Manfaat Penelitian Metode Penelitian
8
segala hal yang berhubungan dengan fisik masjid, terutama masalah struktur bangunan beserta maknanya. Pada pendekatan ini arkeologi perspektif
budaya merupakan sarana untuk melihat bentuk fisik, yang diperlihatkan pada sebuah hasil karya masyarakat dalam tradisi Jawa,
17
yaitu masjid. Sedangkan pendekatan sosio-antropologi digunakan sebagai acuan
pandangan tentang bagaimana alam pikiran penguasa dan rakyat Jawa pada masa itu dan bagaimana perkembangan peradabannya, akan sebuah bangunan
fisik religius sebagai bagian dari perikehidupan dan tranformasi rakyat Jawa, seperti hal masalah tata busana, arsitektur, etiket dan lain-lain.
18
Masjid Pathok Negoro berasal dari dua bahasa dan tiga akar kata yang berbeda, kata masjid berasal dari akar kata bahasa Arab. Kata dasar
masjid berasal dari kata kerja sajada
yang berarti bersujud dan menyembah kepada Allah atau Tuhan Semesta Alam, yang mana akar kata tersebut
mengalami perubahan makna dan pengucapan kata dalam ilmu sintaksis bahasa Arab ilmu sharaf menjadi kata benda atau ism makaan atau
penetapan tempat. Sehingga, kata sajada berubah menjadi kata masjid yang berarti “tempat bersujud” atau “menyembah Allah”.
19
Kata masjid merujuk pada penyebutan tempat ibadah bagi umat Islam. Dalam Bahasa Indonesia
kata masjid ini dicerap begitu saja tanpa adanya perubahan-perubahan berarti dalam penyebutan maupun penulisan kata masjid.
20
17
Handinoto, Arsitektur dan Kota-kota di Jawa Pada Masa Kolonial, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010, hlm. 110.
18
Jakob Sumardjo, Arkeologi Budaya Indonesia, Pelacakan Hermeneutis-Historis Terhadap Artefak-artefak Kebudayaan Indonesia, Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2002, hlm.
66.
19
A. W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1984, hlm. 650
20
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1990, hlm. 579
9
Adapun kata Pathok Negoro berasal dari dua kata bahasa Jawa, yaitu Pathok dan Negoro. Pathok mempunyai beragam makna,
21
namun mempunyai satu tujuan makna kata khusus yaitu, “sebuah tanda yang
ditancapkan atau didirikan, baik berupa tanda yang terbuat dari kayu tongkat atau tanaman tertentu, batu ataupun bangunan fisik lainnya, yang
dimaksudkan sebagai batas dari sebuah kekuasaan tertentu baik individu maupun kolektif.” Sedangkan kata Negoro, atau dalam bahasa Jawa halus
inggil nagari, memiliki arti kekuasaan negara yang dipimpin oleh seorang raja dengan sistem tertentu.
22
Sebuah hasil kebudayaan tentu berasal dari olah rasa, karya dan karsa. Menurut Koentjaraningrat yang dikutip dari J.J Hoenigman proses
kehidupan memunculkan tiga gejala kebudayaan, yaitu: 1 ideas, 2 activities 3 artifact. Prinsip pokok dari kebudayaan di dunia menurutnya
pula ada tujuh, yaitu bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi dan kesenian.
23
Masjid Pathok Negoro Plosokuning di sini berada dalam tataran sistem religi dan kesenian.
Pada masa Rasulullah masjid tidak ditentukan bentuk dan bahannya, prinsipnya hanya satu, yaitu bagaimana masjid tersebut berfungsi
sebagai tempat ibadah maupun pusat sosialisasi umat. Bahkan jika ada masjid yang fungsinya tidak dimaksudkan untuk itu, Allah memerintahkan kepada
21
Dharma Gupta, dkk., ed., Toponim Kota Yogyakarta, Yogyakarta: Dinas Pariwisata, seni dan Budaya Kota Yogyakarta, 2007, hlm. 44.
22
P. M. Zoetmulder, Kamus Jawa Kuno-Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1987, hlm. 215.
23
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Rineka Cipta, 1990, hlm. 159.
10
Rasulullah SAW untuk menghancurkannya. Atas dasar keadaan itulah, maka ajaran Islam memang tidak menetapkan ketentuan konstruksi arsitektur
bangunan masjid harus berbentuk seperti apa. Islam yang datang dan menyebar ke sebuah wilayah baru,
kemudian berasimilasi dan menyerap kebudayaan yang telah ada, untuk menjadi kebudayaan Islam. Keadaan asimilasi dan penyerapan kebudayaan
oleh Islam disebut sinkretisme, tanpa mengubah dasar-dasar dari ajaran agama maupun kebudayaan yang ada, bahkan Islam semakin mewarnai
jalannya sebuah kebudayaan, contohnya kebudayaan Jawa. Oleh karena itulah, etnis dan kebudayaan apapun bebas membangun kostruksi masjid
dengan gaya arsitektur apapun, asal fungsi utamanya tidak melenceng dari syariat Islam. Itulah yang dicontohkan oleh para Walisongo pada masa lalu
dalam membangun masjid agung Demak. Model arsitektur masjid Demak adalah acuan bangunan masjid berarsitektur gaya Jawa. Prinsip konstruksi
bangunan tidak ditentukan dalam ajaran Islam, namun prinsip konstruksi arsitektur telah ada dalam kebudayaan Jawa, baik penentuan tempat dan
penentuan waktu pembangunannya maupun penentuan bentuk, semua telah ada pada aturan dalam kebudayaan Jawa. Islam hanya melengkapi saja
dengan prinsip-prinsip ajarannya seperti kebersihan, keamanan dan upaya pendekatan diri pada Yang Maha Kuasa.
24
Arsitektur mempunyai tiga bagian prinsip, pertama, berkaitan dengan fungsi, kedua, berkaitan dengan bentuk
dan ketiga berkaitan dengan tata letak.
24
Nurcholis Madjid, Konteks Berteologi di Indonesia, Pengalaman Islam Jakarta: Penerbit Paramadina, 1999, hlm. 13.
11
Teori yang digunakan dalam penelitian ini merujuk pada Yu Hien Hsieh,
25
yang mengatakan bahwa, “sebuah bangunan pasti didirikan dengan maksud-maksud tertentu, baik fungsi maupun b
entuk.” Posisi dan waktu pembangunan semua diatur sedemikian rupa, dengan segala perangkat yang
ada di dalamnya. Ada empat fungsi utama Masjid Pathok Negoro; pertama, fungsi religius, sebagai tempat ibadah dan tempat belajar-mengajar agama,
kedua, fungsi geografis dalam bentuk teritorial sebuah wilayah kerajaan, ketiga, fungsi sosial dalam bentuk interaksi antar personal, terakhir, yang
sekarang mungkin sudah tidak ada lagi, yaitu fungsi militer
26
, yang digunakan untuk mobilisasi rakyat untuk berperang dan menggalang kekuatan. Sejak
didirikan pertama kali di tahun 1724 M, fungsi-fungsi tersebut tetap ada, kecuali fungsi militer. Mungkin sekali fungsi militer berubah menjadi fungsi
ekonomis seiring berjalannya waktu. sebab sebagian besar penduduk wilayah di sekitar masjid tersebut adalah para pengusaha dan pekerja wiraswasta yang
kuat etos kerjanya. Prinsip bentuk gaya arsitektur masjid Jawa setidaknya ada tiga
pendapat, yang kesemuanya mengerucut pada pola penetapan ruang, bentuk dan aspek pengaruh gaya yang diterapkan pada sebuah masjid berarsitektur
Jawa. Adapun pendapat-pendapat tersebut berasal dari: G.F Pijper,
27
Handinoto
28
dan Abdul Rochym.
29
25
Alvin L. Bertrand, Sosiologi, Kerangka Acuan, Metode Penelitian, Teori-teori Tentang Sosialisasi, Kepribadian dan Kebudayaan, terj. Sanapidh S. Faisal, Surabaya: PT
Bina Ilmu, 1980, 26-28.
26
Fungsi militer dipergunakan pada masa Perang Jawa 1825-1830 dan pada saat revolusi fisik 1945-1949
27
G. F Pijper, Beberapa Studi Tentang Sejarah Islam Di Indonesia, 1900-1950, terj. Tujimah dan Yessi Agusdin, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1985. Hal ini
juga diperkuat oleh pendapat Helene Njoto tentang asal usul tata peletakan masjid di Jawa
12
Menurut G.F Pijper, denah dan bentuk dasar masjid berarsitektur Jawa mirip seperti kompleks candi Hindu Jawa, terutama kompleks candi
Plaosan Lor. Hal tersebut ingin dibuktikan oleh G.F Pijper dengan menyamakan denah penempatan candi perwara
30
yang mengelilingi candi utama. Jika hal tersebut disamakan dengan masjid, maka candi perwara
adalah bagian di luar masjid, sedangkan candi induknya adalah bagian utama masjid.
Menurut G.F Pijper, arsitektur masjid bergaya Jawa mempunyai bentuk enam karakter umum, yang tidak terdapat pada masjid di daerah
lainnya di luar kebudayaan Jawa, yaitu: 1.
Berbentuk bujursangkar. 2.
Lantainya langsung berada di tanah, tidak dibuat seperti lantai panggung. 3.
Memiliki atap tumpang. 4.
Mempunyai serambi. 5.
Memiliki halaman yang dibatasi oleh pagar dan kolam, biasanya pintu masuknya berada di bagian timur.
6. Memiliki ruang tambahan berupa mihrab di bagian barat masjid.
Handinoto hampir sependapat dengan G.F Pijper dengan kesepakatan atas denah masjid berarsitektur Jawa. Handinoto kemudian lebih
dalam tulisannya, “On The Origins of the Javanese Mosque” dalam, The Newsletter Vol. 72, 2015.
28
Tulisan makalah tentang arsitektural masjid bergaya Jawa oleh Handinoto dan Samuel Hartono, “Pengaruh Pertukangan Cina Pada Bangunan Mesjid Kuno Di Jawa Abad
15- 16” dalam, Dimensi Teknik Arsitektur Vol.35, No. 1, Juli 2007.
29
Abdul Rochym, Mesjid Dalam Karya Arsitektur Nasional Indonesia, Bandung Angkasa, 1983.
30
Candi Perwara adalah candi pelengkap atau pendamping yang mengelilingi candi utama
13
menyoroti bentuk arsitektur masjid Jawa, dengan penekanan bahwa masjid berarsitektur Jawa terdapat prinsip-prinsip tertentu soal bentuknya.
Improvisasi dan
inovasi orang-orang
Jawa dalam
mewujudkan kebudayaannya pada bidang arsitektur masjid, menurutnya pula dapat dilihat
pada bentuk atap, tata letak dan prinsip konstruksinya. Untuk bagian pawestren itu hanya wujud ajaran tentang penghargaan kepada kaum Hawa
yang ingin berjama’ah di masjid, sebab itu hanya bagian yang khusus difungsikan untuk kaum Hawa.
Adapun menurut Abdul Rochym arsitektur masjid bergaya Jawa dapat dengan mudah dilihat dan ditentukan bentuk serta denahnya. Masjid
berarsitektur Jawa tidak mengalami perubahan gaya dan prinsip selama berabad-abad sejak masa Demak, perubahannya hanya pada masalah bahan,
karena ada beberapa bahan yang mudah rusak. Hampir sama seperti pendapat G.F Pijper, menurut Abdul Rochym, masjid-masjid di Indonesia pada
prinsipnya berbentuk bujursangkar untuk meratakan shaf dalam sholat, mempunyai bagian khusus seperti mihrab dan mimbar. Keunikan masjid
berarsitektur bergaya Jawa menurutnya mempunyai keunikan yang khusus, terutama adanya bagian seperti kolam dan kompleks makam dalam satu
lingkungan masjid. Konsep bangunan di belahan Dunia Timur, secara epistimologis,
sangat berbeda dengan konsep bangunan di belahan Dunia Barat. Pada konsep bangunan Dunia Timur, konsep ornamental sangat ditonjolkan,
dibanding konsep fungsional Dunia Barat. Konsep privacy dalam penggunaan ruang bangunan di Dunia Barat, sangat bertentangan dengan konsep
14
kebersamaan common pada penggunaan ruang di Dunia Timur, lebih-lebih masalah estetika yang sangat jarang diperhatikan oleh konsep arsitektur di
Dunia Barat. Konsep bangunan di Dunia Timur selalu memaksa orang untuk
menyesuaikan diri, untuk membentuk perilaku pribadi dan sosial, contohnya sikap seseorang ketika berada dalam kompleks peribadatan, yang disesuaikan
dengan adat setempat.
31
Untuk mencegah terjadinya gangguan kekhusukan dalam sholat, maka aspek ornamental yang biasa ditemukan di arsitektur
Dunia Timur, di Masjid agung Kraton dan Masjid-Masjid Pathok Negoro, sangat sedikit. Hanya ada sedikit ornamen yang diwarnai dengan warna
terbatas dan tidak mencolok.
32
Suasana yang ingin ditampakkan oleh konsep arsitektur.
Pada buku Konsep Kekuasaan Jawa karya G. Moedjanto, dia berpendapat bahwa kekuasaan itu tidak dilihat dari kedudukannya sebagai
seorang raja semata, namun dia harus mewujudkannya pada hal lain yang berkaitan dengan simbolisasi dalam kekuasaannya. Keunggulan dan
legitimasi tersebut, diwujudkan dalam upaya mendekatkan diri sedekat mungkin dengan rakyatnya.
33
Hal itu bisa dilakukan melalui tulisan, pendirian dan pemrakarsaan bangunan tertentu serta kepedulian akan suatu wilayah
31
Hindro T. Soemardjan, Pendidikan Arsitektur dan Pembangunan Nasional: Sebuah Pendekatan Budaya, dalam Eko Budihardjo ed., Arsitektur Indonesia Dalam
Perspektif Budaya, Bandung: Penerbit Alumni, 1991, hlm. 110-112.
32
Rochym, Mesjid Dalam Karya Arsitektur Nasional Indonesia, Bandung: Angkasa, 1983, hlm. 108.
33
Budiono Herusatoto, Simbolisme Dalam Budaya Jawa, Semarang: Hanindita, 1984, hlm. 21.
15
tertentu ataupun penggunaan simbol-simbol keramat bagi sebuah keluarga atau kekuasaannya.
34
Sebagai masalah dan konsep etos, maka para penguasa selalu berusaha menumbuhkan kesadaran kolektif kelompok atau individu yang
dipimpinnya dalam sebuah daerah tertentu.
35
Simbol-simbol yang diwujudkan itu selalu berkaitan dengan penumbuhan kesadaran kolektif tentang diri dan
ruang yang dipertahankan dan dikembangkan sedemikian rupa oleh subyek penggunanya.
36