Perumusan Masalah Model Dinamika Sistem Penyerapan Emisi CO2 di Kota Bogor

penambahan luasan RTH sebesar 50 mampu menurunkan suhu 0.2 sampai 0.5 ⁰C, tetapi penurunan luasan RTH dengan prosentase yang sama menaikkan suhu lingkungan sekitar 0.4 sampai 1.8 ⁰C. RTH memiliki potensi yang tinggi dalam penyerapan emisi yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor. Banurea et al. 2013 menyatakan bahwa tegakan pohon heterogen yang ada di kampus Universitas Sumatera Utara seluas 100 hektar memiliki potensi penyerapan emisi CO 2 sebesar 3 327.251 kgjam dengan tutupan lahan 25.61 hektar. Ruang terbuka hijau tersebut setidaknya mampu mereduksi 50 emisi dari total emisi 6 088.14 kgjam yang dihasilkan dari kendaraan yang beroperasi di sekitar kampus. Berdasarkan hasil tersebut maka pengembangan RTH perlu dilanjutkan kembali untuk meningkatkan potensi serapan emisinya. Kandungan karbon pada hutan kota atau RTH yang berbentuk jalur pada umumnya lebih kecil jika dibandingkan dengan hutan kota bergerombol. Hal ini disebabkan oleh jenis vegetasi penyusun dan jarak tanamnya. Pada hutan kota bentuk jalur, vegetasi penyusunnya relatif homogen dengan jarak tanam teratur, sedangkan pada hutan kota bentuk gerombol, vegetasinya tersusun heterogen dengan kerapatan yang tinggi dan jarak tanam yang tidak seragam. Ratnaningsih dan Suhesti 2010 menyatakan bahwa hutan kota bergerombol memiliki potensi CO 2 sebesar 276.87 tonha, sedangkan hutan kota jalur 232.97 tonha di Kota Pekanbaru. Dengan kapasitas penyerapan yang lebih kecil, bukan berarti bahwa hutan kota jalur tidak dibutuhkan. Hutan kota jalur selain sebagai penyerap emisi CO 2 juga dapat berfungsi sebagai perindang jalur dan penambah nilai estetika kota Fandeli 2004 dalam Tinambunan 2006.

2.3 Permasalahan Lingkungan Perkotaan

Kualitas udara dan lingkungan dapat menurun akibat peningkatan aktivitas manusia memanfaatkan bahan bakar minyak BBM, membangun, dan menghasilkan sampah. Penurunan kualitas lingkungan tersebut dapat dicegah dengan meningkatkan RTH atau pepohonan disekitar bangunan perkotaan sebagai penyeimbang kondisi lingkungan Putriatni 2009 dalam Pradiptiyas et al. 2012. Berdasarkan Pradiptiyas et al. 2012, upaya peningkatan kapasitas penyerapan CO 2 di perkotaan dapat dilakukan dengan mengoptimalkan tutupan lahan di area RTH dan melakukan pemeliharaan intensif untuk RTH publik yang belum terkelola. Berdasarkan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang pasal 29 ayat 2 dan 3 dinyatakan bahwa proporsi RTH adalah 30 dari total luas wilayah perkotaan. Proporsi tersebut terdiri dari RTH publik fasilitas umum dan RTH privat di area tanah pribadi. RTH publik memiliki proporsi 20 dari total luas wilayah kota, sedangkan sisanya yaitu sebesar 10 merupakan RTH privat. Meskipun demikian, semakin lama pertumbuhan penduduk menyebabkan banyak lahan dibangun menjadi pemukiman, sehingga luasan RTH semakin lama semakin terdesak oleh pembangunan tersebut. Sistem transportasi juga berpengaruh pada penggunaan lahan dan tata ruang kota karena kebutuhan penduduk terhadap transportasi juga semakin meningkat Arief 2012. Begitu pula dengan emisi gas CO 2 yang dihasilkan dari penggunaan bahan bakar energi fosil. Hal ini seperti yang terjadi di Kota Bogor. Emisi gas CO 2 Kota Bogor diperkirakan sebesar 600 216 ton pada tahun 2010 dan mencapai 848 175 ton pada tahun 2100 Dahlan 2007. Dapat dikatakan bahwa kebutuhan terhadap hutan kota semakin bertambah seiring dengan intensitas dan frekuensi aktivitas manusia menghasilkan emisi. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk mengendalikan kondisi tersebut salah satunya dengan perluasan hutan kota, penanaman jenis penyimpan karbon yang tinggi, atau pembatasan konsumsi energi untuk menetralkan emisi yang dihasilkan.

2.4 Upaya Pengurangan Emisi CO

2 Permasalahan emisi tidak hanya menjadi perhatian Indonesia, tetapi juga menjadi perhatian negara-negara lain. Salah satu upaya mengurangi emisi karbondioksida adalah dengan memanfaatkan Bahan Bakar Nabati BBN pengganti bahan bakar fosil. Pada tahun 1970 Brazil berusaha mengembangkan bahan bakar alkohol dengan bahan baku tetes tebu Soccol et al. 2005. Pada tahun 1990 Perancis membuat produk biodiesel dengan bahan dasar rapeseed Walwijk 2005 dan diikuti Amerika Serikat membuat bahan bakar alkohol dengan bahan dasar jagung pada tahun 2005. Jika dibandingkan dengan bensin, biodiesel atau bioetanol menghasilkan faktor emisi yang lebih besar yaitu 70 800 kgTJ, sedangkan bensin 69 300 kgTJ, dan solar 74 100 kgTJ. Oleh karena itu BBN tersebut lebih tepat digunakan sebagai substitusi solar Sugiyono 2008. Selain BBN, negara lain seperti Chicago dan Berlin menggunakan panel surya sebagai pembangkit listrik, sedangkan Tokyo dan Helsinki memilih memanfaatkan tenaga angin untuk menekan penggunaan batu bara. Sumber emisi lain selain penggunaan bahan bakar fosil adalah sampah. Untuk mereduksi emisi yang dihasilkan oleh sampah, dilakukan upaya memanfaatan kembali reuse. Sampah organik dapat diolah secara kimia untuk menghasilkan biogas, sedangkan sampah anorganik dapat dipilah, didaur ulang, dan dimanfaatkan kembali. Kalor yang dihasilkan biogas dengan bahan baku sampah organik dapat mencapai 10 080 Joule untuk volume 9.075 liter biogas Ikhsan et al. 2012. Maka selain menambah serapan emisi dengan mengoptimalkan tutupan lahan dan fungsi RTH, upaya pengurangan emisi juga dapat dilakukan dengan pembatasan penggunaan bahan bakar fosil dan menggantinya dengan bahan bakar lain yang lebih ramah lingkungan.