Kajian Hadis di Indonesia

37 setelah memperoleh bimbingan terakhir dari ulama kenamaan kelahiran Jawa. 25 Pada dasarnya, hampir semua kajian ke-Islam-an sentral yang ada saat ini, embrionya telah ada pada masa Nabi Muhammad saw. Hanya saja bentuknya masih sangat sederhana dan tidak tersusun secara sistematis seperti masa sekarang ini. Begitu pula halnya dengan hadis sebagai suatu cabang ilmu. Dalam sudut pandang ini secara praktis, ilmu hadis sesungguhnya sudah dikenal semenjak Nabi saw masih hidup. Tentu saja cakupan kajiannya masih sangat terbatas, karena semua kesulitan yang dihadapi para sahabat dengan mudah dapat berpulang langsung kepada Nabi untuk dilakukan klarifikasinya. Sebagai sebuah disiplin ilmu, ilmu hadis mempunyai obyek sentral dalam pengkajiannya. Ilmu yang populer dengan sebutan Ilmu Mustalah Hadis ini memfokuskan pusat kajiannya pada penelitian otentisitas suatu hadis. Meski masih sangat terbatas dan belum terdapat acuan metodologinya, peristiwa pengecekan otentisitas hadis sesungguhnya telah pernah terjadi pada masa Nabi. Hal ini bisa kita lihat pada suatu peristiwa dimana Umar bin al-Khattab memperoleh informasi bahwa Nabi menceraikan semua istri beliau. Umar pun kaget dan langsung mengecek kebenaran matan hadis itu bukan mengecek siapa yang menyampaikan hadis itu karena para sahabat semuanya dikenal adil dan ternyata hadis itu salah. Kekagetannya itu tentu saja karena Umar 25 Muhammad Dede Rudliyana, Perkembangan Pemikiran Ulum al-Hadis Dari Klasik Sampai Modern, Bandung: Pustaka Setia, 2004, h. 134. 38 merasa bahwa informasi tersebut janggal. Karena itulah, ia langsung mengecek kebenaran informasi ini dan memang berita itu tidak benar. 26 Kejadian ini memperlihatkan betapa otentisitas suatu berita dari Nabi dapat dengan mudah dikonfirmasikan langsung kepada Nabi, sehingga dapat diketahui apakah berita itu valid atau justru sebaliknya. karena para sahabat bisa langsung bertanya kepada nabi apakah hadis itu valid atau tidak berasal dari nabi. Salah satu faktor tidak berkembangnya kajian hadis pada zaman nabi juga dikarenakan adanya larangan penulisan hadis meskipun nantinya larangan ini dihapus. 27 Kajian hadis sempat mengalami masa kevakuman sekitar 6 abad abad 13-19 H. Namun, kembali menggeliat pada saat seorang orientalis Yahudi bernama Ignaz Goldziher, kelahiran Hungaria yang hidup antara tahun 1850-1921 M, menggoncangkan dunia penelitian hadis dengan menerbitkan sebuah buku berjudul Muhammadenishe Studien Studi Islam. 28 Dalam buku ini, ia menolak kriteria dan persyaratan otentisitas hadis seperti yang telah ditetapkan ulama-ulama hadis terdahulu. 29 Pada dasarnya, “Kritik Hadis” yaitu menyeleksi otentisitas berita yang bersumber dari Nabi Muhammad saw telah dimulai oleh para ulama. Bahkan hal ini pun telah dilakukan juga sejak masa Nabi Muhammad saw. maupun 26 Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995, h. 1. 27 Misalnya hadis yang dinukil oleh MM. Azami dalam bukunya Studies In Early Literature, terjemah oleh Ali Mustafa Yaqub dari Sa’id bin Khudari yang berbunyi: “Jangan kamu tulis ucapan-uacapanku, barangsiapa menulis ucapanku selain al-Qur’an maka hendaknya ia menghapusnya…… meskipun nantinya hadis ini dinaskh oleh hadis lain. 28 Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995, h. 8. 29 Manna’ Al-Qattan dalam Mabahits Fi Ulum al-Hadis mengatakan bahwa syarat diterima tidaknya sebuah hadis ada lima, pertama, sanadnya bersambung dari awal sampai akhir, kedua, rawinya adil, ketiga, rawinya dabit baik dabit secara hafalan maupun tulisan, keempat, tidak ada cacat’illat dalam matannya, kelima, tidak bertentangan dengan riwayat yang lebih unggul. hal.117. 39 masa sahabat. Namun hal tersebut masih terbatas pada kritik matan hadis. Ignaz Goldziher menuduh bahwa penelitian hadis yang dilakukan oeh ulama klasik tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena kelemahan metodenya. Hal ini karena para ulama lebih banyak menggunakan metode kritik sanad dan kurang menggunakan metode kritik matan. Hanya saja, metode kritik matan yang ditawarkan oleh Goldziher ini berbeda dengan kritik matan yang dipakai oleh para ulama. Menurutnya, kritik matan hadis itu mencakup berbagai aspek seperti politik, sains, sosiolokultural, dan lain-lain. Ia mencontohkan sebuah hadis yang terdapat dalam kitab Sahîh al-Bukhârî dimana menurutnya, al-Bukhârî hanya melakukan kritik sanad dan tidak melakukan kritik matan. Sehingga setelah dilakukan kritik matan oleh Goldziher, hadis itu ternyata palsu. 30 Goldziher juga orang pertama yang menuduh al-Zuhri sebagai seorang pembuat hadis palsu. Goldziher merubah kutipan teks pernyataan al-Zuhri yang terdapat dalam kitab Ibn al-Sa’ad dan Ibn al-Asakir. Kata “ahadits” dalam pernyataan al-Zuhri yang mengatakan, “Inna haulai al-umara akrahuna ‘ala kitabah ahadits” yang sesungguhnya berbentuk definitif ma’rifah, yaitu “al-ahadits”. Sepertinya Ini bukan ketidaksengajaan Goldziher. Karena ia dengan pasti mengerti bahwa jika tidak memakai “al”, maka konsekuensi maknanya akan berbeda dengan jika memakai “al”. pengertian ucapan al-Zuhri yang asli 30 Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995, h. 15. 40 adalah, para pejabat itu telah memaksanya untuk menuliskan hadis-hadis Nabawi yang pada saat itu sudah ada tetapi belum terhimpun dalam suatu buku. Sementara pengertian ucapannya dalam kutipan Goldziher adalah, para pejabat itu telah memaksanya untuk menulis hadis yang belum pernah ada saat itu. 31 Bukunya Muhammadenishe Studien, menjadi sebuah rujukan utama yang harus dibaca oleh setiap orientalis dan buku ini juga dianggap sakral oleh mereka sehingga kritik dan meragukan keilmiahannya harus diberangus dari dunia. Setelah Goldziher meninggal pada 1921, pengkajian hadis oleh orientalis dilanjutkan oleh Joseph Schacht. Karyanya yang paling monumental dan melambungkan namanya adalah bukunya yang berjudul The Origins Of Muhammadan Jurisprudence yang terbit pada tahun 1950, kemudian bukunya An Introduction to Islamic Law yang terbit pada tahun 1960. Dalam dua karyanya ini, ia menyajikan hasil kajian tentang hadis Nabawi, dimana ia berkesimpulan bahwa hadis nabawi terutama yang berkaitan dengan hukum Islam, adalah buatan para ulama abad kedua dan ketiga Hijriyah. 32 Schacht juga terkenal dengan teorinya yaitu Teori “Projecting Back” yaitu memproyeksikan periwayatan hadis kepada tokoh-tokoh di belakang. Ia menyatakan bahwa isnâd, yakni rangkaian para periwayat hadis yang menjadi sandaran ke-sahîh-an sebuah matan hadis memiliki kecenderungan untuk berkembang ke belakang. Menurutnya isnâd berawal dari bentuk yang 31 Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995, h. 10. 32 Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995, h. 20. 41 sederhana , lalu diperbaiki sedemikian rupa dengan cara mengaitkan doktrin- doktrin aliran fiqh klasik kepada tokoh yang lebih awal, seperti sahabat dan akhirnya kepada Nabi saw. Inilah yang dinamakan teori projecting back. 33 Kritik hadis yang menjadi corak utama kajian hadis kontemporer tidak berhenti sampai disitu saja. Lebih-lebih dari kalangan orientalis. Mereka terus melakukan penelitian dan pengkajian. Selanjutnya, muncul seorang orientalis Belanda yang bernama Gautier H.A. Juynboll yang terkenal dengan teori common link -nya. Sebenarnya, Juynboll bukanlah orang yang pertama membicarakan fenomena common link dalam periwayatan hadis. Ia mengakui dirinya sebagai pengembang dan bukan penemu teori tersebut. Dalam beberapa tulisannya, ia selalu merujuk kepada Schacht seraya berkata bahwa dialah pembuat istilah common link dan yang pertama kali memperkenalkannya dalam The Origins Of Muhammadan Jurisprudence. 34 Meski demikian, Schacht ternyata gagal mengamati frekuensi fenomena tersebut dan kurang memberikan perhatian dan elaborasi yang cukup memadai. Teori common link dengan metode analisis isnâd-nya tidak lain adalah sebuah metode kritik sumber source critical method dalam ilmu sejarah. Metode Schacht yang dikembangkan Juynboll ini kemudian dielaborasi lebih rinci oleh Motzki dan menjadi metode analisis isnâd-cum- matn . Secara keseluruhan, metode yang sangat terkait dengan problem 33 Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A. Juynboll : Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi . Yogyakarta: Lkis, 2007, h. 2. 34 Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A. Juynboll : Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi . Yogyakarta: Lkis, 2007, h. x. 42 penanggalan hadis ini merupakan salah satu metode dalam pendekatan sejarah historical approach. Common link adalah istilah untuk seorang periwayat hadis yang mendengar suatu hadis dari jarang lebih dari seorang yang berwenang dan lalu ia menyiarkannya kepada sejumlah murid yang pada gilirannya kebanyakan dari mereka menyiarkan lagi kepada satu atau lebih muridnya. Dengan kata lain, common link adalah periwayatan tertua yang disebut dalam berkas isnâd yang meneruskan hadis kepada lebih dari satu murid. Dengan demikian, ketika berkas isnâd hadis itu mulai menyebar untuk yang pertama kalinya maka disanalah ditemukan common link-nya. 35 Setiap zaman senantiasa muncul para pemikir yang tertarik untuk meneliti hadis. Ini dapat dilihat dari buku-buku ilmu hadis yang banyak berkembang dewasa ini. Kajian terhadap hadis dalam karya-karya itu, pada umumnya bersifat filosofis. Kajian yang didasarkan pada pendekatan murni ilmiah, baru terjadi pada abad 19 M, yang dilakukan oleh para orientalis. Namun umumnya hasil studi mereka khususnya terhadap hadis, kurang bias diterima oleh umat Islam. Karena mereka selain bukan muslim, juga konklusi mereka terhadap hadis nabawi umumnya negatif, sehingga menyentuh emosi umat Islam, yang pada gilirannya mendapat sanggahan negatif pula dari kalangan penulis muslim, sehingga nilai-nilai ilmiah menjadi terabaikan. 35 Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A. Juynboll : Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi . Yogyakarta: Lkis, 2007, h. 3. 43 Namun ada satu buku yang menyanggah pandangan kaum orientalis terhadap hadis yang sarat dengan nilai-nilai ilmiah dan dipuji oleh banyak kalangan, baik muslim maupun non muslim, yaitu buku: Studies in Early Hadith Literature, 36 karya Muhammad Mustafa ‘Azamî, seorang cendekiawan muslim kelahiran India pada tahun 1932. Ia adalah guru besar ilmu hadis di Universitas King Saud Riyadh Saudi Arabia, yang lebih dikenal dengan M.M. ‘Azamî. Buku tersebut semula merupakan disertasi M.M. A’zamî di Universitas Cambridge, Inggris, pada tahun 1965 1966. Sumbangan pemikiran M.M. A’zamî pada masa awal pra-Goldziher, disimpulkan bahwa hadis bukanlah ucapan atau perbuatan yang sebenarnya dari Nabi Muhammad saw. Konsekuensi dari anggapan ini adalah penolakan atas hadis sebagaimana didefinisikan oleh ulama muhadditsin, karena dipandang tidak pernah ada. Menurut mereka, hadis adalah karya manusia belaka, yang tidak memiliki kebenaran sama sekali. Periode kedua tentang penelitian hadis yang dilakukan oleh orientalis tercapai ketika Ignaz Goldziher menerbitkan karyanya, Muhammadenische Studien. Di samping bukunya yang lain, Die Zahiriten, karya tersebut adalah puncak tulisan-tulisan Goldziher. 37 36 Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, dan diberi judul: Dirâsât fi al- Hadîth al-Nabawi wa Tarîkh Tadwînih, diterbitkan oleh Dâr al-Maktab al-Islami, Beirut pada tahun 1980. Pada tahun 1986, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Endang Nurjaman dan Endang Soetari Ad, namun tidak diterbitkan. Pada tahun 1994, diterjemahkan pula oleh Ali Mustafa Yaqub, dan diberi judul: Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, diterbitkan oleh Pustaka Firdaus: Jakarta, 1994. 37 Badri Khaeruman, Otentisitas Hadis; Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004, h. 244. 44 BAB IV PEMIKIRAN ALI MUSTAFA YAQUB DALAM PEMAHAMAN HADIS Kemampuan Nabi berkomunikasi dengan komunitas Arab yang berbeda- beda membawa dampak tidak hanya pada penelitian kualitas hadis, tetapi juga pada pemahaman matan hadis. Yakni selain memberikan peluang yang relatif luas terjadinya periwayatan makna, hal itu juga dapat menyebabkan adanya lafal yang berfariasi. Adakalanya berupa Jawâmi’ al-Kalim ungkapan singkat namun padat makna, tamtsîl perumpamaan, ramzi bahasa simbolik, bahasa percakapan, Qiyâs ungkapan analogi, dan lain-lain. 1 Perbedaan bentuk matan hadis menunjukkan bahwa pemahaman terhadap hadis Nabi pun harus berbeda-beda. Dalam hal ini, Yûsuf al-Qardâwi merumuskan bahwa ada dua tipologi pemahaman ulama atas hadis nabi, yaitu tekstual dan kontekstual. 2 Gejala awal pemahaman tekstual dan kontekstual ini telah muncul sejak zaman Nabi saw masih hidup. Hal tersebut dapat dilihat pada perbedaan para sahabat dalam menterjemahkan pesan Nabi, “Janganlah kalian salat Ashar kecuali di perkampungan Banî Quraizah”. 3 1 Muhammad Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Tela’ah Ma’ani al-Hadis tentang Ajaran Islam yang Universal, temporal dan lokal, Jakarta: Bulan Bintang, 1994, h. 9. 2 Yûsuf al-Qardâwi, Membedah Islam Ekstrim. Penerjemah Alwi. A.M Bandung: Mizan, 2001, cet-9, h. 54. 3 Muhammad bin Ismâ’îl Abû ‘Abdillâh al-Bukhâri al-Ja’fi, Shahih al-Bukhâri, Beirût: Dâr Ibn Katsîr, 1407 H1987 M, bâb salâh al-tâlib wa al-matlûb râkiban wa îmâ’an, hadis nomor 904, j. 1. H. 321.; Muslim bin al-Hajjâj Abû al-Husain al-Qusyairî al-Naisâbûrî, Sahîh Muslim, bâb al-mubâdarah bi al-Ghazw, hadis nomor 1770, j. 3, h. 1391. 45 Berdasarkan realitas sejarah di atas, penulis akan mencoba memetakan pada bab ini tentang pemahaman tekstual dan kontekstual yang akan digali dari buku-buku yang pernah ditulis oleh Ali Mustafa Yaqub.

A. Tekstual

Tekstualis zâhiri adalah orang-orang yang hanya berpegang kepada nas-nas secara harfiah, tanpa mendalami maksud kandungan serta tujuannya. Kelompok tekstualis menolak mempertimbangkan alasan, motivasi, dan latar belakang hukum, dan menyamaratakan antara adat dan ibadah dalam satu rangkaian. 4 Jamal al-Din al-Qasimî dan Yusuf al-Qardawi menilai bahwa hal ini dilatarbelakangi oleh dua hal, yaitu motivasi cinta adab kepada Rasulullah Saw dan motivasi ibadah. Pertama, Motivasi cinta adab kepada Rasulullah saw seperti yang ditunjukkan oleh sebagian sahabat sejak Rasulullah saw masih hidup. Ibnu Umar merupakan potret utama dalam hal ini. Ketika Rasulullah saw pernah turun dari punggung untanya pada suatu hari dan melakukan salat dua rakaat, maka Ibnu Umar melakukannya ketika ia melewati tempat itu. 5 Kesetiaannya yang tinggi dalam mengikuti jejak langkah Rasulullah saw ini telah mengundang pujian dari Ummu al-Mukminîn ‘ Āisyah ra, “Tak seorangpun mengikuti jejak langkah Rasulullah saw di tempat-tempat pemberhentiannya, sebagai yang dilakukan oleh Ibnu Umar.” 6 4 Yûsuf al-Qardâwi, Membedah Islam Ekstrim. h. 54. 5 Khalid Muhammad Khalid, Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah. Penerjemah Mahyudin Syaf, dkk. Bandung: CV. Diponegoro, 2002, h. 121. 6 Khâlid Muhammad Khâlid, Karakteristik Perihidup 60 Sahabat, h. 121. 46 Kedua, Motivasi Ibadah, misalnya seorang muslim yang memendekkan pakaiannya sarung, baju gamis dan celana karena ingin mengikuti sunnah, menjauhkan diri dari tuduhan melakukan kesombongan, atau menghindari perbedaan pendapat, maka ia mendapat pahala. Tetapi dengan syarat ia tidak boleh memaksa orang lain melakukan seperti dirinya sendiri. Dan juga tidak boleh bertindak keterlaluan dalam mengkritik orang lain yang tidak melakukannya, karena adanya pendapat mujtahid lain yang berbeda, dan setiap mujtahid akan mendapat pahala atas ijtihadnya. 7 Namun Muhammad Abduh seorang tokoh revivalis modern berpandangan bahwa tidak semua ucapan dan perbuatan Nabi saw memiliki kandungan hukum. Hanya para ahli fiqh tradisionalis ekstrim dari madzhab Zahiri dan sebagian pengikut Hanbali yang menyerukan bahwa mengikuti Nabi saw dalam setiap hal sebagai kewajiban. 8 Mereka juga terikat pada makna harfiah teks al-Qur’an dan hadis. 9 Ahmad bin Hanbal pendiri madzhab Hanbali 10 w. 241 H. 7 Yûsuf al-Qardâwi, Kaifa Nata’amal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah Ma’âlim Wa Dawâbit Virginia: al-Ma’had al-Ali al-Fikr al-Islâmi,1990, h. 108. 8 Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, Penerjemah Jaziar Radianti, Bandung: Mizan, 2000, h. 33. 9 Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, h. 151. 10 Ahmad bin Hanbal memiliki nama lengkap Abû Abdillah ibn Muhammad ibn Hanbal ibn Hilal al-Syaibani. Keluarganya pindah dari Marwa ke Baghdad pada waktu ibunya mengandung Imam Ahmad. Ia lahir pada bulan Rabi’ al-Awwal tahun 164 H di Baghdad dalam keadaan yatim. Imam Ahmad belajar hadis secara dikte kepada para guru-gurunya di Bagdad selama 7 tahun yaitu sejak berumur 15 tahun sampai umur 22 tahun. Setelah itu, ia pergi ke Kûfah, Basrah, Makkah, Madinah, Yaman, Syam dan Jazirah Arab untuk menuntut ilmu. Lihat Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, h. 5. Ahmad bin Hanbal mempunyai kitab koleksi hadis yang memuat 40.000 hadis. Ia menulisnya berdasarkan musnad kumpulan hadis para sahabat dan menyusunnya berdasarkan tema-tema hadis. Namun Imâm Ahmad menyusunnya tidak berdasarkan urutan huruf hijaiyah atau huruf mu’jam, melainkan berdsarkan hal-hal yang bermacam-macam, di antaranya; keistimewaan para sahabat, daerah tempat tinggal sahabat, suku atau kabilah sahabat, dan lain sebagainya. Lihat Mahmûd al-Tahhan, Usul al-Takhrij wa al-Dirasah al-Asanid, Riyâd: Maktabah al- Ma’arif, 1417 H1996 M, h. 42. 47 Sementara itu, tokoh-tokoh madzhab lain berpendapat adanya kebutuhan akan langkah penafsiran antara tradisi dan penerapan hukumnya. 11 Imam al-Syafi’i 204 H misalnya, walaupun ia cenderung tekstualis, akan tetapi dia masih mentolelir dinamika penakwilan terhadap hadis-hadis yang memang berpotensi pada pemaknaan yang lebih dari satu. 12 Selain itu, dua corak pemikiran al-Syâfi’î, Qaul Qadîm ketika ia tinggal di Bagdad dan Qaul Jadîd ketika ia tinggal di Mesir menunjukkan bahwa ia sangat memperhatikan konteks secara serius. 13 Adapun Abû Hanîfah w. 150 H lebih dikenal sebagai tokoh madrasah Ahl Ra’y aliran Rasional walaupun ia juga seorang ahli hadis, 14 sehingga madzhab Hanafi seperti diutarakan Muhammad al-Ghazâli lebih dekat dengan rada keadilan dan protokol tentang hak asasi manusia. 15 Berdasarkan karakteristik setiap tokoh tersebut, Farûq Abû Zaid menyebut kelompok pertama sebagai al-muhafizûn kaum ortodoks, sedang kelompok 11 Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, h. 33. 12 Muhammad Jamâl al-Din al-Qâsimi, Qawâid al-Tahdits min Funun Mustalah al- hadîts, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, t.t., h. 305. 13 Misalnya, menurut Qaul Qadim orang yang salat sementara pakaiannya terkena najis beberapa waktu sebelum salat maka salatnya tidak sah kecuali ia orang bodoh atau lupa. Menurut Qaul Jadid salatnya tidak sah apabila ia bodoh atau lupa. Muhyi al-Dîn bin Syarf al- Nawâwi, al-Majmû’, Beirut: Dâr al-Fikr, 1417 H1996 M, juz 3, h. 139. 14 Menurut Imâm Yahya bin Ma’în w. 233 H, Abû Hanîfah adalah seorang yang tsiqah dapat diandalkan hadisnya. Ia tidak mau meriwayatkan hadis kecuali yang ia hafal saja. Di antara orang yang menulis hadis darinya adalah ‘Abdullah bin al-Mubârak, Abû Yûsuf, dan Muhammad bin Hasan al-Syaibani. Salah satu kitab hadis karya Abû Hanîfah adalah kitab Musnad al-Imâm al-A’zam Abî Hanîfah. Lihat Muhammad Abd al-Rahman bin Abd al-Rahîm al-Mubârakfûri Abû al-A’la, Tuhfah al-Ahwadzi, Beirut: Dâr al-Kutub al- Ilmiyyah, 1410 H1990 M, h. 13. Muhammad Mustafa al-A’zami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Penerjemah Ali Mustafa Yaqub, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994, h. 425. Menurut Mustafa al-A’zamî pendapat yang mengatakan bahwa orang Iraq lebih mementingkan ra’yu dari pada hadis adalah tidak tepat Karena pernyataan eksplisit ulama Iraq menyebutkan “lâ hujjata Fi Ahadin ma’a al-Nabiy shallallahu ‘alaihi wasallam” “Tidak ada orang yang memilki otoritas jika dipersandingkan dengan Nabi saw”. Muhammad Mustafa al- A’zami , Menguji Keaslian Hadis-Hadis Hukum; Sanggahan atas The Origins Of Muhammadan Jurisprudence Joseph Schacht, penerjemah Asrofi, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004, h. 97. 15 Muhammad al-Ghazâli, Studi Kritis Atas Hadis Nabi saw; Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual.