Sejarah Singkat Berdirinya Masjid Pathok Negoro Plosokuning

23 sistem monopoli perdagangannya, namun hal tersebut lebih disebabkan karena kelemahan raja yang bertahta Mataram itu sendiri. Setelah Sunan Amangkurat IV naik tahta, Pangeran Hangabei atau RM Sandiyo yang merupakan anak Raja Mataram Sunan Amangkurat IV, pergi dari kraton. Dia enggan dijadikan raja pengganti ayahnya karena intrik politik di Kraton Kartasura. Dia dijadikan Bupati Surabaya, namun setelah Surabaya jatuh ke tangan VOC 1743 M, dia pergi ke daerah perbatasan antara Kedu dan Mataram di Desa Susukan. Setelah ayahnya wafat dan tahta Mataram digantikan oleh adiknya, Sunan Pakububuwono II, dia tetap memilih pergi dari kraton. Timbulnya kegelisahan akan kekuasaan Kerajaan Mataram hingga akhirnya timbul Perang Suksesi, harus diakhiri dengan diadakannya kesepakatan bersama untuk mengakhiri pertikaian yang terjadi, yaitu dengan menempuh jalur damai. Perjanjian Giyanti yang terjadi pada tahun 1755 M, antara Pakubuwono III yang masih kecil dengan Hamengkubuwono I dan VOC adalah hasilnya. Namun, ternyata ini bukannya menghasilkan kedamaian ataupun menyelesaikan masalah untuk kedua belah pihak, akan tetapi malah menambah suasana tidak terkendali dengan keputusan yang dibuat oleh keduanya dengan terjerumus ke dalam permainan politik VOC, kali ini dengan Raden Mas Said, yang bertempur menuntut tahta Mataram juga. Hingga akhirnya, kesepakatan terakhir ditandatangani di Salatiga pada pada tahun 1757 M, antara Pakubuwono III, Raden Mas Said dan VOC, dengan isi perjanjian menyatakan bahwa Raden Mas Said sebagai bergelar 24 Adipati Mangkunegoro, tidak boleh menuntut tahta dan memberikan hormat pada kedua kerajaan yang sudah ada. 48 Hasil-hasil dari perjanjian antara raja-raja bekas Kerajaan Mataram dengan VOC tersebut adalah konsesi-konsesi tertentu, seperti perjanjian- perjanjian yang telah diadakan di masa lalu, isinya selalu membelenggu kekuasaan dan tahta Mataram, meskipun secara militer Kerajaan Mataram yang telah terpecah itu masih utuh. VOC dibubarkan pada 1799 M setelah mengalami kebangkrutan oleh pemerintah kolonial Belanda negeri Belanda. 49 Setelah Kraton Yogyakarta berdiri, RM Sandiyo, yang kini bergelar Kyai Nuriman, oleh adiknya, Sultan Hamengkubuwono I, diminta untuk ke kraton dan menjadi penasihatnya, namun ditolak olehnya. Kyai Nuriman lalu tetap memilih mengajar di desa. Desa tempat dia mengajar, telah berdiri sebuah masjid yang dinamakan Masjid Mlangi, yang merupakan Masjid Pathok Negoro pertama di Yogyakarta, yang berdiri sejak tahun 1723 M. Kyai Nuriman memerintahkan kepada anaknya bernama Kyai Mursodo, untuk mengajar dan mendirikan masjid di bagian timur, yaitu di Plosokuning pada tahun 1724 M. Sejak sebelum pecah Perang Cina 1740- 1743 M hingga perjanjian Giyanti 1755 M, masjid di Mlangi dan 48 Ki Sabdacarakatama, Ensiklopedia Raja-raja Tanah Jawa, Silsilah Lengkap Raja- raja Tanah Jawa Dari Prabu Brawijaya V Sampai Hamengkubuwono X, Yogyakarta: Narasi, 2010, hlm. 115. 49 C.R Boxer, Jan Kompeni, Sejarah VOC dalam Perang dan Damai, 1602-1799, Jakarta: Balai Pustaka, 1989, hlm. 115. 25 Plosokuning telah berdiri, beberapa orang kaum pemberontak juga pernah ke tempat ini untuk berlindung. 50 Ketika Yogyakarta dipimpin oleh Sultan Hamengkubuwono III pada tahun 1812 M, Masjid Pathok Negoro Plosokuning mengalami renovasi besar yang pertama. Selanjutnya renovasi dilakukan pada tahun 1869 M di masa kepemimpinan Sultan Hamengkubuwono VI, setelah Yogyakarta diterjang gempa besar tahun 1867. Revolusi fisik yang terjadi antara tahun 1945-1949 M di Yogyakarta, menjadikan masjid serta masyarakat Pathok Negoro sebagai benteng dari sasaran serangan agresi militer Belanda NICA, bahkan Masjid Pathok Negoro menjadi semacam daerah yang steril dari agresi militer Belanda. Meskipun menjadi daerah yang steril dari sasaran militer, bukan berarti rakyat dan penguasa berpisah, bahkan beberapa keluarga dekat sultan sering bertandang dan menyusup menjadi laskar perang, bahu-membahu bersama para ulama dan rakyat, dalam menghadapi serangan Belanda di Yogyakarta. 51 Sultan bahkan sering mengirim kerabat dan putra-putrinya untuk belajar di beberapa Masjid Pathok Negoro. Oleh sebab karena di bawah pengawasan langsung raja, maka Masjid Pathok Negoro Plosokuning berstatus Masjid Kagungan Dalem. 50 Yuwono Sri Suwito, dkk., Prajurit Kraton Yogyakarta, Filosofi dan Nilai Budaya yang Terkandung Di Dalamnya, Yogyakarta: Dinas Pariwisata, Seni dan Kebudayaan Kota Yogyakarta, 2010, hlm. 5. 51 Ervan Anwarsyah, ‘’Peran Ulama Dalam Mempertahankan Kemerdekaan di Yogyakarta 1945-1949 ’’, Skripsi S1 pada Program Studi Sejarah Peradaban Islam UIN Syarif Hidayatullah, 2010, hlm. 42. tidak diterbitkan 26

C. Kondisi Agama

Pada tradisi alam pikir orang Jawa sejak zaman Hindu hingga Islam datang, raja adalah perwujudan mikro kosmos dan sebagai wakil Tuhan Allah SWT dalam perlindungan dan pengayoman rakyat, oleh karena itu rakyat memberikan apa yang mereka miliki untuk kepentingan raja dan keluarganya dalam mengatur kehidupan mereka agar lebih baik, dalam wujud istilah: papat kalimo pancer, yang berarti empat sisi dengan pusat di tengahnya sebagai pengatur yang disebut raja. 52 Citra para penguasa Jawa akan simbol-simbol keislaman yang telah menjadi tradisi sejak zaman Kesultanan Demak, diwujudkan dalam bentuk perayaan acara Maulid Nabi Muhammad SAW, hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, dengan mengadakan acara Garebeg Mulud, Sawal dan Garebeg Besar, sebagai tanda pengakuan diri pada Islam serta sebagai perayaan rakyat sebagai simbol kemurahan hati raja Sunan Surakarta atau Sultan Yogyakarta. Masjid sejak zaman Pakubuwono I, walapun kekuasaannya didukung oleh VOC, adalah simbol dari pusaka orang-orang Jawa, dia menganggap bahwa meskipun seluruh pusaka tanah Jawa ini hilang dan habis, maka Masjid Demak dan makam Kadilangu merupakan pusaka rakyat Jawa yang abadi, yang menjadi dasar dari etika dan keyakinan hidup rakyat Jawa. 53 Pada masa itu pihak VOC tidak terlalu tertarik pada masalah Islam di kedua kerajaan Jawa, sebab tujuan utamanya adalah keuntungan dalam berdagang, meskipun pernah terjadi sebuah peristiwa yang disebut peristiwa 52 Sumardjo, Arkeologi Budaya Indonesia, Pelacakan Hermeneutis-Historis, hlm. 60. 53 Nancy K. Florida, Menyurat Yang Silam Menggurat Yang Menjelang, Sejarah Nubuat Kebudayaan Jawa, terj. Rahmat, dkk., Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002, hlm. 101. 27 pakepung pada tahun 1780-an, di Surakarta oleh Pakubuwono IV yang didukung oleh empat ulama berpengaruh, mereka berusaha menegakkan agama Islam sesuai dengan keadaan pada masa Sultan Agung, namun hal tersebut menyebabkan kraton Surakarta dikepung oleh pasukan gabungan dari Mangkunegoro, Yogyakarta dan VOC. 54 Penggunaan gelar-gelar kekuasaan dan keagamaan dengan pendekatan Islam, seperti tercermin dalam kalimat gelar Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sunan atau Sultan Senopati Ing Alogo Ngabdurrahman Sayidin Panotogomo Kalipatullah Ing Tanah Jawi, sebagai simbol kekuasaan dunia dan agama akhirat di tanah Jawa, adalah bukti bahwa Islam diterima sebagai agama resmi. 55 Semenjak berhasil membangun Kesultanan Yogyakarta, Sultan Hamengkubuwono I 56 berusaha membangun jaringan keagamaan dengan berhubungan dan membangun beberapa Masjid Pathok Negoro, yang sebagian besar terletak di sekitar kota Yogyakarta, seperti Masjid Dongkelan di bagian selatan Kraton, Masjid Wonokromo, berada di sekitar bekas ibukota Kerto, 6 km di daerah selatan, Masjid Babadan di Berbah berada 8 km di daerah timur dan Masjid Plosokuning di bagian timur laut, serta Masjid Mlangi, di barat daya Kraton. 54 Pada babad Pakepung, diceritakan bahwa Sunan Pakubuwono IV bersama empat ulama yang berpengaruh, mulai melawan VOC dengan menerapkan hukum-hukum Islam secara ketat, dia juga berusaha untuk tidak mematuhi isi perjanjian yang dianggap sebagai penyerahan kepada kaum kafir. Akhirnya keempat ulama tersebut diserahkan pada VOC untuk kemudian dibuang, sebagai kompensasi atas tidak jadinya penyerangan kraton Surakarta yang telah dikepung. 55 Revianto Budi Santosa ed., Dari Kabanaran Menuju Yogyakarta, Sejarah Hari Jadi Yogyakarta Yogyakarta: Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya Kota Yogyakarta, 2008, hlm. 46. 56 Sultan HB I adalah raja begitu fokus terhadap perkembangan Islam, dia juga berusaha untuk mengidentifikasikan dirinya adalah pemeluk Islam yang baik, dengan menyalin dan menulis langsung dengan tangannya sendiri, mushaf al- Qur’an. Mushaf asli tulisan tangan Sultan HB I, dapat dilihat di perpustakaan BPSNT Yogyakarta bagian koleksi langka.

Dokumen yang terkait

125847 AKJ 2008 08 27 Masjid Pathok Negoro Ploso Kuning

0 0 1

141650 AKJ 2009 08 31 Masjid Pathok Negoro Ploso Kuning

0 0 1

094935 AKJ 2006 10 04 Masjid Pathok Negoro Ploso Kuning

0 0 1

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Identitas Komunitas Masjid di Era Globalisasi Studi pada Komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning Keraton Yogyakarta D 762008001 BAB I

0 1 25

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Identitas Komunitas Masjid di Era Globalisasi Studi pada Komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning Keraton Yogyakarta D 762008001 BAB II

0 0 84

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Identitas Komunitas Masjid di Era Globalisasi Studi pada Komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning Keraton Yogyakarta D 762008001 BAB III

0 1 31

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Identitas Komunitas Masjid di Era Globalisasi Studi pada Komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning Keraton Yogyakarta

0 0 28

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Identitas Komunitas Masjid di Era Globalisasi Studi pada Komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning Keraton Yogyakarta

0 0 6

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Identitas Komunitas Masjid di Era Globalisasi Studi pada Komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning Keraton Yogyakarta

0 0 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Identitas Komunitas Masjid di Era Globalisasi Studi pada Komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning Keraton Yogyakarta

0 0 15