Perkara Ghaib al-Umûr al-Ghaibiyyah

51 kalian melihat aku salat”. 26 Pemahaman terhadap petunjuk hadis tersebut tidak memberi peluang bagi kemunculan interpretasi yang melahirkan pengertian yang berbeda. Dalam ilmu al-Qur’an model redaksi kata seperti itu sering disebut dengan muhkamât. 27 Adapun teks yang berkaitan dengan ibadah-ibadah murni al-‘Ibâdah al-Mahdah, yang berkaitan dengan hubungan personal antara khâliq dan makhluk-Nya menurut Ali Mustafa Yaqub juga tidak layak ditafsirkan secara kontekstual. Teks yang berkaitan dengan ibadah murni seperti cara salat, puasa, haji, dan lain-lain harus dipahami secara tekstual dan apa adanya, bahkan seseorang mesti tunduk kepada petunjuk tekstual semua jenis dan bentuk pelaksanaan ibadah murni baik dari al-Qur’an maupun hadis nabawi. Mengontekstualkan masalah-masalah tersebut, ungkap Ali Mustafa, malah akan menjadikan substansi teks tersebut kehilangan universalitasnya, karena masing-masing lingkungan atau negara dapat membuat aturan salat yang berbeda dengan negara lain karena perbedaan kondisi negara tersebut. 28

B. Kontekstual

Dalam pandangan Ali Mustafa, tafsir kontekstual tidak bisa dinafikan sebagai sebuah aktifitas berfikir ijtihâd yang bersifat “human construction”. Sebagai bikinan manusia tentu saja hal tersebut bisa benar bisa salah serta 26 Muhammad bin Isma’il Abu ‘Abdillah al-Bukhâri al-Ja’fi, Shahîh al-Bukhâri, Beirut: Dâr Ibn Katsîr, 1407 H1987 M, bâb al-adzân li al-musâfir, hadis nomor 605, j. 1, h. 226. 27 Abd al-Wahhâb Khalâf, Ilm Usûl al-Fiqh Kwait: Dâr al-Kuwaitiyyah, 1972, h. 168. 28 Ali Mustafa Yaqub, Islam Masa Kini, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006, h. 21. 52 masih debatable dapat diperdebatkan, karena itu “seorang mufassir kontekstual” dituntut untuk memiliki perangkat-perangkat ilmiah yang diperlukan untuk melakukan aktifitas ijtihad, di samping dituntut pula untuk memiliki perangkat ilmiah yang diperlukan untuk melakukan penafsiran kontekstual. Adapun dalam melakukan aktifitas itu ia tetap dituntut untuk menempuh metode yang disebut sebagai ahsan turuq al-tafsîr terlebih dahulu sebelum melakukan penafsiran kontekstual, yaitu tafsir al-Qur’an bi al- Qur’an, kemudian tafsir al-Qur’an bi al-Sunnah. Ali Mustafa mengingatkan bahwa tanpa memakai metode seperti itu dikhawatirkan “tafsir tekstual” merupakan tindakan mendikte Allah al-hukm ‘ala Allâh, karena hal itu tidak lebih dari sekedar pendapat pribadi. 29 Dalam menyikapi pemahaman kontekstual, Ali Mustafa memiliki rumusan yang cukup sistematis. Menurutnya, apabila sebuah hadis tidak dapat dipahami secara tekstual, maka harus dipahami secara kontekstual, yaitu dipahami dengan melihat aspek-aspek di luar lafaz teks itu sendiri, yang meliputi Sebab-Sebab Turunnya Hadis Asbâb al-Wurûd; Lokal dan Temporal Makâni wa Zamâni; Kausalitas kalimat ‘Illat al-Kalâm dan; Sosio Kultural Taqâlid. 30 Berikut ini akan dipaparkan beberapa perangkat pemahaman kontekstual yang dirumuskan Ali Mustafa Yaqub. 29 Ali Mustafa Yaqub, Islam Masa Kini, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006, h. 22. 30 Ali Mustafa Yaqub, Haji Pengabdi Setan Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006, h. 152.