Pencalonan atau Kandidasi

3. Pencalonan atau Kandidasi

Laporan Evaluasi Pemilu 2014 yang dikeluarkan oleh KPU DIY menjelaskan tiga problematika besar dalam proses pencalonan. Pertama, input atau tanggapan masyarakat terhadap Daftar Calon Sementara (DCT) masih sangat rendah. Kedua, pemenuhan keterwakilan caleg perempuan sebesar 30 persen hanya sekedar memenuhi kewajiban. Ketiga, KPU di DIY menemukan seorang caleg yang mendaftarkan diri dari dua partai politik

yang berbeda. 84 Yang juga perlu menjadi catatan adalah bahwa proses kandidasi oleh partai politik di

pileg 2014 sesuai dengan Pasal 29 ayat 2 dan ayat 3 di dalam UU No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik merupakan wilayah dari partai politik. Tidak ada lembaga lain, termasuk lembaga penyelenggara pemilu, yang berhak melakukan intervensi dalam proses kandidasi ini. Sesuai dengan aturan, sebenarnya proses kandidasi ini harus dilakukan secara demokratis dan terbuka oleh pengurus partai politik. Namun, dalam prakteknya, sebagian besar partai politik melakukan proses kandidasi ini secara tertutup. Dengan demikian, partisipasi masyarakat di dalam proses kandidasi yang dilakukan oleh partai politik masih sangat terbatas. Padahal proses kandidasi akan melahirkan input yag diolah dalam proses penyelenggaraan pemilu untuk menghasilkan wakil rakyat.

Salah seorang narasumber menjelaskan bahwa proses kandidasi yang terjadi di partainya sudah sangat demokratis dan terbuka. Bahkan para caleg harus melalui serangkaian tes, yaitu tes psikologi, tes pengetahuan umum, dan tes kepartaian. Namun demikian, partai politik juga telah memiliki prosedur yang baku. Sebagai contoh, partai politiknya akan menempatkan para pengurus partai yang mencalonkan diri ke dalam nomor urutan kecil di daftar pencalonan. Sedangkan kandidat yang berasal luar atau masih minim pengalaman dalam berinteraksi dengan partai politik akan ditempatkan di nomor urutan besar. Namun demikian, pengurus pusat partai politik juga memiliki veto dalam proses kandidasi di tingkat daerah dengan berbagai pertimbangan. Narasumber yang lain mengatakan bahwa partai politiknya memberikan kesempaan bagi orang luar untuk ikut proses kandidasi dengan pembatasan jumlah sebanyak 20 persen. Mereka ini juga telah dipantau oleh partai politik sejak lama sehingga tidak datang ke partai politik dengan tiba-tiba. Meskipun tidak semua masyarakat dapat terlibat dalam proses kandidasi, tapi hampir semua pengurus, anggota dan

simpatisan partai mengetahui proses kandisasi yang diselenggarakan oleh partai politik. 85 Tentu saja hal ini tidak berlangsung di semua partai politik. Tidak sedikit partai

politik yang masih kurang demokratis dan terbuka dalam proses kandidasinya. Tidak mengherankan jika proses kandidasi yang ada kemudian diwarnai dengan politik transaksional dan kolusi serta nepotisme. Salah seorang narasumber menjelaskan bahwa proses transaksional yang terjadi dalam proses kandidasi di partai politik berlangsung secara berbeda-beda. Ada partai politik yang sudah sejak proses awal kandidasi melakukan proses transaksional. Beberapa partai politik yang lain melakukan proses transaksional hanya pada proses pembuatan nomor urutan calon. Jumlah transaksi juga bervariasi antar partai politik. Selain itu, transaksi untuk pencalonan di tingkatan DPR RI tentu saja memiliki jumlah yang lebih besar dibandingkan dengan di tingkatan DPRD propinsi dan DPRD kabupaten/kota. Pola transaksi juga bisa jadi ditentukan oleh wilayah geografi sehingga di tiap daerah

jumlahnya bisa berbeda-beda. 86 Selain itu, proses kandidasi yang dilakukan oleh semua partai politik selama ini belum

dilakukan secara proporsional, terbuka, dan adil. Salah satu indikatornya adalah bahwa proses

84 Dokumen Evaluasi Pileg 2014 yang disusun oleh KPU DIY. 85 Wawancara dengan Gunawan Hartono (caleg DPR Kota Yogyakarta DPR Kota Yogyakarta tidak jadi

dari PDIP), 4 Desember 2014. 86 Wawancara dengan Bambang Prastowo (Wakil Ketua DPD PDIP DIY dan Ketua Timses Jokowi-JK di

DIY), 5 Desember 2014.

kandidasi tidak memberikan kemungkinan yang besar kepada mereka yang bertahun-tahun telah mengurus partai dan membina basis masa. Seperti yang terlihat dari hasil pemilu, banyak caleg yang telah melakukan berbagai program riil di masyarakat tapi tidak memiliki modal finansial yang cukup, akhirnya tidak berhasil mendapatkan suara. Justru mereka yang tidak memiliki pengalaman panjang mengelola partai dan bersentuhan langsung dengan rakyat tapi memiliki kekuatan finansial yang besar, akhirnya malah mendapatkan kursi.

Informasi yang kami dapatkan dari perwakilan pengurus partai politik yang lain adalah bahwa partai politik (terutama partai politik yang baru) sebenarnya dihadapkan pada dua pilihan dalam proses kandidasi ini. Partai politik merekrut para kandidat yang idealis, tapi sebenarnya tidak memenuhi syarat elektabilitas. Sebaliknya, partai politik merekrut para kandidat yang elektabilitasnya tinggi, meski tidak cukup idealis. Dihadapkan pada tuntutan untuk mendapatkan kursi sebanyak-banyaknya, partai politik asal narasumber ini kemudian mengambil pilihan yang kedua. Dalam perkembangannya, pilihan ini ternyata sangat tepat sehingga partai politik tersebut dapat meningkatkan kursi yang signifikan dari pileg 2009 di

pileg 2014 ini. 87 Poin lain yang juga perlu dicatat dalam proses kandidasi ini adalah keterwakilan

perempuan. Semua partai politik mengalami kesulitan untuk memenuhi aturan yang ada, yaitu melibatkan keterwakilan perempuan sebesar 30 persen. Hal ini sangat dipengaruhi oleh proses kaderisasi di partai politik yang ada yang, dimana peran perempuan masih sangat terbatas. Tidak saja dalam proses kandidasi, kesulitan tersebut juga dialami ketika partai politik membentuk pengurus yang melibatkan keterwakilan perempuan. Tidak sedikit pengurus partai politik yang perempuan sebenarnya adalah berasal dari istri, anak, saudara, kerabat dan teman. Konsekuensinya, semua partai politik terkesan asal comot dalam melibatkan peran perempuan dalam proses kandidasi di pileg 2014.

Satu kasus yang mungkin spesifik terjadi di DIY adalah sengketa internal caleg. Kasus ini terjadi di Partai Demokrat, ketika pengurus pusat Partai Demokrat memutuskan untuk memecat Ambar "Polah“ Tjahjono dan memberhentikannya sebagai anggota DPR RI. Ambar menilai bahwa kasus ini merupakan upaya dari rekan separtainya (yang menjadi anggota dari mahkamah partai) untuk merebut kursi yang telah berhasil diraihnya. Ketika dihubungi via email, Ambar mengatakan bahwa dia tetap menjadi anggota DPR yang sah sesuai hasil yang diputuskan oleh KPU. Pihak Bawaslu sendiri menjelaskan bahwa tidak ada bukti yang jelas terkait dengan dugaan pelanggaran pemilu yang dilakukan oleh Ambar. Untuk informasi, pihak yang mempersoalkan kursi yang diperoleh oleh Ambar tersebut telah meminta agar KPU menghitung ulang perolehan suara karena menduga bahwa ada pencurian suara dalam jumlah yang sangat besar. Setelah dilakukan penghitungan suara, ditemukan

fakta bahwa selisih suara diantara keduanya hanya berjumlah satu kertas suara. 88 Fenomena ini menunjukkan bahwa proses kandidasi yang dilakukan oleh partai

politik sebenarnya tidak hanya untuk konteks pencalonan di awal pemilu, tapi juga untuk konteks rekrutmen politik oleh partai politik yang berlangsung terus menerus (tidak hanya saat pemilu). Femonena ini perlu mendapat kajian khusus di masa mendatang karena bisa saja proses rekrutmen yang dilakukan oleh partai ternyata cenderung mengabaikan proses pemilu yang terbalan dengan demokratis. Sayangnya, partisipasi masyarakat juga sangat terbatas untuk dapat terlibat dalam proses rekrutmen ini.

Dalam prakteknya, KPU akan menindaklanjuti masukan dari masyarakat pada saat tahapan pengumuman DCS sepanjang masukan itu telah memenuhi kriteria administratif dan normatif. Namun demikian, jika ada masukan yang terkait dengan moralitas seorang caleg,

87 Wawancara dengan Gunawan Hartono (caleg DPR Kota Yogyakarta DPR Kota Yogyakarta tidak jadi dari PDIP), 4 Desember 2014.

88 Wawancara via email dengan Ambar Tjahyono (caleg DPR RI jadi dari Partai Demokrat), 26 Desember 2014.

misalnya caleg yang bersangkutan adalah suka berjudi, maka KPU hanya akan meneruskan hal ini ke partai politik. KPU tidak akan mencoret kandidasi caleg tersebut karena ini terkait soal moralitas. Padahal, ketika DCS diumumkan ke masyarakat, tidak sedikit masyarakat yang memberi masukan terkait dengan dimensi moralitas dari para caleg. Dengan demikian, pada prinsipnya, tetap saja partai politik yang berperan penting dalam menindaklanjuti masukan yang datang dari masyarakat yang terkait dengan etika dan norma sosial. Ke depan, perlu dipertimbangkan untuk merumuskan aturan main serta mendorong agar masyarakat dapat memberikan masukan seperti ini ke partai politik.

Yang juga tidak kalah penting adalah terbatasnya peran partai politik dalam proses kandidasi. Salah seorang narasumber menjelaskan bahwa peran partai politik dalam proses kandidasi selama penyelenggaraan tahapan-tahapan pemilu berakhir pada saat pengumuman Daftar Calon Tetap (DCT) oleh KPU. Setelah tahapan pengumuman DCT, semua partai politik telah kehilangan kendali terhadap kandidat mereka. Pasca pengumuman DCT, semua kandidat berusaha untuk mendapatkan kursi dengan caranya masing-masing. Partai politik tidak mampu mengelola lebih lanjut proses kontestasi yang ada. Apalagi ketika sistem pemilu proporsional daftar terbuka juga telah berimplikasi pada kontestasi politik yang sangat tinggi antar kandidat di dalam satu partai politik yang sama. Belum lagi jika ada pengurus partai politik yang juga mencalonkan diri. Tidak mengherankan jika dalam melakukan kampanye di periode kampanye terbuka, koordinasi antara para kandidat dengan partai politik mereka berjalan dengan sangat minim. Inilah yang menjelaskan berbagai problematika yang telah disinggung diatas, misalnya kampanye kandidat yang tidak berdasarkan pada visi, misi dan program dari partai politik, pengelolaan kegiatan kampanye yang sangat lemah, pelaporan dana kampanye yang tidak mampu menjangkau kondisi riil yang ada, dan politik berbiaya

tinggi. 89 Dalam proses kandidasi ini, seperti yang disampaikan oleh Ketua KPU DIY, pihak

KPU melakukan komunikasi yang sangat intensif dengan semua partai politik. Dalam proses komunikasi ini, kedua pihak saling memberi dan menerima informasi terkait dengan proses pencalonan. Namun demikian, seperti telah disinggung sebelumnya, dalam proses komunikasi ini KPU tetap menjaga independensi, profesionalitas dan integritasnya. Pendekatan komunikatif ini berhasil dalam menyukseskan tahapan kandidasi. Indikatornya adalah bahwa sejauh ini tidak ada partai politik yang melakukan gugatan kepada

penyelenggara pemilu di tingkatan propinsi dan kabupaten/kota melalui PTUN. 90