Faktor Penyebab Mobilitas Sosial

1. Faktor Penyebab Mobilitas Sosial

Banyak faktor yang dapat menentukan terjadinya mobilitas sosial yang di- alami seseorang. Faktor-faktor itu dikelompokkan menjadi tiga, yaitu faktor struktur sosial, faktor kemampuan individu, dan faktor kemujuran. Faktor struktur sosial meliputi ketersediaan lapangan kerja (kesempatan), sistem ekonomi dalam suatu masyarakat (negara), dan tingkat kelahiran dan kematian penduduk. Faktor individu meliputi faktor pendidikan, etos kerja, cara bersikap terhadap diri sendiri dan terhadap orang lain, dan faktor yang perannya sangat kecil namun sulit disangkal keberadaannya adalah kemujuran atau nasib baik. Semua faktor

Mobilitas Sosial Mobilitas Sosial

a. Faktor Struktur Sosial Setiap masyarakat memiliki struktur

sosial berbeda. Masyarakat pertanian tradisional, lebih banyak menyediakan pe- kerjaan kasar mengolah sawah, dan hanya sedikit menyediakan lapangan kerja yang bergengsi seperti menjadi pengusaha peng- gilingan padi atau pedagang besar hasil dan sarana pertanian. Demikian pula masyara- kat tradisional nelayan, yang lebih banyak memberikan pekerjaan sebagai pencari

dan pengolah ikan, sebaliknya hanya

Sumber: Gatra, 9 Agustus 2006

sedikit lapangan kerja tersedia untuk

Gambar 3.7 Mobilitas sosial di masyarakat

pedesaan pada umumnya berjalan lambat.

menjadi pengusaha di bidang perikanan, distributor, atau pemilik kapal besar.

Hal ini berbeda dengan masyarakat industri modern. Berbagai lapangan pekerjaan banyak tersedia, mulai dari tenaga produksi, pengawas atau mandor, pemasar produk, periklanan, manajer hingga pemimpin dan pemilik perusahaan. Semakin banyak perusahaan berdiri maka semakin banyak lapangan pekerjaan yang tersedia. Dengan demikian, semakin banyak pula peluang terjadinya mobilitas sosial. Orang juga memiliki peluang lebih besar berganti pekerjaan dibandingkan dengan masyarakat pertanian atau nelayan tradisional.

Dengan melihat faktor ini, kita menjadi paham mengapa di negara kita selama ini selalu terjadi urbanisasi. Pemuda-pemuda desa berbondong-bondong ke kota mencari pekerjaan. Maraknya pertumbuhan industri di kota menjanjikan kesempatan bagi mereka untuk mengalami mobilitas sosial vertikal. Pekerjaan tradisional sebagai petani dianggap tidak menarik dan kurang memberikan hasil. Sementara itu banyak tersedia pekerjaan di kota, mulai dari pekerja pabrik hingga menjadi tenaga eksekutif. Bahkan, apabila beruntung dapat menjadi pemilik usaha yang cukup besar dengan jaringan yang luas. Di desa kemungkinan seperti itu sangat sulit terjadi.

Sistem ekonomi yang diterapkan sebuah negara sering pula berpengaruh terhadap pertumbuhan industri. Pembatasan pertumbuhan industri tertentu yang disebabkan oleh regulasi pemerintah berdampak terhadap berkurangnya pertambahan lapangan kerja. Akibatnya semakin sulit pula orang mencari pe- kerjaan. Sebaliknya, apabila pemerintah membuka seluas-luasnya kesempatan mendirikan industri, maka semakin banyak pula kesempatan kerja. Namun, untuk negara-negara berkembang seperti Indonesia, kebebasan berusaha harus tetap melindungi warga masyarakat lokal (pribumi) dari serbuan pengusaha

94 Sosiologi SMA/MA Kelas XI 94 Sosiologi SMA/MA Kelas XI

Ketersediaan lapangan pekerjaan yang berdampak langsung terhadap kesempatan mobilitas sosial juga dipengaruhi oleh angka pertumbuhan pen- duduk. Bila saat ini terjadi angka kelahiran tinggi, maka dapat diramalkan dua puluh tahun lagi akan terjadi ledakan jumlah pencari kerja. Anak-anak yang saat ini lahir, dua puluh tahun lagi sudah memasuki lapangan kerja. Seandainya tingkat pertumbuhan lapangan kerja tetap, sedangkan jumlah penduduk ber- tambah, tentu akan terjadi kelebihan tenaga kerja. Semakin banyak pencari kerja berarti semakin kecil peluang terjadinya mobilitas sosial naik. Oleh karena itu, angka kelahiran turut menentukan mobilitas sosial.

b. Faktor Kemampuan Individu Seluas apa pun kesempatan mobilitas terbuka

bagi semua orang, jika orang tersebut tidak memi- liki kemampuan untuk mencapainya, maka tidak mungkin terjadi mobilitas naik. Sebaliknya, ketidak- mampuan seseorang dalam mempertahankan ke- dudukan sosialnya justru dapat menyebabkan ter- jadinya mobilitas menurun.

Kemampuan seseorang dipengaruhi oleh ting- kat pendidikannya. Semakin terdidik seseorang biasanya semakin cakap. Akan tetapi, kemampuan

tidak dapat disamakan dengan prestasi akademik Sumber: Garuda, Juni 1987

Gambar 3.8 Keterampilan dan

(nilai mata pelajaran) di sekolah. Angka yang tinggi kemampuan yang dimiliki oleh seseorang merupakan salah satu di bangku sekolah tidak menjamin keberhasilan pendorong mobilitas sosial. seseorang dalam hidup. Sebab, angka (nilai) tinggi hanya menunjukkan salah satu aspek kecerdasan, yaitu kecerdasan intelektual. Padahal untuk berhasil dalam hidup, seseorang tidak hanya dapat mengandalkan kecerdasan intelektual semata. Aspek-aspek kecerdasan lainnya perlu dikem- bangkan melalui pendidikan, antara lain kecerdasan emosional, kecerdasan sosial, kecerdasan spiritual, kecerdasan estetika, kecerdasan berbahasa, kecerdasan spasial, kecerdasan eksistensial, kecerdasan kinestik, dan kecerdasan motorik. Semua aspek kecerdasan tersebut dapat memengaruhi keberhasilan seseorang dalam hidup sehingga perlu dikembangkan di sekolah. Apakah Anda di sekolah telah merasakan hal demikian?

Misalnya, orang yang memiliki kemampuan melukis atau bernyanyi ternyata sukses dalam hidupnya. Orang-orang seperti itu mungkin saja tidak cerdas secara intelektual, tetapi kemampuan dalam berolah seni (estetika) telah membuatnya mencapai kedudukan sosial ekonomi bagus. Demikian juga para olahragawan yang telah membuktikan kemampuannya dalam bidang olah tubuh (kinestik).

Mobilitas Sosial

Ia mempunyai kesempatan besar untuk merubah kehidupannya. Demikian juga kecerdasan sosial, yang aktualisasinya berupa kemampuan bergaul dengan orang lain. Orang yang mampu bergaul (dalam arti positif) mengetahui cara meng- hadapi orang lain demi keuntungan dirinya. Orang seperti ini cerdas dalam membaca situasi dan kondisi, sehingga tidak bertingkah yang merugikan dirinya. Sebaliknya, dia mampu menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan, sehingga caranya berperilaku membuatnya memperoleh dukungan dari orang lain dalam meraih keberhasilan. Orang seperti ini sering dijuluki dengan sebutan ‘pintar bermain’ atau ‘pintar membaca situasi’. Ini merupakan salah satu bentuk ke- cerdasan tersendiri yang tidak diajarkan secara khusus di sekolah. Anda dapat mempelajarinya dengan banyak bergaul.

Semua aspek kecerdasan dapat dikembangkan dalam proses pendidikan. Sehingga, siswa memiliki kemampuan sesuai bakat masing-masing. Pendidikan merupakan faktor yang sangat penting dalam mobilitas sosial vertikal naik. Kecuali itu, dengan memiliki tingkat pendidikan yang cukup, seseorang dapat meraih tiga faktor sekaligus untuk mendukung naiknya status sosial seseorang. Tingginya pendidikan yang dimiliki membuat seseorang dihormati di masyarakat. Kecuali itu, pendidikan seseorang dapat mengantarkannya memperoleh pe- kerjaan yang bagus. Dengan pekerjaan yang bagus, maka pendapatannya menjadi besar. Semakin mudahlah baginya memperoleh status sosial yang lebih tinggi.

Prestasi cemerlang di bangku sekolah selain mencerminkan kemampuan intelektualnya, juga menjadi petunjuk mengenai pibadi seseorang dalam menghadapi tanggung jawab. Walaupun pendidikan bukan satu-satunya penentu tingkat kemampuan seseorang, namun kenyataannya setiap pekerjaan men- cantumkan syarat tingkat pendidikan tertentu. Paling tidak seseorang harus bisa membaca dan menulis agar diterima di pasaran kerja.

Sisi lain dari faktor individu adalah etos kerja. Etos kerja dapat diartikan sebagai kebiasaan yang telah menjadi ciri khas seseorang atau suatu masyarakat dalam bekerja. Kebiasaan itu berkaitan dengan kebudayaan dan nilai-nilai sosial. Kita umumnya mengagumi kebiasaan kerja orang Jepang, sehingga mengang- gap mereka sebagai bangsa yang gila kerja. Sampai-sampai suatu ketika perdana menterinya menganjurkan agar bangsa Jepang mengurangi semangat kerjanya agar pertumbuhan ekonominya tidak terlalu tinggi. Hal ini sungguh berlawanan dengan etos kerja bangsa kita. Seringkali presiden menganjurkan agar kita be- kerja keras untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Inilah gambaran nyata etos kerja masyarakat.

Individu pun dapat mengembangkan etos kerja pribadi. Sebuah penelitian (Vaillant & Vaillant, 1981) telah menyimpulkan bahwa kebiasaan yang dilakukan sejak masa kanak-kanak merupakan petunjuk penting untuk memperkirakan berhasil atau tidaknya seseorang di masa dewasa nanti. Jadi, sejak sekarang hendaknya Anda mulai membiasakan diri dengan tekun, rajin, ulet, pantang menyerah, dan suka bekerja keras. Apabila kebiasaan itu telah menjadi etos

96 Sosiologi SMA/MA Kelas XI 96 Sosiologi SMA/MA Kelas XI

Ketekunan dalam berusaha tercermin juga dalam peribahasa yang berbunyi berakit-rakit ke hulu berenang-renang ketepian, bersakit-sakit dahulu bersenang- senang kemudian. Apabila seseorang ingin mencapai keberhasilan di masa depan, harus mau berjuang dari sekarang. Misalnya Anda saat ini sedang dalam masa sekolah. Bertahun-tahun Anda belajar sejak dari SD, SMP, SMA, hingga nanti di perguruan tinggi pada dasarnya adalah perjuangan panjang. Anda rela menghabiskan waktu lama untuk menekuni bangku sekolah, padahal di luar sekolah banyak kesenangan ditawarkan. Anda meninggalkan kesenangan sesaat yang ditawarkan itu demi mencapai cita-cita. Faktor seperti ini juga akan menen- tukan kemampuan Anda dalam meraih keberhasilan di masa depan.

c. Faktor Keberuntungan Anda tentu pernah mendengar, ada orang yang tidak perlu bekerja keras

tiba-tiba mendapat hadiah berupa uang ratusan juta karena memenangkan undian atau kuis. Sementara banyak orang yang bekerja membanting tulang berpuluh-puluh tahun sulit mengumpulkan tabungan sebesar itu. Hal ini berarti dari segi pendapatan orang tersebut mengalami mobilitas naik. Di sinilah peran faktor keberuntungan memengaruhi mobilitas sosial.

Faktor keberuntungan sebenarnya mempunyai peranan yang kecil dalam keberhasilan seseorang. Setiap orang yang berhasil dalam hidupnya mengakui bahwa sebagian besar keberhasilannya adalah hasil dari usaha keras. Keber- hasilan tidak datang dengan tiba-tiba tanpa diupayakan. Peran faktor keberun- tungan hanyalah 1%, sedangkan 99% adalah kerja keras. Oleh karena itu, agama mengajarkan kepada kita untuk bekerja dan berdoa. Usaha yang pertama adalah bekerja dan berusaha, sedangkan doa ada pada urutan berikutnya. Walaupun faktor keberuntungan turut menjadi penentu, namun kita hendaknya jangan bersikap fatalistik atau menyerah kepada takdir. Sebab, Tuhan tidak akan mem-berikan kesuksesan tanpa orang itu mengusahakannya sendiri.