Perdagangan Karbon
2.9 Perdagangan Karbon
2.9.1 Protokol Kyoto
Upaya masyarakat internasional menghadapi fenomena perubahan iklim dimulai sejak ditandatanganinya United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) tahun 1992 di Rio de Janeiro, Brasil. Tiga tahun setelah itu, diadakan Conference of the Parties (COP) pertama di Berlin, Jerman. Pada COP ke-3 tahun 1997 di Kyoto Jepang, para pihak (terutama negara-negara maju/industri) sepakat menurunkan tingkat emisi mereka pada tahun 2008-2012 sebesar 5 % di bawah tingkat emisi di tahun 1990. Indonesia telah meratifikasi Protokol Kyoto sesuai dengan Undang-Undang No. 17 Tahun 2004.
Protokol Kyoto mengatur 3 mekanisme penurunan emisi yang fleksibel bagi negara-negara industri. 3 mekanisme tersebut adalah:
1. Clean Development Mechanism (CDM) CDM memperbolehkan negara-negara yang dibebani target pengurangan emisi di bawah komitmen Protokol Kyoto untuk mengimplementasikan target tersebut dalam suatu kegiatan penurunan emisi yang berlokasi di negara berkembang. Proyek tersebut, untuk dapat “menjual” karbonnya harus mendapat Certified Emission Reduction (CER), dimana 1 CER setara dengan 1 ton CO2. Inilah yang membentuk pasar karbon.
2. Joint Implementation (JI) Joint Implementation (JI) memberi keleluasaan bagi negara-negara yang ditarget penurunan emisi (negara-negara industri) untuk mendapatkan Emission
commit to user
II-12
reduction Unit (ERU) dari proyek penurunan/penyerapan emisi di negara yang ditarget penurunan emisi lainnya. Cara kerja JI sama dengan CDM, hanya negara inang (host country) proyek bukanlah negara berkembang, melainkan sesama negara dalam annex I country.
3. Emission Trading Emission trading pada prinsipnya adalah perdagangan karbon dengan cap-and-trade system di bawah Protokol Kyoto. Negara yang telah dibatasi emisinya diperbolehkan memperdagangkan karbon dengan satuan yang disebut AAUs (Assigned Amount Units).
2.9.2 Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.26/Menhut-II/2005 Pasal 13 (4) menyatakan bahwa salah satu kegiatan pemanfaatan jasa lingkungan adalah berupa usaha perdagangan karbon. Perdagangan karbon adalah mekanisme
berbasis pasar untuk membantu membatasi peningkatan CO 2 di atmosfer. Pasar
perdagangan karbon sedang mengalami perkembangan yang membuat pembeli dan penjual kredit karbon sejajar dalam peraturan perdangangan yang sudah distandardisasi (Razak, 2007b).
Pemilik industri yang menghasilkan CO 2 ke atmosfer memiliki
ketertarikan atau diwajibkan oleh hukum untuk menyeimbangkan emisi yang mereka keluarkan melalui mekanisme sekuestrasi karbon (penyimpanan karbon).
Pemilik yang mengelola hutan atau lahan pertanian bisa menjual kredit karbon berdasarkan akumulasi karbon yang terkandung dalam pepohonan di hutan mereka. Atau bisa juga pengelola industri yang mengurangi emisi karbon mereka menjual emisi mereka yang telah dikurangi kepada emitor lain.
Perubahan penggunaan lahan dan kehutanan (Land use change and forestry ) merupakan penyumbang emisi karbon terbesar kedua setelah sektor industri, yaitu menyumbang sekitar 15-20% dari total emisi dunia. Pada umumnya terdapat 3 (tiga) kategori mitigasi perubahan iklim untuk sektor kehutanan, yaitu peningkatan manajemen hutan, Aforestasi/Reforestasi, dan Reduction Emission from Deforestation and Degradation (REDD). Dari ketiga kategori tersebut, REDD mempunyai potensi pengurangan emisi karbon yang paling besar (Pustanling, 2010).
commit to user
II-13
Melalui mekanisme CDM (yang notabene satu-satunya mekanisme yang melibatkan negara berkembang dalam Protokol Kyoto), sektor kehutanan dapat berperan melalui proyek penyerapan karbon aforestasi dan reforestasi. Aforestasi adalah upaya menghutankan areal yang pada masa 50 tahun lalu bukan merupakan hutan. Sedangkan reforestasi adalah upaya menghutankan kembali areal yang dulunya pernah menjadi hutan.
2.9.3 Permasalahan Perdagangan Karbon
Menurut Razak (2007b), beberapa hal yang menyebabkan kurang efektifnya sistem perdagangan karbon ini diterapkan di Indonesia terlepas dari nominal harga yang ditawarkan antara lain adalah
1. Kesiapan kelembagaan untuk mengkoordinir alokasi dana yang dikompensasikan. Harapan dari kompensasi ini adalah dana tersebut dapat dinikmati langsung oleh masyarakat, sehingga dapat meningkatkan taraf hidup mereka, sehingga mengurangi akses mereka terhadap hutan.
2. Kesiapan regulasi yang mengatur secara detail mulai dari tata ruang wilayah, sampai kepada sistem pembagian kompensasi yang diperoleh.
3. Status kawasan hutan yang masih tumpang tindih juga merupakan permasalahan perlu dibenahi terlebih dahulu.
4. Moralitas seluruh elemen yang terkait dengan penggunaan dana kompensasi, dimana misi yang akan dicapai adalah bagaimana masyarakat dapat hidup
sejahtera dengan jalan peningkatan ekonomi masyarakat tersebut, sehingga mengurangi dampak kegiatan mereka terhadap hutan, yang selama ini termasuk salah satu kendala terjadinya degradasi hutan.