Faktor-faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Politik

aspirasi dan “suara” perempuan dapat lebih didengar dan diakomodasikan. Dalam hal ini komunitas perempuan harus berani untuk memperjuangkan keterwakilan mereka dalam jabatan-jabtan struktural organisasi sosial politik dan harus ada yang berani untuk melakukan bargaining politik agar dapat direkrut dalam jabatan-jabatan politik bak di birokrasi maupun di lembaga legislatif. Keempat, partisipasi dalam kontrol. Perempuan secara kodrati memiliki kelebihan dibanding lelaki, antara lain dalam hal ketelitian dan kecermatan. Kelebihan ini sebenarnya akan sangat bermanfaat apabila digunakan untuk meneliti dan mencermati setiap tahapan proses pembangunan di daerah apakah itu dalam proses perencanaan, pengorganisasian maupun dalam pelaksanaan pembangunan. Dari bentuk partisipasi yang dapat dilakukan oleh para aktivis perempuan bersamaan dengan berlakunya Undang- undang Nomor 32 tentang otonom Daerah, merupakan hal yang signifikan untuk meningkatkan kualitas sumber daya perempuan dalam berbagai segi kehidupan.

2.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Politik

Meluasnya partisipasi politik dipengaruhi beberapa hal hal ini berkaitan dengan sistem politik dan perubahan-perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat. Menurut Weimer Sastroatmodjo, 1995:89 dijelaskan terdapat lima faktor yang mempengaruhi partisipasi politik dari kelima hal tersebut dapat menyebabkan timbulnya gerakan kearah partisipasi yang lebih luas dalam proses politik yakni: pertama, Modernisasi disegala berimplikasi pada komersialisasi pertanian, industri urbanisasi, kemampuan baca tulis, Ampe Sahrianita Boangmanalu : Pandangan PKS Pakpak Bharat Terhadap Partisipasi Politik Perempuan, 2009 pendidikan, media massamedia komunikasi secara luas. Kemajuan ini berakibat pada partisipasi warga kota seperti kaum buruh, pedagang dan profesionalisme untuk ikut mempengaruhi kebijakan dan kekuasaan politik sebagai bentuk kesadaran. Kedua, perubahan-perubahan struktur kelas sosial, hal ini terjadi sebagai akibat dari terbentuknya kelas menengah dan pekerja baru yang makin meluas dalam era industrialisasi dan modernisasi. Dalam hal ini muncul persoalan yang yang berhak ikut dalam pembuatan keputusan-keputusan politik yang akhirnya mmembawa perubahan- perubahan dalam pola partisipasi. Ketiga, pengaruh kaum intelektual dan komunikasi massa, ide-ide baru membangkitkan tuntutan-tuntutan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Komunikasi yang meluas mempermudah penyebaran ide-ide keseluruh lapisan masyarakat. Hal ini berimplikai pada tuntutan-tuntutan masyarakat dalam ikut serta menentukan dan mempengaruhi kebijakan pemerintah. Keempat, konflik diantara pemimpn-pemimpin politik, pemimpin politik yang bersaing memperebutkan kekuasaan untuk mencapai kemenangan dilakukan dengan cara mencari dukungan massa. Mereka beranggapan sah apabila yang mereka lakukan demi kepentingan dan dalam upaya memperjuangkan ide-ide partisipasi massa. Implikasinya adalah munculnya tuntutan terhadap hak-hak masyarakat, hak asasi manusia, keterbukaan, demokratisasi maupun isu-isu kebebasan pers. Kelima, keterlibatan pemerintah yang semakin meluas dalam urusan sosial, ekonomi dan kebudayaan, meluasnya ruang lingkup aktivitas pemerintah ini merangsang Ampe Sahrianita Boangmanalu : Pandangan PKS Pakpak Bharat Terhadap Partisipasi Politik Perempuan, 2009 tumbuhnya tuntutan –tuntutan yang terorganisasi untuk ikut serta dalam mempengaruhi kebijakan politik. Surbakti 1995 menyebutkan dua variabel penting yang mempengaruhi tinggi rendahnya partisipasi politik yakni kesadaran politik dan kepercayaan politik terhadap pemerintah. Aspek kesadaran politik meliputi kesadaran terhadap hak dan kewajibanya sebagai warga negara baik hak politik, ekonomi, hak mendapat jaminan sosial dan hukum. Selain itu kesadaran warga negara terhadap kewajibannya dalam sistem politik, kehidupan sosial dan kewajiban lainnya. Kesadaran politik menyangkut seberapa banyaknya pengetahuan yang dimiliki akan lingkungan masyarakat dan politik serta minat dan perhatiannya terhadap lingkungannya. Kepercayaan politik menyangkut bagaimana penilaian dan apresiasinya terhadap pemerintah, baik terhadap kebijakan- kebijakan maupun pelaksanaan pemerintah. Penilaian ini merupakan rangkaian dari kepercayaannya, artinya apabila pemerintah dipandang tidak dapat dipengaruhi dalam proses pengambilan keputusan politik untuk berpartisipasi secara aktif merupakan hal yang sia-sia. Berdasarkan tinggi rendahnya kedua faktor tersebut Paige membagi partisipasi politik menjadi empat tipe. Apabila seseorang memiliki kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah yang tinggi, maka partisipasi politik cendrung aktif. Sebaliknya apabila kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah rendah maka partisipasi politik cendrung pasif-tertekan apatis. Tipe partisipasi ketiga berupa militan radikal yakni apabila kesadaran politik tinggi tetapi kepercayaan kepada pemerintah Ampe Sahrianita Boangmanalu : Pandangan PKS Pakpak Bharat Terhadap Partisipasi Politik Perempuan, 2009 sangat rendah. Selanjutnya apabila kesadaran politik sangat rendah tetapi kepercayaan kepada pemerintah sangat tinggi maka partisipasi ini di sebut tidak aktif pasif. Variabel lain yang mempengaruhi partisipasi politik adalah status sosial dan ekonomi. Kedua hal ini memiliki kontribusi yang penting kedudukan sosial tertentu, misalnya orang yang memiliki jabatan atau kedudukan yang tinggi dalam masyarakat akan memiliki tingkat partisipasi yang cendrung tinggi dari pada orang yang memiliki kedudukan sosial yang rendah. Demikian pula dalam kaitannya dengan status ekonomi, sseorang yang memiliki status ekonomi tinggi dipandang lebih untuk berpartisipasi politik secara aktif dibandingkan dengan yang status ekonominya lebih rendah. Variabel lainnya adalah afiliasi politik orang tua yang memiliki pengaruh yang besar terhadap aktifnya seseorang dalam politik dan pengalaman- pengalaman organisasi yang dimiliki. Partai politik juga memberikan pengaruh yang besar terhadap partisipasi politik rakyat. Orang yang berpartai politik lebih sering memberikan suaranya dari pada yang tidak berpartai, orang yang setia kepada partainya bahkan lebih aktif lagi. Contohnya di partai buruh di Eropa bekerja keras untuk menarik golongan masyarakat yang berstatus rendah sehingga golongan ini mempunyai dukungan organisasi bagi tuntutan-tuntutannya dan terdorong untuk berpartisipasi politik. Di Inggris buruh tidak terpelajar sering jauh lebih efektif dari rekan-rekannya di Amerika Serikat dimana orang yang golongan rendah belum banyak dibantu oleh organisasi politik. Selain itu calon-calon yang memiliki daya tarik pribadi yang kuat dapat membawa banyak orang keapolitis kedalam kegiatan politik. Ampe Sahrianita Boangmanalu : Pandangan PKS Pakpak Bharat Terhadap Partisipasi Politik Perempuan, 2009 Mas’oed Sastroatmodjo, 1995 menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang atau masyarakat dalam mengambil keputusan dalam pemilihan umum antara lain : 1. Pendidikan, pendidikan merupakan suatu kegiatan untuk meningkatkan pengetahuan umum seseorang termasuk peningkatan pengetahuan teori dan keterampilan memutuskan pesoalan-persoalan dalam kegiatan untuk mencapai tujuan. Pendidikan dapat memberikan informasi tentang politik dan persoalan-persoalan politik dan meningkatkan kemampuan menganalisa serta menciptakan minat dan kemampuan berpolitik. Makin tinggi pendidikan masyarakat menjadi makin tinggi kesadaran politiknya, demikian juga sebaliknya makin rendah tingkat pendidikannya makin rendah pula tingkat kesadaran politiknya. 2. Jenis kelamin dan status ekonomi sosial, perbedaan jenis kelamin dan status sosial ekonomi juga mempengaruhi keaktifan seseorang dalam berpartisipasi politik. Misalnya laki-laki lebih aktif dari pada wanita. Tingkat partisipasi politik memiliki hubungan erat dengan pertumbuhan sosial ekonomi. Artinya bahwa kemajuan sosial ekonomi suatu negara dapat mendorong tingginya tingkat partisipasi rakyat. Partisipasi juga berhubungan dengan kepentingan-kepentingan masyarakat, sehingga apa yang dilakukan oleh rakyat dalam partisipasi politiknya, menunjukkan derajat kepentingan mereka. Kedudukan sosial tertentu, misalnya orang yang memiliki jabatan atau kedudukan tinggi dalam masyarakat, akan memiliki tingkat partisipasi politik yang cendrung tinggi dari pada orang yang hanya memiliki kedudukan sosial Ampe Sahrianita Boangmanalu : Pandangan PKS Pakpak Bharat Terhadap Partisipasi Politik Perempuan, 2009 yang rendah. Orang yang berstatus sosial ekonomi tinggi lebih aktif daripada yang berstatus rendah. 3. Aktifitas kampanye, biasanya kampanye-kampanye politik hanya dapat mencapai pengikut setia partai dengan memperkuat komitmen mereka untuk memberikan suara. Namun demikian yang menjadi persoalan dalam kaitannya dengan tingkat dan bentuk partisipasi politik masyarakat adalah terletak dalam kedudukan partisipasi tersebut. Adapun faktor seperti pendidikan, komunikasi dan masalah umum lainnya yang menjadi persoalan adalah mengapa timbul tingkat partisipasi politik masyarakat yang rendah dan tingkat partisipasi politik masyarakat yang tinggi. Semuanya itu menjadi sangat penting jika lihat banyaknya masyarakat yang ikut ambil bagian dalam partisipasi politik. Milbrath Sastroatmodjo, 1995 memberikan empat alasan partisipasi politik seseorang yakni: 1. Keterbukaan dan kepekaan terhadap perangsang politik melalui kontak pribadi, organisasi dan melalui media massa akan memberikan pengaruh terhadap keikutsertaan seseorang dalam kegiatan politik; 2. Karakteristik sosial, status ekonomi, suku, usia, jenis kelamin dan keyakinanagama merupakan karakteristik sosial yang memiliki pengaruh yang relatif cukup besar terhadap partisipasi politik; 3. Sistem politik dan sistem partai, dalam negara demokratis partai-partai politik cendrung mencari dukungan massa dan memperjuangkan kepentingan massa untuk itu massa cenrung berpartisipasi dalam politik; Ampe Sahrianita Boangmanalu : Pandangan PKS Pakpak Bharat Terhadap Partisipasi Politik Perempuan, 2009 4. Perbedaan regional, merupakan aspek lingkungan yang berpengaruh terhadap perbedaan watak dan tingkah laku individu. Dengan perbedaan regional ini ikut mempengaruhi prilaku dan partisipasi politik. Prilaku politik individu muncul karena interaksi dari sikap sosial dan sikap individu yang didasari oleh situasi yang dihadapi. Perkembangan partisipasi politik di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari faktor- faktor tersebut. Pasang surut partisipasi politik masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara telah dilalui oleh masyarakat Indonesia. Kondisi politik, sistem politik, struktur politik dan kematangan prilaku politik masyarakat menjadi bagian yang penting dari partisipasi politik. Dalam sebuah jurnal partisipasi politik dalam pembangunan Anisa Purwaningsih menyatakan beberapa faktor yang mempengaruhi partisipasi politik masyarakat antara lain : 1. faktor ekonomi sosial, kondisi ekonomi sosial meliputi mata pencaharian, tingkat pendapatan, dan tingkat pendidikan. 2. faktor politik, peran serta politik masyarakat didasarkan pada politik untuk menentukan status produk akhir. Faktor politik ini meliputi: a. komunikasi politik, adalah suatu komunikasi yang mempunyai konsekwensi politik baik secara aktual maupun potensial yang mengatur kelakuan manusia dalam keberadaan suatu konflik. Komunikasi politik antara pemerintah dan rakyat sebagai interaksi antara dua pihak yang menerapkan etika; b. kesadaran politik, menyangkut pengetahuan, minat dan perhatian seseorang terhadap lingkungan masyarakat dan politik. Tingkat kesadaran politik Ampe Sahrianita Boangmanalu : Pandangan PKS Pakpak Bharat Terhadap Partisipasi Politik Perempuan, 2009 diartikan sebagai tanda bahwa warga masyarakat menaruh perhatian terhadap masalah kenegaraan dan pembangunan; c. Pengetahuan masyarakat terhadap proses pengambilan keputusan, Pengetahuan masyarakat terhadap proses pengambilan keputusan akan menentukan corak dan arah suatu keputusan yang akan diambil; d. Kontrol masyarakat terhadap kebijakan publik, masyarakat menguasai kebijakan publik dan memiliki kewenangan untuk mengelola suatu objek kebijakan tertentu. Kontrol untuk mencegah dan mengelimir peyalahgunaan wewenang dalam keputusan politik. Kontrol masyarakat dalam kebijkan publik adalah the power of directing, juga mengemukakan ekspresi politik, memberikan aspirasi atau masukan gagasan tampa intimidasi yang merupakan problem dan harapan rakyat, untuk meningkatkan kesadaran kritis dan keterampilan masyarakat melalui analisis dan pemetaan terhadap persoalan aktual dan merumuskan agenda tuntutan mengenai pembangunan. 3. Faktor nilai budaya, nilai budaya politik civil culture merupakan basis yang membentuk demokrasi. Hakekatnya adalah politik baik itu etika politik maupun teknik atau peradapan masyarakat. Faktor nilai budaya menyangkut persepsi, pengetahuan, sikap dan kepercayaan politik. Menurut morris Rosenberg dalam buku Penghantar sosiologi 1997:147 bahwa ada tiga alasan orang-orang enggan berpartisipasi politik, dikarenakan oleh: Ampe Sahrianita Boangmanalu : Pandangan PKS Pakpak Bharat Terhadap Partisipasi Politik Perempuan, 2009 1. konsekwensi yaang ditanggung dari suatu aktifitas politik pada umumnya, karena dengan ikut serta dalam aktifitas politik tertentu, dilihat sebagai suatu ancaman terhadap berbagai aspek hidup mereka. 2. bahwa individu dapat menganggap aktifitas politik sebagai suatu kerja yang sia-sia saja. Individu merasa ada jurang pemisah antara cita-citanya idealisme dengan realitas politik. Kerena jurang pemisah sedemikian besarnya sehingga dianggap bahwa tidak ada lagi aktifitas politik yang kiranya dapat menjembatani. 3. beranggapan bahwa memacu diri untuk bertindak atau sebagai peransang politik adalah faktor yang sangat penting untuk mendorong aktifitas politik. Maka dengan adanya perangsang politik yang seperti ini membuat atau mendorong kearah perasaan yang semakin besar bagi dorongan apati. Dengan hal tersebut individu maupun masyarakat lebih merasa bahwa kegiatan bidang politik diterima sebagai sifat pribadi daripada sifat politiknya. Pembagian peran gender secara biologis antara laki-laki dan perempuan, publik domestik yang di bangun di atas konstruk budaya patriarkis, interpretasi agama yang disalahartikan merupakan hambatan karier perempuan dalam politik. Hambatan ini bergulir, sehingga perempuan berpartisipasi di wilayah politik tidak mendapatkan dukungan dari lingkungannya atau bahkan dirinya sendiri. Beberapa hambatan yang dirasakan oleh peremuan adalah: 1. Budaya atau kultur. Ketimpangan atau ketidak adilan gender yang dimanifestasikan dalam bentuk marginalisasi, streriotype, kekerasan dan beban ganda double berden faqih, 2001:12 serta gender dan kekerasan dimana perempuan dipinggirkan dari Ampe Sahrianita Boangmanalu : Pandangan PKS Pakpak Bharat Terhadap Partisipasi Politik Perempuan, 2009 urusan publik dan politik, perempuan menjadi pelengkap kebutuhan laki-laki, sebagai mahluk lemah, emosional, kurang bertanggung jawab dan sebagainya yang berdampak pada perempuan sering menjadi korban kekerasan baik kekerasan dalam bentuk fisik, psikhis, ekonomis, kekerasan seksual, kekerasan politik, hal ini akan mendistorsi kondisi perempuan sendiri, dan dianggap kelas dua dalam mengatur dan berpartisipasi membangun negara, sehingga politik seolah-olah bukan wilayah perempuan. Apalagi jika beban ganda yang dialami perempuan ketika berpolitik praktis menyebabkan sindrom bagi laki-laki suami akan kehilangan hak-haknya dan bahkan akan menggeser posisinya. 2. Pendidikan SDM, adanya pembedaan antara laki-laki dengan perempuan berdampak pada perbedaan pada penguasaan IPTEK, sehingga tertinggal dalam memperoleh informasi dan keterbatasan komunikasi sehingga perempuan terhambat dalam membangun jaringan di wilayah publik. Informasi tentang politik selalu diterima melalui perspektif laki-laki, sudah barang tentu perempuan tereliminasi karena beranggapan bahwa politik menjadi fenomena diluar dirinya. Hal ini dapat menjadi kendala terbesar dalam mengangkat keterpurukan dan ketertindasan perempuan dalam nuansa budaya patriarkhi. 3. Komunikasi, beberapa wakil perempuan yang telah duduk di lembaga legislatif mengalami kendala psikhologis luar biasa Untuk mengkomunikasikan kepentingan perempuan secara khusus yang seharusnya dipahami oleh laki-laki seperti pentingnya peningkatan kualitas hidup perempuan, hak-hak reproduksi, peningkatan pendidikan dan wawasan perempuan, kekerasan terhadap perempuan, eksploitasi perempuan dan Ampe Sahrianita Boangmanalu : Pandangan PKS Pakpak Bharat Terhadap Partisipasi Politik Perempuan, 2009 4. Mufidah dalam makalahnya pada tanggal 12 mei 2004 hambaatan berasal dari diri perempuan internal, hambatan berpartisipasi secara politis berasal dari perempuan sendiri. Pencitraan perempuan sebagai mahluk lemah, tidak mandiri, kurang tanggung jawab yang sudah meresap di alam bawah sadar, dirasakan oleh perempuan sebagai fitrah, bawaan dan kodrati. Inferioritas rendah diri akibat konstruk masyarakat juga menjadi hambatan perempuan dalam proses aktualisasi potensi dirinya. Kurang mampunya perempuan mengukur potensi diri menyababkan perempuan seolah kehilangan jati dirinya. Sebagai akibatnya adalah pola pikir perempuan menjadi sangat akrab dengan kepasrahan, sengaja atau tidak akan dimanfaatkan oleh kekuatan superioritas laki-laki. 5. Pandangan tentang politik. Sebahagian perempuan beranggapan bahwa memasuki wilayah politik adalah memasuki dunia lain yang membutuhkan perjuangan dan pengorbanan luar biasa. Hal ini dapat mendorong perempuan untuk terlena mengejar karier politik tanpa menoleh bahwa sekitarnya ada sejumlah perempuan yang menunggu untuk diperjungkan nasibnya, sehingga kepentingan perempuan menjadi Ampe Sahrianita Boangmanalu : Pandangan PKS Pakpak Bharat Terhadap Partisipasi Politik Perempuan, 2009 terlupakan. Di sini awal munculnya tipe madona-madona yang menikmati prestasi dan karier untuk dirinya sendiri. Kurang memiliki naluri juang untuk orang yang lemah dan tertindas yang dikenal dengan politik androsendtris. Pingky, 2003 Politik androsentris dengan ciri khasnya adalah memarginalisasi perempuan, semestinya menjadi agenda untuk dihapuskannya dan mempopulerkan politik androgini agar siapapun baik laki-laki atau perempuan dapat menyuarakan suara perempuan. 6. Sosialisasi, persoalan perempuan sulit untuk tercover dalam kebijakan legislatif, karena perundang-undangan pada umumnya masih bias gender, sekalipun dalam UUD 45, Pancasila sebagai dasar negara dan ratifikasi Indonesia terhadap konvensi- konvensi internasional telah memberikan peluang sama antara laki dan peremuan, dalam realitas sangat jauh berbeda. Political will di tingkat eksekutif untuk perempuan masih rendah. Karenanya kebijakan politik kurang berpihak pada perempuan. 7. Ekonomi, kesulitan lain yang tidak menjadi perhatian awal bagi perempuan adalah dana kampanye. Setiap partai politik membutuhkan dana besar yang diperoleh dari pendaftaran calon anggota legislatif. Pada masalah ini perempuan secara umum mengalami kesulitan, terlebih ketika perempuan merasa akan penempatannya pada nomor–nomor urut tidak jadi, maka persoalan pendanaan menjadi pertimbangan yang cukup besar dalam proses politik bagi perempuan . Ampe Sahrianita Boangmanalu : Pandangan PKS Pakpak Bharat Terhadap Partisipasi Politik Perempuan, 2009

2.5. Peluang Perempuan Berpartisipasi Dalam Politik