29
sesudahnya. Dengan arti ini, menurut mayoritas ulama, sunnah sinonim dengan hadis.
4
Sejumlah ahli hadis berpendapat bahwa hadis adalah sabda, pekerjaan dan ketetapan Nabi saw. Sedang ahli-ahli hadis yang lain berpendapat bahwa
hadis tidak hanya berarti sabda, pekerjaan dan ketetapan Nabi saw saja, tetapi mencakup perkataan, pekerjaan dan ketetapan sahabat dan tabi’în.
5
Sedangkan kata Sunnah, secara etimologis berarti ‘tata cara’. Menurut Syammar, yaitu kelompok kabilah-kabilah Arab Yaman, kata ‘sunnah’ pada
mulanya berarti ‘membuat jalan’, yaitu jalan yang dibuat oleh orang-orang dahulu kemudian dilalui oleh orang-orang yang datang sesudah mereka.
Sementara al-Razi, penulis kamus Mukhtar al-Sihah menuturkan bahwa ‘sunnah’ secara kebahasaan berarti ‘tata cara dan prilaku hidup’ al-tariqah
dan al-sirah. Dari pengertian ini kemudian timbul ungkapan ‘Sunnah al- Islam’ atau ‘Sunnah’ saja, sebagai lawan dari bid’ah tata cara yang tidak
dikenal dalam Islam.
6
Adapun pengertian sunnah menurut ahli hadis yang terdapat dalam buku otentisitas hadis menurut ahli hadis dan kaum sufi karya Usman
Sya’roni adalah:
30
“Sunnah adalah apa yang datang dari Nabi Muhammad saw. baik berupa ucapan, perbuatan, persetujuan, sifat, perangai atau jasmani,
tingkah laku, perjalanan hidup, baik sebelum diutus menjadi Nabi maupun sesudahnya”.
7
Dari sudut terminologis, para ahli hadis tidak membedakan antara hadis dan sunnah. Menurut mereka, hadis dan sunnah adalah hal-hal yang
berasal dari Nabi Muhammad saw baik berupa perkataan, perbuatan, penetapan, maupun sifat-sifat beliau, dan sifat-sifat ini baik berupa sifat-sifat
fisik, moral maupun prilaku, dan hal itu baik sebelum beliau menjadi Nabi maupun sesudahnya.
8
B. Pembagian Hadis
Yang dimaksud dengan pembagian hadis di sini adalah pembagian hadis dilihat dari kualitasnya. Penulis mengutip dari pendapat al-Ghazâli yang
menyepakati berbagai rumusan yang telah dibuat oleh jumhur ulama ahli hadis, bahwa setelah diadakan seleksi yang ketat terhadap hadis-hadis Nabi
dari zaman ke zaman yang telah dilakukan oleh para ulama dari periode ke periode berikutnya, akhirnya hadis-hadis tersebut terkumpul dalam kitab-kitab
hadis, yang dari segi kualitasnya terdiri dari hadis sahih, hasan, da’if dan mawdu’.
9
7
Usman Sya’roni, Otentisitas Hadis Menurut Ahli Hadis dan Kaum Sufi, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008, h. 5.
8
Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995, h. 33.
9
Badri Khaeruman, Otentisitas Hadis; Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004, h. 272.
31
Istilah mutâwâtir dan ahâd pada awalnya lebih akrab dalam pembicaraan fuqahâ’ dan usûliyyûn.
10
Imâm al-Syâfi’î w.204 H masih menggunakan istilah khabar ‘âmmah berita umum dan khabar khâsah
berita perorangan dalam karya risalahnya. Ibnu Hibbân w. 354 H yang mengalami kampanye hadis ahâd oleh ulama Mu’tazilah semacam Abû ‘Ali
al-Jubbâ’i w. 303 H dan sebelumnya oleh al-Nazâm w. 223 H serta Qasyâni, belum merasa perlu terlibat membahas kriteria mutawâtir dan ahâd.
Ulama Muhaddîtsîn yang mulai bergabung membicarakannya adalah Imâm al- Hâkim w. 405 H, kemudian Ibn Abd al-Barr w. 463 H dan Khâtib al-
Baghdâdi w. 463 H.
11
Sementara pembagian hadis dilihat dari periwayatannya menurut pendapat al-Ghazali, sebagaimana yang dikemukakan oleh jumhur ulama ahli
hadis, yang terbagi pada hadis mutawâtir dan ahâd,
12
hadis-hadis ahâd walaupun sanad-nya sahîh-kehilangan validitas ke-sahîh-annya apabila
terdapat padanya cacat-cacat tertentu yang diistilahkan dengan syadz atau ‘ilah qadihah.
Misalnya, ia mengemukakan contoh bahwa Abû Hanîfah menolak hadis yang menyatakan bahwa “seorang muslim tidak boleh dibunuh sebagai
hukuman atas perbuatannya membunuh seorang kafir”, walaupun hadis ini
sahîh sanadnya.
Hal ini bertentangan dengan nas al-Qur’an tentang qisas yang tercantum dalam ayat 45 surat al-Maidah. Bahkan atas dasar ini, para pengikut
10
Ibn al-Salâh, Muqaddimah Ibn Salâh fi ‘Ulûm al-Hadîts, h. 169.
11
Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadis, Yogyakarta: Teras, 2004, h. 131.
12
Badri Khaeruman, Otentisitas Hadis; Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004, h. 273.
32
madzhab Hanafî mengutamakan penafsiran ayat al-Qur’an tersebut di atas hadis ahâd. Sedangkan para pengikut madzhab Maliki mengutamakan praktek
penduduk kota Madinah di atas hadis ahâd seperti itu, dengan alasan bahwa praktek mereka memberikan petunjuk yang lebih dekat kepada sunnah
nabawiyah ketimbang apa yang hanya dirawikan oleh perorangan.
13
Prasarat minimal untuk memenuhi kriteria mutawâtir adalah jumlah banyak perawi berimbang pada generasi sahabat selaku saksi primer, generasi
tâbi’în, dan tâbi’ al-tâbî’în selaku penyambung transmisi periwayatan, sehingga mereka mustahil bersepakat berbohong.
14
Untuk generasi sesudahnya karena sudah membudaya proses belajar mengajar hadis
memanfaatkan jasa media dokumen kitab, maka tak penting lagi pelacakan jumlah tersebut. Al-Suyûti menyatakan 10 orang untuk setiap generasi
periwayat.
15
Apabila sebuah hadis diriwayatkan oleh sembilan orang saja dalam salah satu jenjang periwayatannya meskipun dalam jenjang yang lain
jumlah itu mencapai seratus orang rawi misalnya, maka hadis tersebut tetap disebut hadis ahâd, karena persyaratan sepuluh orang itu tidak terpenuhi
dalam semua jenjang.
16
Sementara itu, ahâd secara kebahasaan berarti wâhid satu. Dalam terminologi ilmu hadis, hadis ahâd adalah hadis yang diriwayatkan satu orang
atau lebih dalam setiap jenjang tabaqah periwayatannya, dan jumlah itu
13
Badri Khaeruman, Otentisitas Hadis; Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004, h. 273.
14
Wahbah al-Zuhaili, Usûl Fiqh al-Islâmi, Beirût: Dâr al-Fikr, 1986, juz 1, h. 452.
15
Al-Suyûti, Tadrîb al-Râwi, al-Qahirah: Dar al-Hadis, 2002, h. 177.
16
Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, h. 132.