Sebagai Markas Militer

D. Sebagai Markas Militer

Benteng vredeburg merupakan salah satu peninggalan arkeologi dan bersejarah di kota Yogyakarta yang berasal dari pengaruh Eropa. Sesuai bentuk dan susunan serta letak bangunannya benteng Vredreburg sebagai tempat pertahanan orang-orang Belanda yang pada tahun 1760 masih berkuasa di Indonesia oleh karena itu, Benteng Vredreburg selain terdiri dari bangunan-bangunan perumahan dan tembok keliling di luarnya terdapat parit yang digenangi air yang mengintari komplek

bangunan. 52 Benteng Vredeburg sebagai markas militer dapat dijabarkan, secara kronologis sebagai berikut :

1. Sejak tahun 1760 sampai dengan runtuhnya kekuasaan Hindia Belanda, dibawah pengelolaan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) benteng vredeburg sebagai markas dan asrama pasukan dengan kode staf “Q”. pada waktu itu dibawah Komandan Letnan Muda I Radio, pasukan ini bertugas mengurusi perbekalan militer, di

52 Harian Kedaulatan Rakyat, 17 Juni 1990. Koleksi Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta.

dalam perkembanganya juga melayani fasilitas kesehatan pasukan dan

keluarganya. 53

2. Benteng Vredeburg pada tahun 1946 pernah dipergunakan untuk menahan para tokoh antara lain yaitu Moh. Yamin, Tam Malaka dan R.P Soedarsono yang merupakan tokoh dari satuan perjuangan. Peristiwa penahanan ke tiga tokoh merupakan percobaan perebutan kekuasaan atau kudeta yang dilakuan oleh pihak oposisi kelompok persatuan perjuangan terhadap pemerintahan kabinet Sjahrir. Pemicu peristiwa ini adalah ketidak puasan pihak oposisi terhadap politik diplomasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap Belanda. Kelompok ini menginginkan pengakuan kedaulatan penuh, sedangkan kabinet

yang berkuasa hanya menuntut pengakuan atas Jawa dan Madura. 54

3. Pertahanan Benteng Vredeburg bergeser menjadi fungsi asrama pada tahun 1947. Sedikit demi sedikit elemen-elemen pertahanan yang terdapat dalam Benteng Vredeburg sudah mulai berubah. Salah satunya parit yang sudah kering dan kemudian ditutup. Kedatangan Belanda yang mebonceng tentara Sekutu ketika akan melakukan pelucutan senjata Jepang dan Indo Belanda, merupakan usaha untuk menguasai Indonesia kembali. Ini terbukti dari tindakan-tindakan yang dilakukan kemudian. Profokasi dan teror atau bahkan tindakan kekerasan terhadap pemuda dan penduduk menjadi faktor penyebab disampaikannya protes

53 Ibid.

54 Tashadi., Peranan Desa Dalam Perjuangan Kemerdekaan, (Jakarta: Dekdikbud, 1992), hlm. 16.

perjanjian sebagai produk usaha-usaha penyelesaian masalah dengan media diplomasi. Namun karena niatnya ingin mejajah kembali maka perjanjian- perjanjian tersebut dilanggar oleh Belanda melalui aksi Agresi militernya baik

yang pertama maupun kedua. 55

4. Agresi Militer Belanda yang kedua tahun 1948 merupakan sebuah pengingkaran yang dilakukan oleh Belanda atas persetujuan Renville. Ketika Belanda melakukan Agresi keduanya tersebut, sebelum menangkap para pemimpin Negara yang sedang bersidang di Gedung Agung, maka Benteng Vredeburg besertaan dengan penyerangan Maguwo pada siang hari dijatuhi bom oleh pesawat Belanda, sehingga kantor Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang berada didalamnya mengalami kerusakan. Selanjutnya pada pukul empat sore Belanda dengan persenjataan lengkap berhasil menguasai kota Yogyakarta. Dibawah penguasan Belanda selanjutnya Benteng Vredeburg dimanfaatkan sebagai markas Tentara Belanda yang tergabung dalam IVG (Informatie Voom Geheimen) atau kesatuan Dinasa Rahasia Belanda. Disamping itu untuk asrama prajurit Belanda dan sekaligus untuk menyimpan senjata berat dan ringan bahkan kendaran militer seperti tank, panzer, dan kendaran lainnya. Juga Benteng dipakai sebagai tempat

bertemunya mata-mata Belanda yang tergabung dalam dinas rahasia. 56

55 Ibid.

56 Soekiman., Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat Mendukung di Jawa , (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2000), Hlm. 28

menjadi salah satu target serangan TNI dan gerilyawan. Benteng Vredeburg dianggap markas pengaturan strategi serangan Belanda. Meskipun hanya berlangsung enam jam, namun penguasaan Kota Yogyakarta dalam serangan umum tersebut merupakan kewenangan politis yang menunjukkan bahwa TNI masih eksis. Hal ini telah memojokan Belanda di meja perundingan yang telah mengabarkan bahwa TNI telah hancur dan tenggelam bersama RI. Akhirnya dengan keterpojokannya dalam perundingan tersebut Belanda bersedia membuka kembali perundingan dengan Indonesia yang telah lama macet. Karena itulah maka kedua belah pihak RI dan Belanda dibawah pengawasan UNCI (United Nations Comission of Indonesia) sepakat mengadakan perundingan yang berlangsung pada tanggal 4 April 1949 di Jakarta. Hasil perundingan tersebut ditandatangani pada tanggal 7 Mei 1949 di Jakarta dan dikenal dengan Persetujuan Roem Royen. Dari persejutujuan ini diperoleh hasil bahwa Indonesia, Belanda dan BFO (Bijeenkomsht voor Federaal Overleg) sepakat mengikuti KMB. Para tawanan yang ditawan sejak 19 Desember 1948 akan segera dikembalikan di Yogyakarta. Oleh karena itulah Yogyakarta harus dikosongkan dan terjadilah penarikan mundur tentara Belanda dari Yogyakarta yang dimulai dari tanggal 24 dan berakhir pada tanggal 29 Juni 1949. Sejak itulah Yogyakarta kembali kepangkuan RI, sehingga tanggal 29 Juni sering diperingati sebagai hari

Yogya kembali. 57

57 Ibid.

secara resmi menyerahkan kedaulatan kepada RIS (Republik Indonesia Serikat). Penandatanganan berada di dua tempat yaitu Belanda, tepatnya diruang tahta istana Kerajaan Belanda, Ratu Juliana, Perdana Mentri Mr. Willem Drees, Menteri Seberang Lautan Mr. Amja. Sassen dan Ketua delegasi RIS Drs. M. Hatta bersama-sama membubuhkan tanda tangan dalam naskah pengakuan kedaulatan RIS. Sedangkan di Jakarta penandatanganan naskah pengakuan kedaulatan RIS dilakukakn di Istana Gambir (Istana Merdeka sekarang). RIS diwakili oleh Sri Sultan Hamengku Buwana IX dan Belanda diwakili oleh Wakil

Tinggi Mahkota AHJ.Lovink. 58

58 Tashadi., op cit., hlm. 17.