BAB I PENDAHULUAN
Hipertensi dan gagal ginjal kronik memiliki kaitan yang erat. Hipertensi mungkin merupakan penyakit primer dan menyebabkan kerusakan pada ginjal,
sebaliknya penyakit ginjal kronik dapat menyebabkan hipertensi atau ikut berperan pada hipertensi melalui mekanisme retensi natrium dan air.
1,2
Air merupakan komponen utama tubuh dan merupakan medium esensial dalam tubuh. Dalam keadaan normal keseimbangan volume cairan tubuh intra
dan ekstraseluler dipertahankan tetap konstan agar sel berfungsi adekuat. Keseimbangan ini dipertahankan oleh ginjal dengan mengatur ekskresi urin dan
elektrolit sesuai dengan jumlah masukan dan produksi endogen tubuh dan ekskresi dari produk katabolisme.
3,4,5
Terjadinya hipertensi disebabkan oleh ketidakmampuan ginjal mengelurkan jumlah cairan dan garam yang cukup dengan tekanan darah yang
normal. Akibatnya terjadi penumpukan cairan yang dapat meningkatkan tekanan darah.
4
Dalam perkembangan penyakit ginjal kronik, kemampuan ginjal untuk mempertahankan keseimbangan volume cairan tubuh menjadi terganggu dan
menyebabkan perubahan volume cairan tubuh. Keadaan ini makin nyata pada penderita penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis dimana terjadi
fluktuasi status volume cairan tubuh dan konsentrasi elektrolit plasma yang sangat tergantung pada jumlah cairan yang diminum dan fungsi ginjal sisa.
Wika Hanida Lubis : Hubungan Antara Parameter Cairan Tubuh Yang Diukur Dengan Bio Impedance Analysis Dengan Derajat Hipertensi Pada Pasien Hemodialisis Reguler, 2009
USU Repository © 2008
Sementara selama sesi hemodialisis umumnya terjadi penarikan cairan berkisar 1-4 liter selama 4 jam yang menyebabkan perubahan cepat volume cairan
transelluler antara cairan intraselluler dan cairan ekstraselluler, akibatnya pada akhir proses hemodialisis terjadi kesimbangan volume cairan tubuh yang baru.
2,6
Oleh karena itu memperkirakan berat badan kering pasien-pasien hemodialisis reguler mempunyai arti klinik terhadap komplikasi sirkulasi akibat kelebihan atau
kekurangan volume cairan tubuh selama dan setelah terapi hemodialisis.
5,7
Pengukuran volume cairan tubuh secara langsung sulit dilakukan, maka dibutuhkan metode-metode pengukuran volume cairan tubuh secara tidak
langsung seperti Underwater densitometry, Dual X-ray densitometry dan
Bioelectricl Impedance Analysis BIA. Diantara metode-metode tersebut BIA
merupakan metode yang banyak dikembangkan dan diteliti pada tahun-tahun belakangan ini oleh karena pengukurannya cepat, aman, tanpa rasa sakit,
mudah diaplikasikan, nilainya mendekati nilai sebenarnya dan tidak memerlukan keterampilan khusus dalam mengoperasionalkannya.
8,9
Bio Impedance Analysis BIA adalah metode yang obyektif, non invasif
dalam mengevaluasi volume cairan tubuh dan merupakan alat yang dapat mendeteksi perubahan dini status volume cairan tubuh.
Parameter BIA yang digunakan untuk menilai status volume cairan tubuh adalah
Total Body Water TBW, Extracellular Water ECW, TBW , ECWTBW , , ECWICW .
4, 6,8,10
Penelitian-penelitian yang menghubungkan antara volume cairan tubuh yang diukur dengan BIA dengan derajat hipertensi pada pasien-pasien
Wika Hanida Lubis : Hubungan Antara Parameter Cairan Tubuh Yang Diukur Dengan Bio Impedance Analysis Dengan Derajat Hipertensi Pada Pasien Hemodialisis Reguler, 2009
USU Repository © 2008
hemodialisis reguler masih sangat sedikit, dan sepengetahuan kami masih belum ada penelitian yang menghubungkan kedua instrumen tersebut di Indonesia.
Tertarik dengan hal ini, kami lakukan penelitian potong lintang untuk melihat hubungan antara volume cairan tubuh yang diukur dengan BIA dengan derajat
hipertensi pada pasien-pasien hemodialisis reguler di Medan.
Wika Hanida Lubis : Hubungan Antara Parameter Cairan Tubuh Yang Diukur Dengan Bio Impedance Analysis Dengan Derajat Hipertensi Pada Pasien Hemodialisis Reguler, 2009
USU Repository © 2008
BAB II TINJAUAN PUSTAKA