UPAYA KAUM MIGRAN DARI INDIA DI YOGYAKARTA DALAM MEMPERTAHANKAN IDENTITAS ETNIS MELALUI TRADISI PERNIKAHAN

UPAYA KAUM MIGRAN DARI INDIA DI YOGYAKARTA DALAM MEMPERTAHANKAN IDENTITAS ETNIS MELALUI TRADISI PERNIKAHAN

Disusun oleh : Fitta Amellia Lestari

D0308034

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi dan Memenuhi Syarat Guna

Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Sosiologi JURUSAN SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012

Tak perlu motto, yang penting MUTU.

Untuk Kamu, Dia, dan Mereka Yang mau menghargai karya ini

Assalamualaikum Wr. Wb

Penulis mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang tak henti- hentinya memberikan limpahan kasih sayang, kemudahan, petunjuk dan kekuatan bagi penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul Upaya Kaum

Migran dari India di Yogyakarta Dalam Mempertahankan Identitas Etnis melalui Tradisi Pernikahan.

Berawal dari keinginan untuk mengkaji mengenai etnis India yang masih menjadi kaum minoritas terutama di Indonesia khususnya di Yogyakarta, maka penulis tertarik untuk mengkaji etnis India yang ada di Yogyakarta. Dalam penulisan laporan ini, penulis seringkali menemui rintangan dan hambatan, namun dengan adanya dukungan dan semangat dari berbagai pihak penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan baik. Proses penulisan skripsi ini tak lepas dari bantuan berbagai pihak yang turut mendukung kelancaran penulis hingga terselesaikannya skripsi ini. Oleh karena bantuan, dukungan, arahan dan bimbingan yang telah diberikan maka penulis hendak menyampaikan ungkapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. Pawito, Ph.D, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Dr. Bagus Haryono, M.Si, selaku Pembimbing Skripsi dan Ketua Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta. Terima kasih atas dukungan, masukan, kepercayaan, ketelitian, dan kesabaran yang penuh dalam membimbing dan mengarahkan penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

3. Eva Agustinawati, S.Sos., M.Si., selaku Pembimbing Akademik, terima kasih untuk dukungan dan doa yang diberikan kepada penulis.

4. Seluruh Dosen dan Staff karyawan Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta.

5. Papah dan Mamah. Faza dan Rafif. We are a good family! 5. Papah dan Mamah. Faza dan Rafif. We are a good family!

7. Semua informan yang dengan tulus dan ikhlas memberikan informasi kepada penulis.

8. Keluarga besar Lab. UCYD, khususnya Bapak Dr. Drajat Tri Kartono, M,Si., terima kasih untuk proses pembelajaran dan pengalaman yang selama ini penulis dapatkan.

9. Teman sekamarku yang selalu setia seperti namanya, Tri Setiarini. Terima kasih untuk kebersamaan selama ini. Juga untuk Anggraeni Kusuma Dewi, terima kasih untuk motivasi yang diberikan.

10. Sahabat setia berdiskusi, Fatwa Nurul Hakim. We are the best team!

11. Sahabat selamanya, Annita Mutiara Sari, Irene Fitrianti, Sonia Noveliani, Putri Agnesia Wardhani, Yessy Meirliane. Kalian sahabat terbaikku. You’re best i ever had.

12. Sahabat Wisma Lubna, Reni, Aida, Mba Ayu, Arimbi, Hilya, Mba Mira, Mba Hanif, Mba Pipit, Asna, Ayu, Ifah, Mba Rini.

13. My seventeen sisterhood, Diah Nurul Irhamna. You’re rawrk!

14. Sepupu ganteng Dady Hidayat Doa, terima kasih untuk waktunya berdiskusi bersama dan saling menyemangati satu sama lain.

15. Duo sister, Rieneke dan Rischa. Terima kasih untuk doa dan dukungannya serta kesempatannya bermalam di rumah kalian.

16. Teman-teman Solo Mengajar. Terima kasih untuk doa dan dukungan yang diberikan. Berawal dari hati untuk mampu menempuh seluruh prestasi.

17. Teman-teman Sosiologi FISIP UNS angkatan 2008 (Okta, Paidi, Riswanda, Wida, Yulian, Dian Asri, Lingga, Riza, Agus, Alfian, Andri, Tokay, Aryo, Astrid, Ayu, Bangkit, Benny, Binti, Denny, Mami, Elin, Galih, Hurriah, Leoni, Tio, Louis, Ridwan, Maya, Melati, Pecok, Tika, Putri, Retno, Rio, Shubuha, Tery, Arini, Dhian, Jalu, Yarofa, Susi, Ifah, Dian Permata, Dea, Tian, Herman, Himawan, Lilis, Cici, Reza, Rino, Suryo, Tatas, Taufik, Titits, Novi, Isac). Untuk Akhmad Muhajir S. terima kasih untuk dukungan dan semangatnya.

memberikan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari kesempurnaan memang masih jauh dalam penyusunan

skripsi ini. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menambah khasanah keilmuan bagi penulis sendiri dan bagi pembaca.

Wassalamualaikum Wr. Wb

Surakarta, Juli 2012

Fitta Amellia Lestari

3. Proses Setelah Pernikahan pada Etnis India ………………………..

140

F. Analisa Teori ………………………………………………………… 144

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan …………………………………………………………… 148

B. Implikasi ……………………………………………………………….. 149

C. Saran …………………………………………………………………… 150

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Pengantin Memakai Bindi ……………………………………….. 52 Gambar 2

Proses Nicayam atau Ikat Janji ……………………………….... .. 55 Gambar 3

Proses Parisam atau pemberian hadiah ………………………….. 57 Gambar 4

Hadiah atau Parisam ……………………………………………... 58 Gambar 5

Proses Mayian ……………………………………………………. 61 Gambar 6

Proses Mehendi …………………………………………………... 63 Gambar 7

Proses Jago ………………………………………………………. 64 Gambar 8

Proses Minji ……………………………………………………… 67 Gambar 9

Pengantin Pria memakai Tallapa (penutup kepala) ……………… 68

Gambar 10 Proses Paal ………………………………………………………. 69 Gambar 11 Pendada Membacakan Doa ………………………………………. 70 Gambar 12 Proses Poree ……………………………………………………... 72 Gambar 13 Pengantin Mengelilingi Api Suci ………………………………… 73 Gambar 14 Suasana Proses Pernikahan ………………………………………. 74

DAFTAR MATRIKS

Matriks 1 Upaya Mempertahankan Identitas Etnis India Melalui Proses

Pernikahan Pada Kaum Pemilik Modal ………………………..

78

Matriks 2 Upaya Mempertahankan Identitas Etnis India Melalui Proses

Pernikahan Pada Kaum Pegawai Swasta …..…….......................

106

Matriks 3 Upaya Mempertahankan Identitas Etnis India Melalui Proses

Pernikahan Pada Kaum Buruh ………………………………….

134

ABSTRAK

Fitta Amellia Lestari, 2012, D0308034, UPAYA KAUM MIGRAN DARI INDIA DI YOGYAKARTA DALAM MEMPERTAHANKAN

IDENTITAS ETNIS MELALUI TRADISI PERNIKAHAN, Skripsi, Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Pada tahun 1947 terjadi proses partisi antara India dengan Pakistan. Banyak warga India yang menjadi warga Pakistan pindah ke Negara-negara di Asia, seperti Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, dan Indonesia. Banyak warga keturunan India yang tinggal di Indonesia, khususnya di Yogyakarta dan mereka menjadi warga minoritas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana upaya yang dilakukan kaum migran India di Yogyakarta dalam mempertahankan identitas etnisnya melalui tradisi pernikahan. Untuk melihat upaya yang dilakukan oleh kaum migran ini, digunakan teori kelas sosial Karl Marx.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yang akan mendeskripsikan bagaimana migran India yang tinggal di Yogyakarta mempertahankan identitas etnisnya melalui tradisi pernikahan. Data bersumber dari informasi yang diperoleh langsung dari informan, studi pustaka, dokumen tertulis dan arsip, dan data visual. Teknik pengumpulan data digunakan wawancara, observasi, dan dokumentasi. Pemilihan informan dipilih secara purposive, dalam hal ini informan dipilih berdasarkan klasifikasi jenis pekerjaan, yaitu kelas pemilik modal, kelas pegawai swasta, dan kelas buruh. Dari masing- masing kelas akan diambil 2 (dua) orang sebagai sampel dengan proporsi 1 (satu) wanita dan 1 (satu) pria. Sehingga informan berjumlah 6 (enam) orang. Data dianalisis dengan analisis model interaktif yang menggunakan tiga komponen utama, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan serta verifikasi. Validitas data digunakan teknik triangulasi sumber.

Dari hasil penelitian, ditemukan bahwa tradisi pernikahan di etnis India menjadi salah satu upaya dalam mempertahankan identitas etnis. Ada beberapa aspek dalam tradisi pernikahan India, yaitu mitos, simbol, pola hubungan serta modal, baik modal sosial dan modal ekonomi. Sebagai upaya dalam mempertahankan identitas etnis, tradisi pernikahan India juga memiliki perbedaan di setiap kelas sosial yang ada, khususnya perbedaan dalam aspek mitos, simbol, pola hubungan dan modal. Penelitian ini menemukan bahwa tidak ada perbedaan antara kelas pemilik modal, kelas pegawai swasta, dan kelas buruh dalam hal mitos dan simbol. Mereka memiliki kepercayaan yang sama terhadap mitos dan simbol. Tetapi terdapat perbedaan pada aspek pola hubungan dan modal. Meskipun begitu, penelitian ini membuktikan bahwa tradisi pernikahan India merupakan salah satu upaya untuk mempertahankan identitas etnis kaum migran India yang tinggal di Yogyakarta.

Kata Kunci : Etnis India, Tradisi Pernikahan, Kelas Sosial

ABSTRACT

Fitta Amellia Lestari, 2012, D0308034, EFFORTS THE MIGRANTS FROM INDIAN IN YOGYAKARTA TO PRESERVE ETHNIC IDENTITY

BY MARRIAGE TRADITIONS, Bachelor Thesis, Sociology Major, Social and Political Science Faculty, Sebelas Maret University of Surakarta.

In 1947, there was the partition between India and Pakistan. Many Indian’s people who become citizens of Pakistan move to another countries in Asia, like Malaysia, Brunei Darussalam, Singapore, and Indonesia. Many citizens of Indian descent who lived in Indonesia, especially in Yogyakarta and they became citizens of the minority. This study aims to determine how the efforts of migrants India in Yogyakarta to preserve their ethnic identity by marriage traditions. To see the efforts made by these migrants, was used the theory of Karl Marx's about social class.

This research was a descriptive qualitative that will describe how the migrants from Indian who lives in Yogyakarta to preserve their ethnic identity by marriage traditions. The sources of the data were information which was directly taken from the informant, literary study, written document, archives and visual data. The techniques of collecting data were interview, observation and documentation. The informants were chosen purposively. In this research the informants were chosen based on the classification types of works, namely the class of capital owners, private employee class and working class. Of each class will take 2 (two) as a proportion of samples with 1 (one) female and 1 (one) male. So there were 6 (six) informants. The data were analyzed by using model analysis interactive which used three major components, data reduction, data presentation and conclusion along with verification. Triangulation sources technique was used to check the validity of the data.

Based on the research, it was found that Indian’s marriage traditions to be an effort to preserve their ethnic identity. There are many aspects in Indian’s wedding traditions, the myths, symbols, relationship patterns and capital, both social capital and economic capital. This study found that there was no difference between the class of capital owners, private employee class and the working class in terms of myth and symbol. They have the same confidence to the myths and symbols. But there are differences in patterns of relationships and aspects of the capital. Nevertheless, this study proves that the tradition of Indian weddings is an effort to preserve the ethnic identity of migrants who living in Yogyakarta.

Keyword : Indian Ethnic, Marriage Traditions, Social Class

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan suatu bangsa yang terdiri atas berbagai etnis, ras, dan budaya yang tersebar di berbagai pulau di seluruh Nusantara. Keberagaman etnis dan budaya tersebut membuat bangsa Indonesia menjadi semakin kaya akan kebudayaan, dan dengan latar belakang keberagaman budaya tersebut menjadikan Indonesia cenderung sebagai bangsa yang terbuka terhadap pendatang dan perubahan.

Keberagaman bukanlah hal yang aneh lagi bagi masyarakat Indonesia. Namun, berdasarkan hasil sensus Badan Pusat Statistik (BPS: 2010), diperkirakan ada 1128 suku bangsa bangsa di Indonesia. Bangsa Indonesia memiliki golongan etnis (suku bangsa) yang secara umum terbagi dalam dua golongan besar, yaitu etnis pribumi seperti Jawa, Sunda, Batak, Minang, dan golongan etnis pendatang seperti etnis Cina, Arab, Eropa (yang diwakili Portugis dan Belanda) serta Etnis India.

Bidang agama, terdapat enam agama yang diakui secara resmi oleh pemerintah yaitu Islam, Kristen Protestan, Katolik, Budha, Hindu, serta Konghucu. Bangsa indoonesia memiliki pancasila sebagai dasar negara sekaligus sebagai pemersatu bangsa, namun pda kenyatannya ada usaha dan ancaman disintegrasi yang bersumber dari keragaman suku, etnis, dan agama. Konflik sampit dan sambas misalnya, banyak dipicu oleh kenyataan bahwa etnis Madura pada taraf tertentu menjelma menjadi kelompok yang berhasil menguasai berbagai sumber daya ekonomi, sementara disisi lain perilaku social mereka cenderung semakin menegaskan komunitas etnisnya. Maka ketika terjadi gesekan-gesekan social, meskipun itu kecil, dengan etnis dayak dan melayu sebagai etnis asli cukup untuk menyulut konflik sosial yang masif dan berkepanjangan.

Indonesia adalah negara yang yang terletak di Asia Tenggara dan terdiri dari beragam etnis yang hidup dan berkembang dengan tradisi serta keyakinan religius yang berbeda-beda sehingga lahir corak budaya berbeda satu sama lain.

dari 200 suku bangsa yang mengembangkan kebudayaan dan tradisi masing- masing secara mandiri. Kemajemukan budaya atau multibudaya biasa dikenal dengan istilah multikulturalisme.

Multikulturalisme adalah konsep mengenai banyaknya atau berbagai budaya dalam suatu ruang lingkup yang sama dan membentuk suatu keajegan dalam pola kehidupan masyarakat. Multikulturalisme juga erat kaitannya dengan kemajemukan masyarakat yang beragam, karena dengan adanya kemajemukan dari masyarakat yang beraneka ragam tersebut akan menimbulkan suatu gejala pada seseorang/suatu masyarakat yang menjalankan aktifitas kehidupannya ditandai dengan penggunaan lebih dari satu kebudayaan yang dijadikan suatu kebiasaan di dalamnya. Dengan adanya multikulturalisme tersebut maka akan menambah banyak kekayaan budaya sebagai bentuk identitas nasional (Furnivall dalam Hefner, 2007: 16).

Struktur masyarakat Indonesia ditandai dengan dua ciri yang agak unik. Dari satu sisi bersifat horizontal yang ditandai dengan adanya kesatuan – kesatuan sosial yang berlandaskan kepada perbedaan suku bangsa, perbedaan agama, adat derta perbedaan kedaerahan. Tetapi, di sisi vertikal menunjukkan dimana struktur masyarakat Indonesia yang ditandai dengan adanya perbedaan vertikal antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam. Perbedaan suku bangsa, agama, adat dan kedaerahan senantiasa disebut sebagai ciri masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk (Sitepu, 2006: 71).

Identitas etnis secara sederhana dipahami sebagai sense atau rasa tentang self atau diri individu sebagai anggota atau bagian dari suatu kelompok etnis tertentu dan sikap maupun perilakunya juga berhubungan dengan sense tersebut. Artinya identitas etnis menyangkut pengetahuan, kesadaran, komitmen, dan perilaku terkait etnisnya. Dengan demikian, identitas etnis dibangun atas kesadaran diri terhadap budaya yang dimiliki. Budaya mempengaruhi identitas etnis kita. Bahkan melalui budaya juga identitas etnis dipelajari dari generasi ke generasi. ( http://setabasri01.blogspot.com/2010/01/pengantar.html diakses pada tanggal

17 Desember 2011).

Indonesia terdiri atas masyarakat asli yang telah menghuni ribuan tahun sampai datangnya masyarakat imigran yang disebut dengan masyarakat timur asing yaitu keturunan Arab dan keturunan Cina. Namun pada kenyataannya, selain keturunan Arab dan Cina sebagai bangsa pendatang, ada juga keturunan India yang juga menjadi keturunan pendatang yang tinggal di Indonesia.

Memahami budaya yang berbeda dengan kita juga bukan hal yang mudah dimana kita dituntut untuk mau mengerti realitas budaya orang lain yang membuat ada istilah mereka dan kita. Masalahnya, perkembangan zaman membuat budaya juga berubah, nilai-nilai budaya dulu mungkin sekarang sedikit demi sedikit, lambat laun makin memudar. Di mana akibat perubahan zaman dan pengaruh budaya massa, memahami identitas etnis sendiri bisa jadi lebih susah daripada memahami identitas etnis lain. Namun yang menjadi masalah tentu bukan sekadar pengaruh media massa dalam membantu membangun persepsi khalayak baik secara sengaja atau tidak dalam menggambarkan etnis tertentu dalam tayangannya, tapi control dan pilihan tentu ada di tangan audiens, bagaimana si audiensnya dalam menanggapi realitas yang dibangun lingkungan dan pandangannya sendiri dalam persepsinya .

Memasuki dunia baru dimana seseorang dituntut untuk beradaptasi bukanlah hal yang mudah. Beradaptasi di lingkungan baru, individu dituntut belajar serta memahami budaya baru. Terlebih lagi adaptasi tentu akan semakin sulit jika lingkungan yang baru adalah lingkungan yang berbeda jauh budayanya dengan lingkungan sebelumnya. Sebuah lingkungan baru, dimana realitas etnisnya amat berbeda dengan lingkungan yang sebelumnya. Menghadapi budaya yang berbeda bukan perkara mudah, begitupun dengan Etnis India yang ada di Yogyakarta, adaptasi harus dimulai perlahan. Memasuki dunia baru yang benar- benar berbeda, karena pada dasarnya manusia mempunyai mental, kemauan, dan kemampuan untuk berkomunikasi sehingga dapat mengenal dan mengevaluasi siapa yang berkomunikasi dengan dia.

Kaum migran India tersebar di berbagai wilayah teritorial Negara seperti Malaysia, Indonesia, Thailand, dan lain sebagainya (Appleyard, 1988: 106).

eksodus secara besar-besaran dari negaranya ke negara lain, seperti Malaysia, Thailand, Singapura, Indonesia, bahkan di daerah Sumatera mereka juga menciptakan kampung India. Akan tetapi, sebagian besar para imigran India itu, ternyata merasa dimakmurkan oleh Negara-negara yang menjadi tujuan mereka (Appleyard, 1988 : 110). Melihat hal itu, maka persoalan mengenai identitas patut untuk dipertanyakan ketika akhirnya mereka memilih untuk melepaskan status kewarganegaraan India dan beralih menjadi warga Negara lain.

Berbeda dengan masyarakat India yang ada di Indonesia, Kaum migran India banyak tersebar diwilayah Malaysia, Indonesia, Thailand dan beberapa Negara lainnya. Ini setelah terjadinya proses partisi antara India dengan Pakistan (Appleyard, 1998: 110). Secara teritori terdapat kesamaan antara dua Negara ini yang berada dalam satu wilayah kultural yang hampir sama dengan latar belakang sejarah yang hampir sama, yaitu sama-sama pernah dijajah oleh bangsa inggris. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa terjadi perbedaan dalam praktek kehidupannya dimana masyarakat India yang mayoritas dipengaruhi oleh ajaran hindu memiliki pola perilaku yang berbeda dengan masyarakat Indonesia yang mayoritasnya dipengaruhi oleh ajaran agama islam.

Kekuatan akar tradisi yang ada pada etnis tersebut yang telah berkembang dan menjadi landasan sebagai sebuah kebijakan kultural juga mempengaruhi kemampuan para migran untuk melakukan apa yang dipilihnya terhadap dirinya atas banyaknya pengaruh yang masuk kedalam dirinya. Spradley (1997: 15) mengungkapkan bahwa masyarakat yang kompleks dan semakin modern membuat seorang individu memiliki kecenderungnan untuk hidup dalam berbagai aturan kebuadayaan yang berbeda. Memang, kemudahan yang ditawarkan oleh teknologi dan media yang menjadi serangkaian produk kebudayaan ini juga menjadi alsan mengapa seorang individu dapat lebih mudah menerima konsep yang berbeda.

Ketertarikan untuk melihat Etnis India di Yogyakarta ini berasal dari kekuatan kebudayaan nenek moyang, latar belakang kehadiran migran di daerah migrasi, serta pengaruh kebijakan dinegara asalnya dalam menentukan pola Ketertarikan untuk melihat Etnis India di Yogyakarta ini berasal dari kekuatan kebudayaan nenek moyang, latar belakang kehadiran migran di daerah migrasi, serta pengaruh kebijakan dinegara asalnya dalam menentukan pola

Hal ini menjadi menarik, karena Etnis India di Yogyakarta ini merupakan kaum minoritas. Tidak seperti etnis Cina dan Arab yang memiliki permukiman yang dihuni oleh etnis yang sama, orang-orang India yang tinggal di Yogyakarta tidak memiliki kampung tersebut. Mereka tinggal menyebar di seluruh penjuru kota Yogyakarta. Sebagai kaum diaspora.

Diaspora berasal dari bahasa Yunani yang berarti berhamburan dan aslinya mengacu pada masyarakat dan kebudayaan Yahudi. Dengan adanya globalisasi kontemporer, terutama mobilitas kerja dan deregulasi pasar tenaga kerja, populasi manusia telah menyebar luas ke penjuru dunia. Misalnya, hampir separuh dari dua belas juta populasi Sikh tinggal di luar India. Kemunculan komunitas ekspatrit ini berarti bahwa kebudayaan transnasional telah berkembang, sering kali menyebabkan hibriditas budaya (percampuram kultural dan kemunculan bentuk-bentuk baru hibriditas). Dengan pertumbuhan komunitas diaspora, mayoritas masyarakat modern bersifat multikulturar sementara perubahan kultutral ini membawa konsekuensi penting dalam hal kewarganegaraan (Barker, 2011: 210).

Mereka tidak memilih untuk tinggal bersama-sama dengan etnisnya, namun mereka lebih memilih untuk melakukan kegiatan perekonomian di satu kawasan yaitu di Jalan Solo, Yogyakarta. Masyarakat keturunan India ini setiap harinya selalu berinteraksi dengan etnis diluar etnisnya, yaitu etnis Jawa ataupun etnis Cina atau etnis lainnya. Dengan adanya interaksi antar etnis ini, bisa saja menyebabkan masyarakat keturunan India memiliki pola pemikiran baru yang sering mereka temui di kehidupan sehari-hari ketika berinteraksi dengan orang lain. Hal ini juga tidak menutup kemungkinan bahwa masyarakat keturunan India akan mengadaptasi budaya-budaya yang ada di lingkungan sekitar mereka dan menyebabkan rasa keIndiaan mereka menjadi berkurang.

Salah satu tradisi yang sangat kental dan masih sering dilakukan oleh keturunan Etnis India adalah tradisi pernikahan. Sama halnya dengan etnis-etnis Salah satu tradisi yang sangat kental dan masih sering dilakukan oleh keturunan Etnis India adalah tradisi pernikahan. Sama halnya dengan etnis-etnis

Merupakan satu hal yang sangat menarik bagi penulis jika melihat fenomena tradisi pernikahan ini melalui kacamata sosial, dalam hal ini penulis ingin melihat berdasarkan kelas sosial. Proses kedatangan keturunan India di Yogyakarta juga menjadi sangat menarik karena etnis ini merupakan etnis minoritas. Kemudian, penulis juga bisa mengetahui bagaimana seorang keturunan India bisa mempertahankan ke-India-annya sebagai kaum imigran di kota ini. Selain itu, penulis juga ingin melihat, apakah tradisi pernikahan yang dilakukan oleh warga keturunan India tersebut bisa disebut sebagai usaha untuk mempertahankan identitas etnisnya sebagai seorang Etnis India. Dengan latar belakang tersebut, maka penulis sangat tertarik untuk melakukan penelitian mengenai Upaya Kaum Migran India di Yogyakarta Dalam Mempertahankan Identitas Etnisnya Melalui Tradisi Pernikahan.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, maka permasalah yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut : “Bagaimana Upaya yang Dilakukan Kaum Migran India di Yogyakarta Dalam Mempertahankan Identitas Etnisnya Melalui Tradisi Pernikahan?”

C. Tujuan

1. Tujuan Operasional Untuk mengetahui upaya yang dilakukan kaum migran India di Yogyakarta dalam mempertahankan identitas etnisnya melalui tradisi pernikahan.

Hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberi manfaat dan dapat sebagai tambahan masukan dalam khasanah penelitian dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan sosial pada umumnya dan sosiologi pada khususnya.

3. Tujuan Individual Untuk memenuhi tugas akhir perkuliahan, guna memperoleh gelar Sarjana ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret.

D. Manfaat

Manfaat dari dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritik Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai tambahan informasi dan pengembangan ilmu pengetahuan sosial (body of knowledge) terutama kajian-kajian sosiologis mengenai Etnis India bagi penelitian selanjutnya yang sejenis.

2. Manfaat Metodologis Mengkaji seberapa jauh kemampuan metodologi dapat mengungkapkan masalah yang diteliti. Mengembangkan penalaran, dan membentuk pola pikir dinamis, sekaligus untuk mengetahui kemampuan peneliti dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.

3. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini dapat memberikan rekomendasi pada penelitian lebih lanjut dan atau pembuat kebijakan (policy maker) bagi Migran India yang ada di Yogyakarta.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep yang digunakan

1. Identitas Etnis

Identitas adalah suatu konsep yang abstrak dan beraneka ragam yang memainkan peran dalam seluruh interaksi komunikasi. Untuk itu penting memberikan apresiasi pada apa yang membawa identitas. Untuk memberikan pemahaman mengenai hal tersebut, maka perlu untuk memperluas kebutuhan untuk mengerti peran dari identitas dalam masyarakat yang beragam budaya ini. Kebutuhan akan pemahaman perasaan tentang identitas akan terbukti sendiri. Perkembangan identitas dipertimbangkan sebagai sebuah aspek kritis bagi kebaikan atau kesehatan psikologis setiap orang. Menurut Phinney (dalam Samovar, 2007: 109-110), sebuah prinsip objektif bagi orang dalam masa-masa usia dewasa adalah pembentukan sebuah identitas dan siapa yang gagal memperoleh sebuah identitas yang tepat akan menghadapai kebingungan identitas, kekurangan kejernihan pemikiran tentang siapa mereka dan apa peran mereka dalam hidup. Secara sederhana identitas dipahami sebagai konsep pribadi mengenai diri di dalam sebuah konteks sosial, geografis, budaya dan politik. Menurut Mathews (dalam Samovar, 2007: 111), identitas adalah bagaimana diri menyusun dirinya sendiri dan label untuknya sendiri.

Tipologi identitas dalam Communication between Cultures, terbagi atas identitas ras, identitas etnis, identitas gender, identitas nasional, identitas regional, identitas organisasi, identitas pribadi, dan identitas maya dan fantasi (Samovar, 2007: 113- 118). Sedangkan dalam Intercultural Communicatin In contexts , identitas budaya dan sosial dibagi atas identitas gender, identitas usia, identitas ras, identitas etnis, identitas agama, identitas kelas, identitas nasional, identitas regional, dan identitas pribadi (Martin & Thomas, 2007: 171-188).

Sedangkan kelompok etnis merupakan konsep untuk menerangkan suatu kelompok, baik kelompok ras maupun yang bukan kelompok ras yang secara sosial dianggap berada dan telah mengembangkan subkultur sendiri.

merupakan suatu kelompok yang terbentuk atas dasar kesamaan karakteristik yang sifatnya lebih ‘’kebudayaan’’ daripada ras yang mengacu pada ciri-ciri ragawi (Liliweri, 2001: 335-336).

Identitas etnis sering dikaji sosiolog, antropolog, psikolog, dan sejarahwan. Para ahli meneliti asal-usul, substansi, konsekuensi dan proses etnisitas yang sedang berubah dalam berbagai komunitas. Istilah-istilah lain yang sering menjadi sinonim adalah etnisitas, dan konsep-diri kultural atau rasial. Istilah-istilah ini kadang-kadang digunakan identik atau punya makna yang sama oleh para ahli. Namun kadang-kadang konsep yang sama diartikan secara berbeda oleh para ahli. Makna konsep identitas etnis tidak selalu eksplisit dalam kajiankajian itu. Sering ia berkelindan dengan dan atau tersirat dalam kajian tentang akulturasi, asimilasi suatu kelompok etnis (Mulyana & Jalaludin, 2005: 151).

Identitas etnis sendiri sebenarnya merupakan bentuk spesifik dari identitas budaya. Ting-Toomey dalam Rahardjo, mendefinisikan identitas kultural merupakan perasaan (emotional significance) dari seseorang untuk ikut dalam memiliki (sense of belonging) atau berafiliasi dengan kultur tertentu (Rahardjo, 2005: 1-2). Sedangkan identitas etnis bisa dilihat sebagai sebuah kumpulan ide tentang satu kepemilikan keanggotaan kelompok etnis. Hal ini menyangkut beberapa dimensi:

1. Identifikasi diri sendiri

2. Pengetahuan tentang budaya etnis (tradisi, kebiasaan, nilai, perilaku)

3. Perasaan mengenai kepemilikan pada kelompok etni tertentu. Identitas etnis sering melibatkan sebuah perasaan yang dibagi tentang asal dan sejarah, di mana mungkin mata rantai kelompok etnis pada kelompok budaya yang jauh di Asia, Eropa, Amerika Latin atau tempat lain (Martin & Thomas, 2007: 175). Memiliki sebuah identitas etnis berarti mengalami sebuah perasaan memiliki pada suatu kelompok dan mengetahui sesuatu tentang pengalaman yang dibagi pada anggota kelompok (Martin & Thomas, 2007: 175). Beberapa ahli menyatakan identifikasi etnis dan ras sama dan ada yang 3. Perasaan mengenai kepemilikan pada kelompok etni tertentu. Identitas etnis sering melibatkan sebuah perasaan yang dibagi tentang asal dan sejarah, di mana mungkin mata rantai kelompok etnis pada kelompok budaya yang jauh di Asia, Eropa, Amerika Latin atau tempat lain (Martin & Thomas, 2007: 175). Memiliki sebuah identitas etnis berarti mengalami sebuah perasaan memiliki pada suatu kelompok dan mengetahui sesuatu tentang pengalaman yang dibagi pada anggota kelompok (Martin & Thomas, 2007: 175). Beberapa ahli menyatakan identifikasi etnis dan ras sama dan ada yang

Karena perbedaan antara istilah ras dan etnisitas telah tidak cukup dijelaskan dalam literature, maka variasi anatara ras dan identitas etnis dapat juga jadi tidak jelas dan membingungkan. Masalah ini lebih jauh dipersulit karena orang-orang sering menggambarkan identitas etnis mereka dalam cara- cara individual yang tinggi sesuai dengan situasi dan lingkungan tertentu. Dari pandangan Samovar dkk, walaupun identitas ras dikaitkan pada warisan biologis yang menghasilkan karakteristik fisik yang sama dan dapat diidentifikasi. Etnisitas atau identitas etnis diperoleh dari sebuah perasaan yang membagi warisan, sejarah, tradisi, nilai, perilaku yang sama, daerah asal dan dalam beberapa hal membagi bahasa. Kebanyakan orang memperoleh identitas etnis mereka dari sebuah kelompok regional, misalnya Kurdi, sebuah kelompok etnis yang besar di Timur Laut Irak dengan komunitas di Turki, Iran, Syria. Pada contoh di atas, perasaan mereka pada etnisitas melebihi batas Negara dan didasari pada praktek dan kepercayaan budaya umum. (Samovar, 2007: 113- 114).

Selama beberapa tahun belakang ini di AS, imigran biasanya sering membuat kelompok sesuai dengan daerah tertentu, untuk membentuk komunitas etnis. Biasanya sense orang-oarng tersebut pada kelompok etnisnya tetap kuat seperti praktik budaya tradisional dan kepercayaan yang masih diikuti dan kekal (dijalankan terus menerus). Tetapi seiring waktu, anggota dari generasi muda mengalami keragaman etnis yang lebih besar dan sering menikah dengan anggota dari kelompok etnis lain.

Hal ini, menimbulkan kecenderungan untuk menipiskan perasaan mereka pada identitas etnis dan hari ini, hal tersebut menjadi biasa ketika mendengar orang Amerika menjelaskan etnisitas mereka dengan sejumlah historis yang panjang mengenai etnik keluarga yang telah bergabung dari etnis lain, bahkan sering secara sederhana mengakui diri mereka hanya sebagai orang Amerika atau Amerika kulit putih. Sering kali, mereka adalah anggota dari

Kristen-Judeo yang berasal dari Eropa Barat, yang garis silsilah secara historis diberi ciri oleh pencampuran yang luas melalui pernikahan antar etnis selama bertahun-tahun.Martin dan Nakayama menulis banyak praktik budaya yang diasosiasikan dengan warna kulit putih melebihi kesadaran partisipan, tapi tidak dapat dilihat oleh anggota kelompok budaya minoritas. Oleh karena itu, putih sering diasosiasikan dengan posisi keistimewaan (Samovar dkk, 2007: 114).

Ada dua pendekatan terhadap identitas etnis yaitu pendekatan objektif (struktural) dan pendektan subjektif (fenomenologis). Jika pendekatan objektif melihat sebuah kelompok etnis sebagai kelompok yang bisa dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya berdasarkan ciri-ciri budayanya seperti bahasa, agama, atau asal-usul kebangsaan. Kontras dengan itu, perspektif subjektif merumuskan etnisitas sebagai suatu proses dalam mana orang-orang mengalami atau merasakan diri mereka sebagai bagian dari suatu kelompok etnis dan diidentifikasi demikian oleh orang lain dan memusatkan perhatiaanya pada keterikatan dan rasa memiliki yang dipersepsi kelompok etnis yang diteliti (Mulyana & Jalaludin, 2005: 152).

Jadi penelitian ini menggunakan pendektan kedua yaitu pendekatan subjektif yang sejalan dengan perspektif interpretif. Pendekatan kedua menganggap etnisitas bersifat dinamik. Pendekatan ini mengkritik pendekatan positivistik dalam arti bahwa ia membatasi kemungkinan perilaku manusia yang dapat dipelajari. Berbeda dengan pendekatan positivistik, yang memandang individu-individu sebagai pasif dan perubahannya disebabkan kekuatan- kekuatan sosial di luar diri mereka, pendekatan fenomenologis memandang manusia jauh dari pasif (Mulyana & Jalaludin, 2005: 155).

Secara tradisional, etnisitas dipandang sebagai seperangkat ciri sosio- kultural yang membedakan kelompok-kelompok etnik antara yang satu dengan lainnya. Barth yang dikutip dari Komunikasi Antarbudaya menyebutkan bahwa ciri-ciri penting suatu kelompok etnis adalah askripsi yang diberikan kelompok dalam dan kelompok luar, memandang kelompok etnis sebagai suatu jenis organisasi sosial tempat para aktor menggunakan identitas-identitas etnis untuk

(Mulyana & Jalaludin, 2005: 156). Pendekatan subjektif ini sejalan dengan perspektif interpretif dalam menilai identitas. Perspektif interpretif menekankan bahwa identitas bisa dirundingkan, bisa dibentuk kembali, diperkuat dan dijalani melalui komunikasi dengan yang lain: identitas (identitas etnis) muncul ketika pesan saling dipertukaran di antara orang-orang. Ini artinya bahwa menunjukkan identitas kita bukanlah sebuah proses yang sederhana. Tentu tidak setiap orang melihat kita sebagaimana kita melihat diri kita sendiri. Konsep avowal (pengakuan) dan askripsi penting untuk membantu kita memahami bagaimana kesan dapat menimbulkan konflik (Martin & Thomas, 2007: 158).

Pengakuan sendiri dipahami sebagai proses di mana individu memerankan diri mereka sendiri sedangkan askripsi adalah proses di mana orang lain mengatribusikan identitas tertentu pada mereka. Identitas yang berbeda digunakan tergantung individu yang terlibat dalam komunikasi. Artinya bisa saja saat kita berinteraksi dengan lawan jenis, maka identitas yang muncul adalah identitas gender dan saat kita bertemu dan berinteraksi dengan orang yang berbeda etnis, identitas yang muncul adalah identitas etnis. Ininya, perspektif interpretif beranggapan bahwa identitas dan khususnya identitas etnis diekspresikan secara komunikatif melalui core symbols, label, dan norma. Core Symbols (nilai budaya) memberitahukan tentang kepercayaan fundamental dan konsep sentral yang memberi definisi identitas tertentu, yang dibagikan di antara anggota kelompok budaya.

Etnisitas adalah konsep kultural yang terpusat pada kesamaan norma, nilai, kepercayaan, simbol dan praktik kultural. Terbentuknya suku bangsa besandar pada penanda kultural yang dimiliki secara bersama yang telah berkembang dalam konteks historis, sosial dan politis tertentu dan yang mendorong rasa memiliki yang sekurang-kurangnya didasarkan pada nenek moyang mitologis yang sama. Mitologis adalah Istilah Mitologi telah dipakai sejak abad 15, dan berarti ilmu yang menjelaskan tentang mitos. Di masa sekarang, Mitologi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997) adalah ilmu Etnisitas adalah konsep kultural yang terpusat pada kesamaan norma, nilai, kepercayaan, simbol dan praktik kultural. Terbentuknya suku bangsa besandar pada penanda kultural yang dimiliki secara bersama yang telah berkembang dalam konteks historis, sosial dan politis tertentu dan yang mendorong rasa memiliki yang sekurang-kurangnya didasarkan pada nenek moyang mitologis yang sama. Mitologis adalah Istilah Mitologi telah dipakai sejak abad 15, dan berarti ilmu yang menjelaskan tentang mitos. Di masa sekarang, Mitologi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997) adalah ilmu

Dalam Ensiklopedi Indonesia disebutkan istilah etnis berarti kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan sebagainya. Anggota-anggota suatu kelompok etnik memiliki kesamaan dalam hal sejarah (keturunan), bahasa (baik yang digunakan ataupun tidak), sistem nilai, serta adat-istiadat dan tradisi.

Menurut Fredrik Barth (1988: 11) istilah etnik adalah suatu kelompok tertentu yang karena kesamaan ras, agama, asal-usul bangsa, ataupun kombinasi dari kategori tersebut terikat pada sistem nilai budayanya. Kelompok etnis adalah kelompok orang-orang sebagai suatu populasi yang :

a. Secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan

b. Mempunyai nila-nilai budaya yang sama, dan sadar akan rasa kebersamaannya dalam suatu bentuk budaya.

c. Membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri.

d. Menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain. Etnisitas adalah konsep relasional yang berhubungan dengan kategori identifikasi diri. Apa yang kita pikir sebagai identitas kita tergantung pada apa yang kita pikir bukan bagian dari kita. Seorang Serbia bukanlah seorang Kroasia, Bosnia atau Albania. Walhasil, etnisitas lebih baik dipahami sebagai suatu proses pembentukan sekat yang dikonstruksi dan dipelihara pada kondisi sosio-historis tertentu. Tentu saja, menyatakan bahwa etnisistas bukan soal perbedaan kultutral yang telah ada sebelumnya, melainkan suatu proses pembentukan sekat danpemeliharaan tidak berarti bahwa perbedaan semacam d. Menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain. Etnisitas adalah konsep relasional yang berhubungan dengan kategori identifikasi diri. Apa yang kita pikir sebagai identitas kita tergantung pada apa yang kita pikir bukan bagian dari kita. Seorang Serbia bukanlah seorang Kroasia, Bosnia atau Albania. Walhasil, etnisitas lebih baik dipahami sebagai suatu proses pembentukan sekat yang dikonstruksi dan dipelihara pada kondisi sosio-historis tertentu. Tentu saja, menyatakan bahwa etnisistas bukan soal perbedaan kultutral yang telah ada sebelumnya, melainkan suatu proses pembentukan sekat danpemeliharaan tidak berarti bahwa perbedaan semacam

Namun, konsep etnisitas bukan tidak menemui masalah dalam pemakaiannya dan ia tetap merupakan istilah yang diperdebatkan. Sebagai contoh, orang kulit putih Anglo-Saxon sering kali menggunakan konsep etnisitas untuk menunjuk kepada orang lain, biasa dengan pigemntasi kulit yang berbeda, sehingga keturunan Asia, Afrika, Hispanik dan warga Amerika keturunan Afrika adalah suku bangsa tetapi warga Inggris atau Amerika Anglo-Saxon atau warga Australia tidak. Disini warna kulit dilihat sebagai sesuatu yang ditakdirkan universal, sementara orang lain dipandang terbentuk secara etnis. Sebagaimana dikatakan Dyer (dalam Barker, 2011: 206), mengkaji warna kulit putih adalah soal menjadikan kulit putih sebagai sesuatu yang aneh ketimbang sesuatu yang mengancam, ini dipandang sebagai kriteria keumuman manusia yang diterima apa adanya. Namun, seperti dia katakan, pengakuan bahwa warna kulit putih adalah suatu temuan historis tidak berarti bahwa dia akan punah begitu saja (Barker, 2011: 206).

Etnis India

Berbagai kelompok masyarakat dari anak benua India telah datang ke kepulauan Indonesia sejak masa pra-sejarah. Di Bali, misalnya, berbagai sisa keramik sejak abad pertama Masehi telah ditemukan. Malah nama Indonesia sendiri berasal dari bahasa latin Indus India dan bahasa Yunani nêsos pulau yang secara harafiah berarti Kepulauan India (Wirjosuparto, 1957: 5).

Sejak abad ke-4 dan ke-5, pengaruh budaya India menjadi semakin jelas. Bahasa Sansekerta digunakan dalam berbagai prasasti. Namun sejak abad ke-7, huruf India semakin sering dipergunakan untuk menulis bahasa-bahasa setempat yang kini sudah mengandung banyak kata pinjaman bukan saja dari bahasa Sansekerta, tetapi juga dari berbagai bahasa Prakerta dan bahasa-bahasa Dravida.

Selain itu, masyarakat pribumi Indonesia pun mulai memeluk agama- agama India, khususnya Siwaisme dan Buddhisme. Namun ada pula pemeluk

penduduk India dibagi kedalam 6 kategori, yaitu (1) Negrito, sudah tidak ada di India tapi dapat ditemukan keturunannya di kepulauan Andaman; (2) Proto- Australoid , tersebar di seluruh India dan kebanyakan berkasta rendah diantaranya orang beragama hindu; (3) Mongoloid, (a) Palaeo-Mongoloid, tinggal di bukit-bukit Assram dan dekat perbatasan Burma, (b) Tiberto- Mongoloid , memiliki sifat mongoloid tinggal di Sikkim, Bhutan dan daerah perbatasan India; (4) Mediterranean, (a) Palaeo-Mediterranean, memiliki ciri- ciri tinggi sedang, berkulit hitam dan memiliki tubuh yang sedang seperti orang Tamil, Kannada dan Malaya, (b) Mediterranean atau Eropa memiliki tubuh yang lebih besar dan lebih putih kulitnya tinggal di daerah Punjab dan lembah sungai Gangga bagian utara, (c) Mediterranean yang memiliki sifat ketimuran memiliki hidung panjang dan kulit putih dapat ditemui di Punjab, Sindh, Rajasthan dan Uttar Pradesh bagian barat; (5) Brachycephal memiliki kepala bundar banyak ditemukan di seluruh India; (6) Nordic, berbahasa arya dan merupakan orang-orang yang meletakan dasar kebudayaan hindu di India, memiliki ciri-ciri tinggi, kulitnya putih, rambutnya kemerah-merahan dan bermata biru.

Ada beberapa kelompok suku India-Indonesia yang telah lama menetap di Indonesia. Kelompok suku masyarakat Tamil dari India Selatan banyak terdapat di daerah Sumatera Utara (Medan, Pematang Siantar, dan lain- lain). Banyak dari mereka yang didatangkan oleh pemerintah kolonial Inggris untuk bekerja di perkebunan-perkebunan yang dibuka di daerah tersebut. Marimutu Sinivasan adalah seorang pengusaha India-Indonesia yang berasal dari suku Tamil, yang dilahirkan di Sumatera Utara.

Di Jakarta, masyarakat Tamil-Indonesia mempunyai organisasi yang bernama Indonesia Tamil Tamram yang bergerak dalam pelestarian bahasa dan budaya Tamil, membangun saling pengertian antara orang India dan Indonesia, dan memberikan kesempatan belajar bagi anak-anak Tamil di Indonesia untuk belajar bahasa ibu mereka. Untuk maksud tersebut, organisasi ini mengadakan kursus bahasa dan budaya, membagikan literatur dalam bahasa Tamil, Di Jakarta, masyarakat Tamil-Indonesia mempunyai organisasi yang bernama Indonesia Tamil Tamram yang bergerak dalam pelestarian bahasa dan budaya Tamil, membangun saling pengertian antara orang India dan Indonesia, dan memberikan kesempatan belajar bagi anak-anak Tamil di Indonesia untuk belajar bahasa ibu mereka. Untuk maksud tersebut, organisasi ini mengadakan kursus bahasa dan budaya, membagikan literatur dalam bahasa Tamil,

Kelompok suku masyarakat Punjabi dari India Utara banyak terdapat di kota-kota besar di Jawa, seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya dan pada umumnya mereka hidup sebagai pedagang. Banyak dari mereka yang beragama Sikh. Beberapa tokoh terkemuka dari masyarakat ini misalnya adalah Raam Punjabi, raja sinetron Indonesia dan istrinya, Rakhee Punjabi, H.S. Dillon, pakar ekonomi pertanian. Kehidupan masyarakat Indonesia keturunan India dikemas dengan begitu unik dalam serial televisi Raj's Family di salah satu stasiun televisi swasta.

Selain itu, di Indonesia ada pula kelompok suku masyarakat Sindhi yang juga banyak berperan dalam dunia perdagangan di Indonesia. Mereka umumnya bergerak di bidang industri garmen dan tekstil, makanan dan pertanian, perfilman, intan permata dan batu-batu mulia. Masyarakat Sindhi di Indonesia mempunyai organisasi sosial yang bernama Gandhi Seva Loka yang banyak memberikan bantuan kepada komunitas mereka sendiri, serta menyelenggarakan proram orang tua asuh secara teratur. Organisasi ini juga menolong kaum fakir-miskin di kalangan masyarakat yang lebih luas, khususnya ketika ekonomi negara dilanda krisis yang berkepanjangan.

2. Kelas Sosial

Kelas sosial dapat didefinisikan sebagai suatu strata (lapisan) orang- orang yang berkedudukan sama dalam kontinum (rangkaian kesatuan) status sosial (Horton, 1999: 5). Para anggota suatu kelas sosial saling memandang satu sama lainnya sebagai anggota masyarakat yang setara, serta menilai diri mereka secara sosial lebih hebat dari beberapa orang lain dan lebih rendah dari beberapa orang lainnya (Horton, 1999: 6).

Kelas sosial didefinisikan sebagai pembagian anggota masyarakat ke dalam suatu hierarki status kelas yang berbeda sehingga para anggota setiap Kelas sosial didefinisikan sebagai pembagian anggota masyarakat ke dalam suatu hierarki status kelas yang berbeda sehingga para anggota setiap

Pendekatan yang sistematis untuk mengukur kelas sosial tercakup dalam berbagai kategori yang luas berikut ini: ukuran subjektif, ukuran reputasi, dan ukuran objektif dari kelas sosial. Peneliti konsumen telah menemukan bukti bahwa di setiap kelas sosial, ada faktor-faktor gaya hidup tertentu (kepercayaan, sikap, kegiatan, dan perilaku bersama) yang cenderung membedakan anggota setiap kelas dari anggota kelas sosial lainnya.

Para individu dapat berpindah ke atas maupun ke bawah dalam kedudukan kelas sosial dari kedudukan kelas yang disandang oleh orang tua mereka. Yang paling umum dipikirkan oleh orang-orang adalah gerakan naik karena tersedianya pendidikan bebas dan berbagai peluang untuk mengembangkan dan memajukan diri.

Dengan mengenal bahwa para individu sering menginginkan gaya hidup dan barang-barang yang dinikmati para anggota kelas sosial yang lebih tinggi maka para pemasar sering memasukkan simbol-simbol keanggotaan kelas yang lebih tinggi, baik sebagai produk maupun sebagai hiasan dalam iklan yang ditargetkan pada audiens kelas sosial yang lebih rendah.

Uang diperlukan pada kedudukan kelas sosial atas. Namun demikian, kesusukan kelas sosial seseorang tidak secara langsung sebanding dengan penghasilannya. Untuk dapat memahami peran uang dalam menentukan kelas sosial, kita harus menyadari bahwa pada dasarnya kelas sosial merupakan suatu cara hidup (Horton, 1999: 8).

Sebagaimana yang ditunjukan oleh kutipan terdahulu, setiap kelas sosial merupakan suatu subkultur yang mencakup sistem perilaku, seperangkat nilai, dan cara hidup. Subkultur ini berperan dalam membantu orang untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan yang ditempuhnya dan membantu dalam