Sidang II

1.2.2 Sidang II

1.2.2.1 Pertanyaan

A. Darwin A. Tjukke – KPH Model Wajo Sulawesi Selatan

1. HKm, HTR, Hutan Desa yang sudah ada. Di luar itulah yang kami kelola sebagai KPH untuk pemanfaatan hutan dan tegakan. Dengan adanya KPH, saya sependapat dengan Pak Dodik bahwa kita harus mempertahankan fungsi kawasan hutan, bukan kawasan hutannya. KPH diberikan kewenangan untuk mempekerjakan masyarakat. Pemanfaatan tegakan dengan ijin memanfaatkan kawasan hutan. Dengan adanya KPH kita akan lebih maju. Beda jika kita hanya memberikan HKm saja.

2. KPH pada akhirnya, masyarakat akan memperoleh manfaat langsung bagi hasil. Karena ini merupakan kawasan hutan maka kita buatkan Perda, 40% untuk masyarakat dan 60% diserahkan ke Negara (kabupaten, provinsi) untuk digunakan mengelola hutan kembali.

3. KPH yang maju, sudah sampai di mana pemanfaatan hutan dan pemanfaatan tegakannya? Kami di Wajo memanfaatkan hutan dengan menanam murbei untuk ulat sutera.

4. Di Wajo, bahan baku benang sutera dibutuhkan 300 ton per tahun. Dengan adanya kewenangan KPH, maka masyarakat bisa kita masukkan ke kawasan hutan untuk mengelola 5000 ha tanaman murbei yang dapat memenuhi kebutuhan industri tenun di Wajo.

B. Hasbi Berliani – Kemitraan

1. Definisi kawasan hutan dan hutan Negara merupakan hal penting untuk menjadi perhatian kita.

2. Jika hasil studi LIPI akan dijadikan basis untuk mendorong reforma agraria ke depan, maka dari empat poin rekomendasi Bu Lilis tadi, nomor 1-3 sudah berjalan melalui Nota Kesepakatan Bersama 12 Kementerian yang dikoordinasikan oleh KPK tentang percepatan kawasan hutan.

3. Rekomendasi nomor empat juga sebenarnya sudah ada, tentang sinkronisasi perundang-undangan. Saya kira jika studi LIPI ini akan dijadikan basis reformasi agrarian sektor kehutanan ke depan, maka perlu melingkup beberapa perkembangan terkini dari nota kesepakatan bersama 12 kementerian itu dan juga bahan dari roadmap/peta jalan reformasi tenurial kehutanan yang telah disusun oleh kalangan CSO dan dipublikasikan November 2011. Ada tiga area komponen reformasi kehutanan yang penting untuk dilihat sebagai basis reforma agraria sektor kehutanan ke depan.

Prosiding Seminar Hasil Penelitian Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik

1.2.2.2 Jawaban

A. Dr. Ir. Dodik R. Nurrochmat, M.Sc. – IPB

1. Saya lebih setuju model KPH sesuai dengan kondisi lokal, tidak menjadi seragam dengan yang lain.

2. Kita perlu meregister siapa yang mejadi perambah, agar menjadi lebih jelas, siapa yang menanam apa. Harus bisa mengakui dengan sistem register dan pembinaan agar sesuai dengan fungsinya. Hasil penelitian ICRAF tidak ada pengaruh siginifikan. Tantangan kehutanan adalah tanaman apa yang bisa bersimbiosis yang kompatibel dengan fungsi lindung dan produksi.

3. HTR, HKm, dan lain-lain, terlalu kecil. Di RKTN, dari total 5,57 juta ha hanya sekitar 1/9. Hanya sekitar 250 ribu orang yang bisa terakomodir.

4. Skema pemanfaatan hutan yang melibatkan masyarakat perlu dibuat lebih luas. Di Wajo PNS hanya 30 orang, maka hal itu tidak mungkin mengelola kawasan yang luas tanpa melibatkan masyarakat.

5. Dengan sistem hukum yang ada saat ini jika ada pelepasan kawasan hutan, maka yang akan mengambil adalah korporasi.

B. Dr. Ir. Sulistya Ekawati, M.Sc. – Puspijak

1. Dari KPH contoh yang kami teliti sudah ada sosialisasi, tetapi belum sepenuhnya operasional. Harapannya KPH bisa menjadi resolusi konflik atas perambahan yang terjadi di hutan karena KPH terkait dengan masyarakat hutan, contoh HKM, HTR dan Hutan desa.

2. Di KPH yang kami kunjungi belum berjalan.

3. Isu pemantapan kawasan hutan, adalah “nyambungnya’” dengan tools.

1.2.2.3 Kesimpulan Moderator