Kondisi Agama GAMBARAN UMUM
27
pakepung pada tahun 1780-an, di Surakarta oleh Pakubuwono IV yang didukung oleh empat ulama berpengaruh, mereka berusaha menegakkan
agama Islam sesuai dengan keadaan pada masa Sultan Agung, namun hal tersebut menyebabkan kraton Surakarta dikepung oleh pasukan gabungan dari
Mangkunegoro, Yogyakarta dan VOC.
54
Penggunaan gelar-gelar kekuasaan dan keagamaan dengan pendekatan Islam, seperti tercermin dalam kalimat gelar Sampeyan Dalem Ingkang
Sinuwun Kanjeng Sunan atau Sultan Senopati Ing Alogo Ngabdurrahman Sayidin Panotogomo Kalipatullah Ing Tanah Jawi, sebagai simbol kekuasaan
dunia dan agama akhirat di tanah Jawa, adalah bukti bahwa Islam diterima sebagai agama resmi.
55
Semenjak berhasil membangun Kesultanan Yogyakarta, Sultan Hamengkubuwono I
56
berusaha membangun jaringan keagamaan dengan berhubungan dan membangun beberapa Masjid Pathok
Negoro, yang sebagian besar terletak di sekitar kota Yogyakarta, seperti Masjid Dongkelan di bagian selatan Kraton, Masjid Wonokromo, berada di
sekitar bekas ibukota Kerto, 6 km di daerah selatan, Masjid Babadan di Berbah berada 8 km di daerah timur dan Masjid Plosokuning di bagian timur
laut, serta Masjid Mlangi, di barat daya Kraton.
54
Pada babad Pakepung, diceritakan bahwa Sunan Pakubuwono IV bersama empat ulama yang berpengaruh, mulai melawan VOC dengan menerapkan hukum-hukum Islam
secara ketat, dia juga berusaha untuk tidak mematuhi isi perjanjian yang dianggap sebagai penyerahan kepada kaum kafir. Akhirnya keempat ulama tersebut diserahkan pada VOC
untuk kemudian dibuang, sebagai kompensasi atas tidak jadinya penyerangan kraton Surakarta yang telah dikepung.
55
Revianto Budi Santosa ed., Dari Kabanaran Menuju Yogyakarta, Sejarah Hari Jadi Yogyakarta Yogyakarta: Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya Kota Yogyakarta, 2008,
hlm. 46.
56
Sultan HB I adalah raja begitu fokus terhadap perkembangan Islam, dia juga berusaha untuk mengidentifikasikan dirinya adalah pemeluk Islam yang baik, dengan
menyalin dan menulis langsung dengan tangannya sendiri, mushaf al- Qur’an. Mushaf asli
tulisan tangan Sultan HB I, dapat dilihat di perpustakaan BPSNT Yogyakarta bagian koleksi langka.
28
Selain difungsikan sebagai tempat untuk menggembleng para prajurit, tempat-tempat tersebut juga merupakan benteng intelektual dan religius rakyat
Yogyakarta. Masjid-masjid tersebut tidak terdapat di wilayah Kasunanan Surakarta atau di Kadipaten Mangkunegara dan Pakualaman.
57
Pada pusat Kotagede sendiri telah mempunyai masjid besar sejak zaman Panembahan
Senopati, serta terdapat kampung yang di dalamnya berisi para kaum santri dan agamawan, yang disebut kampung kauman, yang berdiri di sekitar Masjid
Agung Kotagede. Lunturnya pegangan para bangsawan terhadap agama Islam,
merupakan hal yang sangat disesali oleh Pangeran Diponegoro yang melihat kebobrokan mental para bangsawan.
58
Pangeran Diponegoro selama masa Perang Jawa menyebut dirinya sebagai pemimpin agama di tanah Jawa yang
mengobarkan perang sabil dengan penyebutan gelar, Sultan Ngabdulkamid Erucakra Sayidin Panotogomo Kalipatullah Ing Tanah Jawi. Banyak di antara
pendukungnya adalah santri dan kaum ulama, terutama Kyai Mojo, Kyai Taptayani dan Kyai Nitiprojo serta ulama-ulama dari Kotagede dan sekitar
Masjid Pathok Negoro.
59
Ketika terjadi tekanan yang begitu berat dari pemerintah, kaum bumiputra percaya pada kekuatan supranatural yang istimewa dan privillage
pada keadaan dan diri seseorang tokoh seperti Kyai. Snouck C. Hurgronje, sebagai penasehat pemerintah, dia menganggap masalah Islam secara negatif,
setidaknya ada tiga poin dalam pandangan pemerintah kolonial dalam
57
Sumintarsih, dkk.,Toponim KotaYogyakarta, hlm. 43.
58
Muhammad Yamin, Sejarah Peperangan Dipanegara, Pahlawan Kemerdekaan Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1998, hlm. 14-16.
59
M. Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara, Riwayat Hidup, Karya dan Sejarah Perjuangan 157 Ulama Jakarta: Gelegar Media Indonesia, 2009, hlm. 151.
29
memandang Islam, 1. Domain agama murni, yaitu memunculkan sikap netral, 2. Domain hukum, yang menciptakan kodifikasi hukum tanpa akhir, dengan
perubahan tidak seimbang untuk keuntungan pemerintah kolonial, 3. Domain politik, pada bagian ini pemerintah harus bersikap keras, yaitu berupa
penentangan terhadap adanya pengaruh Pan-Islamisme dan pemberantasan dengan kekuatan militer segala bentuk gerakan-gerakan perlawanan.Seluruh
poin-poin tersebut ditujukan untuk satu hal, yaitu politik asosiasi.
60
Instrumen-instrumen perlawanan yang selalu terjadi dan berakhir dengan bentrok fisik, akhirnya diselidiki oleh pemerintah kolonial Belanda
pada saat berlangsungnya Perang Jawa, hingga kemudian diambil kesimpulan bahwa masalah keagamaan serta pendidikan agama Islam di pondok-pondok
pesantren harus diawasi dengan ketat serta ditekan sedemikian rupa, agar segala bentuk embrio perlawanan dapat diredam sebelum muncul ke
permukaan, sehingga program-program pemerintah kolonial Belanda dapat berjalan dengan lancar.
Islam sendiri telah menjelma menjadi kekuatan budaya dan sosial- politik yang bergerak perlahan dari pedesaan dan pesisiran melalui dakwah
dan pendidikan.
61
Politik pengawasan agama tersebut berlangsung hingga berakhirnya pemerintahan kolonial pada tahun 1942. Selepas tahun tersebut
politik asimilasi Pemerintah Pendudukan Jepang, berhasil menghimpun dukungan rakyat dengan pendirian laskar Hizbullah.
60
Muhammad Hisyam, “Kebijakan Haji Masa Kolonial”, dalam A.B. Lapian ed, Sejarah dan Peradaban: Sejarah dan Dialog Peradaban, Jakarta: LIPI Press, 2005, hlm.
340-341.
61
Simuh, Islam dan Pergumulan Budaya Jawa Jakarta: Teraju, 2003, hlm. 75 dan 87.
30
Peralihan dan pertukaran kebudayaan melalui migrasi penduduk, pernikahan atau pembelajaran, mempercepat proses pembauran dan
penyebaran ide-ide dalam masyarakat secara normatif. Tradisionalisme sesungguhnya telah ikut menjiwai gerakan perlawanan baik oleh para santri
maupun para bandit, yang secara rapi terorganisir dan mempunyai struktur,
62
bahkan keberadaan organisasi dan keberadaan banditpun diikat oleh nilai religius dan kerjasama mereka dengan aparat desa.
63
Tidak boleh dilupakan peran dari para santri yang
mewakili golongan “putih”, di mana pencak silat bela diri diajarkan dan agaknya menjadi salah satu kurikulum yang tak resmi
di lingkungan pondok pesantren tradisional yang tesebar di seluruh Jawa.
64
Pondok pesantren tersebut juga diikat oleh persaudaraan tarekat yang menggugah nilai rohani para anggota dan masyarakat sekitarnya yang diwakili
oleh para kyai dan kaum santri.
65
Masuknya organisasi
kemasyarakatan modern
di bidang
keagamaan sejak awal abad ke-20, seperti Sarekat Islam, NU dan Muhammadiyah, ikut membentuk perilaku keagamaan, meskipun empat dari
lima Masjid Pathok Negoro cenderung berafiliasi dengan ormas NU dan satu dekat dengan Muhammadiyah, namun sebagai sebuah kesatuan religius,
afiliasi tersebut tidak menganggu aktifitas serta persatuan yang telah terbangun.
62
Suhartono W. Pranoto, Jawa, Bandit-bandit Pedesaan, Studi Historis 1850-1942 Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010, hlm. 120-121.
63
Suhartono, Jawa, Bandit-bandit Pedesaan, Studi Historis 1850-194 hlm. 151 dan 154.
64
Imam Bawani, Tradisionalisme Dalam Pendidikan Islam, Studi Tentang Daya Tahan Pesantren Tradisional Surabaya: Al-Ikhlas, 1993, hlm. 107.
65
Ibid., hlm 108.
31