Kajian Hadis di Indonesia
37
setelah memperoleh bimbingan terakhir dari ulama kenamaan kelahiran Jawa.
25
Pada dasarnya, hampir semua kajian ke-Islam-an sentral yang ada saat ini, embrionya telah ada pada masa Nabi Muhammad saw. Hanya saja
bentuknya masih sangat sederhana dan tidak tersusun secara sistematis seperti masa sekarang ini. Begitu pula halnya dengan hadis sebagai suatu cabang
ilmu. Dalam sudut pandang ini secara praktis, ilmu hadis sesungguhnya sudah dikenal semenjak Nabi saw masih hidup. Tentu saja cakupan kajiannya masih
sangat terbatas, karena semua kesulitan yang dihadapi para sahabat dengan mudah dapat berpulang langsung kepada Nabi untuk dilakukan klarifikasinya.
Sebagai sebuah disiplin ilmu, ilmu hadis mempunyai obyek sentral dalam pengkajiannya. Ilmu yang populer dengan sebutan Ilmu Mustalah Hadis
ini memfokuskan pusat kajiannya pada penelitian otentisitas suatu hadis. Meski masih sangat terbatas dan belum terdapat acuan metodologinya,
peristiwa pengecekan otentisitas hadis sesungguhnya telah pernah terjadi pada masa Nabi.
Hal ini bisa kita lihat pada suatu peristiwa dimana Umar bin al-Khattab memperoleh informasi bahwa Nabi menceraikan semua istri beliau. Umar pun
kaget dan langsung mengecek kebenaran matan hadis itu bukan mengecek siapa yang menyampaikan hadis itu karena para sahabat semuanya dikenal
adil dan ternyata hadis itu salah. Kekagetannya itu tentu saja karena Umar
25
Muhammad Dede Rudliyana, Perkembangan Pemikiran Ulum al-Hadis Dari Klasik Sampai Modern,
Bandung: Pustaka Setia, 2004, h. 134.
38
merasa bahwa informasi tersebut janggal. Karena itulah, ia langsung mengecek kebenaran informasi ini dan memang berita itu tidak benar.
26
Kejadian ini memperlihatkan betapa otentisitas suatu berita dari Nabi dapat dengan mudah dikonfirmasikan langsung kepada Nabi, sehingga dapat
diketahui apakah berita itu valid atau justru sebaliknya. karena para sahabat bisa langsung bertanya kepada nabi apakah hadis itu valid atau tidak berasal
dari nabi. Salah satu faktor tidak berkembangnya kajian hadis pada zaman nabi juga dikarenakan adanya larangan penulisan hadis meskipun nantinya
larangan ini dihapus.
27
Kajian hadis sempat mengalami masa kevakuman sekitar 6 abad abad 13-19 H. Namun, kembali menggeliat pada saat seorang
orientalis Yahudi bernama Ignaz Goldziher, kelahiran Hungaria yang hidup antara tahun 1850-1921 M, menggoncangkan dunia penelitian hadis dengan
menerbitkan sebuah buku berjudul Muhammadenishe Studien Studi Islam.
28
Dalam buku ini, ia menolak kriteria dan persyaratan otentisitas hadis seperti yang telah ditetapkan ulama-ulama hadis terdahulu.
29
Pada dasarnya, “Kritik Hadis” yaitu menyeleksi otentisitas berita yang bersumber dari Nabi Muhammad saw telah dimulai oleh para ulama. Bahkan
hal ini pun telah dilakukan juga sejak masa Nabi Muhammad saw. maupun
26
Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995, h. 1.
27
Misalnya hadis yang dinukil oleh MM. Azami dalam bukunya Studies In Early Literature,
terjemah oleh Ali Mustafa Yaqub dari Sa’id bin Khudari yang berbunyi: “Jangan kamu tulis ucapan-uacapanku, barangsiapa menulis ucapanku selain al-Qur’an
maka hendaknya ia menghapusnya…… meskipun nantinya hadis ini dinaskh oleh hadis lain.
28
Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995, h. 8.
29
Manna’ Al-Qattan dalam Mabahits Fi Ulum al-Hadis mengatakan bahwa syarat diterima tidaknya sebuah hadis ada lima, pertama, sanadnya bersambung dari awal sampai
akhir, kedua, rawinya adil, ketiga, rawinya dabit baik dabit secara hafalan maupun tulisan, keempat,
tidak ada cacat’illat dalam matannya, kelima, tidak bertentangan dengan riwayat yang lebih unggul. hal.117.
39
masa sahabat. Namun hal tersebut masih terbatas pada kritik matan hadis. Ignaz Goldziher menuduh bahwa penelitian hadis yang dilakukan oeh ulama
klasik tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena kelemahan metodenya.
Hal ini karena para ulama lebih banyak menggunakan metode kritik sanad dan kurang menggunakan metode kritik matan. Hanya saja, metode
kritik matan yang ditawarkan oleh Goldziher ini berbeda dengan kritik matan yang dipakai oleh para ulama. Menurutnya, kritik matan hadis itu mencakup
berbagai aspek seperti politik, sains, sosiolokultural, dan lain-lain. Ia mencontohkan sebuah hadis yang terdapat dalam kitab Sahîh al-Bukhârî
dimana menurutnya, al-Bukhârî hanya melakukan kritik sanad dan tidak melakukan kritik matan. Sehingga setelah dilakukan kritik matan oleh
Goldziher, hadis itu ternyata palsu.
30
Goldziher juga orang pertama yang menuduh al-Zuhri sebagai seorang pembuat hadis palsu. Goldziher merubah kutipan teks pernyataan al-Zuhri
yang terdapat dalam kitab Ibn al-Sa’ad dan Ibn al-Asakir. Kata “ahadits” dalam pernyataan al-Zuhri yang mengatakan, “Inna haulai al-umara
akrahuna ‘ala kitabah ahadits” yang sesungguhnya berbentuk definitif
ma’rifah, yaitu “al-ahadits”. Sepertinya Ini bukan ketidaksengajaan Goldziher. Karena ia dengan
pasti mengerti bahwa jika tidak memakai “al”, maka konsekuensi maknanya akan
berbeda dengan jika memakai “al”. pengertian ucapan al-Zuhri yang asli
30
Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995, h. 15.
40
adalah, para pejabat itu telah memaksanya untuk menuliskan hadis-hadis Nabawi yang pada saat itu sudah ada tetapi belum terhimpun dalam suatu
buku. Sementara pengertian ucapannya dalam kutipan Goldziher adalah, para pejabat itu telah memaksanya untuk menulis hadis yang belum pernah ada saat
itu.
31
Bukunya Muhammadenishe Studien, menjadi sebuah rujukan utama yang harus dibaca oleh setiap orientalis dan buku ini juga dianggap sakral oleh
mereka sehingga kritik dan meragukan keilmiahannya harus diberangus dari dunia. Setelah Goldziher meninggal pada 1921, pengkajian hadis oleh
orientalis dilanjutkan oleh Joseph Schacht. Karyanya yang paling monumental dan melambungkan namanya adalah bukunya yang berjudul The Origins Of
Muhammadan Jurisprudence yang terbit pada tahun 1950, kemudian bukunya
An Introduction to Islamic Law yang terbit pada tahun 1960.
Dalam dua karyanya ini, ia menyajikan hasil kajian tentang hadis Nabawi, dimana ia berkesimpulan bahwa hadis nabawi terutama yang
berkaitan dengan hukum Islam, adalah buatan para ulama abad kedua dan ketiga Hijriyah.
32
Schacht juga terkenal dengan teorinya yaitu Teori “Projecting Back” yaitu memproyeksikan periwayatan hadis kepada tokoh-tokoh di belakang. Ia
menyatakan bahwa isnâd, yakni rangkaian para periwayat hadis yang menjadi sandaran ke-sahîh-an sebuah matan hadis memiliki kecenderungan untuk
berkembang ke belakang. Menurutnya isnâd berawal dari bentuk yang
31
Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995, h. 10.
32
Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995, h. 20.
41
sederhana , lalu diperbaiki sedemikian rupa dengan cara mengaitkan doktrin- doktrin aliran fiqh klasik kepada tokoh yang lebih awal, seperti sahabat dan
akhirnya kepada Nabi saw. Inilah yang dinamakan teori projecting back.
33
Kritik hadis yang menjadi corak utama kajian hadis kontemporer tidak berhenti sampai disitu saja. Lebih-lebih dari kalangan orientalis. Mereka terus
melakukan penelitian dan pengkajian. Selanjutnya, muncul seorang orientalis Belanda yang bernama Gautier H.A. Juynboll yang terkenal dengan teori
common link -nya.
Sebenarnya, Juynboll bukanlah orang yang pertama membicarakan fenomena common link dalam periwayatan hadis. Ia mengakui dirinya sebagai
pengembang dan bukan penemu teori tersebut. Dalam beberapa tulisannya, ia selalu merujuk kepada Schacht seraya berkata bahwa dialah pembuat istilah
common link dan yang pertama kali memperkenalkannya dalam The Origins Of Muhammadan Jurisprudence.
34
Meski demikian, Schacht ternyata gagal mengamati frekuensi fenomena tersebut dan kurang memberikan perhatian dan elaborasi yang
cukup memadai. Teori common link dengan metode analisis isnâd-nya tidak lain adalah sebuah metode kritik sumber source critical method dalam ilmu
sejarah. Metode Schacht yang dikembangkan Juynboll ini kemudian dielaborasi lebih rinci oleh Motzki dan menjadi metode analisis isnâd-cum-
matn . Secara keseluruhan, metode yang sangat terkait dengan problem
33
Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A. Juynboll : Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi
. Yogyakarta: Lkis, 2007, h. 2.
34
Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A. Juynboll : Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi
. Yogyakarta: Lkis, 2007, h. x.
42
penanggalan hadis ini merupakan salah satu metode dalam pendekatan sejarah historical approach.
Common link adalah istilah untuk seorang periwayat hadis yang
mendengar suatu hadis dari jarang lebih dari seorang yang berwenang dan lalu ia menyiarkannya kepada sejumlah murid yang pada gilirannya
kebanyakan dari mereka menyiarkan lagi kepada satu atau lebih muridnya. Dengan kata lain, common link adalah periwayatan tertua yang disebut dalam
berkas isnâd yang meneruskan hadis kepada lebih dari satu murid. Dengan demikian, ketika berkas isnâd hadis itu mulai menyebar untuk yang pertama
kalinya maka disanalah ditemukan common link-nya.
35
Setiap zaman senantiasa muncul para pemikir yang tertarik untuk meneliti hadis. Ini dapat dilihat dari buku-buku ilmu hadis yang banyak
berkembang dewasa ini. Kajian terhadap hadis dalam karya-karya itu, pada umumnya bersifat filosofis.
Kajian yang didasarkan pada pendekatan murni ilmiah, baru terjadi pada abad 19 M, yang dilakukan oleh para orientalis. Namun umumnya hasil
studi mereka khususnya terhadap hadis, kurang bias diterima oleh umat Islam. Karena mereka selain bukan muslim, juga konklusi mereka terhadap hadis
nabawi umumnya negatif, sehingga menyentuh emosi umat Islam, yang pada gilirannya mendapat sanggahan negatif pula dari kalangan penulis muslim,
sehingga nilai-nilai ilmiah menjadi terabaikan.
35
Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A. Juynboll : Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi
. Yogyakarta: Lkis, 2007, h. 3.
43
Namun ada satu buku yang menyanggah pandangan kaum orientalis terhadap hadis yang sarat dengan nilai-nilai ilmiah dan dipuji oleh banyak
kalangan, baik muslim maupun non muslim, yaitu buku: Studies in Early Hadith Literature,
36
karya Muhammad Mustafa ‘Azamî, seorang cendekiawan muslim kelahiran India pada tahun 1932. Ia adalah guru besar ilmu hadis di
Universitas King Saud Riyadh Saudi Arabia, yang lebih dikenal dengan M.M. ‘Azamî.
Buku tersebut semula merupakan disertasi M.M. A’zamî di Universitas Cambridge, Inggris, pada tahun 1965 1966. Sumbangan pemikiran M.M.
A’zamî pada masa awal pra-Goldziher, disimpulkan bahwa hadis bukanlah ucapan atau perbuatan yang sebenarnya dari Nabi Muhammad saw.
Konsekuensi dari anggapan ini adalah penolakan atas hadis sebagaimana didefinisikan oleh ulama muhadditsin, karena dipandang tidak
pernah ada. Menurut mereka, hadis adalah karya manusia belaka, yang tidak memiliki kebenaran sama sekali. Periode kedua tentang penelitian hadis yang
dilakukan oleh orientalis tercapai ketika Ignaz Goldziher menerbitkan karyanya, Muhammadenische Studien. Di samping bukunya yang lain, Die
Zahiriten, karya tersebut adalah puncak tulisan-tulisan Goldziher.
37
36
Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, dan diberi judul: Dirâsât fi al- Hadîth al-Nabawi wa Tarîkh Tadwînih,
diterbitkan oleh Dâr al-Maktab al-Islami, Beirut pada tahun 1980. Pada tahun 1986, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Endang
Nurjaman dan Endang Soetari Ad, namun tidak diterbitkan. Pada tahun 1994, diterjemahkan pula oleh Ali Mustafa Yaqub, dan diberi judul: Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya,
diterbitkan oleh Pustaka Firdaus: Jakarta, 1994.
37
Badri Khaeruman, Otentisitas Hadis; Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004, h. 244.
44
BAB IV PEMIKIRAN ALI MUSTAFA YAQUB DALAM PEMAHAMAN HADIS
Kemampuan Nabi berkomunikasi dengan komunitas Arab yang berbeda- beda membawa dampak tidak hanya pada penelitian kualitas hadis, tetapi juga
pada pemahaman matan hadis. Yakni selain memberikan peluang yang relatif luas terjadinya periwayatan makna, hal itu juga dapat menyebabkan adanya lafal yang
berfariasi. Adakalanya berupa Jawâmi’ al-Kalim ungkapan singkat namun padat makna, tamtsîl perumpamaan, ramzi bahasa simbolik, bahasa percakapan,
Qiyâs ungkapan analogi, dan lain-lain.
1
Perbedaan bentuk matan hadis menunjukkan bahwa pemahaman terhadap hadis Nabi pun harus berbeda-beda.
Dalam hal ini, Yûsuf al-Qardâwi merumuskan bahwa ada dua tipologi pemahaman ulama atas hadis nabi, yaitu tekstual dan kontekstual.
2
Gejala awal pemahaman tekstual dan kontekstual ini telah muncul sejak zaman Nabi saw
masih hidup. Hal tersebut dapat dilihat pada perbedaan para sahabat dalam menterjemahkan pesan Nabi, “Janganlah kalian salat Ashar kecuali di
perkampungan Banî Quraizah”.
3
1
Muhammad Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Tela’ah Ma’ani al-Hadis tentang Ajaran Islam yang Universal, temporal dan lokal,
Jakarta: Bulan Bintang, 1994, h. 9.
2
Yûsuf al-Qardâwi, Membedah Islam Ekstrim. Penerjemah Alwi. A.M Bandung: Mizan, 2001, cet-9, h. 54.
3
Muhammad bin Ismâ’îl Abû ‘Abdillâh al-Bukhâri al-Ja’fi, Shahih al-Bukhâri, Beirût: Dâr Ibn Katsîr, 1407 H1987 M, bâb salâh al-tâlib wa al-matlûb râkiban wa îmâ’an, hadis nomor
904, j. 1. H. 321.; Muslim bin al-Hajjâj Abû al-Husain al-Qusyairî al-Naisâbûrî, Sahîh Muslim, bâb al-mubâdarah bi al-Ghazw, hadis nomor 1770, j. 3, h. 1391.
45
Berdasarkan realitas sejarah di atas, penulis akan mencoba memetakan pada bab ini tentang pemahaman tekstual dan kontekstual yang akan digali dari
buku-buku yang pernah ditulis oleh Ali Mustafa Yaqub.