Mengkritisi Konsep Land Swap
10.4 Mengkritisi Konsep Land Swap
Konsep land swap yang saat ini berkembang perlu dikritisi, bukan semata-mata bertujuan untuk konservasi hutan (meningkatan cadangan karbon hutan), tetapi juga mempertimbangkan fungsi sosial ekonomi dan ekologi hutan. Filofosi land swap bisa mengadopsi tukar-menukar kawasan hutan yang ada saat ini. Filosofi dari Konsep land swap yang saat ini berkembang perlu dikritisi, bukan semata-mata bertujuan untuk konservasi hutan (meningkatan cadangan karbon hutan), tetapi juga mempertimbangkan fungsi sosial ekonomi dan ekologi hutan. Filofosi land swap bisa mengadopsi tukar-menukar kawasan hutan yang ada saat ini. Filosofi dari
Konsep tukar-menukar kawasan hutan dilakukan pada kawasan hutan produksi tetap/hutan produksi terbatas, sedangkan konsep land swap menggelinding ke semua kawasan hutan. Bahkan ada pihak yang mengajukan hutan konservasi yang kaya akan bahan tambang dan panas bumi untuk menjadi prioritas diadakannya tukar- menukar kawasan hutan, dengan alasan kawasan tersebut tetap akan dipinjam-pakai untuk penggunaan kawasan hutan (pertambangan). Wacana tersebut perlu dikritisi mengingat salah satu persyaratan pelepasan kawasan hutan untuk kepentingan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan pada Hutan Produksi Konversi.
Tinjauan kritis tentang wacana kebijakan land swap perlu mempertimbangkan beberapa hal, di antaranya eksisting kondisi yang ada, dampak sosial politik, ekonomi dan lingkungan diterapkannya land swap. Ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi untuk melakukan land swap (mengacu pada PP No. 10 Tahun 2010 yang direvisi dengan PP No. 60 Tahun 2012), yaitu:
1. Letak, luas, dan batas lahan APL maupun lahan hutan yang terdegradasi, jelas.
2. Sebaiknya letaknya berbatasan langsung dengan kawasan hutan.
3. Terletak dalam daerah aliran sungai, pulau, dan/atau provinsi yang sama.
4. Kawasan hutan yang terdegradasi tersebut dapat dihutankan kembali dengan cara konvensional.
5. Tidak dalam sengketa dan bebas dari segala jenis pembebanan dan hak tanggungan.
6. Ada rekomendasi dari gubernur dan bupati/walikota.
7. Selain kriteria di atas, ada kriteria penting yang harus ditambahkan yaitu:
8. Definisi kawasan hutan yang terdegradasi, jelas.
9. Memasukkan satu kriteria lagi dalam penentuan fungsi kawasan hutan yaitu keanekaragaman jenis untuk memperkuat kriteria yang telah ada (jenis tanah, curah hujan, kelerengan dan ketinggian tempat).
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
Jika hutan di kabupaten tersebut kurang dari 30% dari luas daerah aliran sungai, pulau, dan/atau provinsi dengan sebaran yang proporsional, tukar-menukar kawasan hutan dengan lahan pengganti yang bukan kawasan hutan dilakukan dengan rasio paling sedikit 1:2 atau dimungkinkan rasio lahan penggantinya lebih besar (tergantung hasil penelitian tim terpadu). Rasio paling sedikit 1:1 diberlakukan jika hutan di kabupaten tersebut di atas 30%. Setelah diterbitkan keputusan penunjukan dan pelepasan kawasan hutan, perlu dimonitor perkembangan APL yang berhutan tersebut untuk memastikan bahwa kawasan tersebut tetap terkelola dengan baik. Kawasan hutan yang terdegradasi yang dilepaskan perlu segera ditata batas agar kawasan hutan di sekitarnya aman. Sebelum diterbitkannya keputusan penetapan lahan pengganti sebagai kawasan hutan dan keputusan pelepasan kawasan hutan, pemohon dilarang melakukan kegiatan dalam kawasan hutan yang dimohon. Sebaiknya jika nanti hutan di APL dijadikan kawasan hutan tentunya tidak menjadi Hutan Produksi Konversi, karena akan dengan mudah dapat di-APL-kan lagi.
Penerapan land swap memerlukan tahapan-tahapan kegiatan, baik yang bersifat teknis maupun non teknis. Untuk tahapan non-teknis, sosialisasi yang intensif adalah prasyarat yang harus dilakukan, terutama untuk daerah-daerah yang akan terkena dampak. Pemerintah harus memikirkan dampak yang akan terjadi dan bentuk insentif dan berbagai kemudahan yang akan diberikan untuk masyarakat.
Refungsionalisasi lahan terdegradasi Prioritas 1