperang, tentu tidak tepat.
37
Contoh lain, hadis yang diriwayatkan Imâm al-Bukhâri dan Imâm Muslim dari ‘Abdullâh bin ‘Âbbas. Nabi saw bersabda, “Apabila kamu
sekalian hendak menunaikan salat jum’at, maka hendaklah terlebih dahulu mandi”.
38
HR. al-Bukhâri dan Muslim. Berdasarkan petunjuk hadis di atas, Ali Mustafa menukilkan bahwa Imâm Dâwud al-Zâhiri w. 270 H883 M
seorang pendiri madzhab al-Zâhiri menyatakan bahwa mandi pada hari Jum’at sebelum menunaikan salat Jum’at adalah wajib dan berlaku untuk siapa pun.
36
Muhammad bin Isma’il Abu ‘Abdillah al-Bukhâri al-Ja’fi, Shahîh al-Bukhâri, Beirut: Dâr Ibn Katsîr, 1407 H1987 M, bâb ‘amal sâlih qabla qitâl, hadis nomor 2653, j. 3,
h. 1034.
37
M. Suwarta Wijaya, Pengantar dalam Ibn Hamzah al-Husaini, Latar Belakang Historis Timbulnya Hadis-Hadis Rasul,
h. i-v.
38
al-Bukhâri, Shahîh al-Bukhâri, Beirut: Dâr Ibn Katsîr, 1407 H1987 M, bâb fadlu al-ghusli yaum al-Jum‘ah, hadis nomor 837, j. 1, h. 299; Muslim bin al-Hajjâj al-Naisâbûrî,
Shahîh Muslim T. tp: Maktabah Dahlân, t.t., kitâb al-Jum’ah, hadis nomor 844, j. 2, h. 579.
56
Ini dikarenakan beliau memahami hadis itu apa adanya, tanpa mengaitkannya dengan sebab yang melatarbelakangi kemunculannya.
39
Ali Mustafa menjelaskan bahwa menurut riwayat yang ada, hadis itu memilki sebab khusus. Dalam sebuah riwayat, pada saat itu perekonomian
para sahabat pada umumnya masih dalam keadaan sulit, sehingga mereka hanya mampu memakai baju wol yang kasar dan jarang dicuci. Mereka juga
banyak yang bekerja di kebun sebagai petani. Setelah berladang, banyak dari mereka yang langsung pergi ke masjid untuk menunaikan salat Jum’at. Pada
suatu Jum’at, cuaca sedang panas, sementara masjid sempit. Tatkala Nabi saw berkhutbah, aroma keringat dari orang yang berbaju wol kasar dan belum
mandi itu menerpa hidung Nabi saw. Suasana hening di dalam masjid menjadi terganggu oleh aroma yang tidak sedap itu, sehingga Nabi saw pun
mengatakan seperti tadi. Oleh karena itu, Ali Mustafa Yaqub menyimpulkan bahwa berdasarkan kondisi sosiologis di atas, Nabi saw hanya mewajibkan
mandi Jum’at itu bagi orang-orang yang badannya kotor saja.
40
2. Lokal dan Temporal Makâni wa Zamâni
Pada dasarnya, pemahaman model ini hanya bertujuan untuk melihat tempat dimana hadis itu disabdakan, sehingga penerapannya tepat. Misalnya
hadis yang disabdakan untuk masyarakat Madinah, bila dipahami secara tekstual belum tentu tepat untuk diterapkan pada masyarakat Indonesia.
Karenanya, kondisi seperti ini menuntut adanya pemahaman secara kontekstual, sehingga makna hadis itu menjadi tepat, kendati diterapkan pada
39
Ali Mustafa Yaqub, Haji Pengabdi Setan Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006, h. 153- 154.
40
Ali Mustafa Yaqub, Haji Pengabdi Setan Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006, h. 154.
57
wilayah berbeda. Misalnya hadis yang diriwayatkan Imâm al-Tirmidzi. “Antara Timur dan Barat adalah kiblat”.
41
Untuk masyarakat Madinah, yang secara geografis berada di utara Ka’bah Makkah, maka makna tekstual hadis itu tepat sekali. Bagaimana
dengan masyarakat Indonesia yang secara geografis berbeda dengan masyarakat Madinah. Apabila hadis tersebut dipahami secara tekstual, maka
tentu akan menimbulkan kekeliruan yang fatal. Oleh karena itu, pemahaman yang mendekati kebenaran adalah dengan melalui pendekatan kontekstual,
yaitu dengan melihat lokasi geografis hadis yang disabdakan.
42
3. Kausalitas kalimat ‘Illat al-Kalâm
Dalam memberi perintah atau larangan, Nabi saw terkadang menggunakan ungkapan-ungkapan yang maksudnya tidak dipahami secara
konkrit oleh setiap sahabat. Dari sekian banyak hadis, ada yang tidak dapat dipahami kecuali melalui pendekatan kontekstual, yaitu pemahaman terhadap
kausalitas kalimat ‘Illat al-Kalâm. Misalnya, sabda Nabi saw, “Seandainya tidak ada Bani Israil, maka makanan tidak akan menjadi basi, daging tidak
akan menjadi busuk, dan seandainya tidak ada Hawâ’, maka tidak ada istri yang berkhianat pada suaminya.”
43
Hadis ini disabdakan Nabi saw sebagai kritik atas kebakhilan orang- orang Yahudi yang tidak mau memberikan makanannya pada orang lain,
41
Muhammad bin ‘Îsa Abu ‘Îsa bin Saurah al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, Semarang: Toha Putra, t.t., bâb mâ jâ’a anna mâ bain al-masyriq wa al-maghrib qiblah, hadis
nomor 342, j. 2, h. 171.
42
Ali Mustafa Yaqub, Haji Pengabdi Setan Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006, h. 155.
43
Muslim bin al-Hajjâj al-Naisâbûrî, Shahîh Muslim, bâb laulâ hawâ lam takhun untsa zaujuhâ, hadis nomor 1470, j. 2, h. 1092.
58
sementara mereka sendiri tidak siap mengkonsumsi semuanya, sehingga makanan itu busuk. Ali Mustafa menukilkan bahwa Muhammad al-Ghazâlî
memahami hadis ini secara tekstual, sehingga ia berkesimpulan bahwa hadis ini palsu, karena membusuknya daging tidak ada kaitannya dengan orang-
orang Yahudi. Hal ini menunjukkan bahwa Muhammad al-Ghazâlî yang terkenal kontekstualis masih terjebak pada metode tekstual ketika memahami
beberapa hadis yang tidak ia pahami.
44
Dalam hal ini prinsip umum kaedah usûl fiqh mesti diterapkan untuk mengetahui kandungan ‘illat dalam sebuah hadis. Karena berjalannya
ketentuan hukum selama ada ‘illatnya. Kalau ‘illatnya sudah hilang, maka ketentuan hukumpun menjadi batal “al-hukmu yadûru ma’a al-‘illah
wujûdan wa ‘adaman.”
45
4. Sosio Kultural Taqâlid
Di samping tiga pendekatan di atas, pemahaman kontekstual juga dapat dilakukan melalui pengetahuan tentang Sosio Kultural Taqâlid, yaitu
dengan mengaitkan hadis itu dengan kondisi sosial masyarakat pada waktu itu. Misalnya, hadis Nabi saw yang membolehkan orang yang sedang salat,
meludah di masjid.
46
Untuk konteks waktu itu, meludah di masjid merupakan persoalan biasa, karena konteks masjid waktu itu tidak seperti masjid
sekarang. Masjid zaman Nabi saw belum mengenal lantai keramik, melainkan pasir, sehingga ludah yang jatuh di masjid saat itu langsung diserap pasir.
44
Ali Mustafa Yaqub, Haji Pengabdi Setan, h. 157.
45
Al-Sayyid Bakri bin al-Sayyid, I’ânah al-Tâlibîn, Beirût: Dâr al-Fikr, t.t., j. 2, h. 290.
46
Muslim bin al-Hajjâj al-Naisâbûrî, Shahîh Muslim, bâb hadis Jâbir al-Ta’wîl, hadis nomor 3006, j. 4, h. 2303.