Tahap Kekosongan dan Kesantaian Tahap Ketundukan dan Kemalasan Tahap Keruntuhan Kekuasaan

mereka orang-orang asing raja bisa mengharap bantuan. Oleh karena itu, orang-orang asing ini lebih dekat kepadanya dibandingkan dengan rakyatya sendiri. Sehingga orang-orang asing inilah yang dipekerjakan untuk melayani keperluannya dan merekalah yang diberikan kesenangan dan kehormatan. Sebab mereka bersedia mati untuknya dan membantunya menjauhkan rakyatnya sendiri dari kedudukan-kedudukan yang pernah mereka isi sewaktu mereka ikut andil dalam kekuasaan. Karena itu maka orang yang memerintah itu diberi penghormatan dan kesenangan kepada sekutu-sekutu asing yang dilindunginya itu, dan memilih menteri-menteri, gubernur-gubernur, jendral-jendral, dan pejabat-pejabat keuangannya dari mereka. 93

c. Tahap Kekosongan dan Kesantaian

Tahap Ketiga : Tahap ini merupakan tahap kekosongan dan kesantaian. Menurut Ibn Khaldun, tahap ketiga adalah tahap kekosongan dan kesantaian untuk menikmati buah kekuasaan yang seiring watak manusia, seperti mengumpulka kekayaan, mengabadikan peninggalan-peninggalan dan meraih kemegahan. Berbagai upaya dicurahkan untuk menarik pajak, mengelola pengeluaran dan pemasukan menghitung biaya, membangun gedung-gedung yang tinggi dan pabrik-pabrik yang besar dan bangunan-bangunan yang menjulang tinggi. 94 93 Abd Rahman, Tarikh Ibn Khaldun jilid I, h.154. 94 Ibn Khaldun, Muqaddimah, h.154. Negara pada tahap ini sedang berada pada puncak perkembangan. Sedang untuk mengabadikan kerajaan dan kekuasaannya, ia akan mendirikan gedung- gedung dan bangunan-bangunan besar sebagai saksi kejayaannya. Singkatnya pada tahap ini semua pihak menikmati buah dari kekuasaan, sang penguasa menikmati kejayaannya dan yang lainnya menikmati apa yang dikehendaki pemegang kekuasaan.

d. Tahap Ketundukan dan Kemalasan

Tahap Keempat : Tahap ketundukan dan kemalasan. Pada tahap ini pemegang tampuk pemerintahan menerima apa saja yang dibina para raja sebelumnya dan mengikuti apa yang dilakukan para pemegang kekuasaan sebelumnya. 95 Negara pada saat ini dalam keadaan statis, tidak ada perubahan apapun yang terjadi, dan negara seakan-akan berada diujung kisahnya. Tahap Kelima: Tahap ini merupakan tahap berfoya-foya dan penghamburan kekayaan. Pada tahap ini pemegang kekuasaan dengan seenaknya menghambur-hamburkan kekayaan yang dikumpulkan oleh para pendahulunya untuk memenuhi hawa nafsu, kesenangan, menghibur diri bersama kaumnya, dan memamerkan kedermawanannya kepada orang-orang dalam. Sehingga ia menjadi penghancur apa yang telah digariskan dan dibina para pendahulunya. 96 95 Abd Rahman, Muqaddimah Ibn Khaldun Beirut: Dar Fikr, t.th.,, h.176. 96 Khudairi, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun, h.175.

f. Tahap Keruntuhan Kekuasaan

Negara pada tahap ini telah memasuki masa ketuaan dan dihinggapi, penyakit kronis yang hampir tidak dapat ia hindari, hingga pada saatnya menuju keruntuhan dan hancur. 97 Ketika ia berpaling dari kehidupan yang sederhana dan primitif menuju kehidupan yang berbudaya tahap kedua, maka pada tahap inilah negara tertimpa penyakit kebudayaan yang paling berbahaya. Namun pada tahap ini negara sedang berada pada puncak kejayaan dan kekuatannya, sehingga gejala-gejala tersebet belum nampak. Gejala-gejala tersebut akan nampak apabila negara mulai mengalami kelemahan dan disintegrasi. Menurut Ibn Khaldun, ada dua faktor yang menjadi penyebab disintegrasi negara, yaitu hilangnya ashabiyah solidaritas sosial dan tidak adanya sumber keuangan yang kuat akibat tindakan pemegang kekuasaan yang suka berfoya-foya sehingga negara mengalami keruntuhan baik secara politis maupun ekonomis. 98 Dari tahapan-tahapan diatas, menurut Ibnu Khaldun memunculkan tiga generasi, yaitu: 1. Generasi Pembangun, yang dengan segala kesederhanaan dan solidaritas yang tulus tunduk dibawah otoritas kekuasaan yang didukungnya. 97 Abd Rahman, Muqaddimah Ibn Khaldun, h.176. 98 M. Ali Nasyi’at, Al-Fikr al-Iqtishadi fi Muqaddimah Ibnu Khaldun al-Qahirah: t.p., 1944, h.123. 2. Generasi Penikmat, yakni mereka yang karena diuntungkan secara ekonomi dan politik dalam sistem kekuasaan, menjadi tidak peka lagi terhadap kepentingan bangsa dan negara. 3. Generasi yang tidak lagi memiliki hubungan emosionil dengan negara. Mereka dapat melakukan apa saja yang mereka sukai tanpa mempedulikan nasib negara. Jika suatu bangsa sudah sampai pada generasi ketiga ini, maka keruntuhan negara sebagai sunnatullah sudah di ambang pintu, dan menurut Ibn Khaldun proses ini berlangsung sekitar satu abad. Ibn Khaldun juga menuturkan bahwa sebuah peradaban besar dimulai dari masyarakat yang telah ditempa dengan kehidupan keras, kemiskinan dan penuh perjuangan. Keinginan hidup dengan makmur dan terbebas dari kesusahan hidup ditambah dengan ‘ashabiyah diantara mereka membuat mereka berusaha keras untuk mewujudkan cita-cita mereka dengan perjuangan yang keras. Impian yang tercapai kemudian memunculkan sebuah peradaban baru, dan kemunculan peradaban baru ini pula biasanya diikuti dengan kemunduran suatu peradaban lain. Tahapan-tahapan diatas kemudian terulang lagi, dan begitulah seterusnya hingga teori ini dikenal dengan Teori Siklus 99 Seperti yang telah di uraikan diatas, Ibn Khaldun menjelaskan persoalan jatuh bangunnya kekuasaan . Menurut pandangannya kekuasaan akan jatuh apabila melupakan solidaritas kelompok pendukungnya, sebaliknya akan tetap bertahan 99 Ibn Khaldun, Muqaddimah, h. 172. selama solidaritas tersebut tetap terjaga dengan baik. Solidaritas inilah yang menggerakan dan mendorong orang untuk terus maju dan mencapai tujuan. Perspektif Ibn Khaldun diatas penulis kira bisa digunakan sebagai tool of analysis penyebab runtuhnya kekuasaan diberbagai negara modern saat ini, dalam pandangannya ia menjelaskan bahwa kekuasaan yang dijalankan dalam bentuk ini adalah tipe kekuasaan yang dominatif, dan refresif. Masyarakat di bawah kekuasaan seperti ini akan hidup dalam tekanan rasa takut. Kondisi seperti ini bisa menyebabkan hilangnya ’ashabiyah suatu kelompok masyarakat terhadap pemimpin yang sebelumnya didukung. Seiring dengan itu, kekuasaannya pun menjadi semakin terpusat, meninggalkan solidaritas rakyat sebagai modal politiknya dan menggantikan solidaritas tersebut dengan tentara dan birokrasi sebagai basis utama pendukungnya. Selain itu kekusaan ini juga tenggelam dalam gaya hidup bermewah mewah, akibatnya kekuasaan kemudian tidak lagi berdiri atas mandat rakyat, tetapi melalui kekuatan tentara dan birokrasi yang merekayasa kekuasaan atas nama rakyat. Menurut Ibn Khaldun, apabila sebuah kekuasaan telah tenggelam dalam hidup bermewah-mewah dengan melakukan korupsi dan penyitaan hak milik rakyat, maka ashabiyah yang semula mengantarkannya kepuncak kekuasaan, negara segera akan hancur. 100 100 Ibn Khaldun, Muqaddimah, h. 166.

C. Hubungan Prinsip Demokrasi Dalam Konsep ’Ashabiyah Ibn Khaldun