PASCA PEMILU
B. PASCA PEMILU
I) Sengketa Pemilu dan Sengketa Hasil
1. Sengketa Administratif Tiga gugatan sengketa Pemilu DPR, DPD dan DPRD terkait penetapan Daftar Calon Tetap (DCT) yang ditetapkan oleh KPU Provinsi dan Kabupaten / Kota di Kalimantan Selatan. Gugatan sengketa tersebut diantaranya :
1) Gugatan sengketa yang diajukan H. M. Iqbal Yudiannor, SE (Bakal Calon Anggota DPRD Prov. Kal - Sel dari Partai Demokrat). Iqbal dicoret dari DCT berdasarkan Keputusan KPU Prov. Kal - Sel. Pada agenda persidangan penyelesaian sengketa, Bawaslu menghadirkan pihak terkait. Dalam sidang itu, DPP Partai Demokrat tidak hadir, tetapi hanya dihadiri oleh DPD Partai Demokrat Prov. Kal - Sel. Dalam putusannya, Bawaslu Prov. Kal - Sel menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya. Keputusan tersebut di bacakan pada hari Kamis, 19 September 2013 di Kantor Bawaslu Prov. Kal - Sel.
2) Gugatan sengketa yang diajukan Drs. H. Syamsul Qamar, M.Si (Bakal Calon Anggota DPRD Kota Banjarmasin dari PKB). Nama syamsul dicoret oleh KPU Kota Banjarmasin. Pada agenda persidangan, sidang berjalan sangat alot, hal ini dikarenakan antara pihak pemohon dan termohon tetap pada pendiriannya masing - masing. Pemohon yang didampingi oleh pengacaranya Anang Yuliardi dan Erwan tetap meminta untuk dicantumkan nama pemohon dalam DCT Anggota DPRD Kota Banjarmasin. Forum Musyawarah ini menghadirkan saksi ahli dari pemohon dan termohon. Pemohon menghadirkan Bachtiar Effendi (Dosen Fakultas Hukum UNLAM Banjarmasin) sebagai saksi ahli, sedangkan termohon menghadirkan Deden Koswara (Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UNLAM Banjarmasin). Kehadiran saksi ahli tersebut bertujuan untuk menginterpretasikan Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009 tentang makna “dikecualikan”. Forum Musyawarah yang dilaksanakan sebanyak tiga kali persidangan ini berakhir pada Keputusan Bawaslu Prov. Kal - Sel yang menetapkan menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya. Keputusan tersebut dibacakan pada hari Jum’at, 20 September 2013 di Kantor Bawaslu Prov. Kal - Sel.
3) Gugatan sengketa yang diajukan Jainal Hakim, S.Sos., MH (Bakal Calon Anggota DPRD Kab. Tanah Laut dari PDI Perjuangan). Jainal dihilangkan namanya dari DCT berdasarkan Keputusan KPU Kab. Tanah Laut. Pada persidangan sengketa Pemilu tersebut dihadiri oleh 5 orang Komisioner KPU Kab. Tanah Laut sebagai pihak termohon. Dalam putusannya, Bawaslu Prov. Kal - Sel menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Keputusan tersebut dibacakan setelah pembacaan Keputusan Sengketa atas nama Syamsul Qamar, yakni pada hari yang sama di Kantor Bawaslu Prov. Kal - Sel.
Pembacaan putusan dari ketiga penyelesaian sengketa Pemilu tersebut dilakukan Pimpinan Bawaslu Kal - Sel, yakni : Mahyuni, S.Sos., M.AP, Azhar Ridhanie, S.HI., M.IP, dan Erna Kasyfiah, S.Ag., M.Si.
Dalam menyelesaikan tiga sengketa Pemilu ini, terbongkar dua fakta baru dalam Forum Musyawarah dengan kasus yang sama, yaitu satu kasus di Kab. Tanah Laut dan satu kasus di Kota Banjarmasin. Bawaslu Prov. Kal - Sel merekomendasikan kepada Panwaslu di masing - masing Kabupaten / Kota untuk
menindaklanjuti hasil temuan tersebut. 1
2. Sengketa Etik (Peradilan Etik) Pada Pemilu 2014 di Kalimantan Selatan, beberapa sengketa etik yang ditangani
oleh Tim pemeriksa daerah (DKPP Provinsi) dan Persidangan DKPP Pusat, diantaranya :
1) Pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Ketua dan Anggota KPU Kabupaten Tanah Laut dengan sangkaan meloloskan caleg dalam DCT yang dianggap tidak memenuhi syarat
2) Pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Divisi Teknis Penyelenggaraan Pemilu KPU Kabupaten Tapin dengan sangkaan melakukan penggelembungan suara terhadap salah satu caleg DPR RI dari Partai Golkar. Peradilan etik ini dipimpin langsung oleh Ketua DKPP Pusat melalui vidio conference.
3. Sengketa Hasil Pemilu di MK Mahkamah Konstitusi (MK) dalam desain ketatanegaraan Indonesia ditempatkan sebagai lembaga yudisial terakhir dalam penyelesaian sengketa Pemilu, sifat putusannya yang final dan mengikat menjadi alat terakhir para peserta Pemilu dalam mencari keadilan. Desain yang demikian menjadi catatan serius bahwa MK harus diawasi dengan ketat dalam setiap memproses sengketa Pemilu, karena apabila MK dibiarkan tanpa ada rambu pengawas maka bisa menjadi problem serius menginglembaga terkahir yang memutuskan nasib setiap caleg ataupun parpol. Peradilan perselisihan hasil pemilu merupakan peradilan yang bersifat cepat, karena UU Pemilu dan UU MK hanya memberi waktu 3 x 24 jam kepada DPP Partai Politik dan calon anggota DPD peserta Pemilu sebagai pemohon untuk mengajukan permohonan keberatan terhadap penetapan suara hasil penghitungan KPU. Sedangkan MK hanya diberi waktu 30 hari kerja untuk memutus seluruh permohonan yang diajukan oleh peserta pemilu. Dengan adanya keterbatasan waktu yang disediakan oleh peraturan perundang-undangan tersebut, maka tidak mungkin hanya menggantungkan keadilan atas berjalannya demokrasi dan pemilu kepada MK. Dibutuhkan kerjasama dari KPU, Bawaslu dan Panwaslu, Partai Politik, peserta pemilu, masyarakat, dan lain-lain. Pada prinsipnya objek sengketa yang dapat diajukan ke MK hanya berkaitan dengan penetapan hasil pemilu secara nasional, namun dalam prakteknya MK tidak mau hanya dikungkung pada penyelesaian sengketa angka-angka semata, melainkan menyelesaikan substansi persoalan di balik angka yang disengketakan. Alasannya, MK memandang bahwa hak konstitusional setiap orang dalam pemilu harus dilindungi dari berbagai praktik kecurangan yang terjadi dalam penyelenggaraannya. Berangkat dari dasar pemikiran itu MK memaknai penyelesaian sengketa pemilu tidak hanya sekedar penyelesaian perselisihan angka atau hasil penghitungan, melainkan juga termasuk memeriksa dan mengadili pelanggaran yang memengaruhi hasil, terutama yang memenuhi syarat pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis dan massif (TSM).
D. Kampanye
1. Aturan tentang kampanye masih banyak yang tidak jelas dan menimbulkan penafsiran yang berbeda, terutama antara KPU dan Bawaslu.
2. Definisi dan batasan tentang kampanye juga tidak jelas dan membuka peluang terjadinya multitafsir sehingga sering berbeda pendapat antara KPU dan Bawaslu mengenai suatu kegiatan apakah dikategorikan sebagai kampanye atau tidak, seperti berita/informasi atau kegiatan yang diekspos media massa.
3. Pemasangan alat peraga kampanye banyak yang tidak sesuai dengan tempat dan peruntukannya.
4. Jadwal pemasangan alat peraga tidak sesuai dengan jadwal yang disepakati.
5. Perlakuan pencabutan atribut partai berbeda.
6. Kampanye terbuka kurang efektif dan efesien,lebih cenderung kepada pengarahan massa semata.
E. Logistik Pemilu
1. Logistik pemilu tidak tepat waktu, jumlah, dan sasaran;
2. Tidak ada bimtek secara khusus tentang RUP, KAK, HPS, swakelola atau lelang;
3. Regulasi tentang logistik terlambat;