56 sekitar 300 m dari hutan primer dan hutan sekunder 13 tahun berbatasan dengan
agroforest karet 50 tahun. Tipe tutupan lahan yang ada di sekitar kedua tipe tutupan lahan tersebut merupakan sumber biji dari S. venulosa.
Pada tingkat tiang, similaritas spesies terdekat adalah antara hutan sekunder 10 tahun 13 tahun. Pada kedua tipe tutupan lahan ditemukan 6 spesies 21 yang
sama dan semuanya merupakan spesies pioner. Agroforest karet 60 tahun memiliki silimaritas spesies terdekat dengan hutan sekunder 10 dan 13 tahun,
meskipun hanya ada 2 spesies 4 sama yang ditemukan pada ketiga tipe tutupan lahan tersebut. Spesies yang ditemukan pada agroforest karet 60 tahun, hutan
sekunder 10 dan 13 tahun adalah Macaranga peltata dan Macaranga sp. yang merupakan tumbuhan pioner. Diagram pengelompokan similaritas spesies tingkat
tiang disajikan pada Gambar 25.
0.80 RA13S
RA30S
Forest SH25F
SH10F
1.00 RA60S
0.98 0.95
0.93 SH13S
0.90 RA30F
0.88 0.85
0.82 Gambar 25. Diagram pengelompokan similaritas spesies tingkat tiang pada
berbagai tipe tutupan lahan Hutan primer memiliki similaritas spesies tingkat tiang terdekat dengan
hutan sekunder 25 tahun. Pada kedua tipe tutupan lahan tersebut ditemukan 8 spesies 17 yang sama yaitu Gymnacranthera contracta, Lithocarpus sp.,
Mitrephora maingayi, Scaphium macropodum, Shorea sp., Sterculia foetida,
57 Dacryodes laxa dan Elaeocarpus lanceifolius. Spesies-spesies tersebut merupakan
spesies yang hanya ditemukan pada hutan sekunder 25 tahun dan hutan primer kecuali Lithocarpus sp. dan Elaeocarpus lanceifolius. Bila dibandingkan dengan
agroforest karet 60 tahun, hanya ditemukan satu spesies tiang 1 yang sama dengan hutan primer dan hutan sekunder 25 tahun yaitu Elaeocarpus lanceifolius.
Agroforest karet 30 tahun yang jauh dari hutan primer memiliki similaritas spesies terdekat dengan agroforest karet 30 tahun dekat hutan primer dan
agroforest karet 13 tahun. Pada ketiga tipe tutupan lahan tersebut hanya ditemukan satu spesies yang sama yaitu karet Hevea brasiliensis.
Pada tingkat pohon, agroforest karet 60 tahun memiliki similaritas spesies terdekat dengan hutan primer. Pada kedua tipe tutupan lahan tersebut ditemukan 7
spesies 11 yang sama yaitu Dacryodes rostrata, Eugenia papilosa, Lithocarpus sp., Diospyros sp., Koompassia malaccensis, Palaquium gutta dan
Parkia speciosa. Spesies-spesies tersebut sengaja dibiarkan tumbuh pada agroforest karet 60 tahun, karena memiliki manfaat sebagai penghasil kayu
bangunan, resin dan buah. Diagram pengelompokan similaritas spesies tingkat pohon disajikan pada Gambar 26.
RA60S
0.65 SH25F
RA30S Forest
1.00 0.95 0.90 0.85 RA30F
0.80 0.75 0.70 Gambar 26. Diagram pengelompokan similaritas spesies tingkat pohon pada
berbagai tipe tutupan lahan
58 Hutan sekunder 25 tahun memiliki similaritas spesies terdekat dengan hutan
primer. Pada kedua tipe tutupan lahan ditemukan 10 spesies 15 yang sama, yaitu Ficus sp., Lithocarpus sp., Litsea firma, Melanochyla sp., Parashorea
malaanonan, Scaphium macropodum,
Shorea sp., Sterculia cordata, Xanthophyllum incertum dan Shorea dasyphylla. Spesies-spesies tersebut hanya
ditemukan pada hutan primer dan hutan sekunder 25 tahun, kecuali Lithocarpus sp.
Agroforest karet 60 tahun memiliki similaritas spesies pohon paling dekat dengan hutan primer dan hutan sekunder 25 tahun, meskipun hanya ditemukan
satu spesies yang sama yaitu Lithocarpus sp. Agroforest karet 30 tahun yang dekat dan jauh dari hutan primer hanya ditemukan satu spesies yang sama yaitu
kareta Hevea brasiliensis.
5.4. Potensi Kepunahan Lokal Spesies Kayu
Suatu spesies berpotensi mengalami kepunahan apabila tidak mampu beregenerasi. Hasil pengamatan menemukan 7 spesies yang hanya memiliki
tingkat pertumbuhan pohon dengan populasi 1 batang pada luasan sekitar 4,5 hektar, yaitu Anisoptera costata, Shorea acuminata, Lithocarpus sp., Santiria
conferta dan 3 spesies yang belum teridentifikasi yang diberi nama Sp7, Sp27 dan Sp30. Lithocarpus sp. dan Santiria conferta ditemukan pada agroforest karet 60
tahun, sedangkan 5 spesies lainnya hanya ditemukan di hutan primer. Rendahnya populasi pohon dan tidak ditemukannya tingkat pertumbuhan pancang serta tiang
merupakan suatu indikasi bahwa spesies tersebut tidak mampu beregenerasi. A. costata hanya ditemukan di hutan primer, sedangkan tiga spesies lainnya
ditemukan hanya pada agroforest karet 60 tahun.
Anisoptera costata
Anisoptera costata yang dikenal dengan nama dagang mersawa merupakan spesies kayu yang sangat penting di Indonesia dan digolongkan dalam kelompok
kayu paling komersial. Anakan dari A. costata memerlukan intensitas cahaya yang tinggi dan tidak dapat bertahan hidup pada kanopi yang rapat. Pemencaran bijinya
sangat terbatas, 90 anakan ditemukan di bawah pohon induknya. Viabilitas
59 bijinya sangat cepat menurun, dalam waktu 2-3 minggu laju perkecambahannya
hampir 0 atau tidak dapat berkecambah Soerianegara Lemmens 1994. Beberapa penduduk lokal juga mengatakan bahwa anakan yang tumbuh di hutan
tidak pernah berhasil hidup apabila dipindahkan ke lahan mereka Baiki, petani di Lubuk Beringin, komunikasi pribadi. Karakteristik pertumbuhannya yang unik
menyebabkan spesies tersebut tidak mampu beregenarasi sehingga memiliki potensi mengalami kepunahan. Bahkan A. costata sudah termasuk dalam status
kritis menurut IUCN Red List of Treathened Species 2007.
Shorea acuminata
Shorea merupakan genus penghasil kayu yang secara ekonomi dianggap paling penting di Asia. Shorea merupakan spesies yang dipencarkan oleh angin.
Pada kondisi angin normal dan hutan rapat, biji Shorea dapat terpencar pada jarak 30 m. Hingga saat ini, meranti merah masih dikembangbiakkan dengan biji.
Namun demikian, biji meranti cepat menurun viabilitasnya Soerianegara Lemmens 1994. Penurunan viabilitas biji, keterbatasan penyebaran dan
persyaratan tumbuh lain seperti keberadaan mikorisa menjadi kendala dalam regenerasi Shorea acuminata. Oleh karena itu, spesies ini sekarang dalam status
kritis menurut IUCN Red List.
Lithocarpus sp.
Beberapa spesies Lithocarpus termasuk kayu bernilai ekonomi dan dapat merupakan komoditi ekspor, tetapi kemampuan regenerasinya rendah. Viabilitas
bijinya sangat rendah, perkecambahan bijinya memerlukan waktu 1-9 bulan. Lithocarpus juga merupakan spesies yang tidak tahan terhadap kebakaran
Lemmens et al. 1995. Karakteristik spesies tersebut menyebabkan populasi saat ini di Desa Lubuk Beringin sangat rendah dan hanya ditemukan pada tingkat
pohon berdiameter lebih dari 30 cm. Proses tebas-bakar yang dilakukan ketika membuka lahan, baik untuk kebun karet maupun hanya dibiarkan tumbuh menjadi
hutan sekunder menyebabkan Lithocarpus sp. tidak dapat bertahan hidup. Pemencaran biji Lithocarpus sp. terjadi dengan bantuan mamalia selain
kelelawar Webb Peart 2001. Hasil pengamatan yang menemukan bahwa spesies Lithocarpus sp. ini hanya ditemukan pada agroforest karet kompleks 60
60 tahun. Sesuai dengan penelitian terdahulu Maryanto et al. 2000 keanekaragaman
spesies mamalia pada agroforest karet kompleks adalah paling tinggi bila dibandingkan dengan hutan primer, hutan bekas tebangan dan perkebunan karet.
Secara global, beberapa spesies Lithocarpus endemik Indonesia masuk dalam kategori terancam punah, antara lain Lithocarpus crassinervius dan
Lithocarpus industus dalam status rawan serta Lithocarpus kostermansii dalam status terancam punah IUCN Red List of Treathened Species 2007.
Santiria conferta
Santiria conferta merupakan salah satu spesies dari Famili Burseraceae yang memiliki nilai ekonomi dan dapat diperdagangkan, tetapi spesies ini tidak
dibudidayakan dalam perkebunan komersial karena viabilitas bijinya yang segar sangat rendah Lemmens et al. 1995. Biji dari spesies Santiria umumnya
dipencarkan oleh burung dan kelelawar Webb Peart 2001. Tingginya keanekaragaman spesies burung Jepma Djarwadi 2000 dan kelelawar
Prasetyo 2007 pada agroforest karet kompleks memungkinkan spesies ini dapat ditemukan.
5.5. Aspek ekonomi agroforest karet
Hasil penelitian menunjukkan bahwa agroforest karet 60 tahun yang dikelola dengan intensitas rendah memiliki peranan yang cukup penting dalam
aspek ekologi karena memiliki keanekaragaman dan similaritas spesies pohon mendekati hutan alam, sehingga dapat berfungsi sebagai areal konservasi. Namun,
keuntungan dari aspek ekologi yang disediakan oleh agroforest karet 60 tahun tersebut harus diikuti dengan keuntungan secara ekonomi agar masyarakat tetap
mempertahankan kebun karetnya. Kajian mengenai aspek ekonomi dari agroforest karet sedang dilakukan oleh
Budidarsono et al. in progress. Hasil sementara kajian menujukkan bahwa agroforest karet dengan sistem rotasi 40 tahun dan sistem sisipan tahun
memerlukan input yang sangat rendah karena tidak dilakukan pemupukan dan penyemprotan pestisida sehingga tenaga kerja yang dibutuhkan juga lebih rendah.
Bila dibandingkan dengan sistem monokultur, modal kerja per hektar pada