Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Persoalan politik merupakan persoalan yang amat penting dalam pengaturan kehidupan manusia, perdebatan tentang relasi agama dan politik juga muncul dalam Islam. Setidaknya ada tiga aliran utama dalam wacana intelektual muslim dalam melihat Islam dan politik. Pertama, aliran yang menganggap Islam dan politik tidak bisa dipisahkan sama sekali, karena Islam tidak mengenal pemisahan antara kekuasaan negara dan agama. Aliran ini terkenal dengan konsep al-Islamu al-din waal-daulah Islam adalah agama dan negara. Sebagai konsekuensi logis dari paham ini, mereka berpandangan bahwa menjadi kewajiban orang seluruh muslim untuk menegakkan negara berdasarkan sistem politik Islam. Mereka mengusung beragam konsep sistem politik, dari sistem negara Madinah hingga sistem khilafah Rizwan, 2001. Kedua, kalangan yang berpandangan bahwa doktrin-doktrin tentang negara Islam tidak disebutkan secara detail dan tuntas dalam Islam, Islam hanya memperkenalkan beberapa konsep tentang nilai dan etika bernegara. Akibatnya, kalangan ini berpendapat bahwa sebuah negara menjadikan Islam atau bukan Islam sebagai dasar negara, bukanlah hal yang penting. Yang utama adalah terpenuhinya nilai-nilai dan etika yang dianjurkan dalam Islam. Kelompok ini termasuk kelompok yang menganjurkan gerakan Islam kultural dan menolak Islam politik. Ketiga, kelompok yang secara keras mengatakan bahwa tidak ada hubungan sama sekali antara Islam dan negara. Islam sama sekali tidak Ampe Sahrianita Boangmanalu : Pandangan PKS Pakpak Bharat Terhadap Partisipasi Politik Perempuan, 2009 mengatur persoalan ketatanegaraan. Islam sebagai agama harus dijauhkan dari politik. Pandangan ini berada di gerbong sekularisme yang memang menganut doktrin pemisahan antara agama dan negara. Konsekuensi dari varian pandangan tersebut sangat mempengaruhi konsepsi kekuasaan politik dalam wacana Islam politik sendiri. Dalam konteks Islam, kata politik sering diidentikkan dengan perkataan al-Siyasah. Kata ini terdiri huruf Sin, Wau dan Sin dengan makna pokok kerusakan sesuatu dan tabiat atau sifat dasar. Dari makna pertama terbentuk kata kerja sasa-yasusu-siyasatan yang berarti mengurus kepentingan seseorang, dan dalam kamus al-muhith dikatakan sustu ar-ra’iyatan siyasatan yang berarti saya memerintah dan melarangnya. Dengan pengertian ini Ahmad Athiyan menyatakan bahwa politik bermakna memelihara dan memerhatikan urusan rakyat. Lebih jelas Hasan al-banna menyatakan bahwa politik adalah memerhatikan urusan umat, luar dan dalam negeri, internal dan eksternal, secara individu dan masyarakat keseluruhannya; bukan terbatas pada kepentingan golongan semata. Beliau juga berpendapat politik tidak hanya menyangkut penyelenggaraan pemerintahan tetapi juga mencakup upaya menciptakan sistem yang bersih dan berkeadilan dimana mekanisme kontrol berperan besar. Saidah dan Khatimah,2001:134 Abdul Qadim Zallum dalam bukunya Al-Afkar as-Siyasiyah mendefenisikan politik adalah mengatur urusan umat, dengan negara sebagai institusi yang mengatur urusan tersebut secara praktis, sedangkan umat mengoreksi terhadap pemerintah dalam melakukan tugasnya. Makna memimpin masyarakat ditemukan dalam hadist Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Al-Bukhari, Muslim dan Ibnu Majah dari Abi Hurairah Ampe Sahrianita Boangmanalu : Pandangan PKS Pakpak Bharat Terhadap Partisipasi Politik Perempuan, 2009 tentang kepemimpinan atas Bani Isra`il. Kepemimpinan para nabi atas Bani Isra`il bertujuan untuk mengusahakan agar Bani Isra`il kembali hidup sesuai dengan ajaran agama Tauhid. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa konsep yang terkandung dalam istilah siyasah adalah politik yang bermakna politik rehabilitatif pemulihan dari kesesatan kepada ajaran-ajaran dan praktik keagamaan yang benar Muin, 2002. Dengan demikian, dalam konteks ini, politik atau siyasah dalam literatur profetik merupakan sebuah proses penataan dan rehabilitasi kehidupan manusia yang sudah menyimpang dari ajaran-ajaran tauhid. Politik sama sekali tidak dimaksudkan sebagai sebuah proses perebutan kekuasaan untuk tujuan-tujuan duniawi. Oleh sebab itulah, tugas seorang pemimpin dalam Islam adalah himayat al-din wasiyasatu al-dunya melindungi agama dan memelihara ketertiban sosial politik. Dalam Islam, pembicaraan tentang kedudukan wanita dan peran politiknya merupakan polemik dalam jangka waktu yang relatif lama, banyak didominasi oleh perhitungan-perhitungan historis dari prinsip-prinsip Islam. Salah seorang pemimpin gerakan fundamentalis Syekh Abbas al-Madany menyatakan bahwa perempuan hendaknya dikurung untuk mengurus hal-hal yang bersifat domestik. Kaum fundamentalis rmemandang ketidaksejajaran inequality antara laki-laki dan wanita sudah merupakan takdir Tuhan. Di lain pihak ada yang berpendapat bahwa Islam secara intrinsik memang berwatak patriarki dan menentang hak-hak wanita. Fatima Mernissi, 2001:182. Pandangan minor demikian ini tentunya kurang menguntungkan bagi Islam. Mohsin Araki dalam buku Membela Perempuan, menakar feminisme dengan nalar agama, mengemukakan Islam sebagai agama terakhir yang diturunkan Tuhan menurut Ampe Sahrianita Boangmanalu : Pandangan PKS Pakpak Bharat Terhadap Partisipasi Politik Perempuan, 2009 keyakinan umatnya sebagai konstruksi agama yang komplit dan sempurna. Segala sesuatu telah diatur secara proporsional, termasuk yang menyangkut posisi wanita dalam kehidupan keluarga, masyarakat dan negara. Islam mengakui hak dan kewajiban dengan demikian umat yang beragama Islam harus terikat oleh dua hal tersebut. Berbicara tentang peran politik perempuan khususnya dalam dunia Islam, ada dua pendapat yakni pertama mereka yang tidak mendukung peran politik perempuan muslim. Kelompok ini mempunyai pandangan bahwa perempuan ditugaskan untuk mengurus hal- hal domestik, seperti mengurus rumah tangga, mendidik anak, dan lain-lain. Dunia publik adalah wilayah laki-laki. Kelompok ini merujuk pada teks-teks Al-Quran dalam surah Annisa’ 34, Al-Baqarah 228, ditafsirkan Ibnu Katsir bahwa laki-laki memiliki kelebihan untuk menangani urusan publik terutama urusan politik. Dan surat Al-Ahzab ayat 34, dipahami sebagian ahli tafsir sebagai ayat yang mengharuskan perempuan untuk diam di dalam rumah. Fatima Mernissi, 2001 Kelompok kedua, mendukung peran politik perempuan. Perempuan adalah makhluk Tuhan seperti juga laki-laki. Sebagai hamba Tuhan ia juga memiliki tanggungjawab kemanusiaan, memakmurkan bumi dan mensejahterakan manusia. Tuhan memberikan kepada mereka laki-laki dan perempuan, potensi-potensi dan al ahliyyah atau kemampuan-ksemampuan untuk bertindak secara otonom yang diperlukan bagi tanggungjawab menunaikan amanah tersebut. Tidak sedikit teks-teks suci menegaskan keharusan kerjasama laki-laki dan perempuan untuk tugas- tugas pengaturan dunia ini. Laki-laki dan perempuan beriman, menurut al Qur-an saling bekerjasama untuk tugas keagamaan menyerukan kebaikan dan menghapuskan kemunkaran kerusakan sosial. Teks-teks al Qur-an juga menegaskan akan adanya Ampe Sahrianita Boangmanalu : Pandangan PKS Pakpak Bharat Terhadap Partisipasi Politik Perempuan, 2009 balasan yang sama antara laki-laki dan perempuan bagi pekerjaan-pekerjaan politik tersebut.Baca antara lain: Q.S. Ali Imran 195, al Nahl 97, al Taubah 71. Beberapa ayat al Qur-an ini dan masih ada ayat yang lain cukup menjadi dasar legitimasi betapa partisipasi politik perempuan tidak dibedakan dari laki-laki. Partisipasi mereka menjangkau seluruh dimensi kehidupan. Diktum-diktum Islam telah memberikan ruang pilihan bagi perempuan juga laki-laki untuk menjalani peran-peran politik domestik maupun publik, untuk menjadi cerdas dan terampil. Sejarah kenabian mencatat sejumlah besar perempuan yang ikut memainkan peran-peran ini bersama kaum laki-laki. Khadijah, Aisyah, Umm Salamah, dan para isteri nabi yang lain, Fathimah anak, Zainab cucu Sukainah cicit adalah perempuan-perempuan terkemuka yang cerdas. Mereka sering terlibat dalam diskusi-diskusi tentang tema-tema sosial dan politik bahkan mengkritik kebijakan-kebijakan domestik maupun publik yang patriarkis. Partisipasi perempuan juga muncul dalam sejumlah baiat perjanjian, kontrak untuk kesetiaan dan loyalitas kepada pemerintah. Sejumlah perempuan sahabat nabi seperti Nusaibah bint Karsquob, Ummu Athiyyah al Anshariyyah dan Rabirsquo bint alMursquo awwadz ikut bersama laki-laki dalam perjuangan bersenjata melawan penindasan dan ketidakadilan. Umar bin Khattab juga pernah mengangkat al Syifa, seorang perempuan cerdas dan terpercaya, untuk jabatan manager pasar di Madinah Khamenei, 2005:74. Peran politik yang dimaksud lebih praktis, seperti menjadi eksekutif, legislatif dan yudikatif. Kelompok ini menganggap kaum perempuan diizinkan memangku jabatan politik seberat yang dipangku laki-laki. Secara normatif, kelompok ini juga mendasarkan diri pada sumber-sumber Islam seperti AlQuran dan Sunnah Nabi. Misalnya surat At- Ampe Sahrianita Boangmanalu : Pandangan PKS Pakpak Bharat Terhadap Partisipasi Politik Perempuan, 2009 Taubah ayat 71 mereka menganggap sebagai ayat yang menyetarakan laki-laki dan perempuan dalam hak dan kesempatan dalam politik. Membahas tentang peran politik perempuan maka secara khusus hak politik perempuan tertuang dalam Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan The Unconvention on the Elimination of all Forms of Discrimination against Women - CEDAW disahkan dan diterima oleh Dewan Umum PBB pada tahun 1979. Dalam pasal tujuh disebutkan negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah perlu untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam kehidupan politik, kehidupan kemasyarakatan negaranya, dan khususnya menjamin bagi perempuan, atas dasar persamaan dengan laki-laki, hak sebagai berikut: 1. Untuk memberikan suara dalam semua pemilihan dan referendum publik, dan untuk dipilih pada semua badan-badan yang secara umum dipilih; 2. Untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijakan pemerintah dan pelaksanaannya, serta memegang jabatan publik dan melaksanakan segala fungsi publik di semua tingkat pemerintahan; 3. Untuk berpartisipasi dalam organisasi-organisasi dan perkumpulan-perkumpulan Non-Pemerintah yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat dan politik negara. Pasal 7 tentang Persamaan dalam Kehidupan Politik dan Kemasyarakatan pada Tingkat Nasional menghendaki Negara-negara Pihak untuk melakukan dua tahapan kegiatan, untuk menciptakan persamaan dalam kehidupan politik dan kemasyarakatan bagi perempuan. Pertama, Negara-negara harus menyebarluaskan hak yang telah dijamin berdasarkan Pasal 25 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, dan memberi Ampe Sahrianita Boangmanalu : Pandangan PKS Pakpak Bharat Terhadap Partisipasi Politik Perempuan, 2009 jaminan terhadap perempuan untuk memberikan suara pada setiap pemilihan umum dan referendum. Masalah penting bagi perempuan adalah hak untuk memberikan suara secara rahasia. Perempuan yang tidak diijinkan memberikan suara secara rahasia sering dipaksa untuk memberikan suara yang sama dengan suami mereka, dan karenanya menghalangi mereka untuk mengungkapkan pendapatnya sendiri. Kedua, Pasal 7 mengakui bahwa walaupun hal ini penting, hak untuk memilih saja tidaklah cukup untuk menjamin partisipasi yang nyata dan efektif bagi perempuan dalam proses politik. Oleh sebab itu Pasal ini menghendaki Negara untuk memastikan bahwa perempuan mempunyai hak untuk dipilih dalam badan-badan publik dan untuk memegang jabatan publik lainnya dan kedudukan dalam organisasi non-pemerintah. Kewajiban-kewajiban ini dapat dilaksanakan dengan memasukkan perempuan dalam daftar calon pemerintah, affirmative action dan kuota, dengan menghapus pembatasan berdasarkan gender pada posisi tertentu, meningkatkan tingkat kenaikan jabatan bagi perempuan, dan mengembangkan program pemerintah untuk menarik lebih banyak perempuan ke dalam peran kepemimpinan politik yang punya arti penting. Dewasa ini, lebih dari dua puluh tahun sejak ditanda tanganinya konvensi itu, lebih dari 170 negara telah meratifikasinya. Konvensi itu dapat dijadikan dasar untuk mewujudkan kesetaraan perempuan dan laki-laki dengan membuka akses dan peluang yang sama di arena politik dan kehidupan publik, termasuk hak memberi suara dan mencalonkan diri. Pemerintah telah bertekad untuk menempuh semua langkah yang diperlukan, termasuk legislasi dan tindakan-tindakan khusus yang bersifat sementara, sehingga kaum perempuan nanti dapat menikmati seluruh hak dan kemerdekaan asasi Ampe Sahrianita Boangmanalu : Pandangan PKS Pakpak Bharat Terhadap Partisipasi Politik Perempuan, 2009 mereka. Akan tetapi masih banyak negara yang belum menerapkan langkah-langkah di atas. Negara Indonesia meratifikasi Konvensi PBB tentang Hak-Hak Politik Perempuan pada masa Pemerintahan mantan Presiden Soeharto di tahun 1968. CEDAW diratifikasi pada tahun 1984. Pemerintah Habibie kemudian meratifikasi Protokol Opsi yang merupakan bagian dari Konvensi Perempuan. Belakangan ini pemerintah Indonesia bahkan telah mengambil beberapa langkah untuk melakukan berbagai tindakan yang ditujukan untuk menyempurnakan kebijakan yang menyangkut jender, terutama masalah gender mainstreaming, yang merupakan sebuah strategi penting yang termuat dalam Platform Aksi Beijing Bejing Platform for Action. Hak politik perempuan dalam DUHAM Deklarasi Universalitas Hak Asasi Manusia tertuang dalam pasal 2: “setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan- kebebasan yang tercantum di dalam Deklarasi ini tanpa perkecualian apapun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat yang berlainan, asal mula kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran, ataupun kedudukan lain.” Hak politik perempuan dinyatakan pula secara lebih rinci dalam Konvenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik pasal 25 dan 26. Konvenan ini telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui UU Nomor 12 Tahun 2005. Pemenuhan hak politik perempuan di Indonesia, di samping mengacu kepada instrumen internasional mengenai HAM juga harus mengacu kepada Pancasila sebagai ideologi negara, konstitusi khususnya UUD 1945 hasil amandemen kedua, pada pasal-pasal 28 A sampai J tentang Hak Asasi Manusia, dan sejumlah undang-undang lainnya yang berkaitan dengan penegakan HAM. Ampe Sahrianita Boangmanalu : Pandangan PKS Pakpak Bharat Terhadap Partisipasi Politik Perempuan, 2009 Dalam konteks nasional, Indonesia memandang perlu untuk meningkatkan kualitas kehidupan dan peran perempuan serta kesejahteraan dan perlindungan dalam kerangka dan agenda besar guna menciptakan Indonesia yang adil dan demokratis. Konteks Indonesia, permasalahan-permasalahan yang menimpa kaum perempuan seperti di bidang politik dengan rendahnya peran dan partisipasi politik perempuan, ditandai dengan rendahnya keterwakilan perempuan dan akses politik kaum perempuan. Semua merupakan akibat dari kuatnya budaya patriarki yang menyebabkan adanya bias gender dalam tatanan kehidupan masyarakat. RPJMN 2004-2009 Bab 12 Sepanjang tahun, perdebatan tentang representasi dan partisipasi politik perempuan semakin meningkat dan mendominasi agenda politik, berkat gigihnya organsisasi- organisasi dan para aktivis masyarakat madani yang vokal menyuarakan isu ini. Salah satu isu terpenting yang mereka serukan adalah penerapan kuota 30 bagi perempuan dalam proses pemilu. Ada banyak alasan yang menjadikan isu ini sebagai topik perdebatan yang kian menghangat di Indonesia. Pertama, keterwakilan politik perempuan Indonesia pada hasil pemilu Tahun 1999-2004 baik di tingkat nasional maupun lokal masih sangat rendah, yakni sekitar 9 kursi di DPR pusat, 5,2 kursi di DPRD, dan di DPD partai-partai politik bahkan lebih rendah lagi. Data tahun 2000 menunjukkan keterwakilam perempuan di MPR 8,06, DPR 9 , MA 14,89, BPK 0, DPA 4,44 Sumber: Data dirumuskan oleh Divisi Perempuan dan Pemilihan Umum, CETRO, 2001 Alasan kedua berkaitan dengan alotnya proses transisi demokrasi di Indonesia. Transisi tersebut memberikan peluang untuk meningkatkan keterwakilan perempuan. Banyak LSM perempuan yang bergerak di bidang politik sekarang mulai berusaha meningkatkan Ampe Sahrianita Boangmanalu : Pandangan PKS Pakpak Bharat Terhadap Partisipasi Politik Perempuan, 2009 kesadaran politik kaum perempuan. Oleh karenanya, kini lembaga-lembaga politik di Indonesia mendapat tekanan yang kuat untuk menjadikan isu jender itu sebagai unsur yang penting di dalam proses demokratisasi. Masalah-masalah seperti, penerapan kuota untuk perempuan diberbagai tingkatan dan berbagai lembaga politik, masalah dampak sistem pemilu untuk perempuan serta implikasi peningkatan keterwakilan perempuan bagi partai politik menjadi isu penting yang banyak didiskusikan. Meru pakan fenomena baru dan menyegarkan dalam perkembangan sistem demokrasi di Indonesia, meskipun dalam tataran yang relatif kecil dan sederhana, tetapi masih banyak harapan dan peluang yang bisa dilalui oleh para aktivis perempuan partai dalam partisipasinya untuk mensosialisasikan dan mengimplementasikan undang-undang tersebut sekaligus sebagai penghargaan terhadap pengorbanan dan perjuangan perempuan yang selama terpinggirkan oleh sistem. Karena pada kesempatan kali ini publik akan memberikan penilaian langsung terhadap partai-partai politik peserta pemilu yang mempunyai kepedulian terhadap perjuangan serta potensi-potensi perempuan, bahkan ada semacam kecaman dari berbagai lembaga swadaya masyarakat LSM atau organisasi- organisasi kemasyarakatan perempuan lainnya, untuk tidak memilih gambar partai yang tidak memperhatikan kepentingan perempuan atau dengan tidak merealisasikan undang- undang tentang keterwakilan perempuan. Keterwakilan perempuan menjadi penting karena jumlah perempuan dalam panggung politik masih sangat rendah, berada dibawa standar, sehingga posisi dan peran perempuan dalam lembaga–lembaga legislatif, terlebih jabatan eksekutif sebagai pengambil dan penentu kebijakan masih minim, mengakibatkan Ampe Sahrianita Boangmanalu : Pandangan PKS Pakpak Bharat Terhadap Partisipasi Politik Perempuan, 2009 keberadaan perempuan masih belum diperhitungkan, meskipun menurut data BPS tahun 2000 jumlah perempuan lebih besar dari jumlah laki–laki berkisar 52:48. Partisipasi politik perempuan dapat dilihat dalam tiga aspek yaitu akses, kontrol, dan suara perempuan dalam proses pembuatan kebijakan policy making process. Realitas menunjukkan bahwa dalam tiga aspek di atas keterlibatan perempuan Indonesia sangat kurang. Hal ini dapat dilihat bahwa hingga saat ini keterwakilan perempuan dalam arena politik sangat minim. Pusat Pemberdayaan Perempuan dalam Politik bekerjasama dengan Pusat Penelitian Politik LIPI tahun 2006 menyimpulkan bahwa rendahnya keterwakilan perempuan dalam ruang publik terutama disebabkan oleh ketimpangan struktural dan sosiokultural masyarakat dalam bentuk pembatasan, pembedaan, dan pengucilan yang dilakukan terhadap perempuan secara terus-menerus, baik formal maupun non-formal, baik dalam lingkup publik maupun lingkup privat keluarga. Di samping itu, secara internal rendahnya keterwakilan perempuan dalam jabatan politik juga disebabkan tidak banyak perempuan tertarik pada dunia politik disebabkan masyarakat masih menganut pemilihan yang tegas antara ruang publik dan ruang domestik. Bila dicermati kancah perpolitikan perempuan di Indonesia dari segi keterwakilan perempuan baik ditataran eksekutif, yudikatif, maupun legislatif sebagai badan yang memegang peran kunci menetapkan kebijakan publik, pengambil keputusan, dan menyusun berbagai piranti hukum, perempuan masih jauh tertinggal bila dibandingkan dengan laki-laki. Ampe Sahrianita Boangmanalu : Pandangan PKS Pakpak Bharat Terhadap Partisipasi Politik Perempuan, 2009 Tabel 1. Jumlah anggota DPR RI hasil pemilu 2004 No Partai politik Perempuan Persentase Laki-laki Persentase Jumlah 1 Golkar 18 14 110 86 128 2 PDIP 12 11 97 89 109 3 PPP 3 5,17 55 94,82 58 4 Demokrat 6 10,52 49 89,47 55 5 PKB 7 13,46 45 86,53 52 6 PAN 7 13,46 46 86,53 57 7 PKS 3 6,66 42 93,33 45 8 PBR 2 15,38 12 84,61 14 9 PBB 11 100 11 10 PDS 3 25 9 75 13 11 PDK 4 100 4 12 PKPB 2 100 2 13 Partai Pelopor 1 33 2 66 3 14 PKP Indonesia 0 0 1 100 1 15 PNI Marhaenis 0 0 1 100 1 16 PPDI 1 100 1 Jumlah 62 11,27 487 88,73 550 Sumber : DPR RI 2004 Pada tahun 1999-2004 representasi perempuan hanya memperoleh 9 persen dari jumlah total wakil-wakil di DPR-RI. Ini adalah angka terendah jumlah wakil perempuan sejak Pemilihan Umum tahun 1987, seperti pada tabel berikut. Ampe Sahrianita Boangmanalu : Pandangan PKS Pakpak Bharat Terhadap Partisipasi Politik Perempuan, 2009 Tabel 2. Representasi Perempuan di DPR-RI pada tahun 1950-2004 Pemilu Tahun Perempuan Persentase Laki-laki Persentase 1950-1955 9 3,8 236 96,2 1955-1960 17 6,3 272 93,7 1956-1959 25 5,1 488 94,9 1971-1977 36 7,8 460 92,2 1977-1982 29 6,3 460 93,7 1982-1987 39 8,5 460 91,5 1987-1992 65 13 500 87 1992-1997 65 13 500 87 1997-1999 54 10,8 500 89,2 1999-2004 45 9 500 91 2004-2009 62 11,27 487 88,73 Berdasarkan Pemilu 1955 anggota DPR RI berjumlah 272 orang, tetapi presiden Soekarno membentuk Dewan Konstituante untuk merevisi konstitusi. Dewan Konstituante dibubarkan oleh Presiden pada tahun 1959 karena terjadi pertentangan yang tajam. Pembubaran konstituante dilakukan melalui dekrit presiden, 5 Juli 1959. Sumber: Sekretariat DPR, 2001. Data dirumuskan ulang oleh Divisi Perempuan dan Pemilihan Umum, CETRO, 2002. Dengan tingkat representasi seperti ini, IPU menempatkan Indonesia pada posisi ke-83 dalam bidang Representasi Perempuan di Parlemen Maret 2002. Dengan disahkannya Undang-undang pemilu 2004 yang menyertakan aspirasi kaum perempuan pada pasal 65 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, tercantum “setiap partai politik dapat mengajukan calon anggota DPR baik DPRRI, DPR propinsi, dan DPR Kabupatenkota untuk setiap daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30”. Ampe Sahrianita Boangmanalu : Pandangan PKS Pakpak Bharat Terhadap Partisipasi Politik Perempuan, 2009 Banyak kalangan yang optimis dan bersemangat. Sebagaimana juga banyak yang pesimis dan bahkan justru merasa ini adalah sebuah perlakuan diskriminatif. Mereka yang optimis memandang bahwa ini adalah salah satu bentuk affirmative policy untuk mendukung peningkatan partisipasi politik perempuan. Sedangkan pandangan diskriminatif berawal dari penolakan pandangan bahwa perempuan hanya dinilai dari sekedar jumlah kuantitatif dan maka dari itu berhak memperoleh kuota. Mereka juga menegaskan agar perempuan dinilai dari sudut pandang kualitas, bukan kuantitas. Untuk memenuhi amanah dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 harus diakui, daftar caleg perempuan yang diajukan PKS dalam pemilu 2004 untuk DPR RI mencapai 40,3, jauh melebihi kuota 30. data terlampir Ampe Sahrianita Boangmanalu : Pandangan PKS Pakpak Bharat Terhadap Partisipasi Politik Perempuan, 2009 Tabel 3. Data Pemenuhan kouta 30 Caleg Perempuan Partai Politik untuk DPRRI No Partai Politik Perempuan Laki-laki Total 1 PNI Marhaines 60 27,9 155 72 215 2 PBSD 90 37,1 152 62,8 242 3 PBB 80 23,8 256 76,1 336 4 Merdeka 72 35,6 130 64,3 202 5 PPP 111 22,3 386 77,6 497 6 PPDK 74 32,7 150 67,2 223 7 PPIB 94 32,7 150 67,2 223 8 PNBK 64 29,2 152 70,3 216 9 Demokrat 117 27 316 72,9 433 10 PKPI 97 38,8 153 61,2 250 11 PPDI 91 35,1 168 64,8 259 12 PPNUI 78 38,4 125 61,5 203 13 PAN 182 35 338 65 520 14 PKPB 149 35,9 265 64 414 15 PKB 170 37,6 281 62,3 451 16 PKS 180 40,3 266 59,6 446 17 PBR 100 31,5 217 68,4 317 18 PDIP 158 28,3 400 71,6 558 19 PDS 87 30,7 196 69,2 283 20 GOLKAR 185 28,3 467 71,6 652 21 Patriot Pancasila 51 29,4 122 70,5 173 22 Syarikat Islam 101 38,6 160 61,3 261 23 PPD 64 34,2 123 65,7 187 24 PELOPOR 53 30,4 121 69,5 174 Sumber : DPR RI, 2004 Peserta Pemilu 2004 diikuti oleh 24 Partai Politik, 5 diantaranya adalah Partai Politik Islam lihat tabel 4. Partai Keadilan Sejahtera salah satu peserta pemilu Tahun Ampe Sahrianita Boangmanalu : Pandangan PKS Pakpak Bharat Terhadap Partisipasi Politik Perempuan, 2009 2004 yang awalnya adalah Partai Keadilan di Pemilu 1999 namun dikarenakan tidak bisa meraih dukungan 2 electoral thereshold maka untuk mengikuti Pemilu 2004 Partai Keadilan melakukan fusi dengan PKS pada tahun 2002. Tabel 4. Partai Politik Islam Peserta Pemilu 2004 No Nama Partai Politik Singkatan 1 Partai Persatuan Pembangunan PPP 2 Partai Keadilan Sejahtera PKS 3 Partai Bintang Reformasi PBR 4 Partai Bulan Bintang PBB 5 Partai Persatuan Nahdatul Ummah Indonesia PPNUI Sumber : Komisi Pemilihan Umum Tahun 2004 PKS adalah salah satu bintang pada pemilu 2004. Tiga peneliti dari Reform Institute yakni Yudi Latif, Aay M Furkan dan Edwin Arifin mencoba menelaah fenomena PKS sebagai salah satu partai politik Islam yang tidak berkaitan dengan parpol Islam selama orde baru. Pengamatan selama lima bulan itu mereka rangkum dalam laporanya Rethingking Islam, Reinventing Democracy. Para peneliti menilai aktivis PKS merupakan generasi baru dari sebuah pergerakan Islam yang termarjinalkan oleh orde baru. Ditengah marjinal itu generasi ini mampu berkonsolidasi, melakukan kaderisasi dan memanifestasikan diri dengan coraknya yang khas. Meski terpingirkan mereka tidak gagap politik, hal ini terlihat dari penampilan PKS yang elegan dalam dua kali pemilu. Direktur Eksekutif Reform Institude, Yudi Latif, mengatakan PKS tampak ideal. Tidak heran katanya bila Francois Raillon 2004 dari CNRS, Belgia menganggap keberadaan PKS yang fenomenal mampu menghentikan stagnasi Islam politik yang Ampe Sahrianita Boangmanalu : Pandangan PKS Pakpak Bharat Terhadap Partisipasi Politik Perempuan, 2009 diawali dan disebabkan oleh partai politik Islam lain. PKS menurutnya adalah righteous redeemer ratu adil saleh yang muncul sebagai alternatif politik menawarkan citra, disiplin, pemikiran murni, bebas korupsi dan bermoral bersih.Republika, senin 13 Juni 2005 Partai Keadilan Sejahtera salah satu partai politik yang memainkan peranan yang khas selaku partai yang berasaskan Islam. www.pks.go.id. Partai ini menarik untuk diangkat karena banyak pemberitaan media, seperti pada harian Seputar Indonesia, 3 Juni 2008, Hajriyanto Y Thohari, seorang pengamat kenegaraan, menulis bahwa Partai Keadilan Sejahtera PKS adalah partai primus inter minus malum, yakni partai yang secara organisasional dan kedisiplinan paling baik di antara semua partai-partai lain yang rata-rata buruk. PKS berhasil membuktikan diri sebagai satu-satunya partai politik yang solid, hidup, dan kuat. Salah satu karakteristik dari partai dengan genre ini adalah apa kata partai, itulah kata anggotanya. Sementara dalam partai-partai politik lain, mulai ada problem solidaritas dan soliditas: apa kata partai, tidak selalu paralel dengan apa kata anggota. Jadi keunggulan PKS adalah keunggulan komparatif karena partai-partai yang lain buruk. www.okezone.com Pada Januari 2004 polling dilakukan Liputan 6 SCTV dengan hasil yang spektakuler. PKS muncul sebagai partai yang disukai pemirsa dengan 45,16 dari keseluruhan pemilih, jauh mengungguli PDIP 6,47 dan Golkar 5,59. Sementara Ketua Umum PKS Dr. Hidayat Nur Wahid, sebagai calon presiden pilihan responden terbanyak, hingga tulisan ini naik cetak, mendapatkan 119.145 suara 30,79, Ampe Sahrianita Boangmanalu : Pandangan PKS Pakpak Bharat Terhadap Partisipasi Politik Perempuan, 2009 mengalahkan Ketua Umum PAN Prof. Dr. Amien Rais 23,63 dan Ketua Umum PDIP Megawati Taufik Kiemas 3,76. Meski diragukan tingkat validitasnya, namun hasil itu, karena disiarkan terus menerus, tak urung mempengaruhi peta dukungan masyarakat terhadap PKS. PKS dan Hidayat menjadi pembicaraan dimana-mana. Tak cuma di kota-kota besar, juga di desa- desa. Sebuah radio swasta terkemuka di Jakarta saat membincangkan kemenangan PKS. PKS dan Hidayat menjadi buah bibir di kampungnya. Dan sehari setelah SCTV menayangkan keunggulan PKS, sekelompok pelajar SLTA yang merupakan pemilih pemula mendatangi kantor DPP PKS untuk menggali informasi ihwal partai yang jadi pilihan pemirsa itu. Poling SMS itu sendiri menimbulkan pro dan kontra. Lemahnya metodologi pada poling SMS di televisi itu tak urung menuai kritik dan kecaman. Dalam hal ini suara keras datang Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia LSI Dr. Denny JA. Menurut Denny, hasil poling itu tak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan menyesatkan masyarakat. Denny menekankan agar pihak media yang mengadakan poling semacam itu memberikan keterangan yang menyolok mata bahwa itu hiburan belaka.www.dudung.net Keberadaan PKS kian disorot publik. Tidak hanya ditanah air tapi juga di dunia internasional. Salah satunya yang menjadi pusat perhatian adalah ideologi partai yang sarat dengan nilai-nilai Islam, disamping para kadernya dari pusat hingga ranting memiliki integritas terhadap agama. Mungkin itulah sebabnya, Dr. Ken Miichi, guru besar dan pengamat internasional dari Universutas Kyoto, Jepang, saat diwawancarai oleh wartawan The Jakarta Post berkomentar, They practice democracy. They are totally Ampe Sahrianita Boangmanalu : Pandangan PKS Pakpak Bharat Terhadap Partisipasi Politik Perempuan, 2009 different from fundamentalist. Demonstrations by Partai Keadilan Sejahtera are very Peaceful and about half of the demonstrations are women. So this is a significant movement, and very different form past islamicmovement. Jakarta Post, 21 September 2002. Atau Komentar Greg Burton, Dosen senior Universitas Deakin, Australia, yang dikutip Media Indonesia, 19 Februari 2004. Greg mengatakan PKS kelihatan bersih, sederhana, canggih dalam khazanah pemikiran dan metode pendekatan. Yang lebih penting lagi, PKS Setelah tumbuh pola perekrutan kader berasaskan kepemimpinan yang didasarkan atas prestasi, bukan jenis kelamin maupun keterikatan etnis dan politis. Antara lain dengan kesempatan yang diberikan PKS kepada kaum muda lebih banyak tampil membuktikan diri. Itu belum terjadi dipartai-partai lain. Ini salah satu kelebihan PKS. Djony Edward dalam kata penghantar bagi bukunya Efek Bola salju Partai Keadilan Sejahtera menyatakan bahwa PKS hadir sebagai sebuah partai politik yang tampilannya berbeda dibandingkan dengan partai politik yang ada. Mengingat PKS sebagai parpol tidak hanya mengedepankan aspek politis dalam sepak terjangnya, tapi juga menjadikan moral agama sebagai basis gerakannya. Sehingga tidak jarang PKS dijuluki sebagai parpol dakwah atau parpol yang tampilannya labih dirasakan sebagai gerakan dakwah. Data menunjukkan, Partai Keadilan Sejahtera berhasil meningkatkan suara secara signifikan dari 1,4 dalam Pemilu 1999 menjadi 7,3 popular vote dalam Pemilu 2004. PKS berhasil merebut 45 kursi dari 500 kursi yang tersedia di parlemen pusat. Menurut Ampe Sahrianita Boangmanalu : Pandangan PKS Pakpak Bharat Terhadap Partisipasi Politik Perempuan, 2009 Tifatul Sembiring Presiden PKS, partainya memiliki 8,3 juta konstituen dan 500 ribu kader aktif di seluruh nusantara Republika, 17 Nopember 2004. Sedangkan, menurut Hidayat Nurwahid, mantan Presiden PKS, 57 dari kader aktif PKS adalah perempuan. Partisipasi politik kader perempuan PKS jelas tidak bisa dipungkiri, mengingat mereka tidak saja aktif di hari H pencoblosan, tapi juga berkampanye secara massif untuk menarik pemilih baru sesuai target yang ditentukan. Meminjam bahasa Nursanita Nasution, anggota parlemen perempuan dari PKS, setiap kader perempuan sadar betapa krusialnya waktu lima menit di dalam bilik suara, dan karenanya mereka diniscayakan untuk mempengaruhi masyarakat agar memilih partai dakwah ini Media Indonesia, 5 Februari 2004. Dari fenomena yang telah penulis kemukakan diatas maka penulis berkeinginan kuat untuk melakukan riset tentang pandangan PKS tentang partisipasi politik perempuan di Kabupaten Pakpak Bharat, dengan pertimbangan bahwa Kabupaten Pakpak Bharat adalah Kabupaten pemekaran dari Kabupaten Dairi yang sesuai dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2003. Pemilihan Umum pada Tahun 2004 adalah pemilihan legeslatif yang pertama dilaksanakan dengan sistem pemilu langsung. Hal ini merupakan pengalaman pertama bagi masyarakat Kabupaten Pakpak Bharat yang baru lepas dari Kabupaten induknya Dairi. Riset ini akan mencoba melihat bagaimana pandangan PKS Pakpak Bharat terhadap partisipasi politik perempuan khususnya terhadap perempuan yang duduk dijabatan politik. Disamping itu, akan juga meneliti upaya apa yang dilakukan PKS untuk meningkatkan partisipasi politik perempuan. Hal ini penting dilakukan agar kita dapat Ampe Sahrianita Boangmanalu : Pandangan PKS Pakpak Bharat Terhadap Partisipasi Politik Perempuan, 2009 menghasilkan rekomendasi guna peningkatan kualitas partisipasi politik perempuan di Kabupaten Pakpak Bharat pada masa yang akan datang.

1.2. Perumusan Masalah