26
bid’ah yang sesat walaupun di dalam perbuatan tersebut ada unsur-unsur kebaikannya. Seperti zikir berjama’ah, membaca wirid pagi dan sore secara
berjama’ah, merayakan maulid Nabi saw, merayakan isrâ’ mi’râj, merayakan nuzûl al-Qur’ân, fotografi, isbâl, dan lain-lain.
32
Dalam hal ini Ali Mustafa lebih memilih sikap moderat. Ia berpandangan bid’ah bukanlah pendapat yang berbeda karena lahir dari
konsekuensi adanya ijtihad. Namun bid’ah dalam ibadah adalah amalan- amalan yang tidak ada dalilnya.
33
Oleh karena itu, menurutnya zikir berjama’ah, perayaan isrâ’ dan mi’raj, maulid Nabi saw, nuzul al-Qur’an,
qunut subuh terus-menerus, berdo’a berjama’ah selesai salat, tidaklah termasuk bid’ah yang sesat.
34
32
Abd al-Azîz bin Bâz dkk, al-Bidâ’ wa al-Muhdatsât wa mâ lâ asla lahû, ed., Hammâd bin ‘Abdullâh al-Matar, Riyâd: Dâr Ibn Khuzaimah, 1999, h. 201.
33
Ahmad Dimyati Badruz Zaman, Zikir Berjama’ah Sunnah atau Bid’ah. Pengantar Ali Mustafa Yaqub, Jakarta: Republika, 2003, h. Xxxiv.
34
Ali Mustafa Yaqub, Kerukunan Antar Umat Beragama, h. 10; Islam Masa Kini, h. 48.
27
BAB III SEKILAS MENGENAI KAJIAN HADIS
A. Dua Istilah Yang Populer
Dalam buku Ali Mustafa Yaqub yang berjudul Kritik Hadis disebutkan bahwa:
“untuk menyebut apa yang bersumber dari Nabi Muhammad saw, ada dua istilah yang berkembang di kalangan masyarakat Islam,
pertama: Hadis, dan kedua: Sunnah. Dua istilah ini terkadang masih dianggap kurang definitif sehingga perlu dipertegas lagi menjadi Hadis
Nabi atau Hadis Nabawi, dan Sunnah Nabi atau Sunnah Rasul. Di luar itu, masih ada istilah lain, yaitu khabar berita, dan atsar
peninggalan. Namun kedua istilah ini tidak berkembang.
Dari sudut kebahasaan etimologis, kata Hadis aslinya tertulis: Hadith atau Hadits, berarti baru. Arti ini dimaksudkan
sebagai lawan dari kata Qadîm lama, dulu yang menjadi sifat Kalam Allah al-Qur’an, karena hadis sebagai sabda Nabi saw memiliki sifat
baru, yaitu didahului oleh sifat ‘tidak ada’. Sementara kalam Allah al- Qur’an tidak demikian, ia tidak didahului dengan ‘tidak ada’”.
1
Hadis berasal dari bahasa Arab
ﺚﯾﺪﺤﻟا al-Hadîs; jamaknya adalah ﺚﯾدﺎﺣﻷا al-Ahâdîts. Dari segi bahasa, kata ini memiliki banyak arti di
antaranya:
ﺪﯾﺪﺠﻟا
al-jadîd yang berarti baru, lawan dari kata
ﻢﯾﺪﻘﻟا al-qadîm
berarti lama. Dalam hal ini semua yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw, itu adalah hadis baru sebagai lawan dari wahyu Allah kalam Allah
yang bersifat qadîm. Pendapat tersebut juga dikemukakan oleh Muhammad ‘Ajjâj al-Khatîb, beliau mengatakan hadis berarti sesuatu yang baru.
Sedangkan menurut istilah, hadis diberi pengertian yang berbeda-beda oleh ulama.
1
Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995, h. 32.
28
Adapun pengertian hadis menurut ahli hadis yang dikutip oleh Usman Sya’roni dalam kitab ‘Ulûm al-Hadîts wa Mustalahuhu karya Subhî al-Sâlih
adalah:
29
sesudahnya. Dengan arti ini, menurut mayoritas ulama, sunnah sinonim dengan hadis.
4
Sejumlah ahli hadis berpendapat bahwa hadis adalah sabda, pekerjaan dan ketetapan Nabi saw. Sedang ahli-ahli hadis yang lain berpendapat bahwa
hadis tidak hanya berarti sabda, pekerjaan dan ketetapan Nabi saw saja, tetapi mencakup perkataan, pekerjaan dan ketetapan sahabat dan tabi’în.
5
Sedangkan kata Sunnah, secara etimologis berarti ‘tata cara’. Menurut Syammar, yaitu kelompok kabilah-kabilah Arab Yaman, kata ‘sunnah’ pada
mulanya berarti ‘membuat jalan’, yaitu jalan yang dibuat oleh orang-orang dahulu kemudian dilalui oleh orang-orang yang datang sesudah mereka.
Sementara al-Razi, penulis kamus Mukhtar al-Sihah menuturkan bahwa ‘sunnah’ secara kebahasaan berarti ‘tata cara dan prilaku hidup’ al-tariqah
dan al-sirah. Dari pengertian ini kemudian timbul ungkapan ‘Sunnah al- Islam’ atau ‘Sunnah’ saja, sebagai lawan dari bid’ah tata cara yang tidak
dikenal dalam Islam.
6
Adapun pengertian sunnah menurut ahli hadis yang terdapat dalam buku otentisitas hadis menurut ahli hadis dan kaum sufi karya Usman
Sya’roni adalah: