Kontribusi Ali Mustafa Yaqub terhadap perkembangan kajian hadis Kontemporer di Indonesia

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)

Oleh:

Ni’ma Diana Cholidah NIM: 107034000208

PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

KONTRIBUSI ALI MUSTAFA YAQUB TERHADAP PERKEMBANGAN KAJIAN HADIS KONTEMPORER DI INDONESIA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)

Oleh:

Ni’ma Diana Cholidah NIM: 107034000208

Pembimbing,

Dr. Bustamin, M.Si NIP. 19630703 199803 1 003

PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(3)

(4)

(5)

iii Ni’ma Diana Cholidah

Kontribusi Ali Mustafa Yaqub

Terhadap Perkembangan Kajian Hadis Kontemporer di Indonesia

Berbicara tentang perkembangan kajian hadis kontemporer di Indonesia, yang berkaitan dengan pemahaman tekstual dan kontekstual pemikiran Ali Mustafa Yaqub-sampai hari ini ternyata masih cukup relevan untuk dibincangkan dan diteliti. Di Indonesia, kegiatan mengkaji dan meneliti hadis belum nampak menjadi salah satu prioritas kajian keislaman sejak abad-abad awal islamisasi di Indonesia yang diperkirakan berawal pada abad ke-13.

Penelitian tentang hadis di Indonesia dalam taraf perkembangannya dikatakan mudah. Beberapa literatur yang ada tentang pembelajaran hadis dan sejumlah akademisi hadis terlihat telah berhasil membuktikan pernyataan ini. Ali Mustafa Yaqub adalah tokoh yang punya pengaruh besar terhadap corak keberagaman sebagian umat Islam Indonesia, terutama dalam kajian di bidang hadis.

Skripsi ini membahas tentang Kontribusi Ali Mustafa Yaqub Terhadap Perkembangan Kajian Hadis Kontemporer di Indonesia dengan fokus kepada studi Pemikiran Ali Mustafa Yaqub. Sumber utama (Primary Resources) penelitian adalah buku-buku yang ditulis Ali Mustafa. Dengan menggunakan metode deskriptif-analitis, data-data yang telah dikumpulkan dari beberapa sumber, diseleksi dan dirangkaikan ke dalam hubungan-hubungan fakta, sehingga membentuk pengertian-pengertian, yang kemudian dituangkan ke dalam bentuk penulisan deskriptif-analitis.

Ali Mustafa dianggap sebagai ahli hadis yang melanjutkan pembelaan A’zamî (l. 1932) secara akademis terhadap hadis. Dalam menghadapi hadis-hadis yang berkaitan dengan permasalahan ghaib (al-Umûr al-Ghaibiyyah) dan ibadah murni (al-Ibâdah al-Mahdah), Ali Mustafa menekankan aspek tekstual, karena menganggap dua hal ini tidak mampu dipahami secara utuh oleh nalar manusia.


(6)

iv

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt yang telah memberikan kekuatan rohani, jasmani, taufik, rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis, serta berbagai kemudahan dan kesabaran untuk menjalani berbagai rintangan selama penyelesaian skripsi ini. Penulis yakin benar bahwa hanya dengan pertolongan-Nya skripsi ini selesai disusun. Untuk itu sudah sepatutnya bagi penulis untuk mengakui kebesaran dan kedermawanan-Nya. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad Saw, yang telah mengajak umatnya kepada jalan yang diridhai Allah SWT supaya mendapatkan kebahagiaan dan keselamatan di dunia dan di akhirat.

Skripsi ini merupakan satu di antara tugas yang harus diselesaikan penulis dalam rangka mencapai gelar Sarjana Theologi Islam pada Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jurusan Tafsir Hadis.

Judul skripsi ini adalah “KONTRIBUSI ALI MUSTAFA YAQUB TERHADAP PERKEMBANGAN KAJIAN HADIS KONTEMPORER DI INDONESIA”. Dalam hasil penelitian ini, penulis menyadari banyak kekurangan yang sangat memerlukan perbaikan. Oleh karena itu, penulis membuka pintu lebar-lebar untuk menerima kritik dan saran yang sifatnya konstruktif. Dalam proses penyusunan ini, penulis telah banyak dibantu oleh berbagai pihak, baik berupa sumbangan pikiran, tenaga maupun materil. Maka sepatutnyalah dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Segenap civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Prof. Dr. Komaruddin Hidayat (Rektor), Prof. Dr. Zainun Kamal, MA, (Dekan


(7)

v

membimbing penulis menyelesaikan skripsi ini. Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA., (sekretaris Jurusan Tafsir Hadis) yang telah memberikan kemudahan kepada penulis dalam melengkapi persyaratan administratif selama penyusunan skripsi ini.

2. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin, khususnya dosen-dosen di jurusan Tafsir Hadis yang dengan penuh keikhlasan telah mencurahkan ilmu dan pengetahuannya selama penulis dalam masa studi.

3. Segenap pengelola perpustakaan, baik Fakultas Ushuluddin, perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah maupun Iman Jama’ yang telah memberikan berbagai fasilitas yang penulis butuhkan.

4. Kedua orangtua penulis, Ibu Nurnihayah dan Bapak H. Mas ‘Udi, S.Ag. yang telah dan masih mendidik penulis sejak buaian hingga sekarang serta senantiasa memberikan do’a dan motifasi kepada penulis. Semoga penulis selalu mendapatkan rida mereka, dan dapat berbakti kepada keduanya. (Allâhumma irhamhumâ wa ihfazhumâ kamâ rabbayânî sagîran, waballig maqâsidahumâ wa tawwil ‘umûrahumâ fî tâ’âtik)

5. Prof. Dr. Ali Mustafa Yaqub, MA.; yang telah meluangkan waktunya untuk diwawancara guna melengkapi data-data kajian skripsi ini dan selaku khâdim ma’had Dârus-Sunnah, yang telah mendidik penulis dengan penuh kesabaran dan keikhlasan. (Jazâhullâh wa hafizahu wanafa’anâ bi’ulûmih); juga Ibu Hj. Ulfah Uswatun Hasanah (istri Prof. Dr. Ali Mustafa Yaqub) yang telah membantu penulis dalam menentukan waktu wawancara.


(8)

vi

6. Segenap keluarga, Mbah Hj. Sa’idah, Mas Mujib dan Bule’ Tutik yang selalu memberikan bantuan moril maupun materil dan mengajarkan makna kesungguhan guna menuntaskan kewajiban. Terima kasih atas motivasi yang telah diberikan kepada penulis.

7. Bapak Rifqi Muhammad Fathi, MA. Terima kasih atas masukan-masukan yang telah diberikan, sehingga skripsi ini menjadi lebih baik.

8. Bapak Dr. M. Isa HA Salam, MA (penguji I) dan bapak Maulana, MA (penguji II). Terima kasih atas kritikan dan saran-sarannya.

9. Segenap civitas akademika Darus-Sunnah High Institute For Hadith Sciences, mahasantri khususnya K’ Rika, Teh Aan, The Iwi, Alya, Iin dan Syifa berikut alumninya. (Allahumma waffiqna fî kulli khayr).

10.Teman-teman penulis di manapun berada dan sahabat-sahabat Tafsir Hadis TH-B angkatan 2007 khususnya May, Risti, Ajeng, Nuril, Eva, k’ Ana, Zahro, Ni’mah dan Nisa’. Teman-teman seperjuangan KKN HASTA, teman-teman bisnis MLM (Ita, Arma, Teh Zizah, Hanim, k’ Aunur dan k’ Nia Amalia) dan sahabat satu almamater (Indri Yulianti) yang selalu mendampingi penulis dalam segala keadaan dan yang selalu memberikan support.


(9)

vii

Allah membalas pengorbanan dan kebaikan mereka semua dengan sebaik-baiknya balasan.

Seberapa maksimal pun penulis mengerjakan skripsi ini tentu tak akan luput dari kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran konstruktif dari mereka yang sudi membaca skripsi ini amat penulis harapkan untuk perbaikan penulis selanjutnya.

Wallah al-Hadî ilâ Sirât al-Mustaqîm

Ciputat, 09 Maret 2011


(10)

viii DAFTAR ISI

Halaman Judul ... i

Lembar Pengesahan Panitia Ujian ... ii

Abstrak ... iii

Kata Pengantar ... iv

Daftar Isi ... viii

Pedoman Transliterasi ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi, Rumusan dan Batasan Masalah ... 5

C. Kajian Pustaka ... 6

D. Tujuan Penelitian ... 7

E. Manfaat/Signifikansi Penelitian ... 8

F. Metodologi Penelitian ... 8

G. Sistematika Penulisan... 9

BAB II BIOGRAFI ALI MUSTAFA YAQUB ... 11

A. Sosio Kultural dan Sosio Keagamaan ... 11

B. Sumber Pemikiran ... 15

C. Aktivitas dan Karya ... 18


(11)

ix

B. Pembagian Hadis ... 30

C. Kajian Hadis di Indonesia ... 35

BAB IV PEMIKIRAN ALI MUSTAFA YAQUB DALAM PEMAHAMAN HADIS ... 45

A. Tekstual ... 46

1. Perkara Ghaib (al-Umur al-Ghaibiyyah)... 50

2. Ibadah Murni (al-‘Ibadah al-Mahdhah) ... 51

B. Kontekstual ... 52

1. Sebab-Sebab Turunnya Hadis (Asbâb al-Wurûd) ... 54

2. Lokal dan Temporal (Makâni wa Zamâni) ... 57

3. Kausalitas kalimat (‘Illat al-Kalâm) ... 58

4. Sosio Kultural (Taqâlid) ... 59

BAB V PENUTUP ... 60

A. Kesimpulan ... 60

B. Saran-saran ... 62

DAFTAR PUSTAKA ... 64 LAMPIRAN


(12)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah negara berpenduduk mayoritas muslim di dunia. Di Indonesia banyak lembaga pendidikan Islam, mulai dari tingkat Taman Kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Demikian juga organisasi Islam tersebar di seluruh nusantara. Selain itu, Indonesia juga memiliki sejumlah ulama dan pemikir Islam sejak dahulu sampai sekarang. Tapi sayangnya, kegiatan mengkaji dan meneliti hadis belum nampak menjadi primadona kajian keislaman di Indonesia. Padahal, sebagai salah satu sumber pokok ajaran Islam umumnya dan syariat khususnya, hadis seharusnya menduduki posisi penting dalam kajian Islam. Sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an, hadis tidak boleh diabaikan. Karena itu, hadis di tengah masyarakat Islam perlu dikaji.1

Memahami dan menjabarkan prinsip umum ajaran Islam berikut penjelasannya akan menemukan kesulitan, jika tanpa bantuan hadis-hadis Nabi Saw yang diyakini sebagai penjelas. Maka, sebuah kemestian jika kemudian di Indonesia bermunculan para tokoh-tokoh yang secara intens ataupun tidak yang memasyarakatkan atau mengembangkan hadis, baik secara individual ataupun kelompok.

1 Ramli Abdul Wahid, “

Perkembangan Kajian Hadis di Indonesia: Studi Tokoh dan

Organisasi Masyarakat Islam”, al-Bayan; Jurnal al-Qur’an dan al-Hadis, Vol: IV, No: 4,


(13)

Dari uraian di atas dapat kita pahami dari arti kebutuhan masyarakat Islam di Indonesia terhadap pengetahuan ajaran Islam dengan baik khususnya dalam bidang kajian hadis, karena seseorang tidak hanya dituntut mampu memahami dan mendalami hadis Nabi saw dari segi matannya saja, juga dituntut untuk mengetahui tentang sanad dan para periwayatnya. Dalam kajian ini, pengetahuan tentang berbagai istilah, kaidah, metode penelitian dalam ilmu hadis yang berhubungan erat dengan hadis yang dikajinya itu perlu dipahami dengan baik. Karena cukup banyak dan rumit pengetahuannya yang berkaitan erat dengan hadis tersebut, maka dapat dimaklumi bila ulama dan para sarjana Islam yang memiliki keahlian tentang hadis relatif tidak banyak. Di Indonesia pun, ulama dan sarjana Islam yang ahli tentang hadis amatlah minim.

Usaha untuk memahami hadis Nabi saw2 agar bisa dimengerti dan

diamalkan secara benar juga banyak dilakukan. Mengetahui beragam fungsi yang Rasulullah saw perankan ikut menjadi faktor penting dalam menciptakan pemahaman yang baik. Menurut petunjuk al-Qur’an, Nabi Muhammad saw. selain dinyatakan sebagai Rasulullah, juga dinyatakan sebagai manusia biasa.

2 Memahami hadis Nabi dengan baik agar bisa diamalkan secara benar adalah satu

hal yang harus dilakukan seorang muslim, walaupun Hadis merupakan wahyu sebagaimana ditegaskan Allah swt dalam firmannya: ﻰﺣﻮﯾ ﻲﺣو ﻻإ ﻮھ نإ .ىﻮﮭﻟا ﻦﻋ ﻖﻄﻨﯾ ﺎﻣو“Dan tiadalah yang diucapkan itu menurut kemauan hawa nafsunya,ucapan itu tiada lain hanyalah wahyu yang

diwahyukan”. (QS. Al-Najm/53: 3-4). Menurut Syuhudi Ismail ada beberapa pengecualian

tertentu dari keadaan Rasul yang tidak wajib diteladani. Yang disimpulkan dalam tiga hal,

Pertama, karena adanya dispensasi dari Allah swt terhadap pribadi Rasulullah saw. Seperti

Rasulullah saw beristri lebih dari empat. Kedua, yang berhubungan dengan masalah dunia. Sesuai sabdanya yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari ‘Aisyah ra: ﻢﻛﺎﯿﻧد رﻮﻣﺄﺑ ﻢﻠﻋأ ﻢﺘﻧأ

“Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian”. Contohnya pada waktu sebelum perang

khandak, Rasul saw telah merencanakan taktik untuk melawan musuh, tetapi Salman al-Farisi ra mengusulkan kepadanya agar dibuat parit untuk melawan musuh. Ketiga, perbuatan yang bersifat manusiawi. Lihat M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, t.t.), h. 51-52.


(14)

3

Sebagaimana firman Allah swt dalam surat al-Imran ayat 144 dan al-Kahf ayat 110:


(15)

Dalam wacana kaijian hadis kontemporer di Indonesia dikenal beberapa nama.3 Salah satunya adalah Ali Mustafa Yaqub. Beliau adalah ulama hadis di Indonesia yang cukup disegani dan diperhitungkan kredibilitas dan intelektualitasnya. Buku-bukunya banyak dibaca kaum muslimin Indonesia dewasa ini, baik yang berkaitan dengan Hadis, Fiqih dan Dakwah. Tidak kurang dari 32 karya Ali Mustafa Yaqub dalam bentuk buku beredar di kalangan umat Islam Indonesia.

Menurut Hidayat Nurwahid, buku Ali Mustafa Yaqub yang berjudul Fatwa-Fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal adalah buku fatwa khas Indonesia yang memang meng-Indonesia.4

Ali Mustafa Yaqub yang penulis ambil sebagai salah satu tokoh yang memahami kebutuhan umat Islam di Indonesia terhadap kajian hadis maupun Ilmu Hadis, melalui karya-karya inovatifnya yang telah dipublikasikan merupakan salah satu solusi kesulitan dalam memahami ajaran Islam. Kiranya sejalan dengan pemikiran di atas, maka penulis merasa tertarik untuk mengkaji, selanjutnya penulis merumuskan tema penelitian ini dalam sebuah judul skripsi ini yaitu: “Kontribusi Ali Mustafa Yaqub Terhadap Perkembangan Kajian Hadis Kontemporer Di Indonesia”.

Alasan penulis memilih Ali Mustafa Yaqub sebagai tokoh yang dikaji, lebih didasarkan pada anggapan bahwa beliau banyak menekuni dan mendalami hadis, baik meneliti kualitasnya, menjelaskan makna dan

3 Seperti Mahmûd Yûnus, Syuhudi Ismâ’îl, Daud Rasyid, Lutfi Fathullah, Yunahar

Ilyas, Abdul Qâdir Jawwâz, Afif Muhammad, ‘Abdurrahman, Muhibbin Noor, Ahmad Sutarmadi, dan masih banyak lagi.

4 Hidayat Nurwahid, “Pengantar” dalam Ali Mustafa Yaqub, Fatwa-Fatwa Imam


(16)

5

kandungannya, dan mendidik Jama’ah (santrinya) untuk mendalami hadis dan Ilmu Hadis. Namun di sisi lain banyak juga yang mempermasalahkan kapasitas ilmiah dan kredibilitasnya dalam Ilmu Hadis. Sehingga muncul pendapat-pendapat, baik yang mendukung maupun yang menentang pemikirannya. Terlepas dari semua itu, peranan beliau dalam membumikan sunnah Rasulullah saw dengan kekhasan beliau perlu mendapat apresiasi.

B. Identifikasi, Rumusan dan Batasan Masalah

Berangkat dari Latar Belakang Masalah tersebut di atas, muncul permasalahan mendasar yang menjadi pokok (major research question) penelitian ini, yaitu: Bagaimanakah dinamika kajian hadis kontemporer di Indonesia yang diperankan Ali Mustafa Yaqub ? pokok masalah tersebut selanjutnya dapat dijabarkan dalam pertanyaan-pertanyaan (minor research questions) sebagai berikut:

1. Apa saja kontribusi dan gagasan-gagasan Ali Mustafa Yaqub sebagai upaya pelestarian dan pengembangan pemikiran dan kajian Hadis di Indonesia ?

2. Bagaimanakah tanggapan dan sikap ulama (kaum intelektual) akademisi maupun non akademisi terhadap gagasan pemikiran Ali Mustafa Yaqub ?

Dari identifikasi masalah tersebut terdapat beberapa hal yang menjadi batasan penulis, yaitu:

Pertama, Kontribusi Ali Mustafa Yaqub Terhadap Perkembangan Kajian Hadis Kontemporer di Indonesia difokuskan kepada tiga tema, yaitu: 1.


(17)

Biografi Ali Mustafa Yaqub; 2. Sekilas Mengenai Kajian Hadis; 3. Pemikiran Ali Mustafa Yaqub dalam Pemahaman Hadis.

Kedua, Komentar para tokoh yang relevan untuk mengetahui sejauh mana peranan dan kiprah Ali Mustafa Yaqub diakui masyarakat akademis.

Maka rumusan masalahnya adalah apa “Kontribusi Ali Mustafa Yaqub Terhadap Perkembangan Kajian Hadis Kontemporer di Indonesia ?”

C. Kajian Pustaka

Sejauh ini, penulis menemukan jurnal al-Qur’an dan al-Hadis, dalam jurnal itu terdapat tulisan Ramli Abdul Wahid yang berjudul Perkembangan Kajian Hadis di Indonesia: Studi Tokoh dan Organisasi Masyarakat Islam; Pemikiran Syuhudi Ismail Tentang Hadis Nabi saw. Karya Arifuddin Ahmad. Di dalam tulisannya ini Arifuddin mengelaborasi pemikiran Ali Mustafa Yaqub tentang peran Ilmu Hadis dalam pembinaan hukum Islam. Tetapi karena kepentingan Arifuddin hanya untuk tinjauan pustaka disertasinya, sehingga tulisannya tentang Ali Mustafa Yaqub tersebut hanya sedikit saja dan tidak mendalam; Kajian Hadis di Indonesia: Profil Literatur Hadis di Indonesia Dari Tahun 1955 sampai tahun 2000 karya Andriansyah. Di dalam tulisannya ini, Andriansyah membahas tiga karya Ali Mustafa Yaqub, yaitu Peran Ilmu Hadis Dalam Pembinaan Hukum Islam, Kritik Hadis, serta Imam Bukhari dan Metodologi Kritik dalam Ilmu Hadis sebagai karya yang patut diperhitungkan dalam deretan literatur hadis di Indonesia. Namun Adriansyah sama sekali tidak membahas metodologi yang dipakai Ali Mustafa Yaqub di


(18)

7

dalam ke dua bukunya tersebut ataupun hal lain yang terkait dengan Ali Mustafa Yaqub.

Dengan demikian, kajian ini berbeda dengan kajian yang telah ada. Kajian ini merupakan kajian tentang Kontribusi Ali Mustafa Yaqub Terhadap Perkembangan Kajian Hadis Kontemporer di Indonesia. Tidak sekedar mengemukakan kualitas dan kapasitas intelektual di bidang hadis, tetapi juga yang lebih utama adalah mengungkapkan peran dan pemikirannya.

D. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan utama penelitian dalam proposal skripsi ini adalah:

1. Memberikan sumbangsih dalam kajian-kajian keislaman terutama yang berhubungan dengan hadis.

2. Mengetahui kontribusi dan gagasan-gagasan baru yang dikemukakan dan dilakukan tokoh-tokoh hadis di Indonesia dalam hal ini Ali Mustafa Yaqub sebagai upaya pelestarian dan pengembangan hadis.

3. Mengetahui dan mendeskripsikan tanggapan dan sikap ulama (kaum intelektual) terhadap gagasan-gagasan Ali Mustafa Yaqub dalam masalah hadis.

4. Tujuan akademis, yaitu memenuhi salah satu syarat menyelesaikan studi pada Program Studi Tafsir-Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta.


(19)

E. Manfaat/Signifikansi Penelitian

Kiranya hasil penelitian ini akan berguna untuk memberikan informasi yang memadai kepada para peminat dan pemerhati kajian hadis serta kepada masyarakat umum mengenai Kontribusi Ali Mustafa Yaqub Terhadap Perkembangan Kajian Hadis Kontemporer di Indonesia, sebagai satu kajian terhadap tokoh-tokoh hadis melalui karya-karyanya, diharapkan muncul gambaran objektif dan penilaian yang jujur.

F. Metodologi Penelitian

Sebagaimana karya-karya ilmiah pada sebuah disiplin ilmu, setiap pembahasan masalah tentunya mesti menggunakan metodologi untuk menganalisa permasalahan. Metode itu sendiri berfungsi sebagai landasan berpijak dalam mengelaborasinya sehingga dapat dijelaskan secara mendetail dan dapat dipahami.

Dalam penelitian ini, penulis melakukan penelitian kepustakaan (library research), yaitu sebuah penelitian berasal dari buku-buku karangan Ali Mustafa Yaqub dan buku-buku yang diberikan kata pengantar oleh Ali Mustafa Yaqub. Oleh karena itu sumber datanya diperoleh dari berbagai buku yang telah ditelaah oleh peneliti, sehingga dengan melakukan hal itu diharapkan dapat memberikan informasi yang lebih akurat dan valid tentang kajian yang sedang dibahas.

Selanjutnya, pembahasan dalam skripsi ini menggunakan metode kualitatif yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa


(20)

9

kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.5

Atau dengan ungkapan lain menguraikan dengan kata-kata dan menganalisis satu persatu hal-hal yang menyangkut pokok permasalahan.

Adapun teknis penulisan skripsi ini, penulis mengacu kepada buku “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi),” UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007”.6

G. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini, penulis membagi bahasan menjadi lima bab dengan rincian sebagai berikut:

Bab Pertama, Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, identifikasi, rumusan dan batasan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab Kedua, untuk memberikan gambaran umum tentang Kontribusi Ali Mustafa Yaqub Terhadap Perkembangan Kajian Hadis Kontemporer di Indonesia maka pada pembahasan ini akan dipaparkan biografi Ali Mustafa Yaqub yang terdiri dari: sosio kultural, sumber pemikiran, aktivitas dan hasil karya, serta aliran theologi Ali Mustafa Yaqub.

Bab Ketiga, Pada bagian ini akan membahas sekilas mengenai kajian hadis yang terdiri dari: dua istilah yang popular, pembagian hadis, dan kajian hadis di Indonesia.

5 Lexy J. Moleong,

Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosda

Kaya, 2004), h. 4

6 Hamid Nasuhi, dkk, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan


(21)

Bab Keempat, pemikiran Ali Mustafa Yaqub terhadap pemahaman hadis Nabi Muhammad saw secara tekstual dan kontekstual.

Bab Kelima, Penutup. Sebagai penutup pembahasan ini akan ditarik kesimpulan dan menjawab permasalahan yang telah dibahas di bab-bab sebelumnya sembari menguraikan saran-saran atas permasalahan tersebut.


(22)

11 BAB II

BIOGRAFI ALI MUSTAFA YAQUB

A. Sosio Kultural dan Sosio Keagamaan

Ali Mustafa Yaqub lahir pada tanggal 2 Maret tahun 1952 di desa Kemiri, Kecamatan Subah, Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Ali hidup dalam lingkungan keluarga yang taat beragama dan berkecukupan. Masa kecil Ali tiap hari sehabis belajar di sekolah dasar (SD) di desa tempat kelahirannya, ia habiskan untuk menemani kawan yang menggembala kerbau di lereng-lereng bukit pesisir Utara Jawa Tengah.1 Kebiasaan ini kelak membentuk karakter dan kepribadian Ali yang tegas, kritis, dan peduli.

Ayahnya bernama Yaqub, seorang mubaligh terkemuka pada zamannya dan imam di masjid-masjid Jawa Tengah, misinya “Menegakkan Amar Ma’ruf dan memberantas Kemungkaran”. Sejak matahari terbit sampai terbenam ayahnya melakukan rutinitas belajar dan mengajar. Mayoritas penduduk di lingkungan rumahnya sebagian besar adalah orang yang belum mengerti agama secara mendalam. Akhirnya ayah dan kakeknya mendirikan sebuah pondok pesantren yang para santrinya adalah penduduk sekitar. Ayah beliau mengajar tanpa pamrih dan hanya mengharap rida Allah swt, berjiwa besar dan bersahaja namun tegas dalam membela agama Allah swt.2

Ibunya bernama Zulaikha, seorang ustadzah dan Ibu rumah tangga yang ikut membantu perjuangan suaminya (Yaqub). Ibu Ali meninggal pada

1 Ali Mustafa Yaqub,

Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan, (Jakarta: Pustaka

Firdaus, 2003), h. 143.


(23)

tahun 1996. Beliau memiliki tujuh saudara, dari tujuh bersaudara tersebut, dua di antaranya meninggal dunia, dan yang masih hidup lima bersaudara, salah satu dari kakaknya yang bernama Ahmad Dahlan Nuri Yaqub mengikuti jejak ayahnya sama seperti beliau, dan sekarang kakaknya sebagai pengasuh Pondok Pesantren Darus Salam di Batang, Jawa Tengah.3

Semula Ali berminat ke pendidikan umum. Namun ayahnya memasukkannya ke pesantren. Setelah belajar di SD dan SMP di desa tempat kelahirannya, dengan diantar ayahnya ia mulai mondok untuk memperoleh ilmu agama di pesantren Seblak, Jombang, sampai tingkat Tsanawiyah. Rentang waktu 1966-1969. Kemudian ia nyantri lagi di pesantren Tebuireng Jombang yang lokasinya hanya beberapa ratus meter saja dari pondok Seblak, 1969-1972. Selanjutnya pada pertengahan tahun 1972 ia melanjutkan menuntut ilmu pada program studi syari’ah Universitas Hasyim Asy’ari Jombang dan selesai pada tahun 1975.4

Di Tebuireng ini ia banyak menekuni kitab-kitab kuning5 di bawah

asuhan para kiyai senior antara lain: KH. Idris Kamali, KH. Adhlan Ali, KH. Shobari, dan KH. Syamsuri Badawi. Dari KH. Idris Kamali ia belajar ilmu-ilmu alat (bahasa Arab), hadis dan tafsir dengan metode sorogan (individual) dimana ia diwajibkan menghafal lebih dari sepuluh kitab, antara lain: Alfiyyah

3 Wawancara pribadi dengan Ali Mustafa Yaqub, Jakarta, 22 Januari 2011. 4 Ali Mustafa Yaqub,

Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, (Jakarta: Pustaka Firdaus,

1997), h. 240.

5 Dinamakan kitab kuning karena buku tersebut dicetak di atas kertas berwarna

kuning. Sebagian penerbit bahkan mencetak kitab di atas kertas berwarna kuning (yang diproduksi khusus untuk mereka oleh beberapa perusahaan Indonesia) karena tampaknya kitab berwarna kuning ini menjadi lebih klasik di pikiran para pemakainya. Lihat Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, (Bandung: Mizan, 1999), h. 142.


(24)

13

Ibnu Malik, al-Baiqûniyyah, al-Waraqât, dan lain-lain. Sebagai prasyarat untuk boleh membaca kitab di hadapan beliau- dari KH. Adhlan ia belajar ilmu akhlak dan lain-lain. Dari KH. Shobari ia belajar ilmu hadis dan ilmu lain-lain. Sementara dari KH. Syamsuri Badawi ia belajar hadis dan ilmu usûl al-Fiqh. Di tebuireng dia juga pernah belajar dengan Abdurrahman Wahid (Gusdur)6 khususnya untuk bidang studi bahasa Arab dan kitab Qatr al-Nada.7 Di samping belajar, Ali Mustafa juga mendapat tugas mengajar di almamaternya tersebut untuk kajian kitab-kitab kuning dan bahasa Arab, sampai awal tahun 1976.

Pada pertengahan tahun 1976 atas beasiswa penuh dari pemerintah Arab Saudi, Ali Mustafa mencari ilmu lagi di Fakultas Syari’ah Universitas Islam Imâm Muhammad bin Sa’ûd, Riyâd, Saudi Arabia, sampai tamat dengan ijazah Licance (Lc) tahun 1980. Masih di kota yang sama ia melanjutkan studi lagi di Universitas King Sa’ud Departemen Studi Islam jurusan Tafsir Hadis sampai tamat dengan ijazah master tahun 1985. Dipilihnya Fakultas Syari’ah (S1) dan Departemen Tafsir Hadis (S2) oleh Ali Mustafa bukanlah sebuah kebetulan, tetapi karena dalam pandangannya kedua ilmu ini (Syari’ah dan Hadis) sangat diperlukan masyarakat.8

6 Lahir di Jombang, Jawa Timur, 7 September 1940, wafat di Jakarta, 30 Desember

2009 pada umur 69 tahun. Beliau adalah tokoh Muslim Indonesia dan pemimpin politik yang menjadi Presiden Indonesia keempat dari tahun 1999 hingga 2001. Lihat Syamsul Hadi, Gus

Dur, KH. Abdurrahman Wahid; Guru Bangsa, Bapak Pluralisme, (Jombang: Zahra Book,

t.t.), h. 11.

7 Ali Mustafa Yaqub,

Kerukunan Umat Dalam Perspektif al-Qur’an Hadis, (Jakarta:

Pustaka Firdaus, 2000), h. 105.


(25)

Pada tahun-tahun Ali Mustafa kuliah di Saudi, program doktor belum dibuka pada Universitas-universitas di Riyâd. Hal tersebut karena rendahnya minat orang Arab Saudi untuk kuliah S2 waktu itu. Pihak universitas hanya bersedia untuk membuka program doktor dengan syarat mahasiswa asli Saudi harus lebih dari 50 persen. Tetapi, saat itu dari 20 orang mahasiswa program S2 di Universitas King Sa’ûd Riyâd hanya dua orang saja yang asli saudi sehingga program S3 tidak bisa diadakan.

Kondisi ini membuat Ali Mustafa tidak bisa langsung melanjutkan kuliahnya pada program doktor, sehingga akhirnya ia memutuskan untuk pulang ke Indonesia.9 Baru pada tahun 2006 Ali Mustafa melanjutkan studi doktoralnya di universitas Nizamia Hyderabad India di bawah bimbingan M. Hasan Hitou,10 Guru Besar Fiqih Islam dan Usûl Fiqh universitas Kuwait dan

Direktur lembaga studi Islam International di Frankfurt Jerman. Pada pertengahan tahun 2007 Ali Mustafa mampu menyelesaikan program doktornya pada konsentrasi Hukum Islam universitas tersebut.11

9 Wawancara pribadi dengan Ali Mustafa Yaqub, Jakarta, 22 Januari 2011.

10 M. Hasan Hitou adalah orang yang paling berperan besar dalam studi S3 Ali

Mustafa di universitas Nizamia Hyderabad India. Kepakarannya dalam Fiqh Islam menjadi motivasi tersendiri bagi Ali Mustafa untuk secepatnya merealisasikan cita-citanya yang sempat tertunda sejak 1985. Bimbingan M. Hasan Hitou lah yang diharapkannya sehingga ia memilih kuliah S3 di India bukan di Timur Tengah. Wawancara Pribadi dengan Ali Mustafa Yaqub, Jakarta, 22 Januari 2011.


(26)

15

B. Sumber Pemikiran

Dalam perkembangan intelektual Ali Mustafa Yaqub, ada empat orang gurunya yang sangat berpengaruh dalam hidupnya. Pertama, Syamsuri Badawi, guru hadis dan Usûl Fiqh Ali Mustafa di pesantren Tebuireng Jombang. Dari beliaulah Ali Mustafa banyak belajar sikap tawâdû’, ikhlas, dan semangat untuk mendalami studi hadis. Dari beliau pula Ali memperoleh sanad hadis-hadis sahîh al-Bukhâri dan sahîh Muslim dengan cara ijâzah12 yang bersambung kepada Nabi saw melalui jalur Hasyim Asy’ari. Kedua, Idris Kamali, darinya Ali belajar ilmu-ilmu alat (bahasa Arab), hadis, dan tafsir. Dengan kemampuan bahasa Arab yang baiklah Ali Mustafa kemudian bisa menelaah literatur-literatur berbahasa Arab. Ketiga, Muhammad Mustafa al-A’zamî,13 guru hadis Ali Mustafa di Universitas King Sa’ûd Riyâd.

12 Ijazâh termasuk salah satu metode dalam

al-tahammul wa al-adâ’ (belajar) dalam

ilmu hadis. Hal ini diketahui dengan ungkapan seorang guru yang mengatakan, “Ajaztuka

sahîh al-Bukhari”/Aku ijazahkan kamu sahîh al-Bukhâri. Dengan ungkapan itu, seorang yang

mendapatkan ijazah telah mempunyai jalur sanad sebagaimana gurunya kepada pengarang kitab.

13 Muhammad Mustafa al-A’zamî, guru besar ilmu hadis Universitas King Sa’ûd,

Riyâd, Arab Saudi adalah salah satu ulama pengkaji hadis dalam pergulatan pemikiran kontemporer yang banyak mengkritisi pemikiran tentang hadis orientalis. Sumbangan penting A’zamî adalah disertasinya di Universitas Cambridge, Inggris yang berjudul “Studies in Early

Hadîtsh Literature” (1996), karena secara akademik mampu meruntuhkan pengaruh kuat dua

orientalis Yahudi Ignaz Goldziher (1850-1921) dan Joseph Schacht (1902-1969). Temuan naskah kuno hadis abad pertama hijriah dan analisis disertasi itu secara argumentatif menunjukkan bahwa hadis betul-betul otentik dari Nabi. A’zamî secara khusus juga menulis kritik tuntas atas karya monumental Joseph Schacht, yang berjudul; On Schacht’s Origins of

Muhammadan Jurisprudence. A’zamî telah berhasil menjaga hadis dengan argumentasi yang

kuat dan ilmiah dengan meruntuhkan teori Projecting Back Joseph Schacht. Dimana menurut Schacht hukum Islam belum eksis pada masa al-Sya’bi (w. 110 H). Penegasan ini memberikan pengertian bahwa apabila ditemukan hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum Islam, maka hadis-hadis itu adalah buatan orang-orang yang hidup sesudah al-Sya’bi. Ia berpendapat bahwa hukum Islam baru dikenal sejak pengangkatan para qâdi (hakim agama). Para khalifah dahulu tidak pernah mengangkat qâdi. Pengangkatan qâdi baru dilakukan pada masa dinasti Banî Umaiyah. Lihat Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), h. 25.


(27)

Dari para guru itulah Ali Mustafa banyak belajar keistiqamahan, semangat menulis karya ilmiah dalam bidang hadis, dan sikap kritis terhadap orientalis. A’zamî dalam pandangan Ali Mustafa adalah satu contoh ulama kontemporer yang punya karakter kuat. Walaupun kuliah di universitas Cambridge Inggris yang saat itu menjadi salah satu sarangnya orientalis, A’zamî sama sekali tidak terpengaruh oleh mereka. Bahkan disertasi A’zamî justru mengkritik dua tokoh utama orientalis dalam bidang hadis Ignaz Goldziher (1850-1921) dan Joseph Schacht (1920-1969). Sikap kritik ilmiah A’zamî ini akhirnya mendapat pengakuan dan pujian dari tokoh-tokoh orientalis sendiri seperti Arthur John Arberry (1905-1969).14

Selama 9 tahun kuliah di Arab Saudi, Ali Mustafa juga rajin menghadiri halâqah-halâqah di luar kampus, misalnya halâqah hadis al-Kutub al-Sittah yang diasuh oleh Abdul Azîz bin ‘Adullâh bin Bâz (w. 1999) yang berjarak 30 kilo meter dari tempat tinggal Ali di Riyâd. Nampaknya, dari interaksi dengan halâqah inilah Ali Mustafa mendapat inspirasi untuk mendirikan pesantren khusus hadis kemudian hari di tanah air. Di samping itu, Ali Mustafa juga menghadiri perkuliahan-perkuliahan yang dibawakan oleh ‘Abdul Azîz dan tokoh-tokoh lain.

Kemampuan bahasa Inggris Ali Mustafa yang baik, menjadikan ia juga bisa mengkaji karya tulis para orientalis Barat dengan baik seperti buku-buku

14 A. J. Arberry adalah orientalis Inggris yang ahli di bidang tasawwuf Islam dan

sastra Persia. Arberry tergolong orientalis yang bersikap netral terhadap ajaran Islam. Terbukti dengan usaha dia untuk menjelaskan hakikat Islam terutama pada orientalis sebelum memberikan justifikasi negatif atas ajaran Islam lewat menterjemahkan literatur-literatur Arab dan Persia ke bahasa Inggris, tetapi tidak diketahui dengan jelas apakah dia menganut agama Islam atau tidak. Lihat Abd al-Rahman Badawi, Ensiklopedi Orientalis. Penerjemah Amroni Drajat, (Yogyakarta: LKis, 2003), h. 1-4.


(28)

17

Ignaz Goldziher (1850-1921), Joseph Schacht (1902-1969), David Samuel Margoliouth (w. 1940), Junyboll (L. 1935), A. Guillaume, dan lain-lain. Namun pembacaan tersebut bukan membuat Ali Mustafa menjadi terpengaruh oleh pemikiran mereka. Tetapi malah ia mencari karya tandingan sebagai komparasi terhadap teori-teori yang mereka bangun.

Hal tersebut melahirkan sikap kritis Ali Mustafa terutama terhadap orientalis. Sikap kritis Ali Mustafa tersebut banyak dipengaruhi oleh Mustafa al-Sibâ’î (Guru besar Universitas Damaskus) yang menulis buku al-Sunnah wa Makânatuhâ Fi al-Tasyrî’ al-Islâmi (1949), Muhammad ‘Ajâj al-Khatîb yang menulis buku al-Sunnah Qabla Tadwîn (1964), dan Muhammad Mustafa al-‘Azami (l. 1932) yang menulis Studies in Early Hadith Literature (1966). Ali Mustafa sangat kagum terhadap pembelaan yang mereka lakukan terhadap hadis Nabi saw. Mustafa al-Sibâ’î dikenal dengan sikap berani dan sportif karena ia tidak segan dan gentar untuk mendatangi langsung Joseph Schacht di universitas Leiden Belanda untuk mendiskusikan keculasan dan ketidak jujuran Ignaz Goldziher dalam mengutip teks-teks sejarah.

Muhammad ‘Ajâj al-Khatîb menurut Ali Mustafa juga memiliki kontribusi besar dalam membela eksistensi hadis Nabi dari serangan orientalis. Sementara ‘Azami dalam pandangan Ali Mustafa adalah sosok intelektual yang istiqamah dan punya dedikasi tinggi terhadap usaha pembelaan atas ajaran Islam. Walaupun ia belajar di komunitas orientalis, namun ‘Azami sama sekali tidak terpengaruh oleh mereka. Bahkan disertasi ‘Azami justru mengkritik dua tokoh utama orientalis dalam bidang hadis Ignaz Goldziher


(29)

(1850-1921) dan Joseph Schacht (1902-1969). Sikap kritik ilmiyah ‘Azami ini akhirnya mendapat pengakuan dan pujian dari tokoh-tokoh orientalis sendiri seperti Arthur John Arberry (1905-1969).

Sikap kritis dan kritis Ali Mustafa tidak pandang bulu. Bukan hanya tokoh-tokoh orientalis yang menjadi sasaran kritiknya, ulama besar seperti Nâsir al-Dîn al-Bânî (w. 1999 M) tidak luput dari kritik tajam Ali Mustafa. Menurutnya, pemikiran al-Bânî banyak yang melawan arus. Hadis yang sudah di-sahîh-kan oleh ulama ahli hadis justru di-daif-kan oleh al-Bânî. Sebaliknya, ia juga sering men-daif-kan hadis yang sebelumnya sudah sahîh. Seperti fatwa al-Bânî tentang diharamkannya perhiasan emas yang melingkar, padahal fatwa tersebut bertentangan dengan hadis sahîh dan ijmâ’ ulamâ’.15

C. Aktivitas dan Karya

Walaupun berniat untuk mengabdikan diri berdakwah di Indonesia Timur Papua, tetapi takdir berkata lain. Pertemuannya dengan Abdurrahman Wahid (Gusdur)16 ketika pulang dari belajar di Saudi Arabia pada tahun 1985 di kantor pengurus besar Nahdlatul Ulama (PB NU)17 merubah paradigma berpikir Ali Mustafa sejak masa kuliahnya itu. Menurut Gusdur, berdakwah tidak mesti harus ke Papua (Irian Jaya) apalagi Timor-Timor. Jakarta adalah medan dakwah yang juga butuh perhatian khusus.

15 Ali Mustafa Yaqub,

Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan, h. 122-126.

16 Gusdur atau Abdurrahman Wahid adalah guru Ali Mustafa Yaqub sejak tahun

1971 di pondok pesantren Tebu Ireng Jombang. Dari Gusdur, Ali Mustafa belajar bahasa Arab dan kitab Qatr al-Nada. Lihat Ali Mustafa Yaqub, Kerukunan Umat Dalam Persepektif

al-Qur’an dan Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), h. 105.

17 Ali Mustafa Yaqub, Kerukunan Umat Dalam Persepektif al-Qur’an dan Hadis, h.


(30)

19

Setelah pertemuan tahun 1985 dengan Gusdur tersebut, Ali Mustafa mengajar di Institut Ilmu al-Qur’an (IIQ) Jakarta untuk mata kuliah hadis dan ilmu hadis. Di samping sebagai dosen tetap IIQ Jakarta, beliau juga mengajar di Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur’an (PTIQ) Jakarta, Pengajian tinggi Islam masjid istiqlal Jakarta. Dalam perjalanan karir dosennya, beliau juga pernah mengajar di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang sekarang telah menjadi UIN, Institut Agama Islam Shalahuddin al-Ayyubi (INNISA) Tambun Bekasi, pendidikan Kader ulama Hamidiyah, Jakarta, dan di berbagai majlis ta’lim. Tahun 1989. Beliau bersama keluarganya mendirikan pesantren Darus-Salam di desa kelahirannya, Kemiri.18

Dalam keorganisasian, Ali pernah menjadi ketua umum Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Riyâd. Setelah kembali ke Indonesia Ali pernah menjadi pengasuh pesantren al-Hamidiyah Depok (1995-1997), juga pernah aktif sebagai anggota Komisi Fatwa MUI pusat sejak 1987 dan pada tahun 2005 menjadi Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI serta Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STIDA) al-Hamidiyah Jakarta. Selain itu, ia juga aktif mengajar hadis dan ilmu hadis di berbagai tempat. Ketika aktif dalam organisasi dakwah, tahun 1990-1996 Ali diamanahi menjadi Sekretaris Jendral Pimpinan Pusat Ittihadul Muballighin. Kemudian untuk periode kepengurusan 1996-2000 Ali diamanahi menjadi Ketua Dewan Pakar, merangkap Ketua Departemen Luar Negeri DPP Ittihadul Muballighin. Ketua Lembaga Pengkajian Hadis Indonesia (LepHi), pengasuh Rubrik hadis majalah

18 Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, (Jakarta: Pustaka Firdaus,


(31)

Amanah, dan pengasuh rubrik mudzakarah majalah Panji Masyarakat dan Wakil Ketua Dewan Syari’ah Nasional. Pada tahun 1997 ia mendirikan pesantren Darus Sunnah di Pisangan Barat Ciputat dengan spesialisasi hadis dan ilmu hadis.19

Sekarang Ali Mustafa tercatat sebagai guru besar hadis pada Institut Ilmu al-Qur’an (IIQ) Jakarta,20 pengasuh (Khadim Ma’had) pesantren Darus Sunnah. Imam Besar Masjid Istiqlal sejak 2005, anggota Lajnah Pentashih al-Qur’an DEPAG RI,21 anggota dewan Syari’ah Majlis al-Zikra, anggota dewan Syari’ah Bank Bukopin Syari’ah, pengasuh rubrik tanya jawab majalah Amanah, buletin Nabawi, pemateri hadis masjid Sunda Kelapa dan sebagainya.22

Dalam dunia tulis menulis Ali Mustafa punya sebuah filosofi yang menjadi penyemangatnya untuk terus berkarya yaitu, “Walâ Tamûtunna Illâ wa antum Kâtibûn”. “Pantang meninggal sebelum berkarya”. Menurutnya, tulisan akan menjadi guru lintas generasi; sedang kata-katanya hanya untuk orang waktu yang terbatas. Buku akan selalu bisa dibaca oleh banyak orang di

19 Ali Mustafa Yaqub,

Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, (Jakarta: Pustaka Firdaus,

2000), h. 240.

20 Pengukuhan Ali Mustafa sebagai Guru Besar dalam Ilmu Hadis IIQ Jakarta

dilangsungkan pada hari kamis, 14 Sya’ban 1419 H bertepatan dengan 3 Desember 1998. Orasi ilmiah Ali Mustafa ketika pengukuhan tersebut berjudul “Peran Ilmu Hadis dalam Pembinaan Hukum Islam”. Di depan sidang senat IIQ Jakarta yang dipimpin oleh Ibrahim Hosen (Rektor IIQ dan Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat pada waktu itu) Ali Mustafa resmi dikukuhkan sebagai guru besar. Lihat Ali Mustafa Yaqub, Peran Ilmu Hadis, h. XX.

21 Anggota lainnya adalah Muhammmad Quraish Shihab, Sayyid Muhammad Sara,

Khatibul Umam, Ali Audah, Ahsin Sakho Muhammad, Muhammad Ardani, Rif’at Syauqi Nawawi, Salman Harun, Faizah Ali Syibromalisi, Mujahid AK, Syibli Syarjaya, Abdul Muhaimin Zain, Badri Yunardi, Mazmur Sya’rani, Muhammad Syatibi al-Haqir, Bunyamin Surur, Ahmad Fathoni, Ali Nurdin, dan Ahmad Husnul Hakim. Lihat al-Qur’ân al-Karîm Edisi Doa, (Jakarta: PT. Cicero, 2007).


(32)

21

setiap waktu. Dalam sebuah syair yang beliau gubah, Ali Mustafa mengungkapkan:


(33)

Ramadhan Kiai Duladi (2003); Toleransi Antar Umat Beragama (2008); Ada Bawal Kok Pilih Tiram (2008); dan 24 Menit Bersama Obama (2010).

Selain kajian di atas, ada beberapa buku Ali Mustafa yang berisi kumpulan tulisan dari berbagai materi bahasan seperti al-Qur’ân, Tafsir, Hadis, Sirah Nabi saw, Dakwah, Aqidah, Tarbiyah, Fiqih, Tanya Jawab Keagamaan, dan lain-lain. Tulisan-tulisan tersebut pernah dimuat di berbagai media massa, baik surat kabar maupun majalah yang terbit di Jakarta. Tulisan-tulisan itu sebagian ada yang berasal dari makalah-makalah yang disampaikan Ali Mustafa dalam berbagai seminar, simposium,24 lokakarya, temu ilmiah, dan ada juga yang berasal dari Tanya jawab yang diasuh oleh Ali Mustafa di majalah. Buku-buku tersebut meliputi: Islam Masa Kini (2001); Fatwa-Fatwa Masa Kini (2002); Haji Pengabdi Setan (2006); Fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal (2007); Provokator Haji (2009); Islam Between War and Piace (2009); dan Islam di Amerika (2009).

Ali Mustafa juga telah menerjemahkan beberapa buku karya ulama-ulama terkenal yang menurut beliau memiliki manfaat dan dampak yang luas bagi kehidupan masyarakat. Yaitu: Memahami Hakikat Hukum Islam (Alih Bahasa dari al-Bayanuni, Jakarta: 1986); Bimbingan Islam Untuk Pribadi Dan Masyarakat (Alih Bahasa dari Mohammad Jameel Zino, Saudi Arabia: 1418 H); Kemusyrikan Menurut Madzhab Syafi’i (Alih Bahasa Dari Abd al-Rahman al-Khumais, Jakarta: 2001); Aqidah Imam Empat: Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad (Alih Bahasa dari Abd al-Rahman al-Khumais, Jakarta:

24 Pertemuan yang didalamnya ada beberapa pidato singkat tentang suatu topic. Lihat


(34)

23

2001); dan Hadis Nabawi Dan Sejarah Kodifikasinya (Alih Bahasa dari Muhammad Mustafa A’zami, Jakarta: 1994).

Dari sekian banyak karya tulis Ali Mustafa, yang menjadi karya monumentalnya dan sekaligus menjadi masterpeacenya adalah buku Kriteria HalHaram Untuk Pangan, Obat Dan Kosmetika Dalam Perspektif al-Qur’an dan Hadis (Jakarta: 2009). Buku ini diangkat dari disertasi Ali Mustafa untuk memperoleh gelar Doktor dalam hukum Islam dari Universitas Nizamia, Hyderabad India dengan judul asli “Ma’âyîr al-Halâl wa al-Harâm fi al-At’imah wa al-Asyribah wa al-Adwiyah wa al-Mustahdarât al-Tajmilah ‘Alâ Daw’ al-Kitâb wa al-Sunnah”.25 Buku yang dicetak dalam dua bahasa (Arab dan Indonesia) ini diberi pengantar oleh Wahbah al-Zuhaili pakar Fiqih dan Usûl Fiqih paling populer saat ini.26

Dalam buku ini dan buku-buku Ali Mustafa lainnya, tampak dengan jelas kalau beliau adalah seorang ahli hadis. Mentakhrij hadis adalah salah satu aktifitasnya yang paling menonjol. Langkah-langkah “takhrîj” yang ia tempuh merujuk kepada kitab Usûl al-Takhrîj wa Dirâsah al-Asânîd karya Mahmûd al-Thahhân. Dalam kajiannya Ali Mustafa mengkombinasikan antara kritik sanad (kritik ekstren) dan kritik matan (kritik intern) dengan

25 Sidang Munâqasyah yang dilakukan oleh tim penguji internasional, dipimpin oleh

M. Hassan Hitou, Guru Besar Fiqih Islam dan Usûl Fiqh Universitas Kuwait yang juga Direktur lembaga studi Islam di Frankfurt Jerman. Para anggota penguji terdiri dari: Taufi Ramadân al-Bûti (Guru Besar dan Ketua Jurusan Fiqih dan Usûl Fiqh Universitas Damaskus, Syria), Mohammed Khaja Sharief M. Shahabuddin (Guru Besar dan Ketua Jurusan Hadis Universitas Nizamia, Hyderabad, India) dan Saifullah Mohammed Afsafullah (Guru Besar dan Ketua Jurusan Sastra Arab Universitas Nizamia). Mereka menyatakan Ali Mustafa Yaqub lulus dan berhak menyandang gelar doctor. Lihat Ali Mustafa Yaqub, Ikhtisar Kriteria

Halal-Haram Untuk Pangan, Obat dan Kosmetika Dalam Perspektif al-Qur’an dan Hadis, (Jakarta:

t.pn, 2008); Hasil Pengamatan pribadi, Jakarta, Juni 2008.

26 Ali Mustafa Yaqub, Kriteria Halal-Haram Untuk Pangan, Obat dan Kosmetika


(35)

menggunakan kaedah umum takhrîj hadis sebagaimana yang telah disebutkan oleh al-Thahhân dan ulama-ulama lainnya.

Dalam memberikan penilaian terhadap kualitas sebuah hadis (sahîh, hasan, atau da’if), Ali Mustafa menukil pendapat-pendapat ulama terdahulu (mutaqaddimîn) seperti al-Tirmidzî, Ibn Hibbân, al-Baihaqî, Ibn al-Jauzî, dan pendapat ulama mutaakhirîn seperti al-Dzahabî, al-Zaila’î al-Haytsamî, Ibn Hajar, al-Sakhâwi, al-Suyûtî, dan al-Munâwî. Ia juga mengutip pendapat ulama kontemporer seperti al-Bâni, Ahmad Syâkir, al-Arna’ût dan lainnya.

Ali Mustafa juga sering melakukan ijtihad mandiri dalam menentukan kualitas suatu hadis dengan mengkomparasikan pendapat-pendapat ulama jarh dan ta’dil tersebut. Jika terjadi perbedaan pendapat di antara ulama jarh wa ta’dil mengenai kualitas seorang râwi, maka ia mengkomparasikan antara ulama mutasyaddidûn27

, mutawassitûn28, dan mutasâhhilûn29.

D. Aliran Theologi

Walaupun Sembilan tahun belajar di Riyâd, Ali Mustafa tidak terkontaminasi dengan lingkungan sekitar di Riyâd. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Ali Yafie (mantan ketua MUI) yang banyak memberikan penilaian positif dengan mengatakan, “Meskipun tercatat sebagai salah seorang alumnus Timur Tengah, yang sering diklaim sebagai daerah yang

27 Adalah ulama yang dikategorikan sangat ketat dalam menilai seorang rawi hadis. 28 Ulama yang dikategorikan moderat (pertengahan) dalam menilai seorang rawi

hadis.


(36)

25

jumud, statis dan cenderung agak keras dalam menyikapi berbagai fenomena keagamaan, tak menjadikan beliau (Ali Mustafa) bersikap keras”.30

Sepertinya, interaksi Ali Mustafa dengan tradisi pesantren NU Tebu Ireng Jombang dari jenjang SMA sampai universitas (1969-1975) menjadi salah satu penyebabnya. Di sini beliau banyak dididik untuk menghargai perbedaan. Demikian juga bimbingan Muhammad Mustafa A’zami selama di Riyâd, semakin memperkuat jiwa moderat dan toleran Ali Mustafa.

Hal ini ditambah lagi dengan interaksi Ali Mustafa dengan tokoh-tokoh ulama Syiria (2003) seperti Muhammad Hasan Hitou, Wahbah Zuhailî, Badî’ Sayyid al-Laham dan Taufîq bin Ramadân al-Bûti. Dengan berguru bersama mereka Ali Mustafa semakin banyak belajar sikap toleransi dalam perbedaan dan budaya menghargai dalam keberagaman. Secara teoritis sikap egaliter ini seharusnya memang harus dilakukan oleh setiap muslim secara luas, baik dalam kehidupan individu dan sosial. Karena antara aspek religius, sosial, dan konsep kesederajatan dalam Islam berkaitan erat satu sama lainnya.31

Dalam banyak hal, sikap ulama Saudi memang dikenal tegas dan kurang mengenal kompromi dalam perbedaan terutama sejak Abd al-‘Azîz bin Bâz menjadi mufti umum kerajaan pada tahun 1395 H. Pada masa tersebut buku-buku anti bid’ah seperti al-Bida’ wa al-Muhdatsât karya Abd al-‘Azîz bin Bâz dan kawan-kawan tersebar secara luas ke berbagai negara muslim. Buku tersebut banyak berbicara tentang hal-hal yang oleh penulisnya dianggap

30 Tabloid JURNAL ISLAM, No. 70. Jakarta, 2-8 Dzulhijjah 1422 H/15-21 Februari

2002 M.

31 Loise Marlow,


(37)

bid’ah yang sesat walaupun di dalam perbuatan tersebut ada unsur-unsur kebaikannya. Seperti zikir berjama’ah, membaca wirid pagi dan sore secara berjama’ah, merayakan maulid Nabi saw, merayakan isrâ’ mi’râj, merayakan nuzûl al-Qur’ân, fotografi, isbâl, dan lain-lain.32

Dalam hal ini Ali Mustafa lebih memilih sikap moderat. Ia berpandangan bid’ah bukanlah pendapat yang berbeda karena lahir dari konsekuensi adanya ijtihad. Namun bid’ah dalam ibadah adalah amalan-amalan yang tidak ada dalilnya.33 Oleh karena itu, menurutnya zikir berjama’ah, perayaan isrâ’ dan mi’raj, maulid Nabi saw, nuzul al-Qur’an, qunut subuh terus-menerus, berdo’a berjama’ah selesai salat, tidaklah termasuk bid’ah yang sesat.34

32 Abd al-Azîz bin Bâz dkk,

al-Bidâ’ wa al-Muhdatsât wa mâ lâ asla lahû, ed.,

Hammâd bin ‘Abdullâh al-Matar, (Riyâd: Dâr Ibn Khuzaimah, 1999), h. 201.

33 Ahmad Dimyati Badruz Zaman,

Zikir Berjama’ah Sunnah atau Bid’ah. Pengantar

Ali Mustafa Yaqub, (Jakarta: Republika, 2003), h. Xxxiv.

34 Ali Mustafa Yaqub, Kerukunan Antar Umat Beragama, h. 10; Islam Masa Kini, h.


(38)

27 BAB III

SEKILAS MENGENAI KAJIAN HADIS

A. Dua Istilah Yang Populer

Dalam buku Ali Mustafa Yaqub yang berjudul Kritik Hadis disebutkan bahwa:

“untuk menyebut apa yang bersumber dari Nabi Muhammad saw, ada dua istilah yang berkembang di kalangan masyarakat Islam, pertama: Hadis, dan kedua: Sunnah. Dua istilah ini terkadang masih dianggap kurang definitif sehingga perlu dipertegas lagi menjadi Hadis Nabi atau Hadis Nabawi, dan Sunnah Nabi atau Sunnah Rasul. Di luar itu, masih ada istilah lain, yaitu khabar (berita), dan atsar (peninggalan). Namun kedua istilah ini tidak berkembang.

Dari sudut kebahasaan (etimologis), kata Hadis (aslinya tertulis: Hadith atau Hadits), berarti baru. Arti ini dimaksudkan sebagai lawan dari kata Qadîm (lama, dulu) yang menjadi sifat Kalam Allah (al-Qur’an), karena hadis sebagai sabda Nabi saw memiliki sifat baru, yaitu didahului oleh sifat ‘tidak ada’. Sementara kalam Allah (al-Qur’an) tidak demikian, ia tidak didahului dengan ‘tidak ada’”.1

Hadis berasal dari bahasa Arab ﺚﯾﺪﺤﻟا (al-Hadîs); jamaknya adalah

ﺚﯾدﺎﺣﻷا (al-Ahâdîts). Dari segi bahasa, kata ini memiliki banyak arti di antaranya: ﺪﯾﺪﺠﻟا (al-jadîd) yang berarti baru, lawan dari kata ﻢﯾﺪﻘﻟا (al-qadîm) berarti lama. Dalam hal ini semua yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw, itu adalah hadis (baru) sebagai lawan dari wahyu Allah (kalam Allah) yang bersifat qadîm. Pendapat tersebut juga dikemukakan oleh Muhammad ‘Ajjâj al-Khatîb, beliau mengatakan hadis berarti sesuatu yang baru. Sedangkan menurut istilah, hadis diberi pengertian yang berbeda-beda oleh ulama.

1Ali Mustafa Yaqub,


(39)

Adapun pengertian hadis menurut ahli hadis yang dikutip oleh Usman Sya’roni dalam kitab ‘Ulûm al-Hadîts wa Mustalahuhu karya Subhî al-Sâlih adalah:


(40)

29

sesudahnya. Dengan arti ini, menurut mayoritas ulama, sunnah sinonim dengan hadis.4

Sejumlah ahli hadis berpendapat bahwa hadis adalah sabda, pekerjaan dan ketetapan Nabi saw. Sedang ahli-ahli hadis yang lain berpendapat bahwa hadis tidak hanya berarti sabda, pekerjaan dan ketetapan Nabi saw saja, tetapi mencakup perkataan, pekerjaan dan ketetapan sahabat dan tabi’în.5

Sedangkan kata Sunnah, secara etimologis berarti ‘tata cara’. Menurut Syammar, yaitu kelompok kabilah-kabilah Arab Yaman, kata ‘sunnah’ pada mulanya berarti ‘membuat jalan’, yaitu jalan yang dibuat oleh orang-orang dahulu kemudian dilalui oleh orang-orang yang datang sesudah mereka. Sementara al-Razi, penulis kamus Mukhtar al-Sihah menuturkan bahwa ‘sunnah’ secara kebahasaan berarti ‘tata cara dan prilaku hidup’ (al-tariqah dan al-sirah). Dari pengertian ini kemudian timbul ungkapan ‘Sunnah al-Islam’ atau ‘Sunnah’ saja, sebagai lawan dari bid’ah (tata cara yang tidak dikenal dalam Islam).6

Adapun pengertian sunnah menurut ahli hadis yang terdapat dalam buku otentisitas hadis menurut ahli hadis dan kaum sufi karya Usman Sya’roni adalah:


(41)

“Sunnah adalah apa yang datang dari Nabi Muhammad saw. baik berupa ucapan, perbuatan, persetujuan, sifat, (perangai atau jasmani), tingkah laku, perjalanan hidup, baik sebelum diutus menjadi Nabi maupun sesudahnya”.7

Dari sudut terminologis, para ahli hadis tidak membedakan antara hadis dan sunnah. Menurut mereka, hadis dan sunnah adalah hal-hal yang berasal dari Nabi Muhammad saw baik berupa perkataan, perbuatan, penetapan, maupun sifat-sifat beliau, dan sifat-sifat ini baik berupa sifat-sifat fisik, moral maupun prilaku, dan hal itu baik sebelum beliau menjadi Nabi maupun sesudahnya.8

B. Pembagian Hadis

Yang dimaksud dengan pembagian hadis di sini adalah pembagian hadis dilihat dari kualitasnya. Penulis mengutip dari pendapat al-Ghazâli yang menyepakati berbagai rumusan yang telah dibuat oleh jumhur ulama ahli hadis, bahwa setelah diadakan seleksi yang ketat terhadap hadis-hadis Nabi dari zaman ke zaman yang telah dilakukan oleh para ulama dari periode ke periode berikutnya, akhirnya hadis-hadis tersebut terkumpul dalam kitab-kitab hadis, yang dari segi kualitasnya terdiri dari hadis sahih, hasan, da’if dan mawdu’.9

7 Usman Sya’roni,

Otentisitas Hadis Menurut Ahli Hadis dan Kaum Sufi, (Jakarta:

Pustaka Firdaus, 2008), h. 5.

8 Ali Mustafa Yaqub,

Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), h. 33.

9Badri Khaeruman, Otentisitas Hadis; Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer,


(42)

31

Istilah mutâwâtir dan ahâd pada awalnya lebih akrab dalam pembicaraan fuqahâ’ dan usûliyyûn.10 Imâm al-Syâfi’î (w.204 H) masih menggunakan istilah khabar ‘âmmah (berita umum) dan khabar khâsah (berita perorangan) dalam karya risalahnya. Ibnu Hibbân (w. 354 H) yang mengalami kampanye hadis ahâd oleh ulama Mu’tazilah semacam Abû ‘Ali al-Jubbâ’i (w. 303 H) dan sebelumnya oleh al-Nazâm (w. 223 H) serta Qasyâni, belum merasa perlu terlibat membahas kriteria mutawâtir dan ahâd. Ulama Muhaddîtsîn yang mulai bergabung membicarakannya adalah Imâm Hâkim (w. 405 H), kemudian Ibn Abd Barr (w. 463 H) dan Khâtib al-Baghdâdi (w. 463 H).11

Sementara pembagian hadis dilihat dari periwayatannya menurut pendapat al-Ghazali, sebagaimana yang dikemukakan oleh jumhur ulama ahli hadis, yang terbagi pada hadis mutawâtir dan ahâd,12 hadis-hadis ahâd walaupun sanad-nya sahîh-kehilangan validitas (ke-sahîh-annya) apabila terdapat padanya cacat-cacat tertentu yang diistilahkan dengan syadz atau ‘ilah qadihah. Misalnya, ia mengemukakan contoh bahwa Abû Hanîfah menolak hadis yang menyatakan bahwa “seorang muslim tidak boleh dibunuh sebagai hukuman atas perbuatannya membunuh seorang kafir”, walaupun hadis ini sahîh sanadnya.

Hal ini bertentangan dengan nas al-Qur’an tentang qisas yang tercantum dalam ayat 45 surat al-Maidah. Bahkan atas dasar ini, para pengikut

10 Ibn al-Salâh,

Muqaddimah Ibn Salâh fi ‘Ulûm al-Hadîts, h. 169.

11 Hasjim Abbas,

Kritik Matan Hadis, (Yogyakarta: Teras, 2004), h. 131.

12 Badri Khaeruman, Otentisitas Hadis; Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer,


(43)

madzhab Hanafî mengutamakan penafsiran ayat al-Qur’an tersebut di atas hadis ahâd. Sedangkan para pengikut madzhab Maliki mengutamakan praktek penduduk kota Madinah di atas hadis ahâd seperti itu, dengan alasan bahwa praktek mereka memberikan petunjuk yang lebih dekat kepada sunnah nabawiyah ketimbang apa yang hanya dirawikan oleh perorangan.13

Prasarat minimal untuk memenuhi kriteria mutawâtir adalah jumlah banyak perawi berimbang pada generasi sahabat selaku saksi primer, generasi tâbi’în, dan tâbi’ al-tâbî’în selaku penyambung transmisi periwayatan, sehingga mereka mustahil bersepakat berbohong.14 Untuk generasi sesudahnya karena sudah membudaya proses belajar mengajar hadis memanfaatkan jasa (media) dokumen kitab, maka tak penting lagi pelacakan jumlah tersebut. Al-Suyûti menyatakan 10 orang untuk setiap generasi periwayat.15 Apabila sebuah hadis diriwayatkan oleh sembilan orang saja

dalam salah satu jenjang periwayatannya meskipun dalam jenjang yang lain jumlah itu mencapai seratus orang rawi misalnya, maka hadis tersebut tetap disebut hadis ahâd, karena persyaratan sepuluh orang itu tidak terpenuhi dalam semua jenjang.16

Sementara itu, ahâd secara kebahasaan berarti wâhid (satu). Dalam terminologi ilmu hadis, hadis ahâd adalah hadis yang diriwayatkan satu orang atau lebih dalam setiap jenjang (tabaqah) periwayatannya, dan jumlah itu

13 Badri Khaeruman,

Otentisitas Hadis; Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), h. 273.

14 Wahbah al-Zuhaili,

Usûl Fiqh al-Islâmi, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1986), juz 1, h. 452.

15 Al-Suyûti, Tadrîb al-Râwi, (al-Qahirah: Dar al-Hadis, 2002),h. 177. 16 Ali Mustafa Yaqub,


(44)

33

tidak mencapai jumlah periwayat yang ditentukan dalam hadis mutawâtir.17 Jelasnya, hadis ahâd itu diriwayatkan dari Nabi saw. oleh satu orang sahabat atau lebih, kemudian dari mereka hadis itu diriwayatkan oleh satu orang tâbi’i (murid sahabat) atau lebih, dan seterusnya. Namun jumlah mereka dalam setiap jenjang nya tidak mencapai jumlah yang ditentukan dalam hadis mutawâtir.

Imâm Ibn Hazm (w. 456 H) menegaskan, umat Islam secara keseluruhan, baik ahlussunnah, khawârij, syî’ah maupun qadâriyah menerima hadis ahâd sebagai hujjah. Baru pada awal abad kedua hijriyyah para ahli kalam dari kelompok Mu’tazilah berpendapat lain. Mereka menentang konsensus umat tadi dengan mengatakan bahwa hadis ahâd tidak sah dijadikan hujjah dalam agama.18

Bila ditelusuri mayoritas fuqaha’ dengan mengecualikan al-Jubbâ’i dari Mu’tazilah sepakat mengakui kehujjahan hadis ahâd. Persyaratan yang harus terpenuhi sangat bervariasi antara fuqaha’ berbagai madzhab. 1) Hanâbilah: mencukupkan dengan kesahihan sanad; 2) Syâfi’iyyah: mensyaratkan a). sanad harus sahîh, baik periwayat faqîh dan ‘âlim atau tidak. b). perawi harus hâfiz dan dâbit. c). hadisnya tidak kontradiksi dengan hadis lain yang sanadnya terdiri dari para pakar hadis; 3). Mâlikiyyah mensyaratkan: substansi hadis ahâd tersebut tidak bertentangan dengan praktek keagamaan warga Madinah;19 4). Hanâfiyyah mensyaratkan: bahwa prilaku perawi harus

17 Mahmûd Tahhân,

Taisîr Mustalah al-Hadîts, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1986), h. 22.

18 Al-Suyûti,

Tadrîb al-Râwi, (al-Qahirah: Dar al-Hadis, 2002), h. 73.

19 Mustafa Sa’îd al-Khinn, Atsaru al-Ikhtilâf al-Qawâ’id al-Usûliyah, (Beirut:


(45)

sejalan dengan hadis yang ia riwayatkan, sebab penyimpangan mengindikasikan nasakh. Bila perawi bukan seorang faqîh dan cara pengungkapan hadis dengan penyaduran (riwayat bi al-Ma’na), substansi hadis tidak boleh menyalahi qiyas serta prinsip-prinsip syari’ah secara umum.20

Di dalam buku Otentisitas Hadis karya Badri Khaeruman disebutkan bahwa, al-Ghazali merinci lebih jauh penjelasan para ulama tentang syarat ke-sahih-an suatu hadis sebagai berikut:

1. Setiap perawi dalam sanad suatu hadis haruslah seorang yang dikenal sebagai penghafal yang cerdas dan teliti serta benar-benar memahami apa yang didengarnya. Kemudian ia meriwayatkannya setelah itu, tepat seperti aslinya.

2. Di samping kecerdasan yang dimilikinya, ia juga harus seorang yang mantap kepribadiannya dan bertakwa kepada Allah, serta menolak dengan tegas setiap pemalsuan atau penyimpangan.

3. Kedua sifat tersebut di atas (point 1 dan 2) harus dimilki oleh masing-masing perawi dalam seluruh rangkaian para perawi suatu hadis. Jika hal itu tidak terpenuhi pada diri seorang saja dari mereka, maka hadis tersebut tidak dianggap mencapai derajat sahîh.

4. Mengenai matn (materi) hadis itu sendiri, ia harus tidak bersifat syadz (yakni salah seorang perawinya bertentangan dalam periwayatannya dengan perawi lainnya yang dianggap lebih akurat dan lebih dapat dipercaya).

5. Hadis tersebut harus bersih dari ‘illah qadihah (yakni cacat yang diketahui oleh para ahli hadis, sedemikian sehingga mereka menolaknya).

Dengan demikian, al-Ghazali mengakui adanya hadis ahâd dan mutawâtir. Ini menunjukkan bahwa al-Ghazali mengakui adanya pembagian hadis, yakni bahwa hadis itu ada yang mutawâtir dan ada yang ahâd, jika dilihat dari segi periwayatannya. Sedangkan dilihat dari segi kualitasnya, tentu

20 Wahbah al-Zuhaili, Usûl Fiqh al-Islâmi, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1986), juz 1, h.


(46)

35

saja al-Ghazali mengakui adanya hadis sahîh, hasan, da’if, dan bahkan hadis mawdu’.21

C. Kajian Hadis di Indonesia

Melacak kajian hadis di Indonesia, tidak akan terlepas dari perkembangan hubungan antara Muslim di kepulauan Nusantara ini dengan pusat pendidikan Islam yang ada di Timur Tengah, yang menurut Azyumardi, khususnya pada abad ke-17 dan ke-18 merupakan masa yang panjang dan dinamis dalam sejarah sosio-intelektual kaum Muslim.22

Hal tersebut kemudian didukung oleh semakin kuatnya semangat baru dalam keagamaan (religious revivalism) di sebagian besar kepulauan Nusantara, seperti Jawa dan Sumatera. Penyebabnya antara lain berkembangnya hubungan laut antara Eropa dan Asia (dan tentunya dengan Jawa), terutama setelah dibukanya terusan Suez pada tahun 1869, yang melancarkan proses penyebaran Islam ke daerah-daerah pedesaan di Jawa. Untuk beberapa puluh tahun terakhir di abad ke-19, Jawa seolah-olah dilanda oleh intensitas kehidupan Islam.23 Di samping itu, perkembangan selanjutnya yang cukup penting ialah sejak pertengahan abad ke-19, banyak sekali anak-anak muda dari Jawa yang menetap beberapa tahun di Makkah dan Madinah untuk memperdalam pengetahuan mereka.

21 Badri Khaeruman,

Otentisitas Hadis; Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), h. 274-275.

22 Azyumardi Azra,

Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad

XVII dan XVIII, Cet. I, (Bandung: Mizan, 1994), h. 15 dan 23.

23 Muhammad Dede Rudliyana, Perkembangan Pemikiran Ulum al-Hadis Dari


(47)

Bahkan, banyak di antara mereka yang menjadi ulama yang terkenal dan mengajar di Makkah atau di Madinah. Karena para ulama dari Jawa ini turut aktif dalam alam intelektualisme dan spiritualisme Islam yang berpusat di Makkah, mereka juga mempengaruhi perubahan watak Islam di Nusantara. Semakin kuatnya keterlibatan mereka dalam kehidupan intelektual dan spiritual Timur Tengah, Islam di Nusantara, dan semakin jelas di Jawa menyebabkan hilangnya sifat-sifat lokal dan titik beratnya pada aspek tarekat semakin berkurang (walaupun tidak berarti hilang sama sekali).24

Pada akhir abad ke-19, terdapat beberapa ulama kelahiran Jawa yang diakui kebesarannya di Timur Tengah. Mereka menjadi pengajar tetap di masjid al-Haram di Makkah, seperti Syekh Nawawi (Banten) dan Syekh Mahfudz dari Tremas (w. 1919/ 20 M), Perkembangan pemikiran ‘ulum al-Hadis di Indonesia tidak akan terlepas dari pengaruh pendidikan ulama Indonesia di Timur Tengah, khususnya di Haramayn.

Sedikitnya karya ulama Indonesia dalam bidang hadis dan ulum al-Hadis, menjadikan semakin sulitnya melacak informasi kekuatan dari pemikiran ‘ulum al-Hadis di Indonesia. Bahkan, Dalam penelitian Martin, dijelaskan bahwa perhatian ulama Indonesia pada pelajaran hadis dan ulum al-Hadis sama sekali baru. Satu hal yang cukup menarik dari perkembangan ini ialah bahwa para pelajar dari berbagai daerah di Nusantara yang melanjutkan pelajaran di Makkah biasanya baru dapat menyempurnakan pelajaran mereka

24 Muhammad Dede Rudliyana, Perkembangan Pemikiran Ulum al-Hadis Dari


(48)

37

setelah memperoleh bimbingan terakhir dari ulama kenamaan kelahiran Jawa.25

Pada dasarnya, hampir semua kajian ke-Islam-an sentral yang ada saat ini, embrionya telah ada pada masa Nabi Muhammad saw. Hanya saja bentuknya masih sangat sederhana dan tidak tersusun secara sistematis seperti masa sekarang ini. Begitu pula halnya dengan hadis sebagai suatu cabang ilmu. Dalam sudut pandang ini secara praktis, ilmu hadis sesungguhnya sudah dikenal semenjak Nabi saw masih hidup. Tentu saja cakupan kajiannya masih sangat terbatas, karena semua kesulitan yang dihadapi para sahabat dengan mudah dapat berpulang langsung kepada Nabi untuk dilakukan klarifikasinya. Sebagai sebuah disiplin ilmu, ilmu hadis mempunyai obyek sentral dalam pengkajiannya. Ilmu yang populer dengan sebutan Ilmu Mustalah Hadis ini memfokuskan pusat kajiannya pada penelitian otentisitas suatu hadis. Meski masih sangat terbatas dan belum terdapat acuan metodologinya, peristiwa pengecekan otentisitas hadis sesungguhnya telah pernah terjadi pada masa Nabi.

Hal ini bisa kita lihat pada suatu peristiwa dimana Umar bin al-Khattab memperoleh informasi bahwa Nabi menceraikan semua istri beliau. Umar pun kaget dan langsung mengecek kebenaran matan hadis itu bukan mengecek siapa yang menyampaikan hadis itu karena para sahabat semuanya dikenal adil dan ternyata hadis itu salah. Kekagetannya itu tentu saja karena Umar

25 Muhammad Dede Rudliyana, Perkembangan Pemikiran Ulum al-Hadis Dari


(49)

merasa bahwa informasi tersebut janggal. Karena itulah, ia langsung mengecek kebenaran informasi ini dan memang berita itu tidak benar.26

Kejadian ini memperlihatkan betapa otentisitas suatu berita dari Nabi dapat dengan mudah dikonfirmasikan langsung kepada Nabi, sehingga dapat diketahui apakah berita itu valid atau justru sebaliknya. karena para sahabat bisa langsung bertanya kepada nabi apakah hadis itu valid atau tidak berasal dari nabi. Salah satu faktor tidak berkembangnya kajian hadis pada zaman nabi juga dikarenakan adanya larangan penulisan hadis meskipun nantinya larangan ini dihapus.27 Kajian hadis sempat mengalami masa kevakuman sekitar 6 abad (abad 13-19 H). Namun, kembali menggeliat pada saat seorang orientalis Yahudi bernama Ignaz Goldziher, kelahiran Hungaria yang hidup antara tahun 1850-1921 M, menggoncangkan dunia penelitian hadis dengan menerbitkan sebuah buku berjudul Muhammadenishe Studien (Studi Islam).28

Dalam buku ini, ia menolak kriteria dan persyaratan otentisitas hadis seperti yang telah ditetapkan ulama-ulama hadis terdahulu.29

Pada dasarnya, “Kritik Hadis” yaitu menyeleksi otentisitas berita yang bersumber dari Nabi Muhammad saw telah dimulai oleh para ulama. Bahkan hal ini pun telah dilakukan juga sejak masa Nabi Muhammad saw. maupun

26 Ali Mustafa Yaqub,

Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), h. 1.

27 Misalnya hadis yang dinukil oleh MM. Azami dalam bukunya

Studies In Early

Literature, (terjemah oleh Ali Mustafa Yaqub) dari Sa’id bin Khudari yang berbunyi:

“Jangan kamu tulis ucapan-uacapanku, barangsiapa menulis ucapanku selain al-Qur’an

maka hendaknya ia menghapusnya……meskipun nantinya hadis ini dinaskh oleh hadis lain.

28 Ali Mustafa Yaqub,

Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), h. 8.

29 Manna’ Al-Qattan dalam

Mabahits Fi Ulum al-Hadis mengatakan bahwa syarat

diterima tidaknya sebuah hadis ada lima, pertama, sanadnya bersambung dari awal sampai akhir, kedua, rawinya adil, ketiga, rawinya dabit baik dabit secara hafalan maupun tulisan,

keempat, tidak ada cacat/’illat dalam matannya, kelima, tidak bertentangan dengan riwayat


(50)

39

masa sahabat. Namun hal tersebut masih terbatas pada kritik matan hadis. Ignaz Goldziher menuduh bahwa penelitian hadis yang dilakukan oeh ulama klasik tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena kelemahan metodenya.

Hal ini karena para ulama lebih banyak menggunakan metode kritik sanad dan kurang menggunakan metode kritik matan. Hanya saja, metode kritik matan yang ditawarkan oleh Goldziher ini berbeda dengan kritik matan yang dipakai oleh para ulama. Menurutnya, kritik matan hadis itu mencakup berbagai aspek seperti politik, sains, sosiolokultural, dan lain-lain. Ia mencontohkan sebuah hadis yang terdapat dalam kitab Sahîh al-Bukhârî dimana menurutnya, al-Bukhârî hanya melakukan kritik sanad dan tidak melakukan kritik matan. Sehingga setelah dilakukan kritik matan oleh Goldziher, hadis itu ternyata palsu.30

Goldziher juga orang pertama yang menuduh al-Zuhri sebagai seorang pembuat hadis palsu. Goldziher merubah kutipan teks pernyataan al-Zuhri yang terdapat dalam kitab Ibn al-Sa’ad dan Ibn al-Asakir. Kata “ahadits” dalam pernyataan al-Zuhri yang mengatakan, “Inna haulai al-umara akrahuna ‘ala kitabah ahadits” yang sesungguhnya berbentuk definitif (ma’rifah), yaitu “al-ahadits”.

Sepertinya Ini bukan ketidaksengajaan Goldziher. Karena ia dengan pasti mengerti bahwa jika tidak memakai “al”, maka konsekuensi maknanya akan berbeda dengan jika memakai “al”. pengertian ucapan al-Zuhri yang asli

30 Ali Mustafa Yaqub,


(51)

adalah, para pejabat itu telah memaksanya untuk menuliskan hadis-hadis Nabawi yang pada saat itu sudah ada tetapi belum terhimpun dalam suatu buku. Sementara pengertian ucapannya dalam kutipan Goldziher adalah, para pejabat itu telah memaksanya untuk menulis hadis yang belum pernah ada saat itu.31

Bukunya Muhammadenishe Studien, menjadi sebuah rujukan utama yang harus dibaca oleh setiap orientalis dan buku ini juga dianggap sakral oleh mereka sehingga kritik dan meragukan keilmiahannya harus diberangus dari dunia. Setelah Goldziher meninggal pada 1921, pengkajian hadis oleh orientalis dilanjutkan oleh Joseph Schacht. Karyanya yang paling monumental dan melambungkan namanya adalah bukunya yang berjudul The Origins Of Muhammadan Jurisprudence yang terbit pada tahun 1950, kemudian bukunya An Introduction to Islamic Law yang terbit pada tahun 1960.

Dalam dua karyanya ini, ia menyajikan hasil kajian tentang hadis Nabawi, dimana ia berkesimpulan bahwa hadis nabawi terutama yang berkaitan dengan hukum Islam, adalah buatan para ulama abad kedua dan ketiga Hijriyah.32

Schacht juga terkenal dengan teorinya yaitu Teori “Projecting Back” yaitu memproyeksikan periwayatan hadis kepada tokoh-tokoh di belakang. Ia menyatakan bahwa isnâd, yakni rangkaian para periwayat hadis yang menjadi sandaran ke-sahîh-an sebuah matan hadis memiliki kecenderungan untuk berkembang ke belakang. Menurutnya isnâd berawal dari bentuk yang

31 Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), h. 10. 32 Ali Mustafa Yaqub,


(52)

41

sederhana , lalu diperbaiki sedemikian rupa dengan cara mengaitkan doktrin-doktrin aliran fiqh klasik kepada tokoh yang lebih awal, seperti sahabat dan akhirnya kepada Nabi saw. Inilah yang dinamakan teori projecting back.33

Kritik hadis yang menjadi corak utama kajian hadis kontemporer tidak berhenti sampai disitu saja. Lebih-lebih dari kalangan orientalis. Mereka terus melakukan penelitian dan pengkajian. Selanjutnya, muncul seorang orientalis Belanda yang bernama Gautier H.A. Juynboll yang terkenal dengan teori common link-nya.

Sebenarnya, Juynboll bukanlah orang yang pertama membicarakan fenomena common link dalam periwayatan hadis. Ia mengakui dirinya sebagai pengembang dan bukan penemu teori tersebut. Dalam beberapa tulisannya, ia selalu merujuk kepada Schacht seraya berkata bahwa dialah pembuat istilah common link dan yang pertama kali memperkenalkannya dalam The Origins Of Muhammadan Jurisprudence.34

Meski demikian, Schacht ternyata gagal mengamati frekuensi fenomena tersebut dan kurang memberikan perhatian dan elaborasi yang cukup memadai. Teori common link dengan metode analisis isnâd-nya tidak lain adalah sebuah metode kritik sumber (source critical method) dalam ilmu sejarah. Metode Schacht yang dikembangkan Juynboll ini kemudian dielaborasi lebih rinci oleh Motzki dan menjadi metode analisis isnâd-cum-matn. Secara keseluruhan, metode yang sangat terkait dengan problem

33 Ali Masrur,

Teori Common Link G.H.A. Juynboll : Melacak Akar Kesejarahan

Hadits Nabi. (Yogyakarta: Lkis, 2007), h. 2.

34 Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A. Juynboll : Melacak Akar Kesejarahan


(53)

penanggalan hadis ini merupakan salah satu metode dalam pendekatan sejarah (historical approach).

Common link adalah istilah untuk seorang periwayat hadis yang mendengar suatu hadis dari (jarang lebih dari) seorang yang berwenang dan lalu ia menyiarkannya kepada sejumlah murid yang pada gilirannya kebanyakan dari mereka menyiarkan lagi kepada satu atau lebih muridnya. Dengan kata lain, common link adalah periwayatan tertua yang disebut dalam berkas isnâd yang meneruskan hadis kepada lebih dari satu murid. Dengan demikian, ketika berkas isnâd hadis itu mulai menyebar untuk yang pertama kalinya maka disanalah ditemukan common link-nya.35

Setiap zaman senantiasa muncul para pemikir yang tertarik untuk meneliti hadis. Ini dapat dilihat dari buku-buku ilmu hadis yang banyak berkembang dewasa ini. Kajian terhadap hadis dalam karya-karya itu, pada umumnya bersifat filosofis.

Kajian yang didasarkan pada pendekatan murni ilmiah, baru terjadi pada abad 19 M, yang dilakukan oleh para orientalis. Namun umumnya hasil studi mereka khususnya terhadap hadis, kurang bias diterima oleh umat Islam. Karena mereka selain bukan muslim, juga konklusi mereka terhadap hadis nabawi umumnya negatif, sehingga menyentuh emosi umat Islam, yang pada gilirannya mendapat sanggahan negatif pula dari kalangan penulis muslim, sehingga nilai-nilai ilmiah menjadi terabaikan.

35 Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A. Juynboll : Melacak Akar Kesejarahan


(54)

43

Namun ada satu buku yang menyanggah pandangan kaum orientalis terhadap hadis yang sarat dengan nilai-nilai ilmiah dan dipuji oleh banyak kalangan, baik muslim maupun non muslim, yaitu buku: Studies in Early Hadith Literature,36 karya Muhammad Mustafa ‘Azamî, seorang cendekiawan muslim kelahiran India pada tahun 1932. Ia adalah guru besar ilmu hadis di Universitas King Saud Riyadh Saudi Arabia, yang lebih dikenal dengan M.M. ‘Azamî.

Buku tersebut semula merupakan disertasi M.M. A’zamî di Universitas Cambridge, Inggris, pada tahun 1965 / 1966. Sumbangan pemikiran M.M. A’zamî pada masa awal (pra-Goldziher), disimpulkan bahwa hadis bukanlah ucapan atau perbuatan yang sebenarnya dari Nabi Muhammad saw.

Konsekuensi dari anggapan ini adalah penolakan atas hadis sebagaimana didefinisikan oleh ulama muhadditsin, karena dipandang tidak pernah ada. Menurut mereka, hadis adalah karya manusia belaka, yang tidak memiliki kebenaran sama sekali. Periode kedua tentang penelitian hadis yang dilakukan oleh orientalis tercapai ketika Ignaz Goldziher menerbitkan karyanya, Muhammadenische Studien. Di samping bukunya yang lain, Die Zahiriten, karya tersebut adalah puncak tulisan-tulisan Goldziher.37

36 Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, dan diberi judul:

Dirâsât fi

al-Hadîth al-Nabawi wa Tarîkh Tadwînih, diterbitkan oleh Dâr al-Maktab al-Islami, Beirut pada

tahun 1980. Pada tahun 1986, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Endang Nurjaman dan Endang Soetari Ad, namun tidak diterbitkan. Pada tahun 1994, diterjemahkan pula oleh Ali Mustafa Yaqub, dan diberi judul: Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, diterbitkan oleh Pustaka Firdaus: Jakarta, 1994.

37Badri Khaeruman, Otentisitas Hadis; Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer,


(1)

64

Abû al-A’la, Muhammad Abd al-Rahman bin Abd al-Rahîm al-Mubârakfûri, Tuhfah al-Ahwadzi, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1410 H/1990 M. Al-A’zami, Muhammad Mustafa. Hadis Nabawi Dan Sejarah Kodifikasinya, Terj:

Ali Mustafa Yaqub, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994.

Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Cet. I, Bandung: Mizan, 1994.

Badawi, Abd al-Rahman. Ensiklopedi Orientalis. Penerjemah Amroni Drajat, Yogyakarta: LKis, 2003.

Bâz, Abd al-Azîz, dkk, al-Bidâ’ wa al-Muhdatsât wa mâ lâ asla lahû, ed., Hammâd bin ‘Abdullâh al-Matar, Riyâd: Dâr Ibn Khuzaimah, 1999. Brown, Daniel W. Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern. Penerjemah:

Jaziar Radianti. Bandung: Mizan, 2000.

Bruinessen, Martin Van. Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, Bandung: Mizan, 1999.

Al-Bukhâri, Muhammad bin Isma’il Abu ‘Abdillah. Shahîh al-Bukhâri. Beirut: Dâr Ibn Katsîr, 1407 H/1987 M.

Bustamin dan Salam, M. Isa H. A. Metodologi Kritik Hadis. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.

Al-Ghazâli, Muhammad. Studi Kritis Atas Hadis Nabi saw; Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual. Penerjemah Muhammad al-Baqir, Bandung: Mizan, 1998.

Hadi, Syamsul. Gus Dur, KH. Abdurrahman Wahid; Guru Bangsa, Bapak Pluralisme, Jombang: Zahra Book, t.t.

Husaini, Ibnu Hamzah. Asbâb al-Wurûd; Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.

Ismail, Muhammad Syuhudi. Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Tela’ah Ma’ani al-Hadis tentang Ajaran Islam yang Universal, temporal dan lokal, Jakarta: Bulan Bintang, 1994.

Khaeruman, Badri. Otentisitas Hadis; Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004.


(2)

Al-Khalâf, Abd al-Wahhâb, Ilm Usûl al-Fiqh, Kwait: Dâr al-Kuwaitiyyah, 1972. Khâlid, Khâlid Muhammad. Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah.

Penerjemah Mahyudin Syaf, dkk. Bandung: CV. Diponegoro, 2002. Al-Khinn, Mustafa Sa’îd. Atsaru al-Ikhtilâf al-Qawâ’id al-Usûliyah, Beirut:

Muassasah al-Risalah, 1982.

Marlow, Loise. Masyarakat Egaliter Visi Islam. Bandung: Mizan, 1999.

Masrur, Ali, Teori Common Link G.H.A. Juynboll : Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi, Yogyakarta: Lkis, 2007.

Al-Naisâbûrî, Muslim bin al-Hajjâj. Shahîh Muslim. T. tp: Maktabah Dahlân, t.t. Nasuhi, Hamid dkk. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan

Disertasi). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, cetakan II. Jakarta: CeQda, 2007.

Al-Nawâwi, Muhyi al-Dîn bin Syarf, al-Majmû’. Beirut: Dâr al-Fikr, 1417 H/1996 M.

Al-Qardâwi, Yûsuf. Kaifa Nata’amal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah Ma’âlim Wa Dawâbit. Virginia: al-Ma’had al-Ali al-Fikr al-Islâmi, 1990.

---, Membedah Islam Ekstrim. Penerjemah Alwi. A.M. Bandung: Mizan, 2001.

Al-Qâsimi, Muhammad Jamal al-Din. Qawâid al-Tahdits Min Funûn Musthalah al-hadits. Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, t.t.

Al-Qur’ân al-Karîm dan terjemahannya.

Ridâ, Muhammad Rasyîd. Tafsir al-Qur’an al-Hakim. Beirût: Dâr al-Ma’rifah, t.t. Rudliyana, Muhammad Dede. Perkembangan Pemikiran Ulum al-Hadis Dari

Klasik Sampai Modern. Bandung: Pustaka Setia, 2004. Al-Sayyid, Bakri, I’ânah al-Tâlibîn, Beirût: Dâr al-Fikr, t.t.

Al-Suyûti, Jalal Din. Tadrîb Râwi fî Syarh Taqrib Nawawi. Beirût: Dâr al-Fikr, 2006.

Sya’roni, Usman. Otentisitas Hadis Menurut Ahli Hadis dan Kaum Sufi. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008.

Al-Syahrazûrî, Ibn al-Salâh. Muqaddimah Ibn al-Salâh fî ‘Ulûm al-Hadîts. (Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006).


(3)

Tabloid JURNAL ISLAM, No. 70. Jakarta, 2-8 Dzulhijjah 1422 H/15-21 Februari 2002 M.

Al-Tahhan, Mahmûd, Usul al-Takhrij wa al-Dirasah al-Asanid. Riyâd: Maktabah al-Ma’arif, 1417 H/1996 M.

---, Taisîr Mustalah al-Hadîts. Beirut: Dâr al-Qurân al-Karîm, 1979.

Tijani, Muhammad. Madzhab Alternatif, Perbandingan Syi’ah Sunnah Cianjur: Titian Cahaya, 2005.

Al-Tirmidzi, Muhammad bin ‘Îsa Abu ‘Îsa bin Saurah. Sunan al-Tirmidzi. Semarang: Toha Putra, t.t.

Wahid, Ramli Abdul. “Perkembangan Kajian Hadis di Indonesia: Studi Tokoh dan Organisasi Masyarakat Islam”. Bayan; Jurnal Qur’an dan al-Hadis, Vol: IV, No: 4, Malaya, April 2006.

Wijaya, M. Suwarta. Pengantar dalam Ibn Hamzah al-Husaini, Latar Belakang Historis Timbulnya Hadis-Hadis Rasul. tp, tt.

Yaqub, Ali Mustafa, Fatwa-Fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008.

---, Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003.

---, Haji Pengabdi Setan, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006. ---, Islam Masa Kini, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001. ---, Islam Masa Kini. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006.

---, Kerukunan Umat Dalam Persepektif al-Qur’an dan Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000.

---, Kerukunan Umat Dalam Perspektif al-Qur’an Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000.

---, Kriteria Halal-Haram Untuk Pangan, Obat dan Kosmetika Dalam Perspektif al-Qur’an dan Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009. ---, Kritik Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995.


(4)

---, Peran Ilmu Hadis Dalam Pembinaan Hukum Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999.

---, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000.

---. Menguji Keaslian Hadis-Hadis Hukum; Sanggahan atas The Origins Of Muhammadan Jurisprudence Joseph Schacht. penerjemah Asrofi, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004.

Zaid, Farûq Abû. al-Syari’ât al-Islâmiyyah bain al-Muhâfizin wa mujaddidîn. Kairo: Dâr al-Ma’mun, 1978.

Zaman, Ahmad Dimyati Badruz, Zikir Berjama’ah Sunnah atau Bid’ah. Pengantar Ali Mustafa Yaqub, Jakarta: Republika, 2003.


(5)

x

“Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi)” yang diterbitkan oleh CeQDA (Center for Quality Development dan Assurance) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.

I. Konsonan

Huruf Arab Huruf Latin Nama

ا tidak dilambangkan tidak dilambangkan

ب B be

ت T te

ث Ts te dan es

ج J je

ح H ha dengan garis di bawah

خ Kh ka dan ha

د D de

ذ Dz de dan zet

ر R er

ز Z zet

س S es

ش Sy es dan ye

ص S es dengan garis di bawah

ض D de dengan garis di bawah

ط T te dengan garis di bawah

ظ Z zet dengan garis di bawah

ع ‘ koma terbalik di atas

غ G Ge

ف F Ef

ق Q Ki

ك K Ka

ل L El

م M Em

ن N En

و W We

ه H Ha

ء ' apostrof


(6)

xi

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ـَــ A Fathah

ـِـ I Kasrah

و__ U dammah

III. Vokal Panjang (Madd)

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ﺎَـ Â a dengan topi di atas

ﻲِـ Î i dengan topi di atas

ﻮُـ Û u dengan topi di atas

IV. Vokal Rangkap

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ي ـِـ Âi A dan i