Proses Pemilu

3. Proses Pemilu

3.1.Pemutahiran Data Pemilih Masalah kalasik dalam setiap kali pelaksanaan Pemilu adalah prosedur penetapan

DPT. Terdapat beberapa faktor sehingga DPT sering bermasalah dan salah satu diantaranya adalah kinerja Panitia Pendaftaran Pemilih (Pantarlih). Permasalahan data pemilih yang disusun oleh pantarlih kebanyakan tidak dapat disempurnakan dengan baik akibat masa kerja mereka hanya dalam kurun waktu dua bulan. Waktu yang disediakan tersebut dianggap tidak sesuai dengan volume pekerjaan yang dihadapi. Karena dikejar waktu, maka kulitasnya sangat buruk. Kualitas DPT juga sering bermasalah karena anggaran tunjangan bagi tenaga

pantarlih sangat terbatas. 1 Oleh karena itu untuk menyusun DPT yang berkualitas maka hal- hal yang perlu dilakukan adalah memperpanjang masa kerja pantarlih dan menaikan anngaran

untuk tunjangan mereka.

Permasalahan DPT juga disebabkan oleh lemahnya partisipasi masyarakat dan partai politik dalam mengawal proses terbentuknya DPT. Selama ini Parpol baru akan mempersoalkan masalah DPT manakalah parpolnya kalah dalam kompetisi demikian juga dengan masyarakat tidak memiliki kepedulian dengan anggapan bahwa pemilu itu adalah urusan dari penyelenggara. Masyarakat menganggap bahwa kewajibannya adalah hanya sebatas memberikan suara di TPS pada saat pemungutan suara. Masyarakat belum disadarkan bahwa kualitas pemilu sangat ditetukan pula oleh partisipasi masyarakat dalam penyusunan DPT.

Akibat kurangnya keterlibatan masyarakat dalam proses penyusunan DPT maka timbul banyak sekali masalah seperti ada masyarakat yang sudah bertahun-tahun tercatat sebagai warga setempat tapi tidak tercatat pada DPT dan sebaliknya ada yang bukan sebagai warga setempat namun tercatat dalam DPT. Bahkan ada dua remaja yang masih duduk di bangku sekolah dan belum cukup umur mencoblos surat suara.DP alias Devi, masih berusia

15 tahun dan tercatat sebagai pelajar SMP dan SRK alias Sri, tercatat sebagai siswa SMA kelas 2. Keduanya ikut memilih di TPS 5 Lingkungan 4 Kelurahan Karame, Kecamatan

Singkil, Manado. 1

3.2. Registrasi Partai Politik Peserta Pemilu Proses pemenuhan persyaratan partai politik untuk dapat menjadi peserta pemilu di

Sulawesi Utara ditandai dengan berbagai macam tindakan manipulasi yang dilakukan parpol. Syarat parpol harus memiliki sekretariat ternyata banyak dimanipulasi dengan peminjaman rumah pengurus atau penyewaan rumah toko (ruko). Sehingga untuk memperketat persyaratan tersebut diperlukan produk hukum yang mengatur tentang perlunya sertifikat hak kepemilikan sekretariat dari pengurus parpol.

Pengisian pengurus sebanyak 30 persen dari keterwakilan perempuan sering pula dimanipulasi. Sejumlah perempuan mengaku bahwa ia sama sekali tidak dimintai persetujuan untuk menjadi pengurus parpol tertetu. Bahkan ada seorang yang sudah diterima sebagai CPNS, tetapi namanya masih tetap dimasukan dalam struktur kepengurusan. Oleh karena itu SK kepengurusan yang dimasukan ke KPU sebagai syarat administrasi perlu dilengkai dengan surat pernyataan kesediaan menjadi pengurus. Hal itu untuk menghindari pencaplokan sepihak oleh partai politik.

Selain adanya pengurus yang tidak dimintai persetujuan menjadi pengurus, kepengurusan parpol di daerah ditemukan juga pengurus ganda. Artinya ada satu nama tapi masuk dalam dua struktur kepengurusan di parpol yang berbeda. Untuk itu SK struktur kepengurusan harus pula dilengkapai dengan biodata lengkap pengurus.

Permasalahan dalam penentuan partai politik peserta pemilu, persyaratan hanya ditentukan atau terikat oleh faktor teknis dan administratif seperti kelengkapan kepengurusan disetiap daerah, syarat 30 persen kepengurusan perempuan, sekretariat dan lain-lain. Tetapi syarat yang sangat substantif terhadap tugas dan fungsi parpol tidak menjadi sebuah kewajiaban untuk memenuhi persyaratan. Syarat substantive tersebut seperti apakah parpol itu telah mendapat pengakuan publik, apakah parpol itu telah berdedikasi sehingga layak mengikuti pemilu dan yang paling penting apakah ada visi misi dari parpol tersebut yang isinya berbeda dengan parpol-parpol sebelumnya. Jika visi misinya sama dengan parpol terdahulu, maka patut diduga bahwa keikutsertaan parpol tersebut hanya dalam rangka ambisi dalam perebutan kekuasaan pemerintahan, bukan untuk kepentingan publik.

3.3.Pencalonan Caleg Tujuan diselenggarakannya pemilu adalah untuk melahirkan pemimimpin-pemimpin

yang berkualitas, karena dengan pemimpin berkualitas maka tujuan bernegara yaitu masyarakat adil makmur dan sejahtera akan terpenuhi. Untuk mendapatkan pemimpin yang berkualitas maka proses rekrutmen pemimpin menjadi indikator penting. Sistim pemilu seperti apapun yang digunakan, tetapi jika faktor rekrutmen tidak dibenahi maka sistim

tersebut tidak akan menghasilkan pemimpin yang berkualitas. 1 Rekrutmen calag menjadi salah satu permasalahan utama pelaksanaan Pemilu di

Sulawesi Utara baik dari apek persyaratan maupun aspek kualitas caleg. Adapun masalah- masalah rekrutmen caleg yang sempat terpantau adalah pertama, di Kabupaten Minahasa ada anggota masyarakat yang menjadi caleg oleh PDIP tetapi belum memenuhi syarat dari aspek

umur dan melanggar peraturan KPU Nomor 13 tahun 2013. 1 Kedua, Di Kota Manado, Partai Demokrat memasang sebuah spanduk di jalan yang berisi penawaran bagi masyarakat siapa

saja untuk menjadi caleg di partai itu 1 . Ketiga, syarat keterwakilan 30 persen perwakilan perempuan dalam komposisi caleg disetiap dapil di Sulawesi Utara ternyata tidak diisi oleh

kader-kader perempuan pada struktur parpol atau perempuan yang selama ini dikenal luas oleh publik akibat keberpihakannya kepada masyarakat. Komposisi ini justru banyak dimanfaatkan oleh kalangan kerabat pejabat didaerah. Mulai dari isteri pejabat, anak, ipar maupun menantu. Tampaknya parpol tidak berkeberatan dengan permintaan tersebut karena memang disatu sisi parpol juga diuntungkan terkait kondisi ini.

Keempat, parpol cenderung tidak peduli dengan kapasitas maupun profesionalisme caleg pada saat perekrutan dan yang biasanya diutamakan elit-elit parpol adalah besarnyapeluang keterpilihan caleg yang bersangkutan.

Parpol mendasari bahwa kebesaran sebuah parpol bukan ditentukan pada kualitas anggota DPRD tetapi ditentukan oleh peluang berapa banyak perolehan suara atau perolehan jumlah kursi dalam sebuah ajang pemilu. Parpol sepertinya tidak ada pilihan, apalagi ada angka-angka politik yang harus dipenuhi dan menjadi target bagi setiap partai politik. Secara nasional parpol menargetkan harus memperoleh suara sebesar 3,5 persen sebagi syarat parliament threshold. Parpol yang tidak mencapai angka ini menurut Undang-undang Pemilu, secara otomatis keanggotaannya di parlemen gugur. Parpol juga harus mengejar untuk mendapatkan angka 25 persen suara sah nasional sebagai syarat parpol untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden pada pemilihan presiden (pilpres). Di daerah, parpol berebutan suara untuk mecapai perolehan angka 20persenkursi di DPRD sebagai syarat parpol mengajukan calon kepala daerah tanpa harus berkoalisi dengan partai politik

lain. 1 Partai politik di daerah harus pula berjuang mencari angka suara terbanyak, sebagai syarat untuk merebut pimpinan DPRD atau alat kelengkapan Dewan (AKD).

Indikasi inilah yang kemudian menjadi alasan bahwa parpol ternyata lebih mengutamakan merekrut masyarakat untuk menjadi caleg yang berpeluang besar menang meski minim pengalaman kepemimpinan ketimbang kader berkualitas. Kalau di pusat, kebanyakan yang direkrut adalah para artis dan pengusaha. Kalau di daerah yang paling banyak direkrut adalah keluarga para pejabat di daerah ataupun pengusaha dari luar daerah. Tentu bukan sebuah permasalahan apabila mereka-mereka itu punya kapasitas dan pengalaman kepemimpinan. Tetapi jika merujuk hasil pemilu 2014, pengalaman kepemimpinan dari caleg-caleg terpilih yang berasal dari kerabat pejabat dan pengusaha masih sangat diragukan.

Dalam teori sistim, input dan proses yang buruk akan menghasilkan keluaraan dan dampak yang buruk pula. 1 Jika anggota DPRDnya minim pengalaman dan kapasitas dan Dalam teori sistim, input dan proses yang buruk akan menghasilkan keluaraan dan dampak yang buruk pula. 1 Jika anggota DPRDnya minim pengalaman dan kapasitas dan

Inilah dasar utama sehingga baik kalangan kampus, media, asosiasi kepala daerah maupun sebagian elit di Sulawesi Utara menolak diadakannya pemilihan kepala daerah oleh DPRD sebagiamana yang pernah diusulkan parpol yang tergabung dalam KMP. Jika kepala daerah dipilih oleh DPRD tetapi anggota DPRDnya tidak memiliki kapasitas dan profesionalisme, maka kebijakan ini diprediksi akan lebih buruk dari kebijakan pemilukada yang dipilih langsung oleh rakyat. Bisa saja pemilukada dilakukan oleh DPRD tetapi persyaratan mutlak yang harus dibenahi terlebih dahulu adalah penguatan kelembagaan parpol. Pertama, rekrutmen kader parpol tidak boleh dilakukan dengan tiba saat, tiba akal, tetapi harus dimulai dengan perencanaan yang matang dan harus didasarkan pada kebutuhan organisasi.

Kedua, Parpol harus menjadikan organisasinya sebagai wadah sekolah politik bagi anggota-anggotanya yang proses pendidikannya harus melewati tahapan rekrutmen yang jelas, pola ujian dan seleksi yang profesional yang pada akhirnya perlu dilakukan promosi anggota untuk jabatan-jabatan publik yang dianggap lulus dalam proses pendidikan politik. Sebagai wadah sekolah politik, parpol harus melewati proses belajar dan mengajar tentang kepemimpinan, etika politik, konflik dan konsensus, pengambilan keputusan dan teknik- teknik berorganisasi lainnya bagi anggota-anggotanya. Agar kelak ketika anggota parpol tersebut terpilih sebagai pejabat publik, mereka telah memiliki bekal kepemimpinan yang dapat bermanfaat bagi banyak orang.

Pemilu 2014 di Sulawesi Utara menghasilkan anggota DPRD dari kerabat keluarga pejabat dan kalangan pemilik modal yang sebelumnya bukan pengurus parpol serta dari kalangan anggota parpol baru pindahan dari parpol lain. Beberapa diantaranya adalah :

1. Eva Sarundayang anak dari Gubernur SH Sarundayang menjadi anggota DPRD Sulut dari PDIP,

2. Decky Palinggi, suami dari Bupati Minahasa Selatan menjadi anggota DPRD Sulut dari Partai Golkar

3. Decky Makagansa, anak dari H.R Makagansa, Bupati Sangihe menjadi anggota DPRD Sulut dari PDIP

4. Altje Polii, isteri dari Bupati Minahasa Utara Sompie Singal menjadi anggota DPRD Minahasa Utara dari PDIP

5. Affan Mokodongan anak dari Sekprov Sulut Siswa Rachmat Mokodongan menjadi anggota DPRD Sulut dari PAN

6. Muslimah Mongilong Isteri Bupati Bolaang Mongondow Selatan Herson Mayulu dari PDIP

7. Hj. Ainun Talibo isteri Bupati Bolmut Depri Pontoh menjadi anggota DPRD Sulut dari PPP

8. Hengky Hondar, SE adik Ipar dari Walikota Bitung menjadi anggota DPRD Bitung dari Partai Demokrat

9. Jems Tuuk, adik dari wakil Bupati Bolmong Yanny Tuuk menjadi anggota DPRD Sulut dari PDIP

Usaha partai politik merekrut keluarga pejabat di Sulawesi Utara memang berhasil. Sebab selain merebut kursi, caleg keluarga pejabat ternyata berhasil meraup suara terbesar di Usaha partai politik merekrut keluarga pejabat di Sulawesi Utara memang berhasil. Sebab selain merebut kursi, caleg keluarga pejabat ternyata berhasil meraup suara terbesar di

Kedua, elektabilitas caleg dari keluarga pejabat dipengaruhi pula oleh jaringan yang dimiliki kepala daerah di daerah itu. Penguasaan pejabat struktural dari pejabat eselon II, camat, hukum tua hingga kepala-kepala lingkungan mempengaruhi pengumpulan suaranya. Malahan dibeberapa daerah, kinerja pejabat sangat ditentukan oleh pengumpulan suara yang diperoleh. Jika target tercapai, maka jabatan yang pegang bisa dipertahankan ataupun bahkan

di promosi dan jika gagal maka jabatannya bisa berpindah 1 . Ketiga, caleg keluarga pejabat juga menguasai sejumlah organisasi kemasyarakatan

(ormas) dan organisasi kepemudaan dan tokoh-tokoh agama yang selama ini “dibina” oleh pemerintah daerah. Organisasi-organisasi inilah yang biasanya menjadi vote getters bagi caleg bersangkutan, apalagi elit-elit dalam organisasi tersebut memiliki pengikut yang banyak sampai di pedesaan.

Keempat, kekuatan financial kepala daerah. Salah satu instrumen kekuatan pengumpulan suara dalam pemilu adalah kekuatan modal. Kualitas dan popularitas apapun yang dimiliki caleg, namun tanpa diperkuat dengan dukungan kekuatan modal, maka kemenangan akan sulit tercapai. Modal yang dimiliki kepala daerah sangat menentukan dalam pengumpulan dan perolehan suara.

Startegi lain yang dibangun partai politik di daerah dalam rangka memperoleh kursi adalah usaha merekrut kader partai politik lain yang sudah mapan dari aspek popularitas dan finansial. Itulah sebabnya salah satu faktor yang menonjol pada pemilu 2014 di Sulawesi Uatara adalah perpindahan anggota parpol yang satu ke parpol yang lain menjelang pemilu.

Di Minahasa Selatan tercatat 7 caleg yang pindah partai baru di daerahnya yaitu Franco Gino Rumokoy, SSos, Ritta Kawung, SPd (Partai Demokrat), Franky Donald Toloh, SE (NasDem), Kartini Simbar (Hanura), Steva Waleleng, SE (Partai Golkar), Frangky

Lengkey (PDIP) dan Noldy Mawey (PKPI). 1 Sementara di Dapil Minsel/Mitra untuk caleg DPRD Sulut anatara lain Dirk Tolu ke PAN dan Jemmy Lelet ke Partai PKPI. Di Minahasa

ada Joan Retor Ke Partai Demokrat, di Kota Manado ada Stella Pakaya ke Partai Demokrat dan Teddy Kumaat ke PDIP.

Di Boltim terdapat 5 anggota dewan yang berpindah parpol. Mereka adalah Vecky Ochotan dari Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) ke Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Luther Rambing dari Partai Pelopor ke PKB untuk DPRD Provinsi, Saptono Paputungan dari Partai republikan ke Partai Hati Nurani Rakyat, Reevy Lengkong dari PDS ke Gerindra dan

Sofyan Alhabsy dari PBR ke PKB. 1 Di Mitra terdapat caleg Rakimin, yang awalnya merupakan anggota DPRD dari Partai

Matahari Bangsa (PMB), maju lewat Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Annie B Boseke, anggota DPRD dari PKPB maju lewat Partai Golkar. Lanny Punusingon, yang awalnya Matahari Bangsa (PMB), maju lewat Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Annie B Boseke, anggota DPRD dari PKPB maju lewat Partai Golkar. Lanny Punusingon, yang awalnya

Partai Demokrat. 1 Untuk menghindari pengkaplingan daftar caleg oleh pejabat-pejabat di daerah dan

juga menghindari terjadi perindahan keanggotaan parpol menjelang pemilu persyaratan keanggotaan parpol sangat penting untuk dilakukan secara ketat. Syarat caleg tidak hanya wajib memiliki Kartu Tanda Anggota (KTA). Syarat keanggotaan parpol bagi caleg harus sudah pernah menjadi anggota minimal 4 atau 5 tahun keanggotaan. Masa tersebut harus diisi oleh proses pendidikan politik yang panjang dengan sertifikat sebagai bukti keikutsertaan dalam proses pendidikan tersebut. Syarat masa keanggotaan ini diharapkan akan membatasi masyarakat yang secara tiba-tiba saja menjadi anggota parpol karena ingin memenuhi persyaratan menjadi caleg. Kemudian mengantisipasi pula fenomena exodus politisi dari partai satu ke partai lain saat menjelang pemilu. Selain karir di partai politik, pengalaman kepemimpinan dibidang sosial kemasyarakatan dan birokrasi harus menjadi sebuah syarat utama sebelum menjadi caleg.

Perlu persyaratan sertifikasi bagi para caleg, artinya elit politik bisa mendapat sertifikat apabila tahap-tahap pendidikan dan pelatihan dalam partai politik atau pengalaman kepemimpinan dibidang sosial kemasyarakatan dan birokrasi (bagi yang bukan kader parpol) telah diikuti dengan baik. Partai politik harus berfungsi sebagai sekolah politik. Aktifitas partai harus diisi dengan pendidikan politik, kepemimpinan politik, memahami etika dan moral politik, belajar dalam hal pengambilan keputusan, konflik dan resolusi konflik. Jika semua tahapan ini dilewati, maka kadernya dapat diberikan sertifikat dan sertifikat itu menjadi syarat menjadi caleg. Jika hal itu dilakukan maka caleg tidak akan diisi oleh kalangan keluarga pejabat yang minim pengalaman politik dan kepemimpinan, kalangan pemilik modal yang hanya mengutamakan kekuatan finasial, dan kalangan elit politik yang sesuka hati berganti-ganti keanggotaan parpol menjelang pemilu.