Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
2
itu banyak bangsawan yang angkat senjata melawan keadaan tersebut. Pada tahun 1746 M, ibukota Mataram dipindah dari Kartasura Surakarta oleh
Pakubuwono II. Selepas wafatnya Pakubuwono II pada tahun 1749 M., keadaan di dalam istana Surakarta sudah sedemikian genting, ditandai dengan
polarisasi perlawanan di bawah pimpinan Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said. Perang tersebut berakhir dengan kesepakatan pembagian Mataram
Palihan Nagari dalam perjanjian Giyanti 1755 M.
4
Konflik yang terjadi belum berakhir antara Pangeran Mangkubumi yang sekarang bergelar Sultan
Hamengkubuwono I dengan Raden Mas Said dan VOC. Setelah berperang cukup lama, akhirnya Raden Mas Said diberikan sebuah kerajaan mandiri
oleh VOC dalam perjanjian Salatiga 1757 M, dengan gelar Pangeran Adipati Mangkunegara.
5
Setelah berakhirnya perjanjian itu, wilayah Mataram terbagi tiga menjadi Surakarta, Yogyakarta dan Mangkunegara. Sementara untuk
wilayah pesisir mulai dari Tegal, Semarang, Surabaya hingga Pasuruan, menjadi milik dan di bawah pengawasan langsung VOC. Setelah VOC runtuh
dan berganti kekuasaan selingan Inggris dalam Perang Napoleon, Yogyakarta kemudian dibagi lagi menjadi Kadipaten Pakualam pada perjanjian Tuntang
1811 M.
6
Setelah berakhirnya konflik berkepanjangan pada pertengahan abad ke-18, Yogyakarta terus membenahi dirinya, termasuk mengadakan
4
Anton Satyo Hendriatmo, Giyanti 1775, Perang Perebutan Mahkota III dan Terbaginya Kerajaan Mataram Menjadi Surakarta dan Yogyakarta, Tangerang: CS Book,
2006, hlm. 138-139.
5
M.C Ricklefs, Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi 1749-1792, Sejarah Pembagian Jawa, terj. E. Setyawati Alkathab, Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002, hlm. 87.
6
Peter Carey, Asal-usul Perang Jawa, Pemberontakan Sepoy dan Lukisan Raden Saleh, terj. Rahmat Widada, Yogyakarta: LKiS, 2004, hlm. 21.
3
pembangunan dan pengembangan wilayah, salah satunya adalah pendirian Masjid
Pathok Negoro,
sebagian besar
atas prakarsa
Sultan Hamengkubuwono I. Itulah keunikan Kesultanan Yogyakarta yang tidak
dimiliki oleh kerajaan saudaranya yang lain. Masjid Pathok Negoro juga sebagai suatu tanda batas bagi konsep sistem kewilayahan dan kekuasaan
Sultan yang disebut Negaragung
7
yang diri Sultan sendiri yang memerintah wilayah tersebut.
8
Keadaan yang damai dan makmur yang dialami oleh rakyat Yogyakarta sejak tahun 1755 M berlanjut hingga berlangsungnya Perang
Jawa pada 1825-1830 M. Masjid dan pondok pesantren merupakan basis massa Islam yang kuat di Jawa, yang menjadi pendukung perjuangan
Pangeran Diponegoro,
meskipun Belanda
berusaha merebut
dan menghancurkannya dengan membuat jaringan jalan dan benteng dalam
strategi fort stelsel.
9
Belanda tidak dapat melakukannya, satu-satunya yang bisa dilakukan adalah, memisahkan dan menghentikan bantuan dari pihak
kraton Sultan, yang sejak berakhirnya Perang Jawa sudah acuh tak acuh lagi hingga masa Revolusi Kemerdekaan.
10
Pada saat kekuasaan Sultan di bidang keagamaan telah dipisahkan dari kewenangannya oleh pemerintah Kolonial Belanda, maka Sultan hanya
menjadi simbol saja. Sultan tidak dapat lagi bebas membina aspek keagamaan
7
Negara Agung: wilayah di bawah pengawasan langsung sultan raja.
8
Aminuddin Kasdi, Perlawanan Penguasa Madura Atas Hegemoni Jawa, Relasi Pusat-Daerah Pada Periode Akhir Mataram 1726-1745, Yogyakarta: Jendela, 2003, hlm.
7.
9
Saleh Asad Djamhari, Strategi Menjinakkan Diponegoro: Stelsel Benteng 1827- 1830, Depok: Komunitas Bambu, 2008, hlm. 125 dan 148.
10
Muslimin, ‘’Perlawanan Ulama di Yogyakarta dalam Melawan Politik Pendidikan
Kolonial 1910-1942 ’’, Skripsi S1 pada Program Studi Sejarah dan Kebudayaan Islam
Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga, 2010, hlm. 42. tidak diterbitkan
4
rakyatnya. Salah satu cara agar Sultan dan pihak keagamaan kepengulon terus berkontribusi dengan memberi dukungan secara langsung, berupa
pemberian status administratif dan penguatan kerohanian keluarganya dengan mengirim belajar ke pondok pesantren yang menjadi satu dengan masjid,
salah satunya ada di Masjid Pathok Negoro Plosokuning.
11
Masjid dan pondok pesantren sebagai pusat kajian agama Islam adalah daerah bebas pajak sejak zaman Sultan Agung hingga Perjanjian
Giyanti. Meskipun telah terjadi peristiwa pembantaian ulama dan keluarganya pada masa Amangkurat I. Daerah-daerah tersebut disebut daerah mutihan
dengan sifat tanah perdikan yang bebas pajak, warga di sekitar wilayah itu disebut kaum, meskipun terdapat ikatan kebangsawanan dan protokoler raja,
namun tidak terikat oleh aturan-aturan kraton yang sangat berbeda dengan tradisi kaum santri. Masjid juga dibangun dengan konstruksi yang megah,
dengan kolam di sekelilingnya ditambah dengan taman, mengikuti konsep- konsep konstruksi Masjid Demak.
12
Pada wilayah Kesultanan Yogyakarta, terdapat lima buah masjid yang menjadi penanda batas kekuasaan sultan, sekaligus sebagai benteng
religius rakyat Yogyakarta, dengan sebutan istilah Masjid Pathok Negoro yaitu Mlangi di barat daya, Plosokuning di utara, Babadan di timur,
Wonokromo di tenggara dan Dongkelan di selatan kraton Yogyakarta.
13
11
Muslimin, Perlawanan Ulama di Yogyakarta dalam Melawan Politik Pendidikan Kolonial 1910-1942, hlm. 42
12
Inajati Adrisijanti, Arkeologi Perkotaan Mataram Islam, Yogyakarta: Jendela, 2000, hlm. 15.
13
Dharma Gupta, dkk., ed., Toponim Kota Yogyakarta, Yogyakarta: Dinas Pariwisata, seni dan Budaya Kota Yogyakarta, 2007 hlm. 43.
5
Masjid Pathok Negoro Plosokuning yang didirikan pada tahun 1724, oleh Kyai Mursodo anak Kyai Nuriman yang mendirikan Masjid
Pathok Negoro Mlangi, juga mengikuti aturan dan konsep arsitektur dari Masjid Demak, yang terus bertahan hingga saat ini setelah menjadi saksi
berbagai macam peristiwa. Masjid ini juga mengikuti konsep tata negara dan kota yang dikenal sebagai konsep kekuasaan dan kewilayahan yang disebut
papat kalimo pancer dengan raja sebagai pusatnya, konsep jaringan ini sangat berbeda dari Kasunanan Surakarta.
14
Penelitian ini dianggap menarik dan unik, karena hal ini adalah sebuah kajian sejarah arsitektur dari sebuah Masjid Pathok Negoro, yang
hanya ada di Kesultanan Yogyakarta. Hal tersebut dianggap sebagai indikator perubahan, baik politik maupun budaya, bagi legitimasi kekuasaan dari salah
satu Kerajaan Jawa yaitu Kesultanan Yogyakarta. Ditemukannya kesatuan- kesatuan ideologis dan simbolis, dalam kekuasaan religius raja yang jarang
dipandang para sejarawan, sebagai suatu kajian sejarah kebudayaan yang komprehensif dan utuh dalam memahami perubahan, dan dampaknya bagi
sosio-kultural dari sebuah karya seni berupa arsitektur masjid dalam kurun waktu tertentu.
Dengan mencermati latar belakang di atas, ada beberapa permasalahan yang muncul antara lain :
1. Kenapa didirikan Masjid Pathok Negoro Plosokuning?
2. Apa yang menjadi keunikan dari Masjid Pathok Negoro
Plosokuning?
14
Delih Kurniawan, ‘’Yogyakarta 1900-1940 Kajian Historis Tata Kota’’, Skripsi
S1 pada Program Studi Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga, 2011, hlm. 65. tidak diterbitkan
6
3. Bagaimana kondisi arsitektur Masjid Pathok Negoro
Plosokuning? 4.
Apa yang menyebabkan Masjid Pathok Negoro Plosokuning masih mempertahankan bentuk aslinya?
5. Kenapa Masjid Pathok Negoro Plosokuning mendapat status
Masjid Pathok Negoro? 6.
Apa fungsi berdirinya Masjid Pathok Negoro Plosokuning bagi masyarakat?