60 tahun. Sesuai dengan penelitian terdahulu Maryanto et al. 2000 keanekaragaman
spesies mamalia pada agroforest karet kompleks adalah paling tinggi bila dibandingkan dengan hutan primer, hutan bekas tebangan dan perkebunan karet.
Secara global, beberapa spesies Lithocarpus endemik Indonesia masuk dalam kategori terancam punah, antara lain Lithocarpus crassinervius dan
Lithocarpus industus dalam status rawan serta Lithocarpus kostermansii dalam status terancam punah IUCN Red List of Treathened Species 2007.
Santiria conferta
Santiria conferta merupakan salah satu spesies dari Famili Burseraceae yang memiliki nilai ekonomi dan dapat diperdagangkan, tetapi spesies ini tidak
dibudidayakan dalam perkebunan komersial karena viabilitas bijinya yang segar sangat rendah Lemmens et al. 1995. Biji dari spesies Santiria umumnya
dipencarkan oleh burung dan kelelawar Webb Peart 2001. Tingginya keanekaragaman spesies burung Jepma Djarwadi 2000 dan kelelawar
Prasetyo 2007 pada agroforest karet kompleks memungkinkan spesies ini dapat ditemukan.
5.5. Aspek ekonomi agroforest karet
Hasil penelitian menunjukkan bahwa agroforest karet 60 tahun yang dikelola dengan intensitas rendah memiliki peranan yang cukup penting dalam
aspek ekologi karena memiliki keanekaragaman dan similaritas spesies pohon mendekati hutan alam, sehingga dapat berfungsi sebagai areal konservasi. Namun,
keuntungan dari aspek ekologi yang disediakan oleh agroforest karet 60 tahun tersebut harus diikuti dengan keuntungan secara ekonomi agar masyarakat tetap
mempertahankan kebun karetnya. Kajian mengenai aspek ekonomi dari agroforest karet sedang dilakukan oleh
Budidarsono et al. in progress. Hasil sementara kajian menujukkan bahwa agroforest karet dengan sistem rotasi 40 tahun dan sistem sisipan tahun
memerlukan input yang sangat rendah karena tidak dilakukan pemupukan dan penyemprotan pestisida sehingga tenaga kerja yang dibutuhkan juga lebih rendah.
Bila dibandingkan dengan sistem monokultur, modal kerja per hektar pada
61 agroforest karet hanya Rp. 45.000,- per hektar, sedangkan pada monokultur
mencapai Rp. 265.000,- per hektar. Besarnya ’input’ pada karet monokultur seiring dengan besarnya ’output’ berupa lateks. Rata-rata hasil karet untuk
monokultur adalah 1.492 kghatahun, sedangkan pada agroforest karet dengan sistem rotasi 40 tahun adalah 439 kghatahun dan pada agroforest karet sistem
sisipan adalah 401 kghatahun. Meskipun hasil karet yang diperoleh dari sistem agroforest lebih rendah, namun hasil lain berupa kayu untuk bangunan dan buah-
buahan seperti durian, jengkol, petai, duku dapat dipanen setiap musim secara berkelanjutan, baik untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri maupun dijual.
Agroforest karet dengan sistem sisipan memiliki hasil buah-buahan dan kayu lebih tinggi bila dibandingkan dengan sistem rotasi 40 tahun.
30 Suatu spesies dianggap memiliki pola sebaran mengelompok bila I
δ
1; acak bila I
δ
= 1 dan seragam bila I
δ
1.
4.4.5. Indentifikasi spesies yang potensial terancam punah
Identifikasi spesies yang potensial terancam punah secara lokal didasarkan pada jumlah individu dan tingkat pertumbuhan yang ditemukan. Apabila suatu
individu ditemukan hanya pada tingkat pertumbuhan pohon dengan populasi yang rendah, maka spesies tersebut memiliki potensi kepunahan tinggi.