Permasalahan Tenurial di KPH Wae Sapalewa

9.4 Permasalahan Tenurial di KPH Wae Sapalewa

Sekurangnya terdapat lima isu ternurial dan isu terkait lainnya di KPH Wae Sapalewa. Kelima isu dimaksud adalah:

Isu Tenurial Pada Unit Manajemen Hutan: Studi Kasus di KPH Wae Sapalewa

9.4.1 Kebijakan yang Masih Lemah di Tingkat Tapak KPH diharapkan sebagai organisasi teritori di tingkat tapak yang benar-benar

menjalankan pengelolaan di wilayahnya sehingga akan dicapai pengelolaan hutan yang lestari. Dalam wilayah KPH Produksi Wae Sapalewa terdapat beberapa ijin resmi dari pemerintah terkait dengan pemanfaatan lahan hutan, yaitu KPH dan HPH. Namun, ada pula pemangku kepentingan lain yang secara turun-temurun merasa mempunyai hak atas lahan hutan yaitu masyarakat setempat.

KPHP Wae Sapalewa yang sudah berjalan sekitar 3,5 tahun sejak diterbitkannya SK dari Kementerian Kehutanan sudah terlihat ada kegiatan di lapangan, antara lain penanaman. Namun kegiatan tersebut belum optimal karena kelembagaan yang ada belum dapat berfungsi sepenuhnya. Operasionalisai kegiatan di lapangan masih dikendalikan oleh Kapala Dinas yang tempatnya berada sekitar 4-5 jam perjalanan menggunakan kendaraan dari lokasi kantor KPH.

Di sisi lain ijin pengusahaan hutan HPH Talisan Emas seluas 56.258 ha tersebut meliputi sekitar 85% dari wilayah KPH. Dengan demikian hampir seluruh wilayah KPHP Wae Sapalewa merupakan wilayah HPH Talisan Emas, termasuk wilayah yang diklaim sebagai wilayah. HPH Talisan Emas yang telah diberi ijin konsesi selama 45 tahun hingga November 2013 (sekitar lima tahun dari selesainya ijin HPH) namun tidak memperlihatkan adanya aktivitas di lapangan. Dinas Kehutanan Kabupaten Maluku Tengah tidak mengetahui penyebabnya dan teguran kepada HPH juga tidak dilayangkan oleh pihak yang berwewenang. Tidak adanya tindakan terhadap HPH tersebut merupakan salah satu manifestasi masih lemahnya kebijakan di tingkat tapak.

9.4.2 Potensi Konflik pada Tanah Komunal Terdapat empat desa adat (Negeri) di dalam kawasan KPHP Wae Sapalewa

yaitu Negeri Huaulu, Kanike, Roho, dan Wahai. Secara administratif desa-desa tersebut mempunyai luas desa adat yang berbeda dengan luas wilayah adat yang didasarkan pada klaim adat. Desa-desa tersebut lokasinya cukup jauh di dalam hutan dan harus berjalan kaki sekitar dua hari untuk mencapai pinggir jalan besar. Mereka kesulitan untuk menyekolahkan anak-anak mereka ataupun untuk mendapatkan akses kesehatan. Kondisi memaksa mereka membentuk pemukiman baru di dekat jalan besar dan memindahkan anak-anak dan orang tua (lanjut usia) ke sana agar mendapatkan akses pendidikan dan kesehatan. Sementara mereka menempati desa baru, kebun-kebun milik masyarakat masih tetap berada di desa lama. Mereka yang bertugas mengurus dan menjaga kebun tetap berada di hutan.

Masyarakat merasa bahwa mereka mempunyai hak atas tanah komunal dan hak pengelolaannya, hak atas hasil hutan kayu dan non-kayu. Mereka merasa telah lebih lama berada di lokasi terebut. Kejelasan secara legal atas hak kepemilikan sangat

Prosiding Seminar Hasil Penelitian

Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik

9.4.3 Terminologi yang Membingungkan Masyarakat KPH masih merupakan istilah asing bagi masyarakat dan tidak bisa membedakan

dengan HPH. Masyarakat khawatir bahwa KPH akan menjalankan kegiatan yang sama dengan HPH yaitu mendatangkan alat-alat berat untuk menebang pohon- pohon di sekitarnya.

Bila tidak akan melakukan tindakan penebangan, masyarakat menjadi bingung perbedaannya dengan TN. Manusela yang ada di sekitarnya, di mana akan banyak dibuat larangan bagi masyarakat dalam memanfaatkan sumber daya hutan sebagaimana yang dikeluarkan oleh pihak TN Manusela. Sebenarnya masyarakat kebingungan dengan berbagai terminologi kehutanan tersebut. Apapun namanya -taman nasional, KPH, HPH- di lapangan wujudnya sama yaitu hutan dengan berbagai larangan di balik nama-nama tersebut. Masyarakat masih belum faham perbedaan HPH dan KPH. Masyarakat menganggap bahwa wilayah KPHP Model Wae Sapalewa seluruhnya merupakan lahan ulayat.

Kini istilah baru di sektor Kehutanan, REDD+, muncul lagi dan dikenalkan kepada masyarakat. Di sini masyarakat memahami bahwa lagi-lagi di balik istilah tersebut terdapat seonggok larangan dalam pemanfaatan hutan. Masyarakat menjadi semakin tidak tahu di mana hak mereka, dan hak apa yang diberikan oleh Pemerintah kepada mereka untuk memanfaatkan hutan adat yang sudah mereka punyai sejak jaman nenek moyang. Terkait dengan REDD+ masyarakat merasa sedikit gembira bahwa ada kompensasi uang di dalam REDD+ bila mereka mempertahankan hutan di sekitarnya.

9.4.4 Kendala Menjadikan Masyarakat Berpartisipasi dalam KPH dan REDD+

Agar KPH dapat benar-benar memberikan manfaat bagi masyarakat di sekitarnya dan REDD+ benar-benar bisa diselenggarakan sehingga memberikan keuntungan bagi masyarakat, maka pelibatan mereka sangat penting dan harus dilakukan, mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan kegiatan. Untuk dapat terlibat dalam program pemerintah tersebut maka mereka harus memahami program yang diusung pemerintah dan manfaat nyata yang akan mereka dapat. Sosialisasi telah dilakukan oleh pihak Pemerintah terkait dengan KPH dan REDD+. Mereka diundang, diberi penjelasan lebih dari satu kali, namun mereka masih tidak faham tentang keduanya.

REDD+ sebagai pendekatan baru dalam mempertahankan keberadaan hutan dan memperbaiki kerusakan hutan, mensyaratkan adanya penghormatan dan manfaat terhadap masyarakat hukum adat. Penerapan FPIC (Free, Prior Informed Consent) atau

Isu Tenurial Pada Unit Manajemen Hutan: Studi Kasus di KPH Wae Sapalewa

Padiatapa atau SESA (Strategic Environmental and Social assessment) dalam REDD+ merupakan jaminan perlindungan atau ‘safeguard’ sosial, ekonomi, dan lingkungan harus dijalankan bila ingin mendapatkan keuntungan dari REDD+. Dengan kata lain REDD+ akan menempatkan masyarakat hukum adat pada posisi yang layak dalam menuju pengelolaan hutan lestari, menjamin hak-hak mereka tidak tereduksi dan memberikan keuntungankepada mereka (World Bank, 2014).

KPH Wae Sapalewa yang tertarik untuk menjalankan REDD+ terus melakukan banyak upaya untuk menjadikan REDD+ berjalan dengan baik. Namun terdapat beberapa kendala, antara lain pengurus KPH belum lengkap, pemahaman mereka dan para pemangku kepentingan terkait terhadap REDD+ masih perlu ditingkatkan, dan data base sumber daya hutan dan masyarakat di sekitarnya perlu dilengkapi. Di sisi masyarakat di keempat Negeri, mempertahankan hutan dan mengelola hutan adat sudah mereka lakukan sesuai dengan kebiasaan turun-temurun. Perlindungan terhadap sumber daya hutan sudah mereka jalankan, namun mereka belum melakukan pendataan atau pengarsipan yang diperlukan untuk mengetahui kemampuan mereka dalam mempertahankan hutan atau menurunkan emisi. Pemahaman terhadap berbagai formula hitung-menghitung potensi karbon belum mereka kuasai dengan baik. Agar masyarakat hukum adat bisa mendapatkan manfaat REDD+, selain harus ada kejelasan hukum atas wilayah hutan mereka, juga harus ada peningkatan sumber daya manusia. Kerjasama pemerintah, perguruan tinggi, pihak swasta atau LSM sangat diperlukan untuk menjadikan masyarakat hukum adat bisa mendapatkan hak-hak mereka.

9.4.5 Implikasi Keputusan MK 35 terhadap Hutan Adat Masyarakat Setempat

Keberadaan Masyarakat Hukum Adat dijamin oleh Pemerintah melalui UUD 1945. Implementasi dari jaminan pemerintah tersebut kini dikuatkan olah putusan MK nomor 35 tahun 2013 tentang Hukum Adat yang memisahkan antara hutan adat dari hutan negara. Dengan putusan MK 35 tersebut ternyata tidak serta-merta masyarakat hukum adat langsung mendapatkan haknya terutama kepastian status kawasan hutan adat dan keterlibatan mereka dalam rencana pengelolaan hutan hingga evaluasinya, yang pada akhirnya akan mereduksi konflik. Diperlukan dukungan banyak pihak untuk merealisasikannya seperti kebijakan daerah untuk mengakui dan melindungi masyarakat adat agar putusan MK dapat diimplementasikan. Peran Pemerintah dan Pemerintah Daerah sangat menentukan karena keberadaan dan hak masyarakat hukum adat berkaitan erat dengan status dan fungsi kawasan hutan yang penetapan dan pelaksanaan kebijakannya berada di tangan Pemerintah dan Pemerintah Daerah (Kartodihardjo, 20130).

Di tingkat tapak, masyarakat Negeri Huaulu, Kanike, Roho, dan Wahai, diberikan sosialisasi tentang KPH yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

Prosiding Seminar Hasil Penelitian

Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik

Mereka juga telah diundang untuk hadir di beberapa pertemuan terkait dengan REDD+. Semua dilakukan dengan tujuan untuk menjadikan mereka mengerti dan memahami kebijakan baru Pemerintah dalam pengelolaan hutan untuk kelestarian dan kesejahteraan masyarakat. Dengan pemahaman tersebut mereka akan mendukung dan berperan aktif dalam pelaksanaan kebijakan tersebut. Terlepas dari proses sosialisasi dan keikut-sertaan masyarakat dalam berbagai seminar, workshop, ataupun pelatihan, ada hal mendasar yang belum terselesaikan dengan baik. Pengakuan yang sah atas keberadaan dan wilayah hukum adat yang mereka kuasai belum sepenuhnya didapat.

Masyarakat hukum adat di areal KPH Wae Sapalewa sebagian telah berpindah dari hutan menuju desa baru agar generasi mudanya mendapat pendidikan yang layak serta mendapat layanan kesehatan. Mereka meninggalkan kebun serta beberapa orang untuk menjaga keamanan kebun mereka. Pendidikan yang didapat generasi muda di kota berpotensi menjadikan mereka meninggalkan desa untuk mendapatkan pekerjaan di kota dan tidak lagi mengurusi ladang. Eksistensi Negeri merekapun terancam hilang kalau mereka tidak lagi mau tinggal di sana dan mempertahankan adat mereka.