Status Masjid di Kesultanan Yogyakarta

65 ditetapkan sebagai desa perdikan dan bernama Kauman nama Kauman mengikuti sifat perdikan-nya. Keempat desa tersebut adalah: 1 Mlangi; 2 Plosokuning; 3 Babadan; dan 4 Dongkelan. Pada keterangan Bonneff tersebut, dapat disimpulkan bahwa sebutan Pathok Negoro meliputi: jabatan asisten penghulu, masjid, dan desa yang berstatus perdikan. Pada konteks Masjid Pathok Negoro Plosokuning, raja merupakan pelindung agama sekaligus perwujudan dari pancaran sinar raja di salah satu sudut kerajaan, dalam hal ini Kraton Yogyakarta ke daerah Plosokuning. Sejak masa Sultan Hamengkubuwono I hingga saat ini, Masjid Pathok Negoro Plosokuning, tetap merupakan bagian yang integral dengan kraton, dan segala aspek yang berkaitan dengannya dalam hal struktural, dibahas secara lebih mendalam dalam dua poin di bawah ini: 1. Status Tanah Sebagaimana telah disampaikan secara singkat di bab sebelumnya, bahwa status tanah di Masjid Pathok Negoro Plosokuning bersifat perdikan. Tanah perdikan adalah status yang diberikan pihak kraton karena beberapa sebab, salah satunya karena adanya keistimewaan tertentu, misalnya terdapat makam kerajaan atau tempat tinggal tokoh tertentu yang berjasa pada raja dan pusat pengajaran agama Islam. 131 Tanah atau desa yang diberikan status perdikan adalah secara khusus mempunyai keistimewaan, dengan pemberian keputusan daerah bebas pajak, tidak diwajibkan kerja wajib dan tidak boleh diganggu gugat. Desa ini akan memberikan bantuan secara utuh kepada raja, apabila raja membutuhkan. 131 Tim Museum Sonobudoyo, Masjid-Masjid Pathok Negoro di Kesultanan Yogyakarta, Yogyakarta: Museum Sonobudoyo Kraton Yogyakarta, 2009, hlm. 48. 66 Penduduk desa hanya diwajibkan menjaga, memelihara dan memajukan sesuai dengan keadaan yang diembannya, misalnya memajukan pendidikan Islam atau merawat makam ulama dan tokoh kerajaan. Pemberian status desa perdikan Plosokuning sudah diberikan sejak masa Sultan Hamengkubuwono I. Hal ini berkaitan dengan pertalian darah dan kedudukan serta keadaan Masjid Pathok Negoro Plosokuning, yang pengasuhnya masih keponakan langsung dari Sultan Hamengkubuwono I. Pengukuhan tanah perdikan pada Masjid Pathok Negoro Plosokuning, tertuang dalam keputusan dari Sultan Hamengkubuwono II dengan kalimat: “Sitinggil menyang Pagelaran, Pangulu Menyang Sayid Syarip, sakancanira pradikan, mutihan pathoknagari, sedene ketib, modin, nguni tuguripun, aneng mesjid Surambya”. 132 Seiring bertambahnya tanah-tanah yang dimaksudkan di atas, maka pemerintah kolonial berusaha menghapus tanah-tanah tersebut di hampir semua daerah di Jawa, jika tidak ada ketetapan pada masa sebelumnya. Hal tersebut tertuang dalam Indiesche Staatregeeling tertanggal 2 September 1854 M pasal 129. Ada beberapa kriteria desa dengan status tersebut, yang diwajibkan pemerintah kolonial membayar pajak, yaitu yang ditentukan oleh banyaknya penduduk yang mendiami suatu batas desa tertentu dalam satu kawedanan. 133 Keputusan kolonial yang menghalangi kemajuan agama Islam, tidak terjadi di daerah sekitar Masjid Pathok Negoro Plosokuning, yang berada di 132 Tim Museum Sonobudoyo, Masjid-Masjid Pathok Negoro di Kesultanan Yogyakarta, hlm. 49. 133 Bayu Surianingrat, Pemerintahan Administrasi Desa dan Kelurahan, Jakarta: Rineka Cipta, 1992, hlm.71 dan 86. 67 bawah pengawasan langsung Sultan. Status tanah perdikan tidak pernah berakhir, namun berganti keadaan sejak Indonesia merdeka dan Yogyakarta menggabungkan diri dengan Republik Indonesia. 134 2. Status Administrasi Kewenangan yang diterima oleh Masjid Pathok Negoro Plosokuning dari kraton, mencerminkan keinginan kraton untuk mengatur daerahnya, dengan salah satu sudutnya adalah Masjid Pathok Negoro di Plosokuning. Pemberian status tersebut berasal dari Sultan Hamengkubuwono I secara informal, kemudian diakui secara formal yang diketahui sejak masa Sultan Hamengkubuwono II, lalu diperkuat kemudian di masa Sultan Hamengkubuwono III. Sebab sifat tanahnya yang perdikan, maka sebagian besar penduduknya dan takmir masjid khususnya, berstatus sebagai abdi dalem kraton di bidang agama. 135 Status administrasi diwujudkan dalam sistem ketatanegaraan lapis empat. Sebagaimana telah dijelaskan di bab II sebelumnya, bahwa secara status kewilayahan berada di bawah pengawasan langsung Sultan Hamengkubuwono, melalui Patih Jawi, kemudian Wedana Jawi yang membawahi negaragung Gadhing Mataram. 136 Secara adminitrasi keagamaan, berada di dalam administrasi Reh Kawedanan Kepengulon di bawah korps Suronoto, namun korps Suronoto dibubarkan paksa pada tahun 1830, karena diketahui membantu Pangeran Diponegoro dalam Perang 134 Artinya adalah, tanah dengan sifat tanah perdikan tetap ada dan diakui, namun tidak membayar pajak langsung ke negara, tetapi pihak Kratonlah yang membayar pajak ke negara. 135 Tim Museum Sonobudoyo, Masjid-Masjid Pathok Negoro di Kesultanan Yogyakarta, hlm. 54. 136 S. Margana, Kraton Surakarta Dan Yogyakarta 1769-1874, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hlm. 10. 68 Jawa. 137 Setelah korps tersebut dibubarkan paksa oleh Belanda melalui kraton, maka yang tertinggal hanya administrasi keagamaan, dengan bagian kewilayahan melalui kawedanan kepengulon. T.S Raffles dalam tulisannya History of Java, menceritakan bahwa dalam pengadilan surambi di Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta, penghulu utama jika akan memutuskan sebuah perkara, dibantu oleh para penghulu yang berasal empat dari masjid, termasuk Plosokuning. Data ini kemungkinan berasal dari pengamatan pejabat pemerintah di tahun 1812-1816 M, saat kekuasaan Inggris berlangsung. 138 Tugas dan fungsi abdi dalem Pathok Negoro, baik secara formal maupun informal, yaitu: a. Sebagai pemimpin daerahnya sendiri desa tempat masjid berdiri. b. Sebagai pemimpin agama bagian pedesaan daerah. c. Pembantu penghulu gedhe dalam pengadilan surambi di Masjid Agung Kraton Yogyakarta. d. Pengurus utama seluruh bangunan Masjid Pathok Negoro. Adapun para penghulu hakim dari Masjid Pathok Negoro Plosokuning sejak tahun 1771 M hingga tahun 1928 M, 139 dalam catatan arsip Kawedanan Kepengulon, yang berjudul: Kundisi Sebatipun Abdi Dalem Golongan Reh Kawedanan Pengulon Tahun 1928, yaitu: 137 Vincent J.H. Houben, Keraton Dan Kompeni, Surakarta dan Yogyakarta 1830- 1870, terj. E. Setyawati Alkhatab, Yogyakarta: Bentang Budaya, 2002, hlm. 12. 138 Tim Museum Sonobudoyo, Masjid-Masjid Pathok Negoro di Kesultanan Yogyakarta, Yogyakarta: Museum Sonobudoyo Kraton Yogyakarta, 2009, hlm. 54. 139 Kemungkinan besar, pengangkatan para penghulu hakim dengan sistem administrasi kepengulon di Kesultanan Yogyakarta, terjadi setelah berdirinya Masjid agung Kraton. Meskipun begitu, keberadaan Masjid Pathok Negoro diakui secara informal, baru setelah Masjid agung Kraton berdiri dan keberadaan lima Masjid Pathok Negoro lengkap berdiri, dibentuklah birokrasi secara formal. Ada perbedaan silsilah di salah satu sumber 69 a. R.M Kyai Mustapa anak dari Kyai Mursodo, bergelar Kyai Khanafi 1. b. Kyai Khanafi II dengan nama asli R.M Kyai Ali Imron. c. Kyai Khanafi III dengan nama asli R.M Kyai Sarbini. d. R.M Pawirodimedjo, sebagai Lurah desa Plosokuning. e. Kyai Khanafi IV dengan nama asli R.M Jasmani. Status administrasi pengadilan kepengulon dalam pengadilan surambi oleh Masjid agung dan Masjid Pathok Negoro Plosokuning, dihapuskan secara administrasi negara, melalui keputusan UU no. 23 tertanggal 29 Agustus 1947 M. Secara adat korps kepengulon tetap diakui oleh negara sebagai bagian dari institusi intern Kesultanan Yogyakarta. 140 Daerah Plosokuning dibagi menjadi dua bagian, Plosokuning lebet dan Plosokuning jawi, 141 yang ditandai dengan stratifikasi masyarakatnya. Plosokuning lebet, 142 hanya terdiri dari keluarga inti keturunan Kyai Mursodo dan berstatus Priyayi dengan gelar raden, sedangkan Plosokuning jawi, adalah para pendatang. Setelah pengadministrasian ulang pada tahun 1947 M, maka sistem administrasi kepengulon Masjid Pathok Negoro Plosokuning khususnya, tidak lagi berlaku di dalam aktifitas pengadilan dan birokrasi hukum negara, tetapi sistem birokrasi kepengulon di seluruh Masjid Pathok Negoro pada umumnya masih berlaku secara internal dan terpisah dari negara, yaitu sebagai bagian dari birokrasi kepengulon Kraton Kesultanan Yogyakarta, namun tidak lagi 140 Albaab, Masyarakat Jawa dan Modernisasi Potret Kontemporer Masyarakat “Masjid Pathok Negoro Plosokuning, hlm. 26. 141 Plosokuning Jawi adalah daerah diluar lingkaran inti masjid, tetapi masih dalam batas administrasi desa. 142 Plosokuning Lebet adalah daerah yang mana dikhususkan untuk keluarga dari keturunan Kyai Mursodo. 70 mempunyai wewenang mengadili secara hukum negara, 143 namun tetap diakui sebagai pengawal tradisi budaya Jawa dan bersifat mengurus Masjid saja sebagai takmir. Adapun nama-nama personilnya, 144 yaitu: a. R. Zainuddin sebagai ketua takmir Masjid Pathok Negoro Plosokuning pertama, bertugas sejak tahun 1946 7 hingga 1952. b. R. H. Marchum, bertugas: 1953 hingga 1987. c. R. Zaini Mulyadi, BA., bertugas: 1988 hingga 1993. d. R. Drs. Idris Purwanto, bertugas: 1994 hingga 1998. e. R. Amd, Suprobo, bertugas: 1999 hingga 2003. f. R. H. Kamaluddin Purnomo, SH, bertugas: 2004 hingga sekarang.

B. Makna Simbolik Arsitektur Masjid

Simbol bagi manusia, adalah sarana komunikasi yang diwujudkan dalam bentuk-bentuk atau makna-makna tertentu, untuk disampaikan kepada manusia yang lain agar mengerti keinginan dan kebutuhannya. Pada manusia Jawa, simbol sebagai sarana komunikasi, diwujudkan dalam bentuk-bentuk yang mempunyai makna-makna tertentu, yang diharapkan dapat diingat, dikupas dan terus dilestarikan semangatnya oleh generasi selanjutnya. 145 Bangunan Masjid Pathok Negoro Plosokuning, dapat dinyatakan sebagai sebuah simbol dalam bentuk tetenger. Setiap bangunan menurut Romo Y.B Mangunwidjoyo, seharusnya memiliki aspek guna dan citra. Makna dari kata 143 Kewenangan mengadili perkara pidana bahkan sudah tidak berlaku lagi sejak tahun 1831, namun untuk masalah kemasyarakatan seperti pernikahan, tempat untuk meminta pendapat serta aspek keagamaan lainnya, masih tetap berlaku. Hukum positif Belanda yang diterapkan di Kesultanan Yogyakarta sejak tahun 1831, sehingga pengadilan surambi yang memutuskan perkara pidana sudah tidak ada lagi. Tim Museum Sonobudoyo, Masjid-Masjid Pathok Negoro di Kesultanan Yogyakarta, hlm. 77. 144 Suprobo, Sejarah Masjid Jami’ Pathok Negoro, Plosokuning, Minomartani, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta, hlm. 16. 145 Herusatoto, Simbolisme Dalam Budaya Jawa, hlm. 36. 71 Guna adalah selalu berkaitan dengan kegunaan, untuk apa bangunan itu dibangun dan dengan dengan maksud yang bagaimana bangunan itu dibuat. Sedangkan makna kata Citra adalah, bagaimana kesan dan penghayatan akan makna simbolik yang mungkin ditimbulkan dari sebuah bangunan. 146 Dapat diketahui dalam bebrapa aspek, yaitu: 1. Politik Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa asal kata dari Pathok Negoro, adalah batas negara. Masjid Pathok Negoro secara nyata adalah batas negara Kesultanan Yogyakarta dengan Kasunanan Surakarta dalam bentuk bangunan rumah ibadah. Masjid di masa penjajahan selain berfungsi sebagai tempat ibadah, juga berfungsi sebagai tempat untuk bermusyawarah, menggalang persatuan dan kesatuan untuk mengusir penjajah. 147 Semenjak berdiri negara Kesultanan Yogyakarta di tahun 1755 M, Masjid Pathok Negoro telah menjadi semacam tanda perbatasan wilayah antara Kesultanan Yogyakarta dengan Kasunanan Surakarta. Pada masa itu sebelum tahun 1830 M wilayah Kesultanan Yogyakarta dengan Kasunanan Surakarta saling bercampur aduk, sehingga dibutuhkan batas politis berupa bangunan atau tetenger tertentu yang menandakan batas wilayah negara masing-masing. 146 Eko Budihardjo, Arsitektur dan Kota di Indonesia, Bandung: Penerbit Alumni, 1991, hlm. 9. 147 G.M Sudarmika, “Tinggalan Arkeologi Sebagai Salah Satu Wahana Pemersatu Unsur Bangsa”, dalam, Proceeding EHPA, Mencermati Nilai Budaya Masa Lalu Dalam Menatap Masa Depan, Bedugul 14-17 Juli 2000, Jakarta: Proyek Peningkatan Penelitian Arkeologi, 2001, hlm. 292.

Dokumen yang terkait

125847 AKJ 2008 08 27 Masjid Pathok Negoro Ploso Kuning

0 0 1

141650 AKJ 2009 08 31 Masjid Pathok Negoro Ploso Kuning

0 0 1

094935 AKJ 2006 10 04 Masjid Pathok Negoro Ploso Kuning

0 0 1

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Identitas Komunitas Masjid di Era Globalisasi Studi pada Komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning Keraton Yogyakarta D 762008001 BAB I

0 1 25

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Identitas Komunitas Masjid di Era Globalisasi Studi pada Komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning Keraton Yogyakarta D 762008001 BAB II

0 0 84

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Identitas Komunitas Masjid di Era Globalisasi Studi pada Komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning Keraton Yogyakarta D 762008001 BAB III

0 1 31

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Identitas Komunitas Masjid di Era Globalisasi Studi pada Komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning Keraton Yogyakarta

0 0 28

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Identitas Komunitas Masjid di Era Globalisasi Studi pada Komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning Keraton Yogyakarta

0 0 6

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Identitas Komunitas Masjid di Era Globalisasi Studi pada Komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning Keraton Yogyakarta

0 0 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Identitas Komunitas Masjid di Era Globalisasi Studi pada Komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning Keraton Yogyakarta

0 0 15