Komposisi Struktur Masjid GAMBARAN UMUM

43 bahan utama yang digunakan dalam konstruksi masjid terdiri dari enam bahan, yaitu: kayu, batu, tanah dapat berupa keramik, genteng dan batu bata, pasir dan kapur sebagai pelapis batu bata atau disebut plesteran, 88 logam, serta kaca sebagai bahan tambahan. Struktur masjid terbagi dalam dua bagian, sebagaimana pembagian dalam tata peletakan struktur masjid, yaitu bagian dalam masjid dan bagian luar masjid. Bagian-bagian di dalam lingkungan masjid tersebut pada pembahasan di poin ini, akan dijelaskan mengenai komposisi struktur yang dimaksud berupa, bahan dan ukuran, yaitu: 1. Bagian Dalam Bagian dalam masjid berbahan dasar tanah batu bata dan genteng kayu, logam dan kaca. Bagian yang berbahan dasar tanah batu bata adalah dinding tembok, dahulu bagian dinding terbuat dari lembaran papan kayu jati. Jika mengacu pada keterangan dari buku R. Suprobo, maka masjid Pathok Negoro Plososkuning sejak tahun 1812 M, diganti dengan dinding tembok dinding tanah batu bata yang belum dilapisi oleh plester pasir dan kapur. Perbaikan dinding kembali dilakukan setelah tahun 1869 M, yaitu pasca gempa besar yang melanda Yogyakarta pada tahun 1867 M, maka semua dinding masjid Pathok Negoro yang ada di Yogyakarta dilapisi dengan plester 88 Aspek percampuran budaya Indies, dapat dilihat antara Barat dan Jawa dalam Masjid berupa dinding tembok. Djoko Soekiman, Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di Jawa, Abad XVIII-Medio Abad XX, hlm. 59. 44 pasir dan kapur. 89 Plester kapur dan pasir kemudian dilapisi lagi oleh plester semen pada saat renovasi besar tahun 1984 M. 90 Bahan kayu menjadi bagian paling penting di bagian dalam masjid, karena untuk pengantian dan pembenahannya, harus dikonsultasikan dahulu dengan BP3 DIY dan Balai Arkeologi Yogyakarta, karena bangunan ini termasuk dalam pengawasan kedua lembaga tersebut. Hanya sangat disayangkan, bahan dasar tanah genteng kreweng di atap utama masjid dari sebelumnya atap sirap, telah diganti dengan bahan yang tidak mendekati asli, yang tersisa hanya bagian puncak atap bersusun dua yang disebut mustaka. 91 Bahan dasar Mustaka yang sekarang, terbuat dari susunan logam seng, dahulu terbuat dari tanah liat bakar seperti bahan untuk genteng gada sulur.Walaupun sekarang bahannya berubah, namun bentuk aslinya masih tetap mengikuti ketentuan dari Kraton Yogyakarta. 92 Sisi kepraktisan menjadi hal utama, yaitu karena mudah diganti dengan model yang sama jika ada kerusakan. 93 Pada bagian utama tengah masjid ruangan salat yang ditopang oleh empat tiang sokoguru, terdapat semacam plafond tepat di atas struktur dada 89 Abdul Rochym, Mesjid Dalam Karya Arsitektur Nasional Indonesia, Bandung Angkasa, 1983, hlm. 63. 90 R. Suprobo, Sejarah Masjid Jami’ Pathok Negoro, Plosokuning, Minomartani, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta, hlm. 14. 91 Pada keterangan berbeda, bahwa genteng kreweng yang baru, dipasang pada renovasi di tahun 1946. Oleh hasil reportase, M. Fah rurrozaq, dalam program acara “Tasbih”, yang diproduksi oleh ADITV, tahun 2010. 92 Tim Museum Sonobudoyo, Masjid-Masjid Pathok Negoro di Kasultanan Yogyakarta, Yogyakarta: Museum Sonobudoyo Kraton Yogyakarta, 2009, hlm 63. 93 Hasil wawancara dengan bapak R Muh. Baghowi, pada tanggal 7 Juni 2015. 45 paesi, disebut uleng. 94 Uleng adalah sedikit bagian yang diberi potongan kaca, sebagai tempat sinar matahari masuk. Bahan kaca yang terdapat di jendela dan pintu masuk pada masjid Pathok Negoro Plosokuning, terdapat pula di hampir semua masjid di Indonesia. 95 Bahan dari semen yang berbentuk kotak konblok dengan motif mercy, terdapat di bagian pengimaman dan bagian dinding tembok pemisah antara ruang utama dan ruang pawestren. Dinding pemisah antara ruang pawestren juga diberikan teralis kayu di bagian atas dinding dari konblok. Pada bagian atap seluruhnya telah diganti dengan genteng pada tahun 1946 M, dari sebelumnya beratap sirap dan atap kayu di tahun 1724 M dan 1812 M. Genteng tanah yang tipis kreweng pertama kali dipasang sekitar tahun 1869 M. Pada tahun 1946 M, atap genteng kreweng diperbaharui kembali, kemudian genteng kreweng diganti pada tahun 1990-an, dengan genteng tebal yang bagus. 96 Pada bagian mustaka puncak atap terbuat dari logam seng. Sebelumnya mustaka sebagai mana gadha sulur terbuat dari tanah liat yang dibakar, namun karena bahan ini mudah rapuh dan sangat sulit dibuat kembali, maka untuk sisi kepraktisan, diganti dengan bahan dasar logam seng dengan bentuk dan motif yang sama. Tiap ujung bagian atap yang disebut gadha sulur, masih dipertahankan seperti aslinya. Pada bagian talang, diberikan lapisan seng 94 Yulianto Sumalyo, Arsitektur Mesjid dan Monumen Sejarah Muslim, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2000, hlm. 517-518. 95 Supartono Widyosiswoyo, Sejarah Kebudayaan Indonesia, Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti, 2006, hlm. 117-120. 96 R. Suprobo, Sejarah Masjid Jami’ Pathok Negoro, Plosokuning, Minomartani, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta, hlm. 11-13. 46 logam dibanding dahulu dari bambu yang mudah rapuh. Adapun penjelasan bahan dan ukuran dari bagian dalam masjid, yaitu: A. Mihrab 1. Bahan: Bahan dasar dari bagian dinding mihrab adalah, batu bata, kapur dan pasir. Untuk bagian jendela, berbahan dasar kayu dan kaca, sedangkan untuk bagian plafon mimbar berbahan dasar kayu dan atapnya dilapisi genteng. Dibagian kanan dan kiri mihrab terdapat konblok berlogo mercy segitiga, yang berfungsi sebagai ventilasi. 2. Ukuran: Ukuran mihrab memiliki panjang 2 meter dan lebar 2 meter, sehingga luas keseluruhan sekitar 4 meter². Untuk tinggi dari lantai ke plafon, hanya 2 meter di paling ujung, makin ke tengah, tingginya sekitar 2,5 m. Di pintu masuk mihrab berbentuk setengah lingkaran dengan diameter sekitar 0,5 m. B. Ruang Shalat 1. Bahan: Ruang sholat bahan dasar lantainya adalah batu, tanah, kapur dan pasir tegel dan keramik. Pada bagian tiang penyangga, bahan dasarnya adalah kayu jati dan batu sebagai umpak. Jika mengacu pada pemasangan tegel kembang di Masjid Agung Kraton pada tahun 1936 M, dari sebelumnya lantai Masjid Agung Kraton terbuat dari batu yang dipotong tipis, 97 maka kemungkinan besar pemasangan tegel di Masjid Pathok Negoro Plosokuning, 97 Sri Sugiyanti, dkk., Masjid Kuno Di Indonesia, Jakarta: Proyek Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Pusat, 19981999, hlm. 176. 47 tidak terlalu jauh jarak waktunya, mungkin setahun atau dua tahun setelah Masjid Agung Kraton. Hal ini mengacu pada asumsi, bahwa setelah selesai atau dapat pula bersamaan perbaikan Masjid Agung Kraton, pasti juga akan dilakukan perbaikan di masjid-masjid Pathok Negoro yang ada di seluruh Yogyakarta, setelah gempa besar pada tahun 1867 M. 2. Ukuran: Ukuran ruangan dalam masjid luas kelilingnya 180 m² 98 , dengan bentuk bujur sangkar, maka masing-masing garisnya mencapai 45 meter. Ketinggian masjid dari lantai hingga ke puncak atap sekitar 22 meter. Tiang penyangga bagian dalam masjid, selalu mengikuti ketentuan seperti Masjid Agung Kraton, terdapat 4 buah tiang utama sokoguru yang ditopang oleh batu umpak berpahatkan lafadz Nabi Muhammad sayang karena dicat dan sudah sangat lama, keausan pahatan itu telah terlihat sehingga bentuk jelas pahatan itu mulai pudar dan 12 tiang penyangga tambahan sokorowo, juga ditopang oleh batu umpak. 99 Masing-masing tiang penyangga sama diameternya, yaitu 25 cm dengan volume keliling 100 cm². Ketinggian tiang ini dengan bagian atas plafon bervariasi, untuk tiang tambahan sokorowo seluruhnya sekitar 3 meter, sedangkan untuk tiang sokoguru sekitar 5 meter, dengan ujung plafon terbagi 4 bagian dengan masing-masing bagian terbagi dengan batas sebuah kayu, yang disebut dada paesi. Dada paesi terbuat dari kayu jati dengan diameter keliling sekitar 8 meter ², dengan masing-masing bagian sisinya 98 R. Suprobo, Sejarah Masjid Jami’ Pathok Negoro, Plosokuning, Minomartini, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta, hlm. 1 99 Sugiyanti, dkk., Masjid Kuno Di Indonesia, hlm. 178. 48 mempunyai panjang dan lebar 2 meter. Pada bagian atas terdapat sebuat celah kecil dengan tinggi 10 cm, sebagai jalan masuk cahaya dan udara dari atas ke bagian dalam masjid. Ketinggian dari bagian dada paesi hingga ke atap, diperkirakan sekitar 4 meter. Sedangkan ukuran atap bagian tajug puncak di masing-masing sisi sekitar 2 m. Sedangkan untuk atap tajug bawah yang menaungi bagian utama masjid, penulis memperkirakan panjangnya sekitar 12 meter di setiap sisinya, dengan ketinggian dari ujung atap bawah hingga ke ujung atap atas bagian sekitar 6 m. C. Mimbar 1. Bahan: Bahan dasar dari bagian mimbar seluruhnya adalah kayu jati. Dipilihnya kayu jati sebagai material utama, karena sesuai namanya kayu jati adalah Sajatining Kayu. Kayu jati memiliki keistimewaan, yaitu kekuatannya. Oleh karena itu, kayu jati digunakan sebagai bahan utama untuk membuat kapal. Jika kapal yang terbuat dari kayu jati bisa bertahan menghadapi gempuran ombak, maka apalagi jika ada mimbar masjid yang bahan utamanya dari kayu jati, pasti bisa berumur lebih panjang. 2. Ukuran: Ukuran mimbar berdiameter keliling sekitar 5 m², dengan lebar 50 cm, panjang 2 meter dan tinggi 2,5 meter. Digunakan untuk khatib berkhutbah dalam ritual rutin keagamaan sholat Jum’at maupun khutbah sholat lainnya yang menggunakan mimbar. Terdapat ukiran bermotif sulur yang artinya tanaman merambat yang terdapat pada bagian pegangan. 49 2. Bagian luar A. Serambi 1. Bahan: Bahan dasar utama dari bagian serambi adalah batu, tanah, kayu dan logam. Bahan batu digunakan untuk umpak dan lantai masjid. Bahan tanah digunakan untuk bahan atap masjid berupa genteng dan lantai masjid. Sebelum dilapisi dengan lantai keramik, bagian lantai yang dahulu berbahan batu bata dilapisi oleh plester kapur dan pasir, sejak tahun 1976 M, seluruh lantai serambi masjid dilapisi oleh ubin tegel. 100 Pada tahun 2000 M awal lantai serambi telah dilapisi oleh keramik berwarna putih, baik serambi di bagian bawah maupun serambi bagian atas, begitupula tangga-tangga lantainya. 101 Untuk bahan dasar logam, digunakan pada bagian pagar, yang membatasi bagian serambi dari bagian kolam. Sedangkan penggunaan bahan kayu, dapat diamati dengan adanya tiang penopang atap, rusuk atap dan pagar keliling antara serambi atas dengan serambi bawah. Bagian atap dan tiang penyangga atap, terbuat dari bahan kayu. Rusuk penyangga gentengpun terbuat dari kayu. Beberapa bagian dari rusuk diganti secara temporal karena termakan usia, termakan rayap atau untuk menambah kekuatan seperti dari kayu jati. Tiang penyangga tidak pernah diganti total, karena bagian ini menjadi bagian penting, sehingga pergantiannya memerlukan persetujuan dari BP3 DIY dan Balai Arkeologi Yogyakarta. 100 Tim Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Propinsi DIY, Tempat Ibadah Bersejarah di DIY, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Propinsi DIY, 2002, hlm. 26. 101 Andrianto, Simbol-simbol Dakwah Masjid Pathok Nagari Plosokuning dalam Tayangan Pesona Nusantara TVRI Yogyakarta: Kajian Semiotika, hlm. 39. 50 2. Ukuran: Luas keliling bagian serambi masjid sekitar 148 m² 102 , dengan ketinggian dari tanah halaman luar sekitar 1 meter. Detail rinciannya yaitu, luas keliling di bagian utara dan selatan masing-masing 18 m², dengan panjang 10 meter, dan lebar 1,8 meter. Pada serambi bagian timur seluas keseluruhan 130 m², dengan rincian, panjang 13 meter dengan lebar 10 meter. Pada bagian serambi ini terdapat dua lapis lantai, sekitar 50 cm antara lantai yang atas dan lantai yang bawah. Luas keliling di lantai lapis atas sekitar 115 m², dengan rincian panjang 11,5 meter dan lebar 10 meter. Pada bagian lapis bawah, luas kelilingnya 15 meter, dengan panjang 10 meter dan lebar 1,5 meter. Bangunan serambi ditopang oleh 36 buah tiang penyangga kayu, dengan rincian, 12 buah tiang berada di lantai serambi bagian atas dan 24 buah berada di serambi bagian bawah. Semua tiang di serambi ini bervolume keliling 60 cm ², dengan tiap bagian sisi tiang 15 cm. Tiap tiang ditopang oleh sebuah batu umpak bervolume keliling 80 cm ². Ketinggian bangunan serambi di semua sisi luar hanya 2 meter, sedangkan di bagian dalam ketinggiannya bervariasi, pada bagian serambi di lantai bawah, ketinggian di sisi luarnya 2 meter, sedangkan pada bagian serambi lantai atas antara 3 meter di lekukan atap, hingga 4 meter di bagian tengah atau pada bagian yang atapnya mengkerucut. Bagian serambi yang berbatasan dengan bagian dalam masjid, dibatasi oleh sebuah dinding, jendela dengan teralis kayu dan tiga pintu kayu yang 102 R. Suprobo, Sejarah Masjid Jami’ Pathok Negoro, Plosokuning, Minomartini, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta, hlm. 1 51 besar, serta dilengkapi dengan 3 buah anak tangga untuk masing-masing pintu, dengan panjang 50 cm serta ketinggian masing-masing anak tangga 20 cm. Pada bagian utara dan selatan, terdapat pintu kayu, yang membatasi bagian serambi dalam dan serambi luar, yang dibatasi oleh dinding. Bangunan serambi yang menaungi bagian utara dan selatan adalah bangunan tambahan, dibangun sekitar awal abad ke-19 dan diperbaharui kembali sekitar tahun 1990-an. 103 B. Pawestren 1. Bahan: Bagian pawestren bahan dasarnya adalah, tanah berbentuk batu bata dan keramik, kayu, kapur dan pasir. Untuk bagian dinding, bahan dasar utamanya adalah batu bata yang dilapisi oleh campuran kapur dan pasir. Sedangkan untuk teralisnya berbahan dasar kayu. Untuk bagian lantai bahan dasarnya adalah keramik. 2. Ukuran: Bagian pawestren berukuran 3 x 9.25 m². Panjang 9,25 m dan lebar 3 meter. Ketinggian bagian pawestren dari lantai hingga ke bagian atap, bervariasi, di bagian paling kanan memiliki ketinggian sekitar 2 m, sedangkan makin ke kiri makin tinggi dengan ketinggian maksimal 3 m. C. Kolam 1. Bahan: Pada bagian kolam, terdapat empat bahan utama, yaitu: batu, batu bata, pasir, kapur dan logam. Batu, batu bata serta pasir dan kapur yang 103 R. Suprobo, Sejarah Masjid Jami’ Pathok Negoro, Plosokuning, Minomartani, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta, Sleman: Takmir Masjid Pathok Negoro Plosokuning, 2010, hlm. 13. 52 digunakan sebagai campuran plester. Bahan tersebut digunakan sebagai bahan dasar kolam, untuk menyimpan air agar tidak cepat hilang karena merembes ke dalam tanah. Logam digunakan sebagai pagar pembatas kolam dengan halaman. Tidak terdapat bahan logam di dasar kolam, karena memang semenjak pertama dibangun, belum mengenal sistem konstruksi beton bertulang. 104 Dinding kolam yang dindingnya berhubungan dengan bagian serambi, dilapisi oleh keramik berwarna krem. Sedangkan dinding kolam yang berhubungan dengan bagian jembatan penyeberangan di utara dan selatan masjid, lantainya dilapisi oleh keramik berwarna hijau. Sebelum dilapisi oleh keramik, dulu hanya berupa plesteran pasir, kapur dan campuran semen. 105 Bagian tanpa keramik masih dapat dilihat sebagiannya, terutama di bagian tatag rambat atau anak tangga di dalam kolam menuju bagian serambi. 2. Ukuran: Bagian kolam masjid berukuran keliling 224 m² 106 , dengan rincian, bagian utara dan selatan: panjang kolam di bagian kanan serta kiri masjid 8 meter dan ruangan jalan di bagian kanan dan kiri juga memiliki panjang 8 meter, dengan lebar kolam 4 meter. Pada kolam di bagian timur, panjang kolam 40 meter di bagian timur dan lebar kolam 4 meter, dengan kedalaman 3 meter, yang memiliki arti bahwa kita sebagai manusia dalam menuntut ilmu harus total atau tidak setengah hati, tapi sedalam-dalamnya. 104 Hasil wawancara dengan bapak Kamaludin, pada tanggal 7 Juni 2015. 105 Hasil wawancara dengan bapak R Muh. Baghowi, pada tanggal 6 Juni 2015. 106 R. Suprobo, Sejarah Masjid Jami’ Pathok Negoro, Plosokuning, Minomartini, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta, hlm. 1 53 D. Jembatan Penyeberangan 1. Bahan: Bahan dasar dari jembatan penyeberangan, baik jembatan penyeberangan utama 107 maupun jembatan penyeberangan yang ada di utara dan selatan, yaitu: tanah berupa genteng, logam untuk pagar pembatas, kayu untuk jendela, tiang penyangga genteng dan rusuk, batu bata, pasir dan kapur, untuk dinding jembatan penyeberangan di bagian utara dan selatan. Bagian atap dari jembatan penyeberangan utama dan jembatan penyeberangan yang ada di utara dan selatan, terbuat dari tanah berupa genteng. Genteng tersebut agaknya baru, karena tidak ada ciri khas genteng lama berupa genteng kreweng atau beratap sirap. Menurut R. Suprobo, atap sirap yang lama sudah diganti dengan genteng baru, berupa genteng kreweng, lalu diganti lagi dengan genteng baru yang lebih tebal. 108 Jembatan penyeberangan di bagian utara dan selatan, belum mengalami perubahan berarti pada bahan, terutama temboknya masih asli. Hanya jendela saja yang diperbaharui, dari jendela terbuka tanpa daun jendela, menjadi jendela tertutup dengan teralis kayu. 109 Sedangkan lantai dan temboknya tetap dari batu bata yang dilapisi oleh pasir dan kapur. 107 Menurut bapak Kamaludin, bagian lantai jembatan penyeberangan utama, bahan dasar aslinya adalah kayu, lalu diganti dengan beton, untuk memperkuat kekuatan dan untuk menyesuaikan dengan bagian serambi Masjid. Hal ini dilakukan semenjak renovasi besar- besaran tahun 1984. Semenjak lantai jembatan penyeberangan utama diganti dengan beton, maka secara otomatis, tiang penyangganya juga diganti dengan tiang dari logam, oleh karena itu, bagian ini menjadi paling berbeda bahannya di antara yang lain. Untuk lapisan keramik, dipasang sejak awal tahun 2000-an. Hasil wawancara dengan bapak Kamaludin pada tanggal 7 Juni 2015. 108 R. Suprobo, Sejarah Masjid Jami’ Pathok Negoro, Plosokuning, Minomartani, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta, hlm. 15. 109 R. Suprobo, Sejarah Masjid Jami’ Pathok Negoro, Plosokuning, Minomartani, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta, hlm. 13. 54 2. Ukuran: a. Jembatan Penyeberangan Utama Panjang jembatan penyeberangan utama dari halaman masjid menuju ke serambi sekitar 5 meter serta memiliki lebar 2 meter. Jembatan penyeberangan utama memiliki tinggi dari lantai dasar hingga ke atap sekitar 3, 25 meter. b. Jembatan Penyeberangan Bagian Utara dan Selatan Pada bagian jembatan penyeberangan di bagian utara dan selatan, panjangnya sekitar 5 meter dan memiliki lebar sekitar 3 meter. Untuk ketinggian, bagian ini memiliki ketinggian sekitar 4 meter, dari dasar lantai hingga ke atap berupa gada sulur. E. Halaman 1. Bahan: Bahan utama bagian halaman adalah tanah, batu, kapur, pasir, logam dan kayu. Bagian tanah adalah alas dasar halaman, saat ini sekarang sudah dilapisi oleh potongan tipis batu gunung. Bahan dasar tanah juga digunakan untuk tembok pagar pembatas antara bagian halaman. Tembok pagar pembatas tersebut dilapisi oleh bahan campuran kapur dan pasir untuk plester batu bata. Untuk bahan kayu terdapat pada tumbuhan pohon sawo yang ada di kanan dan kiri bagian timur halaman. Bahan logam digunakan sebagai daun pintu pagar masuk masjid, di bagian timur maupun bagian selatan. 55 2. Ukuran: Ukuran halaman masjid keliling sekitar 500 m² 110 , dengan perincian di bagian utara dan selatan: lebar 4 m kali panjang 5 m luas keliling 20 m² dan panjang 10 kali 46 m luas keliling 460 m². F. Makam 1. Bahan: Bahan utama makam yaitu, tanah, batu, kapur, pasir, kayu dan logam. Bahan tanah terutama adalah atap dan tembok batu bata sebagai penaung makam utama, yang dilapisi oleh plesteran pasir dan kapur. Sedangkan bahan kayu digunakan pada rusuk atap dan pagar pintu ruangan makam utama. Penggunaan bahan logam dapat dilihat pada pagar pintu masuk makam. Penggunaan batu gunung, digunakan pada batu nisan dan kijing makam, terutama makam utama keluarga inti pendiri masjid Pathok Negoro Plosokuning. 2. Ukuran: Ukuran luas keliling kompleks makam sekitar 300 m² dengan jumlah makam sekitar 64 buah. Masing-masing bagian makam ada yang berluas 12 m², karena diberi bangunan penaung, terutama makam keluraga utama pendiri Masjid Pathok Negoro Plosokuning, ada pula luas makam yang hanya 1x2 m, karena hanya berupa makam tunggal. 110 R. Suprobo, Sejarah Masjid Jami’ Pathok Negoro, Plosokuning, Minomartani, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta, hlm. 1 56

C. Teknik Konstruksi Masjid

Arsitektur di Jawa selalu mengikuti aturan dalam konstruksi yang lebih besar, di pusat kota Kotaraja. 111 Arsitektur tradisional selalu memperhatikan aspek budaya, iklim dan ekologis. 112 Pada Masjid Pathok Negoro Plosokuning, semua aspek tersebut diperhatikan, mulai dari bentuk, fungsi maupun bahan. Penerapan teknik konstruksi masjid mengikuti konsep yang lama, dapat dilihat dari bangunan masjid agung kraton, yang mengikuti bentuk Masjid Agung Demak. 113 Penerapan akan tinjauan budaya, melalui konsep konstruksi masjid dapat diketahui dari intensitas perubahan cahaya dan suhu, melalui ilmu falak dan tradisi setempat dalam teknik konstruksi masjid. 114 Ada tiga landasan sikap utama dalam yang dapat diketahui dari teknik konstruksi tradisional Jawa, yaitu: sikap kawruh, yaitu pengetahuan dasar terhadap falsafah hidup dan alam. Sikap dharma, pengamalan ajaran agama di dalam lingkungan, sebagai wadah bagi kehidupan dunia dan akhirat. Terakhir adalah sikap tertib laksana, yang menyatakan bahwa manusia adalah subyek yang bertanggungjawab langsung kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang diwajibkan untuk menambah kesadaran dan pengetahuan hidup. 115 111 Umar Kayam, “Arsitektur Masyarakat Transisi”, dalam Eko Budihardjo ed., Jatidiri Arsitektur Indonesia, Bandung: Penerbit Alumni, 1991, hlm. 179. 112 Andi Siswanto, “Pudarnya Arsitektur Tropis Indonesia”, dalam Eko Budihardjo ed., Jatidiri Arsitektur Indonesia, Bandung: Penerbit Alumni, 1991, hlm. 161-162. 113 John Pemberton, “Jawa”, On The Subject Of “Java”, terj. Hartono Hadikusumo, Yogyakarta: Mata Bangsa, 2003, hlm. 85-86. 114 Arya Roland, Pengembangan Arsitektur Rumah Jawa, Yogyakarta: Cahaya Atma Pusaka, 2012, hlm. 52-63. 115 Robi Sularto Sastrowardoyo, Peranan Arsitektur Tradisional, dalam Eko Budihardjo ed., Arsitektur Indonesia Dalam Perspektif Budaya, Bandung: Penerbit Alumni, 1991, hlm. 171-172. 57 Masjid dalam tradisi Jawa merupakan perwujudan dari kegiatan religius sebagai bagian dari pusat kekuasaan. Konstruksi atap berwujud meru, mendapat pengaruh Hindu dalam konstruksinya. 116 Teknik konstruksi tiang sokoguru yang diletakkan di atas umpak batu, berfungsi sebagai peredam getaran.Bagian sambungan kayu atap joglomeru, dipakai teknik ikatan kayu yang saling mengikat konsol dengan pasak kayu tanpa paku.Teknik tersebut terbukti tahan terhadap berbagai goncangan, baik gempa bumi maupun angin.Masjid Pathok Negoro Plosokuning secara geografis berada di jalur arah angin dari gunung Merapi di bagian utara, terutama pada malam hari dan juga berada di atas wilayah yang rentan gempa. Teknik konstruksi tersebut, diadopsi dari teknik bangunan Masjid Demak yang berada di pinggir laut utara Jawa, yang kuat bertahan dari hantaman angin laut di siang dan malam hari. Karena di zaman itu belum ada teknik konstruksi beton bertulang, maka teknik inilah yang paling tepat digunakan. Setidaknya ada tiga guncangan gempa besar yang pernah melanda Yogyakarta, yaitu tahun 1824 M, 1867 M dan 2006 M, meskipun mengalami kerusakan, namun hasilnya masjid tetap kokoh berdiri. Masjid Pathok Negoro Plosokuning sendiri telah beberapa kali mengalami renovasi, yaitu: pada tahun 1776 M, 1812 M, 1831 M, 1869 M, 1956 M, 1976 M, 2000 M, 2001 M, 2002 M dan 2006-2007 M.

D. Fungsi-fungsi Bagian-bagian dalam Struktur Masjid

Tiap-tiap bagian dalam struktur masjid, mempunyai fungsinya masing- masing. Penjelasan ini berguna untuk melihat penggunaan bagian-bagian 116 A Bagoes P. Wiryomartono, Seni Bangunan dan Seni Binakota di Indonesia, Kajian Mengenai Konsep, Struktur dan Elemen Fisik Kota Sejak Peradaban Hindu-Buddha, Islam Hingga Sekarang, Bandung: Alumni, 2006, hlm. 9.

Dokumen yang terkait

125847 AKJ 2008 08 27 Masjid Pathok Negoro Ploso Kuning

0 0 1

141650 AKJ 2009 08 31 Masjid Pathok Negoro Ploso Kuning

0 0 1

094935 AKJ 2006 10 04 Masjid Pathok Negoro Ploso Kuning

0 0 1

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Identitas Komunitas Masjid di Era Globalisasi Studi pada Komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning Keraton Yogyakarta D 762008001 BAB I

0 1 25

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Identitas Komunitas Masjid di Era Globalisasi Studi pada Komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning Keraton Yogyakarta D 762008001 BAB II

0 0 84

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Identitas Komunitas Masjid di Era Globalisasi Studi pada Komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning Keraton Yogyakarta D 762008001 BAB III

0 1 31

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Identitas Komunitas Masjid di Era Globalisasi Studi pada Komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning Keraton Yogyakarta

0 0 28

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Identitas Komunitas Masjid di Era Globalisasi Studi pada Komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning Keraton Yogyakarta

0 0 6

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Identitas Komunitas Masjid di Era Globalisasi Studi pada Komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning Keraton Yogyakarta

0 0 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Identitas Komunitas Masjid di Era Globalisasi Studi pada Komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning Keraton Yogyakarta

0 0 15