DATA PENGURUS PEMILIH YANG DIBERHENTIKAN TETAP OLEH DKPP SE PROVINSI SULAWESI SELATAN

TABEL 5: DATA PENGURUS PEMILIH YANG DIBERHENTIKAN TETAP OLEH DKPP SE PROVINSI SULAWESI SELATAN

NO NAMA PENYELENGGARA

ASAL KAB/KOTA

MODUS

1 Muhammad Sawal, ST

Anggota KPU Kota

Kasus transaksi

Palopo

uang dengan caleg

2 Sudir Jaya, S.Pd, M.Pd

Ketua KPU Kabupaten

Kasus transaksi

Bulukumba

uang dengan caleg

3 Ahmad Zainal Anggota KPU Kabupaten Kasus transaksi Bulukumba

uang dengan caleg

4 A. Jufri D, S.Ag, M.Ag

Ketua KPU Kabupaten

Kasus transaksi

Maros

uang dengan caleg

5 Syukri, S.IP Anggota KPU Kabupaten Kasus transaksi Maros

uang dengan caleg

6 Mukti Malik, SS Anggota KPU Kabupaten Kasus transaksi Maros

uang dengan caleg

7 Syamsu Alam, SE

Ketua KPU Kabupaten

Kasus transaksi

Sidrap

uang dengan caleg

8 Armin, S.Ag, M.Ag

Anggota KPU Kota

Kasus kelalaian

Makassar

penetapan caleg terpilih

9 Usman Sahude Anggota KPU Kabupaten Kasus transaksi Pangkep

uang dengan caleg

Sumber: DKPP RI, setelah diolah, Tahun 2014

Fenomena banyaknya penyelenggara pemilu yang di pecat dan melakukan pelanggaran, menurut hasil wawancara dari beberapa narasumber, bahwa ada beberapa faktor penyebab terjadinya kondisi tersebut.Regulasi yang ada sebahagian telah dijalankan sesuai porsinya tetapi dibahagian lain juga ditinggalkan sesuai dengan konteks permasalahan. Contohnya proses rekruitmen penyelenggara harus melalui tahapan seleksi kesehatan menyeluruh, dengan alasan keuangan yang tidak cukup sehingga ada bagian seleksi kesehatan yang ditiadakan. Kondisi ini terjadi di hamper semua seleksi Kabupaten/Kota. Karena kondisi yang sama, alokasi anggaran seleksi yang tidak cukup sehingga timseleksi menggunakan rumah sakit yang bukan standar terbaik. Beberapa Narasumber mengatakan bahwa, indenpendensi mitra kerja tim seleksi seperti tim rumah sakit dan tim psikolog juga memungkinkan untuk

diintervensi. 17 Dari berbagai sumber dihimpun peneliti ada bebrapa hal yang perlu dicermati:

Pertama, bahwa rekruitmen tim seleksi untuk tingkat provinsi oleh KPU RI dan

17 Wawancara dengan Pengurus Partai Politik, Media, mantan anggota KPU, setelah diolah, Desember 2014

right man on the right place. 18 Kedua, begitu longgarnya syarat yang ditentukan oleh KPU RI mengakibatkan

tidak terjaringnya sejumlah orang yang benar-benar memahami kepemiluan. Beberapa proses rekruitmen berdasarkan hubungan pertemanan, organisasi, pertalian darah, titipan partai politik dan atau titipan pejabat tertentu.

Ketiga, pelaksanaan pemilu legislatif yang begitu besar dan memerlukan tidak saja tenaga-tenaga terampil tetapi juga mampu dengan mudah mentrasformasi kerangka hukum pemilu dan proses pelaksanaan tahapan-tahapan pemilu. Oleh karena itu diperlukan penyelenggara pemilu baik di Komisi Pemilihan Umum dan perangkatnya ke bawah maupun di Bandan Pengawas Pemilu serta bagian terkecilnya adalah mereka yang punya komitmen integritas dan background pendidikan dan pengalaman kepemiluan.Sesuatu hal yang tidak mudah, kenyataannya banyak dari kandidiat komisioner yang menurut pandangan publik layak terpilih tetapi kenyataannya harus tersingkir.

Proses rekruitmen sebaiknya perlu seleksi secara rasional, dengan mempertimbangkan bukti konkrit. Beberapa acuan yang dapat dipetakan dalam proses rekruitmen baik tim seleksi maupun komisioner. Hal itu antara lain:

1. Aturan dasar ilmu, aturan harus dijabarkan secara luas, bukan interpretasi ataupenafsiran,jangan sampai bersifat ganda atau multi tafsir.

2. Perlunya wawasan yang luas dari penyelenggara, dalam hal ini terkait pengetahuan, pengalaman terhadap fenomena-fenomena politik yang berkembang

3. Memiliki pengalaman baik sebagai penyelenggara maupun sebagai praktisi kepemiluan harus menjadi syarat utama dalam rekruitmen penyelenggara.

18 Ibid

4. Penyelenggara Pemilu harus memiliki kepribadian, integritas dan moralitas dengan menjadikan rekam jejak yang dimilikinya.

Problematika hukum yang terjadi dalam penyelenggaraan pemilu yaitu ada indikasi dan temuan terkait penyelenggara yang terlibat politik transaksional tetapi tidak dapat dijerat dan di bawah ke ranah hukum. Hal ini te“menabrak” peraturan, kondisi ini terjadi pada penyelenggara pemilu legislatif di Kab. Maros, Kab. Gowa, kab Je’neponto dan Kotamadya Makassar.

Penuturan dari salah seorang narasumber yang merupakan caleg gagal yang melaporkan okmum penyelenggara yang menerima suap, mengarakan bahwa ada banyak calon legislatif yang melakukan politik transaksional dengan penyelenggara pemilu di tingkat Kab/Kota. Penyelenggara tersebut kemudian memperkenalkannya kepada PPL dan merekalah tim pemenangan yang akan mengatur PPS di lapangan. Bukan tidak mungkin mereka yang sudah menempati posisi sebagai caleg terpilih juga melakukan hal-hal seperti. Bahkan ditambahkannya ada juga yang gagal seperti dirinya yang tidak melaporkan kejadian tersebut.

Realitas ini, seyogyanya juga menjadi bagian dalam regulasi. Bahwa mereka yang telah melakukan politik transaksional baik pelaku maupun penerima harus mendapat sanksi. Meskipun model ini juga memiliki dampak negatif, kemungkinan besar para pelaku yang gagal tidak akan melaporkan politik transaksional yang telah dilakukakannya.