Regulasi Pemilu

1. Regulasi Pemilu

Salah satu isu yang sangat penting ketika mendiskusikan kerangka hukum pemilu adalah sistem pemilu. UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD menjelaskan bahwa pileg 2014 menggunakan sistem proporsional daftar terbuka. Sebagian narasumber menilai bahwa pemilihan sistem ini perlu untuk dipertimbangkan kembali karena telah menyebabkan pileg 2014 berjalan dengan sangat mengerikan. Beberapa istilah kemudian digunakan untuk mendeskripsikan pileg 2014 sebagai pemilu yang brutal, kanibal, liberal, kapitalis, dan sejenisnya. Para kandidat atau caleg (calon anggota legislatif) tidak saja harus bertarung dengan kompetitor dari partai lain. Mereka justru harus lebih banyak berkontestasi dengan kompetitor lain dari partai politik pengusung yang sama. Sistem pemilu ini yang kemudian dianggap oleh banyak pihak sebagai faktor penyebab maraknya praktek Salah satu isu yang sangat penting ketika mendiskusikan kerangka hukum pemilu adalah sistem pemilu. UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD menjelaskan bahwa pileg 2014 menggunakan sistem proporsional daftar terbuka. Sebagian narasumber menilai bahwa pemilihan sistem ini perlu untuk dipertimbangkan kembali karena telah menyebabkan pileg 2014 berjalan dengan sangat mengerikan. Beberapa istilah kemudian digunakan untuk mendeskripsikan pileg 2014 sebagai pemilu yang brutal, kanibal, liberal, kapitalis, dan sejenisnya. Para kandidat atau caleg (calon anggota legislatif) tidak saja harus bertarung dengan kompetitor dari partai lain. Mereka justru harus lebih banyak berkontestasi dengan kompetitor lain dari partai politik pengusung yang sama. Sistem pemilu ini yang kemudian dianggap oleh banyak pihak sebagai faktor penyebab maraknya praktek

kemudian menyebabkan berbagai problematika di tingkatan implementasi regulasi yang ada, misalnya kaburnya ideologi dan program partai politik sebagai materi yang utama dalam

pelaksanaan kampanye. 41 Sistem pemilu yang ada juga cenderung melahirkan relasi. Namun demikian, narasumber yang lain percaya bahwa problematika mendasar dalam

pileg 2014 sebetulnya tidak terletak pada sistemnya. Ada berbagai faktor di luar faktor sistem pemilu yang melahirkan berbagai problematika di pileg 2014 yang lalu, terutama kedewasaan berpolitik dari para peserta pemilu dan tingkat pendidikan serta budaya politik demokratis di

kalangan masyarakat. 42 Pendapat yang berbeda juga disampaikan oleh seorang narasumber yang mengatakan bahwa perlu dipertimbangkan sistem campuran di pemilu-pemilu

berikutnya. Menurutnya, perlu ada kombinasi antara sistem proporsional tertutup dan sistem distrik. Hal ini perlu dipertimbangkan untuk tidak menghilangkan peran dari caleg yang berpolitik secara ideologis dan caleg yang berpolitik dengan mengandalkan pada modal finansial. Dengan demikian, sistem pemilu campuran dapat menjaga tuntutan akan ideologi

dan tuntutan akan sumberdaya ekonomi. 43 UU Pemilu juga dianggap oleh banyak pihak belum cukup efektif dan efisien dalam

mengatur penyelesaikan kasus perselisihan hasil pemilu. Dari 903 perkara yang terdaftar, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan hanya 23 perkara. Namun demikian, perlu dicatat, dari 903 perkara tersebut, tidak satupun berasal dari DIY. Berbagai faktor mempengaruhi kondisi tersebut, diantaranya adalah profesionalitas penyelenggara pemilu (terutama penyelenggara pemilu ad-hoc), kedewasaan politik dari peserta pemilu, tingginya pendidikan politik di kalangan pemilih, dan kultur politik yang telah berkembang. Di kalangan lembaga penyelenggara pemilu di DIY, tidak adanya PHPU menjadi indikasi dari kesuksesan pileg

2014 di DIY. 44 Selain itu, UU Pemilu juga dianggap oleh banyak pihak belum cukup efektif dan

efisien dalam meminimalisir berkembangnya praktek politik uang. Hal ini seperti yang dijelaskan oleh Ketua Bawaslu DIY. Menurutnya:

Regulasi yang ada masih kabur dalam memaknai politik uang. Selain itu, hukum acara dan ketentuan sanksi di dalam UU Pemilu juga belum cukup kuat. Dengan demikian, meskipun indikasi adanya praktek politik uang sangat kuat, tapi proses pembuktiannya tidak mudah, terutama keterpenuhan saksi dan bukti. Pengaturan pidana pemilu terkait dengan politik uang juga sangat longgar. Pada saat kampanye, misalnya, yang menjadi subyek hukum atas pelanggaran adalah pelaksana kampanye. Dengan demikian, jika ada orang yang membagikan uang dan barang pada saat kampanye, tapi orang tersebut bukan bagian dari pelaksana kampanye, maka hal itu tidak bisa diproses. Sedangkan di tahapan masa tenang, subyek hukumnya berbeda, yaitu pelaksana kampanye dan peserta kampanye.

39 Edward Aspinall. “Parliament and Patronage.” Journal of Democracy, Vol. 25, No. 4, 2015, hal. 96- 110.

40 Nathan W. Allen. "Clientelism and the personal vote in Indonesia.” Electoral Studies, Vol. 37, 2015, hal. 73-85.

41 Wawancara dengan Bambang Prastowo (Wakil Ketua DPD PDIP DIY dan Ketua Timses Jokowi-JK di DIY), 5 Desember 2014.

42 Wawancara dengan Herry Zudianto (simpatisan Partai Amanat Nasional dan Ketua Timses Prabowo- Hatta di DIY), 5 Desember 2014.

43 Wawancara dengan Muhammad Jazir (tokoh masyarakat), 9 Desember 2014. 44 Wawancara dengan Muhammad Najib (Ketua Bawaslu DIY), 9 Desember 2014; Wawancara dengan Hamdan Kurniawan (Ketua KPU DIY), 7 November 2014.

Perbedaan subyek hukum di tahapan yang berbeda ini dalam prakteknya juga membuat lembaga penyelenggara pemilu tidak mudah menyelesaikan

praktek politik uang. 45

Sama dengan daerah lain di Indonesia, praktek politik uang (dikenal dengan istilah bitingan) juga marak terjadi dalam pileg 2014 di wilayah DIY. 46 Politik uang sebenarnya

tidak saja terjadi di pileg, tapi juga pilkada sejak awal periode Reformasi. 47 Salah satu kasus yang menonjol terkait dengan dugaan praktek politik uang adalah saat Polres Gunung Kidul

menemukan uang senilai Rp. 510 juta dalam pecahan Rp. 10 ribu dan Rp. 20 ribu saat melakukan razia Cipta Kondisi pada tanggal 6 April 2014. Setelah melalui prosedur yang sesuai dengan aturan yang ada (termasuk klarifikasi kepada pihak-pihak yang dianggap terkait), Panwaslu Kabupaten Gunung Kidul memutuskan bahwa unsur pidana politik uang mengarah kepada caleg DPR RI yang bernama Hanafi Rais itu tidak terbukti. Keputusan ini

kemudian menimbulkan pertanyaan dari beberapa pegiat pemilu. 48 Kasus lain yang terkait dengan praktek politik uang juga terjadi di Kabupaten Kulon

Progo. Menurut salah seorang narasumber, UU Pemilu tidak mampu menjangkau tim sukses sebagai subyek hukum dalam praktek politik uang. Padahal saat itu ada temuan bahwa tim sukses salah satu caleg telah membagikan uang kepada masyarakat. Ketika diklarifikasi, mereka mengatakan bahwa itu adalah uang milik mereka sendiri. Lembaga pengawas pemilu tidak mampu untuk membuktikan hubungan antara caleg dan pihak pemberi uang. Sekali lagi terlihat bahwa praktek politik uang memang sangat marak di pileg 2014. Sayangnya, regulasi

dan penegakan regulasi yang ada tidak mampu untuk membuktikan praktek ini. 49 Selain itu, juga terdapat perspektif yang berbeda antar penegak hukum pidana pemilu.

Tidak jarang, pengawas pemilu berbeda pendapat dengan polisi dan jaksa. Pengawas menganggap sudah cukup bukti untuk masuk dalam kasus pidana pemilu. Namun demikian,

dari sisi lembaga peradilan (polisi dan jaksa) mengatakan bahwa bukti masih kurang. 50 Dengan demikian, ke depan, Penegakan Hukum Terpadu (Gakumdu) perlu lebih

dioptimalkan lagi. Sejauh ini, Gakumdu dirasakan masih memiliki peran yang minimalis dalam proses penanganan pidana pemilu. Yang tidak kalah pentingnya adalah peran masyarakat dalam mencegah dan mendukung pemberantasan praktek politik uang di pemilu. Selama ini terasa bahwa peran masyarakat masih sangat kurang dalam meminimalisir praktek politik uang di pemilu. Salah seorang narasumber juga menyampaikan bahwa masih lemahnya upaya untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran pemilu adalah karena tidak ada jaminan dari para saksi dan korban. Akibatnya, tidak sedikit pihak pelapor dan saksi yang kemudian mencabut kembali laporannya dan yang menyatakan diri untuk tidak lagi bersedia

menjadi saksi. 51 Di Indonesia sebenarnya sudah ada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Namun demikian, keberadaan dan peran dari lembaga ini masih sangat

terbatas. Salah satu kasus yang menonjol di DIY pada saat pileg 2014 adalah kasus pemukulan yang terjadi justru di halaman kantor Bawaslu DIY pada tanggal 19 April 2014. Saat itu,

45 Wawancara dengan Muhammad Najib (Ketua Bawaslu DIY), 9 Desember 2014. 46 Lebih detail, lihat Laporan Penelitian Perilaku Memilih Masyarakat di DIY dalam Model Patronase- Klientelisme: Studi Kasus di Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Kulon Progo. Jurusan Politik Pemerintahan Fisipol UGM.

47 Nankyung Choi. “Local Elections and Party Politics in Post-Reformasi Indonesia: A View from Yogyakarta.” Contemporary Southeast Asia. Vol. 26, No. 2, hal. 280-301.

48 http://jogjakartanews.com/baca/2014/04/18/1533/hanafi-rais-lolos-dari-tuduhan-money-politic-lsm- pesimis-terhadap-bawaslu (diakses pada tanggal 27 Desember 2014).

49 Wawancara dengan Muhammad Najib (Ketua Bawaslu DIY), 9 Desember 2014. 50 Wawancara dengan Muhammad Najib (Ketua Bawaslu DIY), 9 Desember 2014.

51 Wawancara dengan Titok Haryanto (anggota Koalisi Pemilih Kritis atau KPK), 5 Desember 2014.

korban sebenarnya ingin memenuhi panggilan dari Bawaslu terkait dengan laporannya tentang praktek politik uang yang dilakukan oleh seorang caleg. Namun, saat akan memasuki kantor Bawaslu, korban dihadang oleh seseorang dan kemudian terjadi peristiwa pemukulan. Setelah dilerai oleh, pelaku kemudian melarikan diri. Tidak jelas, apakah pemukulan ini

terkait dengan proses pelaporan tersebut atau terkait dengan urusan pribadi yang lain. 52 Kasus ini sampai hari ini tidak terselesaikan dengan tuntas. Peristiwa sangat ironis karena terjadi di

Bawaslu tanpa penyelesaian yang tuntas. Dari dokumen hasil evaluasi yang diselenggarakan oleh KPU DIY, juga terlihat bahwa UU Pemilu tidak mengatur sanksi yang tegas jika terjadi pelanggaran dalam pemasangan alat peraga kampanye (APK). Prosedur dalam penerapan sanksi terhadap pemasangan APK juga bertele-tele. Hal ini ditambah dengan masih tidak efektinya aturan yang terkait dengan pemasangan APK dari KPU maupun dari pemerintah daerah, yaitu pembatasan zonasi dan pembatasan jumlah APK. Akibatnya, pelanggaran tentang tata cara APK berlangsung dengan sangat masif. Apalagi ketika pihak terkait, seperti pemerintah daerah, juga tidak menyediakan dukungan untuk menertibkan APK karena keterbatasan

sumberdaya. 53 Fenomena pemasangan APK secara tidak teratur ini sebenarnya telah berlangsung di pemilu-pemilu sebelumnya. Namun demikian, fenomena ini semakin marak di

pileg 2014 lalu. Dokumen tersebut juga menjelaskan bahwa regulasi yang ada belum secara efektif mengatur penerapan sanksi terkait keterlibatan Pegawai Negersi Sipil (PNS) dan anak-anak dalam kampanye serta keterlibatan aparat desa dalam proses kandidasi caleg (menjadi bagian dari tim sukses). Masih menurut dokumen tersebut, regulasi yang ada juga tidak mampu mengatur secara efektif pelanggaran kampanye karena batasannya yang komulatif. Selain itu, regulasi yang ada juga tidak secara efektif dan efisien mengatur pelaporan dana kampanye. Dalam prakteknya, masih banyak caleg yang tidak melaporkan dana kampanye. Yang juga tidak kalah pentingnya, hasil audit tidak memiliki dampak hukum sehingga terkesan hanya

sebagai formalitas dan kurang terlihat transparansinya. 54 Salah seorang narasumber menjelaskan bahwa seorang caleg pasti tidak akan terbuka

dalam melaporkan dananya, misalnya untuk membeli kaos dan spanduk. Mereka bersikap normatif dalam melaporkan penggunaan dana kampanye sehingga mereka melaporkan penggunaan dana kampanye yang sesuai dengan ketentuan yang ada. Mereka tidak akan

melaporkan semua dana kampanye yang telah mereka gunakan. 55 Narasumber lain yang merupakan pengurus partai politik menjelaskan bahwa proses pelaporan dana kampanye

dilakukan tidak secara serius sehingga tidak ada partai politik yang dinyatakan melanggar ketentuan dalam pelaporan dana kampanye. 56 Tidak mengherankan, masyarakat seringkali

bertanya-tanya ketika ada seorang caleg yang memasang iklan di banyak tempat dengan ongkos yang mahal tapi ternyata tidak melanggar aturan dana kampanye. Narasumber lain mengatakan bahwa tidak sedikit caleg yang secara riil mengeluarkan biaya yang di luar kewajaran untuk menyukseskan kandidasi mereka. Caleg seperti ini jika berhasil mendapatkan kursi sudah hampir bisa dipastikan akan melakukan praktek korupsi dan tidak

52 http://jogja.antaranews.com/print/321745/polresta-proses-pemukulan-di-kantor-bawaslu-diy (diakses pada tanggal 27 Desember 2014); http://jogja.tribunnews.com/2014/04/19/breaking-news-pelapor-money- politic-dianiaya-di-depan-kantor-bawaslu-diy/ (diakses pada tanggal 27 Desember 2014).

53 Dokumen Evaluasi Pileg 2014 yang disusun oleh KPU DIY. 54 Dokumen Evaluasi Pileg 2014 yang disusun oleh KPU DIY. 55 Wawancara dengan Gunawan Hartono (caleg DPR Kota Yogyakarta DPR Kota Yogyakarta tidak jadi

dari PDIP), 4 Desember 2014. 56 Wawancara dengan Bambang Prastowo (Wakil Ketua DPD PDIP DIY dan Ketua Timses Jokowi-JK di

DIY), 5 Desember 2014.

pendapat ini, kita dapat melihat bahwa penegakan aturan yang lemah seperti ini pada akhirnya menimbulkan ketidakpercayaan di kalangan masyarakat terhadap proses penyelenggaraan pemilu.

Namun demikian, regulasi yang ada juga telah mengatur tahapan pemilu dengan cukup baik. Salah satunya adalah tahapan kampanye terbuka. UU Pemilu lebih menekankan pada kampanye dialogis yang kental dengan nuansa pendidikan politik. Tidak mengherankan, kampanye sudah dijadwalkan sejak jauh-jauh hari, dengan pembatasan waktu untuk kampanye terbuka. Salah seorang mantan caleg mengatakan bahwa dengan sistem pemilu dan jadwal tahapan pemilu yang seperti diatur dalam UU Pemilu, para caleg tidak lagi menekankan aktivitas kampanye mereka pada periode kampanye terbuka. Mereka lebih suka

pada kampanye dengan tatap muka yang intensif dengan para pemilih. 58 Selain itu, tidak sedikit partai politik yang tidak memanfaatkan jadwal kampanye terbuka karena dianggap

tidak efektif dan tidak efisien. Sebagai catatan, beberapa partai politik secara konsekwen telah bertanggung jawab jika ada masalah dalam pelaksanaan kampanye, misalnya memberikan bantuan hukum kepada anggota mereka yang terlibat dalam aksi kekerasan ketika melakukan konvoi di jalanan saat jadwal kampanye terbuka.

Salah seorang narasumber menjelaskan bahwa regulasi pemilu sebenarnya sangat terkait dengan regulasi lain, terutama regulasi partai politik. Menurutnya, pemilu adalah sebuah proses. Sedangkan partai politik adalah yang menentukan berhasil atau tidaknya proses itu. Termasuk di dalam isu ini adalah pelaksanaan fungsi-fungsi ideal dari partai politik, utamanya fungsi pendidikan politik dan fungsi rekrutmen. Lebih jauh, dia menjelaskan bahwa UU No. 2 tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik yang ada saat ini belum dapat mendorong peran ideologi dalam mengarahkan aktivitas partai politik. Selain itu, aturan yang ada juga belum dapat mendorong partisipasi masyarakat dalam proses rekrutmen politik. Tidak mengherankan, hanya mereka yang kaya yang dapat menjadi caleg dan caleg yang mengeluarkan biaya politik besar yang kemudian dapat memenangkan kursi. Dalam pemilu, rakyat sebenarnya hanya menjadi komoditas politik. Dengan demikian, UU tentang Partai Politik idealnya harus memberikan ruang terhadap mereka yang punya ideologi dan cita-cita bangsa dengan keterbatasan modal

financial untuk berpartisipasi dalam mengelola parpol dan mengikuti pemilu. 59 Narasumber lain menyampaikan bahwa ke depan perlu dipertimbangkan agar negara

memberikan bantuan keuangan kepada partai politik. Bantuan negara ini diperlukan agar partai politik sebagai pilar demokrasi dapat menjalankan fungsi-fungsi idealnya dengan lebih optimal. Sebagai contoh, bantuan negara tersebut digunakan oleh partai politik untuk melakukan kaderisasi. Selain itu, bantuan negara juga dapat digunakan oleh partai politik untuk membiayai kegiatan kampanye dari para kandidatnya. Hal ini sangat terkait dengan isu keadilan dari masing-masing kandidat ketika melakukan kontak dengan calon pemilih mereka. Contoh yang lain, bantuan keuangan dapat juga digunakan untuk pendidikan politik. Selama ini negara memang telah memberikan bantuan politik kepada partai politik. Namun demikian, jumlah dan peruntukan dari bantuan negara tersebut masih sangat terbatas sehingga tetap saja partai politik harus berupaya sendiri untuk mendapatkan pemasukan dalam rangka membiayai kegiatan-kegiatan politiknya. Bantuan negara tersebut harus dikelola dengan

57 Wawancara dengan Titok Haryanto (anggota Koalisi Pemilih Kritis/KPK dan mantan anggota KPU KotaYogyakarta ), 5 Desember 2014.

58 Wawancara dengan Gunawan Hartono (caleg DPR Kota Yogyakarta DPR Kota Yogyakarta tidak jadi dari PDIP), 4 Desember 2014.

59 Wawancara dengan Muhammad Jazir (tokoh masyarakat), 9 Desember 2014.

prinsip yang transparan dan akuntabel sehingga justru tidak menjadi sumber masalah yang baru. 60