Makna Simbolik Arsitektur Masjid
71
Guna adalah selalu berkaitan dengan kegunaan, untuk apa bangunan itu dibangun dan dengan dengan maksud yang bagaimana bangunan itu dibuat.
Sedangkan makna kata Citra adalah, bagaimana kesan dan penghayatan akan makna simbolik yang mungkin ditimbulkan dari sebuah bangunan.
146
Dapat diketahui dalam bebrapa aspek, yaitu:
1. Politik
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa asal kata dari Pathok Negoro, adalah batas negara. Masjid Pathok Negoro secara nyata
adalah batas negara Kesultanan Yogyakarta dengan Kasunanan Surakarta dalam bentuk bangunan rumah ibadah. Masjid di masa penjajahan selain
berfungsi sebagai tempat ibadah, juga berfungsi sebagai tempat untuk bermusyawarah, menggalang persatuan dan kesatuan untuk mengusir
penjajah.
147
Semenjak berdiri negara Kesultanan Yogyakarta di tahun 1755 M, Masjid Pathok Negoro telah menjadi semacam tanda perbatasan wilayah
antara Kesultanan Yogyakarta dengan Kasunanan Surakarta. Pada masa itu sebelum tahun 1830 M wilayah Kesultanan Yogyakarta dengan Kasunanan
Surakarta saling bercampur aduk, sehingga dibutuhkan batas politis berupa bangunan atau tetenger tertentu yang menandakan batas wilayah negara
masing-masing.
146
Eko Budihardjo, Arsitektur dan Kota di Indonesia, Bandung: Penerbit Alumni, 1991, hlm. 9.
147
G.M Sudarmika, “Tinggalan Arkeologi Sebagai Salah Satu Wahana Pemersatu
Unsur Bangsa”, dalam, Proceeding EHPA, Mencermati Nilai Budaya Masa Lalu Dalam Menatap Masa Depan, Bedugul 14-17 Juli 2000, Jakarta: Proyek Peningkatan Penelitian
Arkeologi, 2001, hlm. 292.
72
Simbol berupa
pengakuan Masjid-Masjid
Pathok Negoro
memunculkan kesan bahwa Sultan, sebagai pemimpin negara Kesultanan Yogyakarta, melindungi aset fisiknya secara politis dengan mengakui secara
informal dan formal, daerah yang mengembangkan agama Islam dengan memberikan keistimewaan tanah dan penduduknya, sebagai bagian dari klaim
religius dengan cara melindungi di bawah naungannya. Masjid Pathok Negoro Plosokuning adalah daerah perbatasan milik
Kesultanan Yogyakarta, yang terletak di perbatasan bagian barat laut Kasunanan Surakarta dan timur laut dari ibukota raja Kesultanan Yogyakarta.
Kondisi berbeda terjadi di Kasunanan Surakarta, hal itu terjadi karena di Kasunanan Surakarta tidak mempunyai keadaan dan ketentuan seperti itu,
tidak ada tanda perbatasan yang jelas, seperti tonggok batas atau bangunan yang diakui oleh pihak Kasunanan Surakarta terhadap wilayahnya.
Sultan dengan tegas menyatakan bahwa daerah Masjid yang ada di lima sisi Kotaraja Kesultanan Yogyakarta, yang berbatasan dengan wilayah
Kasunanan Surakarta, sebagai bagian dari Kesultanan Yogyakarta dengan cara membentuk dan mengintegrasikannya dalam birokrasi Kesultanan
Yogyakarta. Hal itu ditandai dengan terbentuknya sistem birokrasi, sebagaimana telah dijelaskan dalam poin sebelumnya.
Selama masa Perang Jawa 1825-1830 M yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro, Masjid Pathok Negoro Plosokuning secara aktif ikut
membantu perjuangannya melalui penyediaan logistik, tenaga dan tempat
73
bernaung serta beristirahat bagi pasukan yang sedang bertempur melawan Belanda.
148
Banyak para pejabat penting kraton dan keluarga raja yang berkunjung secara berkala ke Masjid Pathok Negoro Plosokuning selama
masa Kolonial, menandakan bahwa secara politis, keberadaan Masjid Pathok Negoro Plosokuning diakui secara politis. Konsep arsitektur Jawa yang
muncul dalam bentuk arsitektur Masjid Pathok Negoro Plosokuning, menandakan bahwa Sultan sebagai pemimpin Kesultanan Yogyakarta, masih
memegang teguh adat Jawa serta agama Islam yang saleh, yang sederhana dan religius, dengan mendirikan tonggak agama dan melestarikannya sebagai
bagian dari garis besar negara Kesultanan Yogyakarta, yang berupaya melindungi serta mengembangkan agama Islam di tanah Jawa.
Walaupun sempat dicurigai sebagai sarang perlindungan para pemberontak, namun Masjid Pathok Negoro Plosokuning tidak pernah
dihancurkan oleh Belanda. Belanda hanya memaksa korps yang menaungi aspek religius Kesultanan Yogyakarta, yaitu korps Suronoto, dipisahkan
secara politis dari induknya yaitu kraton, serta dirontokkan kewenangannya, yaitu dengan pembubaran korps Suronoto di tahun 1830 M. Walaupun telah
terjadi pemisahan secara birokratis selama masa kolonial, namun pihak kraton tetap memperhatikan perkembangan Masjid Pathok Negoro Plosokuning,
meskipun hanya dalam bentuk pembangunan fisik.
148
Meskipun tidak ada catatan resmi, namun ada indikasi bahwa penduduk di sekitar dan takmir Masjid Pathok Negoro Plosokuning membantu Pangeran Diponegoro, yang
diwujudkan dengan adanya pohon sawo yang menjadi simbol pusat komunikasi bagi pasukan yang berperang. Lagipula Pangeran Diponegoro sering sekali berkunjung ke daerah-daerah
pusat kajian Islam untuk belajar dan bertemu tokoh ulama. Salah satu bukti Masjid yang menjadi sasaran serangan pasukan Belanda adalah Masjid Pathok Negoro Dongkelan, yang
dibakar Belanda di tahun 1825.
74
Selama masa kolonial hingga terjadinya Perang Kemerdekaan 1945- 1949 M, Masjid Pathok Negoro Plosokuning yang telah menjadi salah satu
tempat penggemblengan spiritual rakyat Yogyakarta, mendapat perlindungan secara maksimal dari Sultan Hamengkubuwono.
149
Belanda sepertinya mengerti, apabila Belanda menganggu aktivitas Masjid Pathok Negoro
Plosokuning, berarti menganggu agama rakyat dan melukai hati Sultan Hamengkubuwono sebab pengasuh dan pengurus Masjid, masih kerabat
Sultan dan abdi dalem-nya, sebagai pemimpin spiritual Islam rakyat Yogyakarta. Oleh karena itu Sultan Hamengkubuwono selama masa Perang
Kemerdekaan enggan bekerjasama dengan Belanda dan bahkan terus berkomunikasi dengan kaum ulama dan gerilyawan melalui kurirnya.
150
2. Budaya
Konsep arsitektur yang dimunculkan di Masjid Pathok Negoro Plosokuning, adalah hasil penghayatan adat dan tradisi arsitektur lokal di
tanah Jawa pada waktu itu. Bangunan rumah ibadah seperti masjid di Jawa, tentu selalu mengikuti pakem atau standar yang telah lebih dulu ada, yaitu
Masjid Agung Demak.
151
Bangunan Masjid tidak pernah ditentukan standar bentuknya dalam Islam, bahkan tiap daerah mempunyai standar dan gaya
arsitektur nya sendiri, sehingga inti nilainya, yaitu beribadah sholat dan aktivitas religius lainnya, tidak terganggu oleh adanya perbedaan bentuk.
Hanya tujuan penghadapan nya tetap sama, yaitu menghadap kiblat sebagai
149
Albaab, Masyarakat Jawa dan Modernisasi Potret Kontemporer Masyarakat “Masjid Pathok Negoro Plosokuning, hlm. 38.
150
Selo Soemardjan, Perubahan Sosial Di Kota Yogyakarta, Depok: Komunitas Bambu, 2006, hlm. 36.
151
Kayam, “Arsitektur Masyarakat Transisi”, dalam Eko Budihardjo ed., Jatidiri Arsitektur Indonesia, hlm. 179.
75
pusat penghadapan umat Islam dalam menjalankan ibadah shalat di seluruh dunia, serta adanya tempat pengimaman.
152
Keadaan itulah yang memunculkan akulturasi budaya dan nilai Islam yang terwujud dalam
arsitektur Masjid Pathok Negoro Plosokuning di Kesultanan Yogyakarta. Sebagai Masjid Pathok Negoro dengan status otonomi yang lebih
rendah dari Masjid Agung Kraton, maka standar pembangunannyapun berbeda dan disesuaikan dengan yang lebih tinggi derajatnya secara
birokratis. Contoh paling mudah dilihat adalah atap tumpang yang hanya berundak bersusun dua dan bukan tiga seperti di Masjid Agung Kraton.
153
Kraton Yogyakarta adalah salah satu simbol dan pusat dari kebudayaan masyarakat Jawa. Makin jauh masyarakat dari kraton, maka
makin jauh dan makin pudar pula cerminan budaya yang terpancar dan muncul dari dalam kraton,
154
oleh sebab itu setiap raja berusaha untuk mencitrakan dan selalu berusaha membawa sejauh mungkin hasil-hasil yang
telah dia ciptakan untuk rakyatnya.
155
Mengikuti tradisi konstruksi dalam budaya Jawa, maka rumah-rumah di sekitarnyapun dibuat mengikuti kaidah arsitektur Jawa, terutama bagian
atap dan tata letak ruangan nya.
156
Meskipun telah terjadi perubahan secara perlahan, namun arsitektur utama Masjid Pathok Negoro Plosokuning tetap
152
Oloan Situmorang, Seni Rupa Islam, Pertumbuhan dan Perkembangannya Bandung: Angkasa, 1993, hlm. 3.
153
S iswanto, “Pudarnya Arsitektur Tropis Indonesia”, dalam Eko Budihardjo ed.,
Jatidiri Arsitektur Indonesia, hlm. 161-162.
154
Kuntowijoyo, Raja, Priyayi dan Kawulo, hlm. 21.
155
Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya 3: Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris, hlm. 153.
156
Jogja Heritage Society, Pedoman Pelestarian Bagi Pemilik Rumah : Kawasan Pusaka Kotagede, Yogyakarta, Indonesia, hlm. 17.
76
lestari sebagai simbol arsitektur dalam budaya Jawa, yang sesuai dengan kaidah-kaidahnya.
Aspek budaya lainnya yang diwujudkan dalam arsitektur Masjid Pathok Negoro adalah pelestarian budaya Jawa, yang dilakukan secara nyata
dibangun sesuai dengan kaidah dan panduan dalam adat dan tradisi masyarakat Jawa, baik dalam tata peletakan maupun pemunculan simbol-
simbolnya. Masyarakat yang tinggal di sekitar Masjid Pathok Negoro Plosokuning, juga ikut memaknai simbol-simbol arsitektur Masjid Pathok
Negoro Plosokuning dengan caranya sendiri, berupa aktifitas sosial dan religius, yang ditujukan semata-mata untuk beribadah kepada Allah SWT.
157