Penambahan tanaman baru, yaitu luasan areal non produktif yang ditanami dan

dimana tingkat kerusakannya t, akan sama dengan nilai , , dan 2.2 Pada tegakan kelas umur IV , kelas umur V dan kelas umur VI mengalami kerusakan selain menjadi tanah kosong dan tanaman jati bertumbuhan kurang dan juga penurunan potensi tegakannya menjadi miskin riap. Oleh karena itu, tingkat kerusakan q, pada ketiga kelas umur tersebut terdiri atas tingkat kerusakan menjadi tanah kosong dan tanaman jati bertumbuhan kurang t, dan tingkat penurunan potensi menjadi miskin riap r, , sehingga : = + , untuk i = 4,5,6; j = 5,6,7 Besarnya nilai t dan r dihitung berdasarkan proporsi luasan tanah kosong, tanaman jati bertumbuhan kurang, dan miskin riap pada tegakan berumur 40 tahun ke atas dari data hasil audit sumberdaya hutan KPH Bojonegoro tahun 2007.

3. Penambahan tanaman baru, yaitu luasan areal non produktif yang ditanami dan

menjadi tegakan kelas umur I pada jangka berikutnya. Persentase penambahan tanaman baru b, dihitung dengan rumus : U k,t = x 100, untuk k = 1,2,…n; l = 2,3,…n Dimana : U , = persentase penambahan tanaman baru dari jangka ke-k sebelumnya menjadi ke-l berikutnya α = luas kelas umur I ha pada jangka ke-l berikutnya t = luas tanah kosong dan tanaman jati bertumbuhan kurang ha pada awal jangka ke-l sebelumnya b = luas tebangan A2 ha dalam jangka ke-l sebelumnya c = luas tebangan B dan D ha dalam jangka ke-l sebelumnya. Berdasarkan data struktur luas kelas hutan selama empat jangka dan audit sumberdaya hutan tahun 2007, dapat dihitung besarnya tingkat kelestarian dan kerusakan kelas hutan di KPH Bojonegoro. Untuk keperluan proyeksi pada berbagai 16 tingkat gangguan hutan, selanjutnya ditentukan nilai rata-rata tingkat kelestarian dan kerusakan yang mencerminkan kondisi : 1. Normal, yakni rata-rata dari persentase kelestarian atau kerusakan mulai periode jangka 1975-1984, jangka 1982-1991, hingga sebelum terjadinya masa penjarahan. 2. Pesimis, yakni rata-rata terboboti perbedaan lama jangka mulai periode terjadinya masa penjarahan, jangka 2002-2011, hingga tahun 2007. 3. Harapan, yakni target kerusakan maksimum yang boleh terjadi sebesar 20 per jangka 2 per tahun. 2. Kelestarian tegakan Struktur kelas hutan pada jangka mendatang diprediksi dengan cara mengalikan luas masing-masing kelas hutan pada jangka sebelumnya dengan persentase tingkat kelestarian sehingga dapat diprediksi luas suatu kelas umur yang beralih ke kelas umur berikutnya. Luas suatu kelas umur yang rusak menjadi tanah kosong dan tanaman jati bertumbuhan kurang atau miskin riap diprediksi dari persentase tingkat kerusakannya. Penambahan tanaman baru pada kelas umur I diprediksi berdasarkan persentase kemampuan rata-rata penanaman. Pengurangan luas areal produktif kelas umur VII ke atas dimungkinkan karena adanya penebangan dalam jangka yang dihitung berdasarkan perhitungan etat. 3. Kelestarian Produksi Kayu Jati Pada setiap awal jangka proyeksi dari masing-masing skenario dilakukan perhitungan etat luas dan volume dari tebangan A tebang habis dan tebangan E penjarangan komersil berdasarkan struktur kelas hutan yang terbentuk guna menentukan besarnya luas dan volume penebangan pada tiap jangka proyeksi. Etat tebangan dihitung berdasarkan metode Burn umur tebang rata-rata. Dalam perhitungan tersebut, digunakan nilai rata-rata bonita, kerapatan bidang dasar KBD, dan faktor koreksi FK. Selama jangka proyeksi, ketiga faktor tersebut diasumsikan tetap dengan pertimbangan bahwa : 1. Bonita mencerminkan kualitas tempat tumbuh yang tidak mudah berubah dalam tempo singkat walaupun terdapat kecenderungan semakin menurun 2. Kerapatan bidang dasar KBD merupakan ukuran kerapatan tegakan yang dipengaruhi oleh gangguankerusakan hutan. Dalam kajian ini, perubahan luas akibat gangguan hutan telah dipertimbangkan dalam skenario proyeksi normal, harapan, dan pesimis, sehingga juga dapat mencerminkan perubahan kerapatan bidang dasar KBD selama jangka proyeksi. 3. Faktor koreksi FK merupakan suatu koreksi sistematis terhadap penyimpangan antara realisasi dan rencana, yang dapat mencerminkan rata- rata pencapaian produksi pada jangka panjang. Hasil perhitungan dan pengujian etat ditindaklanjuti dengan tahapan jangka benah jika ada KU yang sudah waktunya ditebang berdasarkan pengujian etat masih memiliki umur di bawah UTM umur tebang minimum. Prosedur jangka benah yang dilakukan berpedoman pada SK Direksi Perum Perhutani No. 042.9DIR tanggal 15 September 1983. Selanjutnya, disusun bagan tebang hipotesis untuk menentukan luas dan volume tebangan, khususnya untuk jangka proyeksi pertama. Taksiran luas dan volume tebangan penjarangan dihitung dengan rumus : Le 1j = 10 5 2 1 i ij a Ve 1j = e e v L j 1 1 . Dimana : Le 1j = luas tebangan penjarangan hatahun pada jangka ke-j α 1ij = total luas KU II-V pada jangka ke-j Ve 1j = volume tebangan jati pada jangka ke-j e v 1 = rata-rata volume per hektar tebangan penjarangan. Faktor koreksi untuk prediksi akhir ditentukan berdasarkan rumus : FK l = l l k b dan FK v = v v k b Dimana : FK l = faktor koreksi untuk prediksi luas tebangan FK v = faktor koreksi untuk prediksi volume tebangan Lb,vb = prediksi luas dan volume tebangan yang dihitung untuk tiap bagian hutan dan kemudian digabungkan untuk tingkat KPH. 18 Lk,vk = prediksi luas dan volume tebangan yang dihitung untuk level KPH. Untuk memperoleh taksiran nilai finansial dari hasil tebangan yang lebih realistis sesuai kualitas dan harga kayunya, maka prediksi volume tebangan A2 dan E pada setiap jangka proyeksi diklasifikasikan berdasarkan jenis sortimen AI, AII, dan AIII.

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN