Wacana Land Swap
10.1 Wacana Land Swap
Land swap adalah tukar-menukar lahan. Land swap menjadi populer pada tahun 1988 di Amerika (Bama, 1997). Undang-Undang Federal Land Exchanges Facilitation Act (FLEFA) juga mengakui pentingnya land swap untuk konsolidasi penguasaan tanah-tanah federal dengan tujuan untuk mewujudkan pengelolaan yang lebih baik, melindungi sumber daya alam dan tempat-tempat rekreasi dan mempromosikan prinsip-prinsip multi-guna pemanfaatan dalam rangka pemanfaatan lahan-lahan publik. Tetapi banyak suara secara serempak melawan kemungkinan terjadinya penyalahgunaan instrumen pertukaran lahan (Panagia, 2009).
Di Indonesia peraturan perundang-undangan yang ada dimungkinkan untuk melakukan land swap. Tukar-menukar lahan kawasan hutan diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 2010 (direvisi dengan PP No. 60 Tahun 2012) tentang Tata Cara Perubahan Status dan Fungsi Kawasan Hutan. Namun ketentuan tersebut tidak mengatur tukar-menukar dengan tujuan untuk kepentingan pembangunan hutan, tetapi untuk kepentingan pembangunan non kehutanan (Alexander, 2013).
Mengkritisi Konsep Land Swap: Pembelajaran dari Kebijakan Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan
Widanarti (2010) menyebutkan bahwa tukar-menukar (ruislag) diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 350/KMK.03/1994 tentang tata cara tukar-menukar barang milik/kekayaan Negara. Pasal 2 peraturan tersebut menyebutkan tukar-menukar barang miliki/kekayaan negara adalah pengalihan pemilikan dan atau penguasaan barang tidak bergerak milik negara kepada pihak lain dengan menerima penggantian utama dalam bentuk barang tidak bergerak dan tidak merugikan negara. Lebih lanjut Keputusan Menteri Keuangan (No. 350/ KMK.03/1994) mengatur tentang tukar-guling barang milik negara
Land swap di sektor kehutanan dilakukan dengan cara menukar kawasan hutan terdegradasi dengan areal di luar kawasan hutan yang berhutan. Kawasan hutan yang sudah gundul ditukar dengan lahan yang berstatus APL yang dinilai masih memiliki tutupan hutan yang bagus dengan cadangan karbon yang tinggi. Wacana land swap muncul dalam dokumen Strategi Nasional REDD+ (2012), disebutkan bahwa pada phase II implementasi REDD+ akan dilakukan identifikasi secara spesifik dan menuntaskan persiapan land swap. Pada phase III (2014 dan seterusnya) direncanakan melaksanakan land swap. Berdasarkan dokumen tersebut, meninjau dan merevisi kerangka hukum bagi penyelesaian atas isu hak-hak atas lahan dan land reclassification/ land swapping merupakan saah satu langkah strategis menuju efektifitas pelaksanaan REDD+.
Wacana yang berkembang saat ini, konsep land swap yang ada bertujuan untuk konservasi, karena lebih dititik beratkan pada perhitungan pengurangan emisi dengan peningkatan cadangan karbon dari lahan yang bertutupan hutan. Menurut Wardoyo (2013), jika 8,6 juta ha APL dikonversi menjadi hutan tanaman industri atau kebun sawit, bakal melepaskan 860 juta ton karbon, dengan asumsi asumsi tiap hektar
melepas 100 ton karbon. Hal ini setara 3 gigaton CO 2 atau tiga kali lipat penurunan gas rumah kaca dari sektor kehutanan/gambut.
Luas seluruh daratan Indonesia adalah 187,8 juta ha yang terdiri dari kawasan hutan daratan seluas 131,3 juta ha atau 69,9% dan APL seluas 56,6 juta ha atau 30,1% (Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan, 2012). Luas penutupan lahan berhutan seluruh daratan Indonesia adalah 98,7 juta ha atau 52,5% dan non hutan seluas 89,2 juta ha atau 47,5% (Tabel 1).
Berdasarkan data digital kawasan hutan dan perairan dan hasil penafsiran citra landsat 7 ETM liputan tahun 2011 Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan data digital kawasan hutan dan perairan berdasarkan SK Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan serta TGHK per Desember 2011, total luas kawasan hutan Indonesia adalah 131,3 juta ha dan total luas APL adalah 56,6 juta ha (Tabel 1). Pada Gambar
1 dapat dilihat bahwa dari total luas kawasan hutan Indonesia, 90,1 juta ha atau 68,64% merupakan areal yang masih berhutan dan sekitar 41,16 juta ha atau 31,36%
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik
Penutupan lahan berhutan sebesar 8,57 juta ha pada APL terdiri dari 925,7 ribu ha hutan primer; 6,16 juta ha hutan sekunder dan 1,48 juta ha hutan tanaman. Selain itu, terdapat sekitar 666.516 ha areal berhutan APL terletak di lahan gambut (Rahayu, 2013). Keberadaan hutan primer pada APL memerlukan kecermatan dalam pengelolaannya karena merupakan aset yang penting sebagai sistem penyangga kehidupan di tengah maraknya penebangan di dalam kawasan hutan. Areal ini juga dapat dicadangkan sebagai kawasan hutan negara sebagai alternatif pengganti peran fungsi hutan dari kawasan hutan yang telah terdegradasi (Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan, 2012).
Tabel 1. Penutupan lahan Indonesia tahun 2011 (dalam ribu ha)
Total No. Penutupan lahan
Kawasan hutan
Hutan tetap
APL
Jumlah Jumlah % KSA-KPA
90.110.7 8.575,4 98.686,1 52,5 a. Hutan primer 11.063,0 15.305,9
40.676,9 4.818,8 45.495,7 925,7 46.421,3 24,7 b. Hutan
sekunder 4.771,5 9.140,3 11.301,8 11.192,7 36,406,2 5.355,9 41.762,1 6.164,0 47.926,2 25,5 c. Hutan
2.852,9 1.485,7 4.338,6 2,3 2 Non hutan
41.165,8 47.989,1 89.154,9 47,5 3 Tidak ada data
- - - - Total daratan
Indonesia 21.232,7 32.211,2 22.818,5 34.144,2 110.406,6 20.869,8 131.276,4 56.564,5 187.840,9 100 Keterangan : Tubuh air (danau, sungai besar, laut (kawasan konservasi perairan) tidak termasuk dalam penghitungan.
Sumber : Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan (2012); Rahayu (2013).