2.3. Bentuk dan Klasifikasi Partisipasi Politik
Lebih lanjut Huntington dan Nelson 1994:16-19 menjelaskan bahwa partisipasi politik dapat terwujud dalam berbagai bentuk kegiatan atau prilaku yakni:
1. Kegiatan pemilihan mencakup suara, sumbangan-sumbangan untuk kampanye,
mencari dukungan, atau setiap tindakan yang bertujuan mempengaruhi hasil proses pemilihan. Ikut dalam pemungutan suara adalah bentuk partisipasi yang jauh lebih
luas dibandingkan dengan bentuk-bentuk partisipasi lainnya; 2.
Lobbying, mencakup upaya-upaya perorangan atau kelompok untuk menghubungi pejabat-pejabat pemerintah dan pemimpin-pemimpin politik dengan maksud
mempengaruhi keputusan-keputusan meeka mengenai persoalan yang menyangkut kepentingan umum;
3. Kegiatan organisasi, menyangkut patisipasi sebagai anggota dalam suatu organisasi
yang tujuan utamanya adalah mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah; 4.
Mencari koneksi, cantacting merupakan tindakan perseorangan yang ditujukan terhadap pejabat pemerintah dengan maksud memperoleh manfaat bagi satu orang
atau sekelompok orang; 5.
Tindak kekerasan Violence, sebagai suatu upaya untuk mempengaruhi keputusan pemerintah dengan jalan menimbulkan kerugian fisik terhadapap orang atau benda.
Oleh karena itu kekerasan biasanya mencerminkan motivasi-motivasi yang lebih kuat kekerasan dapat ditujukan untuk mengubah pimpinan politik, mempengaruhi
kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah atau merubah seluruh sistem politik revolusi.
Ampe Sahrianita Boangmanalu : Pandangan PKS Pakpak Bharat Terhadap Partisipasi Politik Perempuan, 2009
Almond 1984 menglasifikasikan kegiatan partisipasi dengan pendekatan konvensional dan non konvensional, Kegiatan politik konvensional adalah bentuk
partisipasi politik yang normal dalam demokrasi modern sedangkan nonkonvensional termasuk yang beberapa mungkin legal maupun illegal penuh kekerasaan dan
revolusioner. Bentuk-bentuk dan frekuensi partisipasi politik dapat dipakai sebagai ukuran untuk menilai stabilitas system politik, integritas kehidupan politik kepuasaan dan
ketidak puasaan warga negara. Hal ini dapat diijelaskan dengan tabel berikut:
Tabel 5. Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik Konvensional Nonkonvensional
Pemberian suara Pengajuan petisi
Diskusi politik Berdemonstrasi
Kegiatan kampanye Konfrontasi
Membentuk dan bergabubg dalam kelompok kepentingan
Tindakan kekerasan politik terhadap harta benda
Komunikasi individual dengan pejabat politik dan administrasi
Tindakan kekerasan politik terhadap manusia
Perang gerikya dan revolusi
Sumber :Almond 1984
Bentuk partisipasi politik yang berupa pemberian suara voting merupakan suatu bentuk yang paling umum digunakan dari masa lampau sampai sekarang, baik dalam
masyarakat tradisionil maupun moderen. Disamping itu pemberian suara boleh jadi merupakan bentuk partisipasi politik aktif yang paling luas tersebar di berbagai
masyarakat. Bentuk partisipasi politik lewat pemberian suara dewaasa ini tidak lagi dikaitkan dengan system politik yang sedang berlangsung di suatu negara. Dengan kata
Ampe Sahrianita Boangmanalu : Pandangan PKS Pakpak Bharat Terhadap Partisipasi Politik Perempuan, 2009
lain aktifitas pemberian suara tidak tergantung apakah negara yang bersangkutan menggunakan cara-cara demokrasi atau totaliter dalam pemerintahannya.
Bagi negara yang bersistem demokrasi persoalan partisipasi politik dalam bentuk pemberian suara ini bukanlah persoalan yang rumit karena aktifitas pemberian suara
selaras dengan sikap demokrasi tersebut. Carter dan Herz mengatakan bahwa demokrasi memerlukan toleransi terhadap pendapat yang berlawanan, keluwesan serta kesediaan
untuk mengadakan eksperimen, kebebasan untuk mengeluarkan pendapat, berserikat dan berkumpul merupakan hak-hak politik sipil yang sangat mendasar disamping adanya
penghargaan terhadap hak-hak minoritas dan perorangan. Bentuk partisipasi politik yang lain menurut Budiarjo 1985 adalah kegiatan
kampanye, kagiatan kampanye biasanya dilakukan sebelum kegiatan pemberian suara atau pemungutan suara. Ditinjau dari segi kuantitasnya lebih banya dibandingkan
dengaan diskusi politik namun dari segi kualitas tampak adanya dua kelompok dalam kegiatan tersebut. Yang pertama pada kelompok mayoritas yang kegiatannya terbatas.
pada ikut-ikutan saja tanpa didasari kejernihan berfikir serta strategi tertentu dan kelompk yang kedua adalah kelompok minoritas yang selain aktif dalam kegiatan kampanye juga
berperan sebagai penggerak atau motornya. Secara sederhana Budiarjo 1985 membagi partisipasi dalam dua bentuk. Bentuk partisipasi aktif antara lain memberikan suara
dalam pemilu, turut serta dalam demontrasi ataupun memberikan dukungan keuangan dengan memberikan sumbangan. Bentuk partisipasi pasif adalah bentuk partisipasi yang
sebentar-bentar misalnya dalam diskusi politik informal oleh individu-individu dalam keluarga masing-masing, ditempat kerja maupun antara sahabat-sahabat.
Ampe Sahrianita Boangmanalu : Pandangan PKS Pakpak Bharat Terhadap Partisipasi Politik Perempuan, 2009
Dengan pendekatan yang agak berbeda, ilmuwan Roth dan Wilson 1985 mengatakan bentuk partisipasi politik warga negara dibedakan berdasarkan intensitasnya.
Intensitas terendah adalah sebagai pengamat, intensitas menegah yaitu senagai partisipas dan intensitas tertinggi sebagai aktifis. Bila dijenjangkan intensitas politik warga tersebut
membentuk segitiga serupa dengan bangunan piramida. Karena seperti piramida, bagian mayoritas partisipasi politik warga Negara
terletak dibawah. Ini berarti intensitas partisipasi politik warga Negara kebanyakan berada pada jenjang pengamat. Mereka yang tergolong dalam kelompok ini biasanya
melakukan kegiatan politik seperti menghadiri rapat umum, menjadi anggota partai atau kelompok kepentingan, membicarakan dan mengikuti perkembangan politik melalui
media massa dan memberikan suara pada pemilihan umum. Setingkat lebih maju dari kelompok pengamat yang terletak ditengah-tengah
piramida adalah partisipasi politik ialah kelompok partisipan. Para jenjang partisipan ini aktifitas partisipasi politik yang sering dilakukan adalah menjadi petugas kampanye,
anggota aktif dari suatu partai atau kelompok kepentingan dan aktif dalam proyek-proyek sosial.
Kelompok terakhir yang terletak pada bagian atas piramida partisipasi adalah kelompok aktifis. Warga yang masuk pada kelompok aktifis sangat sedikit jumlahnya.
Kegiatan politik pada jenjang aktifis ini adalah menjadi pejabat partai sepenuh waktu, pemimpin partai atau kelompok kepentingan. Disamping itu Roth dan Wilson
menambahkan terdapat warga Negara yang tidak termasuk dalam piramida ini, mereka
Ampe Sahrianita Boangmanalu : Pandangan PKS Pakpak Bharat Terhadap Partisipasi Politik Perempuan, 2009
adalah kelompok warga yang sama sekali tidak terlibat dan tidak melakukan kegiatan politik. Mereka ini disebut sebagai orang yang apolitis.
Aktifis
Pengamat Partisipan
Gambar 2. Piramida Partisipasi Politik Menurut Roth dan Wilson
Bentuk partisipasi politik yang berdasarkan jumlah pelakunya dikategorikan menjadi dua yakni partisipasi individual dan partisipasi kolektif. Partisipasi individual
dalam bentuk kegiatan seperti menulis surat yang berisikan tuntutan atau keluhan kepada pemerintah sedangkan kolektif bentuk kegiatan warga negara secara serentak dimaksud
untuk mempengaruhi penguasa seperti kegiatan dalam pemilihan umum. Menurut Surbakti 1995:74 bentuk partisipasi dibedakan menjadi partisipasi aktif
dan partisipasi pasif 1 partisipasi aktif mencakup kegiatan warga negara mengajukan mengenai usul tentang kebijakan umum, mengajukan alternatif kebijakan umum yang
berbeda kepada pemerintah, mengajukan kritik dan saran perbaikan untuk meluruskan kebijaksanaan, membayar pajak dan ikut dalam kegiatan pemilihan pimpinan pemerintah.
Ampe Sahrianita Boangmanalu : Pandangan PKS Pakpak Bharat Terhadap Partisipasi Politik Perempuan, 2009
2 partisipasi pasif antara lain berupa kegiatan mentaati peraturan pemerintah, menerima dan melaksanakan begitu saja setiap keputusan pemerintah.
Berangkat dari perjalanan diberlakukannya otonomi daerah, yang demokratis dengan melibatkan semua komponen masyarakat, maka penyelenggaraan pemerintahan
daerah harus makin meningkatkan partisipasi masyarakat dalam seluruh proses pembangunan, terutama pada sektor publik. Sementara sistem nilai yang berkembang
telah cukup kondusif bagi kemungkinan diperluasnya ruang keterlibatan komunitas perempuan. Maka kiranya era otonomi daerah juga sebagai peluang dan momentum yang
paling tepat bagi komunitas perempuan untuk meningkatkan intensitas partisipasinya dalam sektor publik ini. Partisipasi ini dapat dilakukan secara individual maupun kolektif
melalui lembaga swasta ataupun terutama lembaga voluntary, apakah itu Ormas, LSM atau organisasi sosial politik.
Selanjutnya berangkat dari asumsi bahwa pemerintah daerah merupakan aktivitas manajemen publik yakni mengatur dan melaksanakan urusan-urusan pelayanan publik
yang menjadi kewenangan daerah, maka ada beberapa ruang partisipasi strategis yang dapat dimasuki oleh komunitas perempuan dalam era otonomi daerah ini.
Pertama, partisipasi dalam proses perencanaan. Peran ini cukup penting untuk menjamin agar rencana-rencana pembangunan daerah nantinya benar-benar aspiratif dan
membela kepentingan masyarakat secara adil. Ruang-ruang partisipasi dalam hal ini antara lain dengan memberikan data-data kebutuhan oyektif masyarakat, memberikan
pendampingan kepada masyarakat untuk makin aktif terlibat dalam proses perencanaan, memberikan kritik yang obyektif rasional terhadap rencana-rencana pembagunan daerah,
Ampe Sahrianita Boangmanalu : Pandangan PKS Pakpak Bharat Terhadap Partisipasi Politik Perempuan, 2009
di samping merumuskan sendiri program-program internal organisasi untuk pengembangan ke dalam maupun untuk partisipasi ke luar organisasi.
Kedua, partisipasi dalam pengorganisasian. Dalam hal ini partisipasi itu dapat diwujudkan dalam bentuk saran dan provokasi keterlibatan organisasi-organisasi non
pemerintah dalam program-program pembangunan daerah. Pemerataan keterlibatan lembaga-lembaga bisnis dalam pembangunan sarana-sarana umum sehingga
menggairahkan partisipasi sekaligus memeratakan pendapatan masyarakat. Begitu pula keterlibatan lembaga Ormas dan LSM dalam pengembangan sisi sosial seperti
keagamaan, pendidikan, ketenagakerjaan dan sebagainya. Kesemuanya itu harus didesakkan kepada pemerintah daerah dalam upaya menciptakan sinergi antar berbagai
komponen daerah dalam pengorganisasian pembangunan di daerah.
Ketiga, partisipasi dalam pelaksanaan. Ini merupakan kelanjutan dari kedua
bentuk partisipasi sebelumnya. Pada dasarnya dalam pelaksanaan sektor-sektor pembangunan dapat dimasuki oleh peran komunitas perempuan. Namun demikian
beberapa peran yang tampaknya lebih relevan antara lain dalam keagamaan, pendidikan, penanganan fakir miskin, yatim piatu dan berbagai kegiatan sosial lainnya. Beberapa
Ormas dan LSM perempuan tampaknya cukup memberi perhatian terhadap masalah konservasi lingkungan hidup. Di samping itu masalah kekerasan terhadap perempuan
kiranya juga menuntut keterlibatan aktivitas komunitas perempuan, lebih-lebih masalah perjuangan kesetaraan gender yang secara kultural belum sepenuhnya bisa diterima oleh
mayoritas komunitas. Keterlibatan dalam sektor sosial politik tampak juga mulai menjadi ruang yang dapat dimanfaatkan oleh komunitas perempuan untuk makin menjamin
Ampe Sahrianita Boangmanalu : Pandangan PKS Pakpak Bharat Terhadap Partisipasi Politik Perempuan, 2009
aspirasi dan “suara” perempuan dapat lebih didengar dan diakomodasikan. Dalam hal ini komunitas perempuan harus berani untuk memperjuangkan keterwakilan mereka dalam
jabatan-jabtan struktural organisasi sosial politik dan harus ada yang berani untuk melakukan bargaining politik agar dapat direkrut dalam jabatan-jabatan politik bak di
birokrasi maupun di lembaga legislatif. Keempat, partisipasi dalam kontrol. Perempuan secara kodrati memiliki kelebihan
dibanding lelaki, antara lain dalam hal ketelitian dan kecermatan. Kelebihan ini sebenarnya akan sangat bermanfaat apabila digunakan untuk meneliti dan mencermati
setiap tahapan proses pembangunan di daerah apakah itu dalam proses perencanaan, pengorganisasian maupun dalam pelaksanaan pembangunan. Dari bentuk partisipasi yang
dapat dilakukan oleh para aktivis perempuan bersamaan dengan berlakunya Undang- undang Nomor 32 tentang otonom Daerah, merupakan hal yang signifikan untuk
meningkatkan kualitas sumber daya perempuan dalam berbagai segi kehidupan.
2.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Politik