Integrasi Sosial dalam Masyarakat Multikultural

D. Integrasi Sosial dalam Masyarakat Multikultural

Lebih dari 250 suku bangsa di Indonesia memiliki bahasa dan latar belakang kebudayaan yang berbeda. Pada saat masing-masing berada da- lam pergaulan dengan sesama ang- gota kelompok sosial masing-masing, tentulah tidak ada persoalan kebu- dayaan. Namun, ketika mereka ber- gaul dengan kelompok sosial lain, maka sikap saling menghargai kebu- dayaan yang berbeda menjadi sangat penting. Lebih-lebih para kaum urban di kota-kota yang merupakan komu- nitas dengan beragam latar belakang etnik dan kebudayaan. Kesadaran hidup dalam masyarakat muktikultural juga menyangkut penghargaan ter- hadap status dan hak-hak kaum wanita.

Suku-suku bangsa di Indonesia menjunjung tinggi semboyan ‘Bhinne- ka Tunggal Ika’ sebagai wujud sikap penghargaan terhadap perbedaan kebudayaan, demikian juga di negara-negara lain yang masyarakatnya multikultur. Negara-negara Eropa bekas penjajah memiliki kelompok-kelompok etnik yang berasal dari wilayah jajahannya. Untuk menghargai kebudayaan mereka berbagai upaya telah dilakukan. Diantaranya adalah dengan mengajarkan sikap saling memahami perbedaan agama di antara warganya. Sebagai contoh, runtuhnya politik apartheid di Afrika Selatan, melahirkan semboyan ‘Afrika Selatan adalah milik semua orang yang hidup di dalamnya, persatuan dalam keanekaragaman’. Semboyan itu menjadi tanda dimulainya sikap menghargai kebudayaan etnik-etnik asli Afrika. Bahkan, Afrika Selatan membentuk suatu komisi khusus yang bertugas melindungi hak hidup berbagai kebudayaan, agama, dan bahasa yang ada di sana. Pada tahun 1970-an, Australia meski agak terlambat juga mulai memberi kewenangan kepada suku Aborigin (penduduk asli benua Australia) untuk mengatur warisan kebudayaan nenek moyang mereka. Pengakuan terhadap hak milik atas tanah orang aborigin baru diberikan tahun 1972. Di Selandia Baru, mulai ada pengakuan terhadap hak-hak orang suku Maori atas warisan sejarahnya, termasuk menyerahkan wewenang yang lebih luas kepada suku itu untuk mengatur urusan internalnya sendiri.

Gambar 6.8 Keanekaragaman bentuk integrasi sosial yang ada di Indonesia.

Sumber: Insight Guides

Walaupun kesadaran hidup dalam masyarakat multikultural telah semakin meluas, namun masih banyak tantangan yang menghadang. Salah satunya adalah perlunya dikembangkan sistem nilai sosial dan sistem hukum yang menjamin agar keragaman kebudayaan dan bahasa tetap dihargai dan dilindungi.

Masyarakat pluralistik seperti Indonesia memiliki banyak kelompok suku, ras, agama, dan etnik. Belum lagi kelas-kelas sosial yang terbentuk akibat kesenjangan ekonomi. Ada sekelompok kecil orang yang mampu menjadi pengu- saha besar dengan aset ratusan triliun rupiah, ada kelas menengah yang mempunyai pekerjaan bagus, pendidikan tinggi untuk menunjang karirnya itu, penghasilannya pun memungkinkan mereka hidup dengan nyaman. Namun, ada juga puluhan juta orang di Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan.

Kondisi semacam itu sebenarnya rawan akan perpecahan (disintegrasi) dan konflik sosial. Suatu masyarakat yang selalu dilanda konflik dan disintegrasi senantiasa tidak nyaman bagi warganya, terganggu perkembangan dan per- tumbuhan ekonominya. Pada akhirnya, ketidakstabilan sosial itu berujung pada terpuruknya masyarakat ke dalam lembah kemiskinan. Sebab, kekacauan sosial sangat mengganggu kegiatan ekonomi. Padahal, semakin meluasnya kemiskinan dan semakin dalamnya jurang perbedaan akan berpotensi menimbulkan konflik dan perpecahan. Kecemburuan sosial akibat kesenjangan ekomoni sering meningkatkan angka kriminalitas dan protes sosial, misalnya kaum buruh yang merasa tidak memperoleh penghasilan cukup ramai berdemontrasi atau mogok kerja. Sementara itu, keterpurukan ekonomi masyarakat tidak memungkinkan pengusaha meningkatkan keuntungannya, termasuk untuk menaikkan menggaji para buruh.

Demikian juga kesenjangan sosial yang muncul antarkelompok etnik. Kelompok etnik Papua dan masyarakat Indonesia bagian timur lainnya yang hingga kini belum menikmati kemakmuran setara dengan warga negara Indonesia di bagian barat (Jawa, Sumatra, Sulawesi, Bali) menuntut disintegrasi. Perlakuan tidak adil yang mereka terima selama ini membuat mereka tidak puas, sehingga muncullah tuntutan-tuntutan pemisahan diri yang dimotori OPM (Organisasi Papua Merdeka). Dengan alasan yang hampir serupa, Aceh dengan Gerakan Aceh Merdeka dan Maluku dengan Republik Maluku Selatan pernah menuntut untuk melepaskan diri dari kesatuan Republik Indonesia.

Kondisi seperti di atas sungguh sangat tidak diharapkan siapa pun. Bagaimana pun juga, hidup bersama dalam satu kesatuan negara besar Republik Indonesia tetap lebih baik. Berdiri sendiri-sendiri dalam suatu negara-negara kecil akan lebih lemah dan mudah dipermainkan negara lain yang lebih besar. Oleh karena itu, sesungguhnya kesadaran untuk tetap menjaga persatuan dan kesatuan Republik Indonesia hendaknya tetap harus dimiliki oleh rakyat Indonesia. Namun, kesadaran hanyalah salah satu hal yang memang penting untuk diupayakan. Akan tetapi, kenyataan masyarakat Indonesia yang pluralistik seperti yang digambarkan di atas adalah hal lain yang perlu diwaspadai.

198 Sosiologi SMA/MA Kelas XI

Konsekuensi-konsekuensi adanya berbagai ragam suku bangsa, agama, dan kelas sosial ekonomi harus dikelola sehingga keutuhan negara kesatuan republik Indonesia tetap terjaga.

Ada beberapa upaya yang bersifat sosial budaya yang dapat dilakukan untuk mempertahankan integrasi masyarakat. Akan tetapi, setiap upaya tidak berdiri sendiri melainkan harus berjalan bersama-sama dengan upaya lain. Lagi pula setiap upaya tidak selalu dapat diterapkan terhadap setiap kasus yang terjadi. Setiap konflik atau ancaman integrasi yang terjadi di antara kelompok dan kelas sosial memiliki karakteristik tersendiri sehingga memerlukan pendekatan yang khusus pula. Oleh karena itu, pemilihan cara dan pendekatan dalam upaya penanganan konflik dan disintegrasi sosial ditentukan oleh situasi dan kondisi masyarakat dan sifat kasusnya. Integrasi sosial dalam masyarakat mutikultural umumnya berlangsung dalam dua pola, yaitu normatif dan sosiatif. Pola integrasi normatif menekankan pada kepatuhan semua individu atau kelompok sosial dalam masyarakat terhadap aturan-aturan baku yang diberlakukan secara umum dan mengikat. Pola ini ditandai dengan adanya perangkat-perangkat formal yang mengatur hubungan antarindividu maupun antarkelompok. Perangkat- perangkat ini dioperasionalkan oleh lembaga yang juga bersifat formal, contoh- nya lembaga yudikatif (pengadilan, jaksa, dan MA) yang mengatur hubungan antarindividu dalam wilayah hukum.

Pola yang kedua adalah sosiatif. Pola integrasi ini menekankan pada kesadaran sosial yang dimiliki oleh individu atau kelompok dan kekuatan luar yang mempunyai pengaruh yang kuat pada masyarakat. Keberadaan perangkat- perangkat tidak dalam bentuk yang formal, tetapi cukup mengikat secara moral dan sosial. Kekuatan luar antara lain terdiri dari pemuka agama, tokoh masya- rakat, tokoh sosial, dan pemimpin adat. Melalui mereka, nilai-nilai yang mem- persatukan individu dan kelompok sosial dalam masyarakat multikultural dapat diharapkan keberhasilannya, misalnya pertemuan tokoh lintas agama. Per- temuan ini akan berpengaruh terhadap meredupnya ketegangan dalam masya- rakat yang bersumber pada perbedaan agama dan keyakinan.

Beberapa metode untuk melaksanakan integrasi sosial adalah sebagai berikut: