B. Latar Belakang Lahirnya Pemikiran ’Ashabiyah
‘Ashabiyah secara etimologis berasal dari kata “ashabah” yang berarti
mengikat kesukuan atau kelompok solidaritas untuk menghadapi pihak luar.
44
Penulis menerjemahkan ‘ashabiyah dengan keluarga, kelompok para sahabat, semangat ras kelompok, patriotisme, nasionalisme, semangat nasional, dan partai.
Adapun ‘ashabiyah adalah rasa solidaritas social atau solidaritas kesukuan. Secara terminologis, menurut Oesman Raliby Cendekiawan Muslim
Indonesia mengartikan ‘ashabiyah dengan rasa golongan, Muhsin Mahdi sejahrawan dan pengamat politik Islam mengartikannya sebagai social
Solidarity solidaritas sosial, Frans Roshental Orentalissejahrawan
menerjemahkannya menjadi group feeling perasaan golongan, Charles Issawi orentalis, mengalihbahasakannya dengan solidarity solidaritas dan Philip K.
Hitti orentalis mengartikannya sebagai tribal spirit semangat kesukuan atau the spirit of the clan
semangat suku atau kaum.
45
Menurut Abd. al-Raziq al-Makki, dalam karyanya al-Fikr al-Falsafi ‘inda Ibn Khaldun,
kata ‘ashabiyah erat kaitannya dengan kata ‘ashab yang berarti hubungan dan kata ‘ishabah yang berarti ikatan. Awalnya kata ‘ashabiyah berarti
ikatan mental, yang menghubungkan orang-orang yang mempunyai hubungan
44
Cyril Glase, Ensiklopedi Islam ringkas, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999, h.117
45
Ibid, h.176.
kekeluargaan. Ini sesuai dengan perkataan orang Arab yang menyebut keluarga dengan kata ‘ashabah.
46
‘Ashabiyah tidak ada kecuali dikalangan orang-orang desa, sementara bagi
kalangan orang-orang kota kadar ‘ashabiyah telah berkurang, sekalipun solidaritas sosial masih kita temukan di kota. Mengapa demikian? Karena
kehidupan kota telah melemahkan ‘ashabiyah, akibat terbuai dengan kemewahan dan kelezatan hidup. Sementara di desa dengan kesederhanaannya ia akan tetap
memelihara kekuatan ‘ashabiyah, dengan demikian syarat pertama adalah adanya struktur kesukuan.
47
’Ashabiyah itu sendiri ialah kemampuan seseorang untuk membela dan
mempertahankan keluarganya serta orang-orang yang tergabung didalamnya dengan sekuat mungkin. Keluarga yang dimaksud adalah orang yang berasal dari
garis keturunan ayahnya, sebab mereka inilah yang akan membela Klanya. ‘Ashabiyah
dalam pengertian demikian adalah terpuji. Sedangkan ‘ashabiyah yang tidak terpuji adalah ‘ashabiyah atau solidaritas orang-orang sesuku untuk
melawan suku-suku yang lain tanpa landasan agama, terlepas orang-orang tersebut termasuk penindas atau yang tertindas. Dalam Fatawa al Khairiyyah di
uraikan bahwa di antara larangan untuk menerima persaksian adalah ‘ashabiyah, yakni seseorang membenci seseorang yang lain karena orang tersebut masuk
46
Abd. al-Raziq al-Makki, al-Fikr al-Falsafi’ Inda Ibn Khaldun Iskandaria: Mu’assasah al- Tsaqafah al-Jami’iyyah, 1970, h.155.
47
Khudairi, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun, h.147.
dalam suku X atau suku Y. Perbuatan seperti ini sangat diharamkan, sejalan dengan ini Nabi SAW bersabda: “Barang siapa yang menyeru pada ‘ashabiyah
tidak termasuk kita”. Oleh karena itu perbuatan ini tidak dibenarkan dan
persaksian pelakunya tidak dapat diterima.
48
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa ‘ashabiyah yang baik adalah ‘ashabiyah yang meliputi satu keluarga dengan perasaan solidaritas yang
berlandaskan agama. Atau dengan kata lain agamalah yang menjadi motivasi satu-satunya yang mendorong suatu suku memerangi suku lainnya.
49
Ini disebabkan karena hubungan darah memiliki kekuatan yang mengikat pada
manusia setiap ummat manusia, yang membuat mereka ikut merasakan akan setiap penderitaan yang menimpa kaumnya.
Sudah merupakan kodrat setiap manusia untuk membenci penindasan dan menolak penderitaan yang mungkin menimpa kaumnya. Adanya hubungan
kekeluargaan antara dua orang yang saling bantu membantu, lebih disebabkan karena adanya hubungan nashab ikatan darah, dan inilah bentuk ’ashabiyah
yang sesungguhnya. Apabila tingkat kekeluargaan itu jauh maka ikatan darah akan sedikit melemah, maka sebagai gantinya timbullah perasaan kefamilian yang
didasarkan pada pengetahuan yang lebih luas tentang persaudaraan. Sungguhpun demikian, setiap orang ingin membantu orang lain family sebab ia khawatir
48
Abd. al-Rahman Ibnu Khaldun, Al-Ta’rif bi Ibn Khaldun wa Rihlatu Gharban wa Syarqan Kairo: Lajnah al-Ta’rif wa al-Tarjamah wa al-Nasyr, 1951, h.27.
49
Khudairi, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun, h.142.
akan kehinaan yang mungkin timbul apabila ia gagal dalam kewajibannya melindungi seseorang yang sudah diketahui oleh banyak orang bahwa ia ada
hubungan keluarga dengannya. Nabi Muhammad SAW bersabda: “Pelajarilah silsilah keturunanmu untuk
mengetahui siapa saudaramu sedarah yang dekat”, yang berarti bahwa persaudaraan hanyalah berarti apabila pertalian darah itu membawa pada
kerjasama yang sebenarnya dan bantu membantu pada saat kesusahan. Kenyatannya ialah bahwa hubungan yang demikian itu lebih bersifat emosional
dan tidak memiliki realitas. Dalam arti bahwa hubungan itu hanya berguna untuk mendekatkan hati dan kecintaan orang. Apabila persaudaraan terlihat nyata, maka
ia akan berguna sebagai pendorong yang wajar kearah ‘ashabiyah. Jika ‘ashabiyah
didasarkan pada sekedar pengetahuan tentang keturunan dari nenek moyang yang sama, maka ia akan lemah dan mempunyai pengaruh yang rendah
terhadap perasaan, oleh karena itu ‘ashabiyah hanya mempunyai sedikit dampak yang nyata.
50
Dengan demikian ‘ashabiyah menurut Ibn Khaldun tidak hanya meliputi satu keluarga saja, yang satu dengan yang lainnya dihubungkan oleh tali
kekeluargaan, tetapi juga meliputi hubungan yang timbul akibat terjadinya persekutuan. Dalam muqaddimah Ibn Khaldun dijelaskan bahwa ‘ashabiyah juga
50
Ibn Khaldun, Muqaddimah. Penerjemah Ahmadie Thaha, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1986, h. 152.
meliputi hubungan yang timbul akibat perbudakan dan penyewaan tentara, sedangkan kegunaan silsilah kekeluargaan adalah yang ditimbulkannya.
51
Perbedaan hal ikhwal penduduk adalah akibat dari perbedaan cara mereka memperoleh penghidupan. Mereka hidup bermasyarakat tidak lain hanyalah untuk
saling membantu dalam memperoleh penghidupan, dan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang sederhana sebelum mereka mencari kehidupan yang lebih
tinggi.
52
Di antara mereka ada yanga hidup bertani, adapula yang hidup beternak untuk dikembangbiakkan atau diambil hasilnya. Kehidupan mereka
bermasyarakat dan saling membantu didalam memenuhi kebutuhan hidup dan peradaban, seperti makanan, perlindungan, dan panas, mereka tidak gentar untuk
memperolehnya lebih dari batas kebutuhan guna melangsungkan kehidupan menurut batas kebutuhan hidup. Tak lebih dari itu, sebab mereka tidak mampu
memperoleh lebih. Kemudian, apabila kondisi mereka semakin nyaman dan memperoleh kekayaan dan kemewahan diatas batas yang dibutuhkan, mereka
hidup tenang. Dengan demikian mereka akan saling bantu membantu dalam memperoleh sesuatu diatas batas kebutuhan. Mereka mempergunakan banyak
makanan, pakaian, dan berbangga diri dengan itu semua. Selanjutnya mereka pun membangun rumah-rumah besar dan mempercantik kota untuk tempat berlindung.
51
Khudairi, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun, h.143.
52
Ibn Khaldun, Muqaddimah, h.141.
Inilah yang melatarbelakangi lahirnya pemikiran Ibn Khaldun tentang ‘ashabiyah, sebagaimana yang diuraikan diatas- rasa solidaritas atau saling tolong menolong
terhadap sesama untuk tujuan-tujuan bersama.
C. Peran ‘Ashabiyah Dalam Sosial Politik