Pembelajaran Masa Lalu (Kebijakan Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan)
10.3 Pembelajaran Masa Lalu (Kebijakan Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan)
Land swap tidak bisa dipisahkan dengan kebijakan perubahan peruntukan kawasan hutan, khususnya kebijakan tukar-menukar kawasan hutan. Tukar-menukar kawasan hutan adalah perubahan kawasan hutan produksi tetap dan/atau hutan produksi terbatas menjadi bukan kawasan hutan yang diimbangi dengan memasukkan lahan pengganti dari bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan. Menurut Pasal
2 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan, pada prinsipnya kawasan hutan dapat diubah peruntukan atau fungsinya sesuai dengan dinamika pembangunan nasional serta aspirasi masyarakat. Untuk menjaga terpenuhinya keseimbangan manfaat lingkungan, manfaat sosial budaya, dan manfaat ekonomi, maka perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan harus berasaskan optimalisasi distribusi fungsi dan manfaat kawasan hutan secara lestari dan berkelanjutan dengan memperhatikan keberadaan kawasan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proposional. Dinamika kebijakan peruntukan dan perubahan fungsi kawasan hutan terjadi karena peningkatan kebutuhan hasil hutan dan lahan hutan, pertumbuhan ekonomi bangsa dan desakan pengelolaan hutan lestari.
Pengalaman proses Tukar-Menukar Kawasan Hutan (TMKH) di Jawa menunjukkan bahwa penggunaan kawasan hutan, sebagian besar unit penggunaan masih belum menyelesaikan tahap akhir pelepasan kawasan hutan. Deskripsi TMKH di Jawa Timur menunjukkan dari 105 unit TMKH dengan luas kawasan hutan yang dimohon mencapai 4.609,98 ha, hanya 19 unit yang telah menyelesaikan proses permohonan hingga mendapatkan Surat Keputusan Pelepasan Kawasan Hutan (SK PKH). Di Jawa Barat, dari 87 unit dengan luas 38.374,83 ha, 9 unit yang telah
Mengkritisi Konsep Land Swap: Pembelajaran dari Kebijakan Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Mengkritisi Konsep Land Swap: Pembelajaran dari Kebijakan Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan
Pembelajaran dari kasus pinjam-pakai kawasan hutan (PPKH) menunjukkan bahwa kebijakan monitoring penggunaan kawasan hutan oleh kabupaten belum dilaksanakan. Pemerintah kabupaten tidak mau mengalokasikan dana untuk kegiatan monitoring penggunaan kawasan hutan karena dianggap urusan Pemerintah Pusat, Pemerintah Kabupaten tidak memiliki insentif untuk membiayai kegiatan tersebut. Kasus yang ditemukan di Provinsi Kalimantan Barat menunjukkan terjadi tumpang- tindih penggunaan area hutan pada berbagai ijin usaha. Ijin usaha pertambangan seringkali berbenturan dengan ijin perkebunan, ijin perikanan atau ijin kehutanan.
Dalam perkembangannya, terjadi kemunduran kebijakan peruntukan kawasan hutan. Beberapa persyaratan diubah untuk meringankan pemohon dalam proses perubahan peruntukan kawasan hutan seperti:
1. Lahan pengganti tukar-menukar kawasan hutan pada PP Nomor 10 Tahun 2010 menegaskan bahwa letaknya berbatasan langsung dengan kawasan hutan, pada PP No. 60 tahun 2012 tidak ada aturan bahwa lahan pengganti harus berbatasan langsung dengan kawasan hutan. Kebijakan ini bertujuan untuk memudahkan pemohon tukar-menukar untuk mendapatkan lahan pengganti, tetapi jika dilihat dari efisiensi, pengelolaan hutan pada lahan yang terpencar akan menjadi sulit dan tidak efisien.
2. Sebelumnya ada Surat Keputusan Bersama Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian dan Badan Pertanahan Nasional tentang pelepasan kawasan hutan dan pemberian Hak Guna Usaha untuk pengembangan usaha pertanian, bahwa untuk melakukan persiapan usaha pertanian diarahkan pada areal tanah kosong, padang alang-alang, semak belukar atau hutan non produktif yang sesuai untuk usaha pertanian. Aturan yang ada sekarang (pasal 19 ayat 3, PP No. 10 Tahun 2010; pasal 2 Permenhut P.33/Menhut-II/2010) menyebutkan hutan produksi yang dapat dikonversi untuk pelepasan kawasan hutan dalam keadaan berhutan maupun tidak berhutan.
3. Kementerian Kehutanan saat ini sudah tidak mempunyai kewenangan lagi untuk memonitor APL dan kawasan HCVF. Ketika kawasan hutan sudah
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
4. Permenhut No. P.31-2005 pasal 5 bahwa “Pemegang Keputusan Menteri Kehutanan tentang Pelepasan Kawasan Hutan wajib melaporkan perkembangan pembangunan perkebunan dan proses pengurusan HGU atau hak lainnya setiap
6 bulan kepada Kepala Badan Planologi Kehutanan”. Selain itu dalam pasal 6 bahwa “Kawasan hutan yang sudah dilepaskan dan belum dibebani HGU atau hak lainnya masih menjadi wewenang dan pengawasan Kementerian Kehutanan”.
5. Permenhut No. P.22 Tahun 2009 tentang Perubahan Permenhut No P.31/ Menhut-II/2005 tentang Pelepasan Kawasan Hutan dalam rangka Pengembangan Usaha Budidaya Perkebunan menyebutkan bahwa evaluasi terhadap kawasan yang dilepaskan dilakukan dengan evaluasi administrasi dan atau evaluasi lapangan terhadap proses pengurusan HGU dan adanya aktivitas kegiatan fisik di lapangan (pasal 4).
Terkait dengan lepasnya kewenangan Pemerintah Pusat (Kementerian Kehutanan) terhadap kawasan hutan yang menjadi APL, masih terdapat kewajiban pemegang SK pelepasan untuk memetakan area HCVF dalam kawasan hutan yang dilepas tersebut. Kewenangan terhadap kawasan hutan yang telah menjadi APL berada di BPN. Untuk mengatasi kawasan hutan yang sudah dilepas namun tidak dikelola sesuai dengan permohonannya terdahulu, maka ada kebijakan terkait dengan hal ini yakni PP 11 tahun 2010 tentang lahan terlantar di mana BPN sudah dimandatkan untuk mengiventarisir lahan-lahan terlantar.
Kasus tukar-menukar kawasan hutan memberi pelajaran betapa sulitnya melakukan tukar-menukar kawasan hutan dengan areal lain di luar kawasan hutan. Banyak hambatan, baik sosial, ekonomi dan lingkungan yang menjadi kendala, sementara kebijakan yang da kurang serius dalam menjaga areal HCVF di luar kawasan hutan.