Penerapan Tata Kelola Kehutanan yang Baik dalam

11.4 Penerapan Tata Kelola Kehutanan yang Baik dalam

Pengurusan IPPKH

11.4.1 Pengertian Tata Kelola Kehutanan yang Baik Rumusan Lokakarya ”Menuju Tata Kelola Hutan yang Baik: Peningkatan

Implementasi Pengelolaan Hutan Lestari Melalui Sertifikasi Hutan dan Pembalakan Ramah Lingkungan” di Balikpapan, 21-23 Juni 2006 mendefinisikan tata kelola kehutanan yang baik adalah pola atau mekanisme hubungan kelembagaan dalam rangka pengurusan dan pengelolaan sumber daya hutan yang menjalankan prinsip- prinsip supremasi hukum, akuntabilitas, transparansi, demokratisasi, dan partisipasi para pihak kehutanan (forestry stakeholders). Rumusan Seminar “Good Governance sebagai Syarat Pengelolaan Hutan Lestari” di Solo, 23 November 2007 memberikan batasan tata kelola kehutanan adalah seperangkat kesepakatan-kesepakatan yang mengatur interaksi para pihak dalam mengelola sumber daya hutan dan untuk menentukan kebijakan-kebijakan pengelolaan hutan.

Kedua pengertian tata kelola kehutanan tersebut memiliki kesamaan atas dua hal, yaitu: 1) pola interaksi kelembagaan/para pihak, dan 2) untuk pengurusan dan pengelolaan sumber daya hutan. Batasan yang lebih tepat untuk tata kelola kehutanan adalah yang dirumuskan dalam Lokakarya di Balikpapan karena tercakup di dalamnya prinsip-prinsip pengelolaan yang baik (Subarudi, 2012).

11.4.2 Prinsip-prinsip Tata Kelola Kehutanan yang Baik Sesuai dengan pengertian yang tepat untuk tata kelola kehutanan yang baik,

ada lima prinsip penting yang terkandung di dalamnya, yaitu: 1) supremasi hukum,

2) akuntabilitas, 3) transparansi, 4) demokratisasi, dan 5) partisipasi para pihak kehutanan. Kelima prinsip tersebut merupakan bagian dari sembilan prinsip umum tata kelola yang baik (good governance), di antaranya: 1) partisipatif, 2) berorientasi kesepakatan, 3) akuntabel, 4) transparan, 5) cepat tanggap, 6) efektif dan efisien, 7) adil dan inklusif, 8) mengikuti aturan hukum, dan 9) memiliki visi strategis (Muttaqin & Dwiprabowo, 2007).

Dengan demikian penyempurnaan proses perijinan di sektor kehutanan juga harus sesuai dan memenuhi minimal lima prinsip dari tata kelola yang baik sehingga proses perijinan tersebut menjadi sederhana, jelas, dan tepat waktu. Menurut Manaf (2006) prosedur perijinan dan peraturan yang jelas dan pasti akan menciptakan iklim usaha yang kondusif. Hal ini juga akan mendorong pengusaha/investor untuk mengikuti aturan hukum yang ada dalam melaksanakan kegiatan usahanya.

Prosiding Seminar Hasil Penelitian

Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik

Salah satu indikator tata kelola kehutanan yang baik adalah adanya aturan main yang jelas, ringkas dan mudah untuk dilaksanakan. Dalam aturan pelaksanaan prosedur IPPKH ada 11 Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) yang diperlukan agar proses perijinan penggunaan kawasan hutan dapat berjalan sebagaimana yang diinginkan.

Banyaknya aturan main dalam pengurusan IPPKH oleh beberapa pihak seringkali dinilai sebagai upaya meningkatkan ekonomi biaya tinggi dan tidak mendukung pelaksanaan good governance, namun keberadaan peraturan tersebut mampu memberikan kepastian hukum bagi para investor yang akan menanamkan investasinya di sektor kehutanan khususnya usaha tambang di kawasan hutan. Berkaitan dengan keberadaan dan pelaksanaan dari peraturan tersebut yang belum mendukung tata kelola pemerintahan yang baik, maka pihak perumusan dan pengambil kebijakan harus lebih responsif terhadap hasil-hasil studi evaluasi kebijakan yang dilakukan oleh lembaga riset di lingkup eksternal Kementerian Kehutanan.

11.4.3 Content Analysis Peraturan Perijinan di Bidang IPPKH

Ada berbagai peraturan perundangan terkait dengan tata kelola kehutanan yang baik dan sistem perijinan sektor kehutanan khususnya IPPKH terdiri dari bentuk Undang-Undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Presiden (Keppres), Instruksi Presiden (Inpres), dan Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut). Hasil content analysis terhadap berbagai peraturan terhadap prinsip- prinsip tata kelola kehutanan di bidang IPPKH yang baik dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil analisa subtansi (content analysis) dari peraturan perundagan terkait IPPKH dengan kriteria tata kelola kehutanan yang baik

Per-menhut Per-menhut Kriteria prinsip tata kelola

UU No. 41

PP No. 24

No. No. P. 43 No. P. 56 kehutanan yang baik

Tahun 1999

Tahun 2010

Tahun 2008 Tahun 2010

1. Partisipatif: Perumusan Belum meme- Belum meme- Belum meme- Belum meme- prosedur dan persyaratan

nuhi nuhi perijinan dilakukan dengan melibatkan partisipasi aktif pemangku kepentingan

nuhi

nuhi

2. Berorientasi kesepakatan: Belum meme- Belum meme- Belum meme- Belum meme- Prosedur dan persyaratan

nuhi nuhi perijinan merupakan hasil kesepakatan bersama antara pemerintah dan pemohon ijin

nuhi

nuhi

Per-menhut Per-menhut Kriteria prinsip tata kelola

UU No. 41

PP No. 24

No. No. P. 43 No. P. 56 kehutanan yang baik

Tahun 1999

Tahun 2010

Tahun 2008 Tahun 2010

3. Akuntabel: Prosedur perijinan Belum meme- Belum meme- Belum meme- Belum meme- dapat dipertang-gung-

nuhi nuhi gugatkan secara administrasi dan teknis

nuhi

nuhi

4. Transparan: Prosedur Belum meme- Belum meme- Belum meme- Belum meme- perijinan mencantum-kan

nuhi nuhi persyaratan yang jelas, waktu dan biaya pengurusan-nya

nuhi

nuhi

5. Cepat tanggap: Keluhan Belum meme- Belum meme- Belum meme- Belum meme- pemohonan atas

nuhi nuhi keterlambatan proses perijinan dapat dilacak dan cepat ditindaklanjuti

nuhi

nuhi

6. Efektif dan efisien: Belum meme- Belum meme- Belum meme- Belum meme- Proses perijinan berjalan

nuhi nuhi cepat, mudah dan murah

nuhi

nuhi

7. Adil dan inklusif: Belum meme- Belum meme- Belum meme- Belum meme- Proses perijinan berdasarkan

nuhi nuhi FIFO (first in first out) dan tidak esklusif

nuhi

nuhi

8. Mengikuti aturan: Belum meme- Belum meme- Belum meme- Belum meme- Aturan perijinan di tingkat

nuhi nuhi bawah tidak bertentangan dengan aturan di tingkat atasnya

nuhi

nuhi

9. Memiliki visi strategis: Belum meme- Belum meme- Belum meme- Belum meme- Prosedur perijinan

nuhi nuhi berorientasi kepada peningkatan jumlah perijinan dan total investasi yang masuk

nuhi

nuhi

Hasil content analysis (Tabel 4) menunjukkan bahwa peraturan perundangan terkait dengan IPPKH untuk usaha pertambangan belum memenuhi prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik di bidang pelayanan perijinan. Hal ini menuntut agar Pemerintah Pusat (Kementerian Kehutanan) dan Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kabupaten) memang dituntut untuk melakukan reformasi kebijakan perijinan terkait dengan IPPKH untuk usaha pertambangan.

Prosiding Seminar Hasil Penelitian

Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik

Nitibaskara (2011) menyatakan bahwa 13 perusahan tambang yang boleh beroperasi di hutan lindung sesuai UU No. 19/204 masih melanggar prosedur dan telah menganggap bahwa kontrak karya sudah cukup dalam melaksanakan kegiatan walaupun tanpa IPPKH dari Menhut. Umumnya perusahaan tanpa IPPKH tersebut sudah mengurus ijin ke Kementerian Kehutanan, namun prosesnya memerlukan waktu lama karena tata waktu yang tidak jelas, sehingga disarankan bentuk perizinann harus transparan dan “satu atap”, jelas persyaratannya, berapa biayanya dan kapan selesainya.