Sosio Kultural dan Sosio Keagamaan

13 Ibnu Malik, al-Baiqûniyyah, al-Waraqât, dan lain-lain. Sebagai prasyarat untuk boleh membaca kitab di hadapan beliau- dari KH. Adhlan ia belajar ilmu akhlak dan lain-lain. Dari KH. Shobari ia belajar ilmu hadis dan ilmu lain-lain. Sementara dari KH. Syamsuri Badawi ia belajar hadis dan ilmu usûl al-Fiqh. Di tebuireng dia juga pernah belajar dengan Abdurrahman Wahid Gusdur 6 khususnya untuk bidang studi bahasa Arab dan kitab Qatr al-Nada. 7 Di samping belajar, Ali Mustafa juga mendapat tugas mengajar di almamaternya tersebut untuk kajian kitab-kitab kuning dan bahasa Arab, sampai awal tahun 1976. Pada pertengahan tahun 1976 atas beasiswa penuh dari pemerintah Arab Saudi, Ali Mustafa mencari ilmu lagi di Fakultas Syari’ah Universitas Islam Imâm Muhammad bin Sa’ûd, Riyâd, Saudi Arabia, sampai tamat dengan ijazah Licance Lc tahun 1980. Masih di kota yang sama ia melanjutkan studi lagi di Universitas King Sa’ud Departemen Studi Islam jurusan Tafsir Hadis sampai tamat dengan ijazah master tahun 1985. Dipilihnya Fakultas Syari’ah S1 dan Departemen Tafsir Hadis S2 oleh Ali Mustafa bukanlah sebuah kebetulan, tetapi karena dalam pandangannya kedua ilmu ini Syari’ah dan Hadis sangat diperlukan masyarakat. 8 6 Lahir di Jombang, Jawa Timur, 7 September 1940, wafat di Jakarta, 30 Desember 2009 pada umur 69 tahun. Beliau adalah tokoh Muslim Indonesia dan pemimpin politik yang menjadi Presiden Indonesia keempat dari tahun 1999 hingga 2001. Lihat Syamsul Hadi, Gus Dur, KH. Abdurrahman Wahid; Guru Bangsa, Bapak Pluralisme, Jombang: Zahra Book, t.t., h. 11. 7 Ali Mustafa Yaqub, Kerukunan Umat Dalam Perspektif al-Qur’an Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000, h. 105. 8 Wawancara pribadi dengan Ali Mustafa Yaqub, Jakarta, 22 Januari 2011. 14 Pada tahun-tahun Ali Mustafa kuliah di Saudi, program doktor belum dibuka pada Universitas-universitas di Riyâd. Hal tersebut karena rendahnya minat orang Arab Saudi untuk kuliah S2 waktu itu. Pihak universitas hanya bersedia untuk membuka program doktor dengan syarat mahasiswa asli Saudi harus lebih dari 50 persen. Tetapi, saat itu dari 20 orang mahasiswa program S2 di Universitas King Sa’ûd Riyâd hanya dua orang saja yang asli saudi sehingga program S3 tidak bisa diadakan. Kondisi ini membuat Ali Mustafa tidak bisa langsung melanjutkan kuliahnya pada program doktor, sehingga akhirnya ia memutuskan untuk pulang ke Indonesia. 9 Baru pada tahun 2006 Ali Mustafa melanjutkan studi doktoralnya di universitas Nizamia Hyderabad India di bawah bimbingan M. Hasan Hitou, 10 Guru Besar Fiqih Islam dan Usûl Fiqh universitas Kuwait dan Direktur lembaga studi Islam International di Frankfurt Jerman. Pada pertengahan tahun 2007 Ali Mustafa mampu menyelesaikan program doktornya pada konsentrasi Hukum Islam universitas tersebut. 11 9 Wawancara pribadi dengan Ali Mustafa Yaqub, Jakarta, 22 Januari 2011. 10 M. Hasan Hitou adalah orang yang paling berperan besar dalam studi S3 Ali Mustafa di universitas Nizamia Hyderabad India. Kepakarannya dalam Fiqh Islam menjadi motivasi tersendiri bagi Ali Mustafa untuk secepatnya merealisasikan cita-citanya yang sempat tertunda sejak 1985. Bimbingan M. Hasan Hitou lah yang diharapkannya sehingga ia memilih kuliah S3 di India bukan di Timur Tengah. Wawancara Pribadi dengan Ali Mustafa Yaqub, Jakarta, 22 Januari 2011. 11 Wawancara pribadi dengan Ali Mustafa Yaqub, Jakarta, 22 Januari 2011. 15

B. Sumber Pemikiran

Dalam perkembangan intelektual Ali Mustafa Yaqub, ada empat orang gurunya yang sangat berpengaruh dalam hidupnya. Pertama, Syamsuri Badawi, guru hadis dan Usûl Fiqh Ali Mustafa di pesantren Tebuireng Jombang. Dari beliaulah Ali Mustafa banyak belajar sikap tawâdû’, ikhlas, dan semangat untuk mendalami studi hadis. Dari beliau pula Ali memperoleh sanad hadis-hadis sahîh al-Bukhâri dan sahîh Muslim dengan cara ijâzah 12 yang bersambung kepada Nabi saw melalui jalur Hasyim Asy’ari. Kedua, Idris Kamali, darinya Ali belajar ilmu-ilmu alat bahasa Arab, hadis, dan tafsir. Dengan kemampuan bahasa Arab yang baiklah Ali Mustafa kemudian bisa menelaah literatur-literatur berbahasa Arab. Ketiga, Muhammad Mustafa al- A’zamî, 13 guru hadis Ali Mustafa di Universitas King Sa’ûd Riyâd. 12 Ijazâh termasuk salah satu metode dalam al-tahammul wa al-adâ’ belajar dalam ilmu hadis. Hal ini diketahui dengan ungkapan seorang guru yang mengatakan, “Ajaztuka sahîh al-Bukhari” Aku ijazahkan kamu sahîh al-Bukhâri. Dengan ungkapan itu, seorang yang mendapatkan ijazah telah mempunyai jalur sanad sebagaimana gurunya kepada pengarang kitab. 13 Muhammad Mustafa al-A’zamî, guru besar ilmu hadis Universitas King Sa’ûd, Riyâd, Arab Saudi adalah salah satu ulama pengkaji hadis dalam pergulatan pemikiran kontemporer yang banyak mengkritisi pemikiran tentang hadis orientalis. Sumbangan penting A’zamî adalah disertasinya di Universitas Cambridge, Inggris yang berjudul “Studies in Early Hadîtsh Literature” 1996, karena secara akademik mampu meruntuhkan pengaruh kuat dua orientalis Yahudi Ignaz Goldziher 1850-1921 dan Joseph Schacht 1902-1969. Temuan naskah kuno hadis abad pertama hijriah dan analisis disertasi itu secara argumentatif menunjukkan bahwa hadis betul-betul otentik dari Nabi. A’zamî secara khusus juga menulis kritik tuntas atas karya monumental Joseph Schacht, yang berjudul; On Schacht’s Origins of Muhammadan Jurisprudence. A’zamî telah berhasil menjaga hadis dengan argumentasi yang kuat dan ilmiah dengan meruntuhkan teori Projecting Back Joseph Schacht. Dimana menurut Schacht hukum Islam belum eksis pada masa al-Sya’bi w. 110 H. Penegasan ini memberikan pengertian bahwa apabila ditemukan hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum Islam, maka hadis-hadis itu adalah buatan orang-orang yang hidup sesudah al-Sya’bi. Ia berpendapat bahwa hukum Islam baru dikenal sejak pengangkatan para qâdi hakim agama. Para khalifah dahulu tidak pernah mengangkat qâdi. Pengangkatan qâdi baru dilakukan pada masa dinasti Banî Umaiyah. Lihat Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004, h. 25. 16 Dari para guru itulah Ali Mustafa banyak belajar keistiqamahan, semangat menulis karya ilmiah dalam bidang hadis, dan sikap kritis terhadap orientalis. A’zamî dalam pandangan Ali Mustafa adalah satu contoh ulama kontemporer yang punya karakter kuat. Walaupun kuliah di universitas Cambridge Inggris yang saat itu menjadi salah satu sarangnya orientalis, A’zamî sama sekali tidak terpengaruh oleh mereka. Bahkan disertasi A’zamî justru mengkritik dua tokoh utama orientalis dalam bidang hadis Ignaz Goldziher 1850-1921 dan Joseph Schacht 1920-1969. Sikap kritik ilmiah A’zamî ini akhirnya mendapat pengakuan dan pujian dari tokoh-tokoh orientalis sendiri seperti Arthur John Arberry 1905-1969. 14 Selama 9 tahun kuliah di Arab Saudi, Ali Mustafa juga rajin menghadiri halâqah-halâqah di luar kampus, misalnya halâqah hadis al-Kutub al-Sittah yang diasuh oleh Abdul Azîz bin ‘Adullâh bin Bâz w. 1999 yang berjarak 30 kilo meter dari tempat tinggal Ali di Riyâd. Nampaknya, dari interaksi dengan halâqah inilah Ali Mustafa mendapat inspirasi untuk mendirikan pesantren khusus hadis kemudian hari di tanah air. Di samping itu, Ali Mustafa juga menghadiri perkuliahan-perkuliahan yang dibawakan oleh ‘Abdul Azîz dan tokoh-tokoh lain. Kemampuan bahasa Inggris Ali Mustafa yang baik, menjadikan ia juga bisa mengkaji karya tulis para orientalis Barat dengan baik seperti buku-buku 14 A. J. Arberry adalah orientalis Inggris yang ahli di bidang tasawwuf Islam dan sastra Persia. Arberry tergolong orientalis yang bersikap netral terhadap ajaran Islam. Terbukti dengan usaha dia untuk menjelaskan hakikat Islam terutama pada orientalis sebelum memberikan justifikasi negatif atas ajaran Islam lewat menterjemahkan literatur-literatur Arab dan Persia ke bahasa Inggris, tetapi tidak diketahui dengan jelas apakah dia menganut agama Islam atau tidak. Lihat Abd al-Rahman Badawi, Ensiklopedi Orientalis. Penerjemah Amroni Drajat, Yogyakarta: LKis, 2003, h. 1-4. 17 Ignaz Goldziher 1850-1921, Joseph Schacht 1902-1969, David Samuel Margoliouth w. 1940, Junyboll L. 1935, A. Guillaume, dan lain-lain. Namun pembacaan tersebut bukan membuat Ali Mustafa menjadi terpengaruh oleh pemikiran mereka. Tetapi malah ia mencari karya tandingan sebagai komparasi terhadap teori-teori yang mereka bangun. Hal tersebut melahirkan sikap kritis Ali Mustafa terutama terhadap orientalis. Sikap kritis Ali Mustafa tersebut banyak dipengaruhi oleh Mustafa al-Sibâ’î Guru besar Universitas Damaskus yang menulis buku al-Sunnah wa Makânatuhâ Fi al-Tasyrî’ al-Islâmi 1949, Muhammad ‘Ajâj al-Khatîb yang menulis buku al-Sunnah Qabla Tadwîn 1964, dan Muhammad Mustafa al-‘Azami l. 1932 yang menulis Studies in Early Hadith Literature 1966. Ali Mustafa sangat kagum terhadap pembelaan yang mereka lakukan terhadap hadis Nabi saw. Mustafa al-Sibâ’î dikenal dengan sikap berani dan sportif karena ia tidak segan dan gentar untuk mendatangi langsung Joseph Schacht di universitas Leiden Belanda untuk mendiskusikan keculasan dan ketidak jujuran Ignaz Goldziher dalam mengutip teks-teks sejarah. Muhammad ‘Ajâj al-Khatîb menurut Ali Mustafa juga memiliki kontribusi besar dalam membela eksistensi hadis Nabi dari serangan orientalis. Sementara ‘Azami dalam pandangan Ali Mustafa adalah sosok intelektual yang istiqamah dan punya dedikasi tinggi terhadap usaha pembelaan atas ajaran Islam. Walaupun ia belajar di komunitas orientalis, namun ‘Azami sama sekali tidak terpengaruh oleh mereka. Bahkan disertasi ‘Azami justru mengkritik dua tokoh utama orientalis dalam bidang hadis Ignaz Goldziher