BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Umat manusia secara alamiah adalah kelompok sosial dan cenderung untuk hidup bersama. Ini dikarenakan, kapasitas individu yang tidak
memungkinkan mereka memenuhi kebutuhan dasarnya atau bahkan untuk mempertahankan diri manusia sangat memerlukan bantuan dan kerjasama dengan
yang lain, tetapi manusia tidak dapat hidup bersama dan bekerjasama dalam suasana konflik, permusuhan udwan, dan ketidakadilan zhalim. Hal-hal
tersebut akan membuat kehidupan sosial tidak mungkin diwujudkan. Untuk itulah diperlukan ashabiyah group feeling dan wazi kekuatan pengendalian atau
pemerintah untuk mencegah konflik dan ketidakadilan dan untuk menjaga kebersamaan masyarakat.
1
Kebutuhan akan adanya seseorang yang mempunyai otoritas dan bisa mengendalikan ini kemudian meningkat. Adanya dukungan dan rasa kebersamaan
yang terbentuk inilah seorang pemimpin dalam mengatur dan menjadi penengah tidak dapat bekerja sendiri sehingga membutuhkan tentara yang kuat dan loyal,
1
Ibn Khaldun, Muqaddimah. Penerjemah Ahmadie Thaha Jakarta : Pustaka Firdaus, 1986, h.166
perdana menteri, serta pembantu-pembantu yang lain hingga terbentuklah sebuah Dinasti daulah atau kerajaan mulk.
2
Pemikiran Ibn Khaldun dalam hal ini agaknya mirip dengan yang dikemukakan oleh Farabi, Ibn Abi Rabi’, al-Mawardi. Pemikirannya bukan hal
baru, meskipun Ibn Khaldun sendiri mengatakan bahwa teorinya ini adalah yang baru. Perbedaannya terletak pada teori ’ashabiyahnya yang dijadikan dasar
pembentukan negara dan menjadi sistem alternatif dalam tatanan hidup bermasyarakat dan bernegara. Teori ’ashabiyah bukan sekedar kajian filosofis,
melainkan kajian yang berdasarkan pada pengamatan indrawi dan analisis perbandingan data-data yang obyektif, sebagai upaya untuk memahami manusia
pada masa lampau dan kini untuk meramalkan masa depan dengan berbagai kecenderungannya. Teorinya tentang al-‘Ashabiyah inilah yang melambungkan
namanya dimata para pemikir modern, teori yang membedakannya dari pemikir Muslim lainnya.
Al-’Ashabiyah secara harfiah jika diterjemakhkan kedalam bahasa
Indonesia berarti rasa satu kelompok atau solidaritas sosial.
3
’Ashabiyah juga mengandung makna group feeling, solidaritas kelompok, fanatisme kesukuan,
nasionalisme, atau sentimen sosial. Yaitu cinta dan kasih sayang seorang manusia kepada saudara atau tetangganya ketika salah satu darinya diperlakukan tidak adil
2
Ibn Khaldun, Muqaddimah, h.139.
3
Munawir Sjadzali, Islam Dan Tata Negara Jakarta: UI Press, 1993, h.104.
atau disakiti. Untuk bertahan hidup masyarakat harus memiliki sentimen kelompok ’ashabiyah yang merupakan kekuatan pendorong dalam perjalanan
sejarah manusia, pembangkit suatu klan. Klan yang memiliki ‘ashabiyah kuat tersebut dapat berkembang menjadi sebuah negeri.
4
‘Ashabiyah tersebut terdapat
pada watak manusia yang dasarnya bisa bermacam-macam; ikatan darah atau persamaan keTuhanan, tempat tinggal berdekatan atau bertetangga, persekutuan
atau aliansi, dan hubungan antara pelindung dan yang dilindungi. Khusus bangsa Arab menurut Ibn Khaldun, persamaan keTuhananlah yang membuat mereka
berhasil mendirikan dinasti. Sebab menurutnya, bangsa Arab adalah bangsa yang
paling tidak mau tunduk satu sama lain, kasar, angkuh, ambisius dan masing- masing ingin menjadi pemimpin. ‘Ashabiyah yang ada hanya ‘ashabiyah
kesukuanqabilah yang tidak memungkinkan mendirikan sebuah dinasti karena sifat mereka. Hanya karena agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.
mereka akhirnya bisa dipersatukan dan dikendalikan.
5
Namun menurutnya pula, bahwa motivasi agama saja tidak cukup sehingga tetap dibutuhkan solidaritas
kelompok ‘ashabiyah. Agama dapat memperkokoh solidaritas kelompok tersebut dan menambah keampuhannya, tetapi tetap ia membutuhkan motivasi-
motivasi lain yang bertumpu pada hal-hal diluar agama.
6
4
Ibn Khaldun, Muqaddimah, h.120.
5
Ibid., h.151
6
Ibid., h.159
Tujuan terakhir solidaritas adalah kedaulatan, karena solidaritas sosial itulah yang mempersatukan tujuan; mempertahankan diri dan mengalahkan
musuh. Begitu solidaritas sosial memperoleh kedaulatan atas golongannya, maka ia akan mencari solidaritas golongan lain yang tidak ada hubungan dengannya.
Jika solidaritas sosial itu setara, maka orang-orang yang berada di bawahnya akan sebanding. Jika solidaritas sosial dapat menaklukan solidaritas lain, keduanya
akan bercampur yang secara bersama-sama menuntun tujuan yang lebih tinggi dari kedaulatan. Akhirnya, apabila suatu negara sudah tua umurnya dan para
pembesarnya yang terdiri dari solidaritas sosial sudah tidak lagi mendukungnya, maka solidaritas sosial yang baru akan merebut kedaulatan negara. Bisa juga
ketika negara sudah berumur tua, maka butuh solidaritas lain. Dalam situasi demikian, negara akan memasukkan para pengikut solidaritas sosial yang kuat ke
dalam kedaulatannya dan dijadikan sebagai alat untuk mendukung negara.
7
Sifat kepemimpinan selalu dimiliki orang yang memiliki solidaritas sosial. Setiap suku biasanya terikat pada keturunan yang bersifat khusus khas atau
umum ‘aam. Solidaritas pada keturunan yang bersifat khusus ini lebih mendarah-daging daripada solidaritas dari keturunan yang bersifat umum. Oleh
karena itu, memimpin hanya dapat dilaksanakan dengan kekuasaan. Maka solidaritas sosial yang dimiliki oleh pemimpin harus lebih kuat daripada
solidaritas lain yang ada, sehingga dia memperoleh kekuasaan dan sanggup
7
Ibn Khaldun, Muqaddimah, h.166-167
memimpin rakyatnya dengan sempurna. Solidaritas sosial menjadi syarat kekuasaan. Di dalam memimpin kaum, harus ada satu solidaritas sosial yang
berada di atas solidaritas sosial masing-masing individu. Sebab, apabila solidaritas masing-masing individu mengakui keunggulan solidaritas sosial sang
pemimpin, maka akan siap untuk tunduk dan patuh mengikutinya.
8
Dalam kaitannya tentang ‘ashabiyah, Ibn Khaldun menilai bahwa seorang Raja haruslah berasal dari solidaritas kelompok yang paling dominan. Sebab
dalam mengendalikan sebuah negara, menjaga ketertiban, serta melindungi negara dari ancaman musuh baik dari luar maupun dalam dia membutuhkan
dukungan, loyalitas yang besar dari rakyatnya. Hal ini hanya bisa terjadi jika ia berasal dari kelompok yang dominan.
9
Negara--dalam prinsip-prinsipnya yang modern, dipahami sebagai sebuah consensus, di mana sejumlah warga dalam satu teritori tertentu membentuk
kesepakatan bersama untuk mengasosiasikan diri dalam asosiasi kepentingan bernama negara. Negara sendiri dibentuk dengan maksud mewujudkan tujuan-
tujuan dasar berlandaskan kehendak kolektif warganya Volone Generale, J.J Rousseau, 1712-1778.
Tujuan dari negara adalah untuk menjalankan ketertiban dan keamanan, mewujudkan keadilan dan kemakmuran bagi warga negaranya. Timbulnya suatu
8
Ibn Khaldun, Muqaddimah, h.156-157
9
Ibid., h.163
negara tidak akan terlepas dari teori Contract Social yang diungkapkan oleh Thomas Hobbes, John Locke dan JJ Rousseau .
10
Kontrak Sosial merupakan perjanjian antara masyarakat yang ingin membentuk suatu negara, suatu pemerintahan bersama yang melayani mereka
anggapan Hobbes, Locke dan Rousseau yang mendasarkan pembentukan negara atas suatu perjanjian antara anggota masyarakat biasanya disebut teori perjanjian
masyarakat. Kemudian rakyat ini menyerahkan kedaulatannya kepada suatu lembaga, person ataupun sekelompok orang yang mendapat amanat untuk
menjalankan kedaulatan tersebut. Menurut Utrecht tentang perbandingan antara Thomas Hobbes, Jean
Jacqueas Rousseau dan John Locke bahwa walaupun tak berlainan masing- masing Hobbes, Locke dan Rosseau, mereka mempunyai anggapan tentang
pembentukan negara dan adanya negara itu. Menurut anggapan ketiga ahli tersebut pembentukan adanya negara itu disusun atas suatu perjanjian sosial,
kesimpulan-kesimpulan yang mereka tarik tentang sifat negara sangat berlainan. Menurut Hobbes negara itu bersifat totaliter, negara itu diberi kekuatan tidak
terbatas absolut. Menurut Locke negara itu selayaknya bersifat kerajaan konstitusionil yang memberi jaminan mengenai hak-hak dan kebebasan-
kebebasan pokok manusia ingat: life, liberty, healthy dan property. Rousseau
10
M. Solly Lubis, Ilmu Negara Bandung: Mandar Maju, 1989, h.35.
beranggapan bahwa negara bersifat suatu perwakilan rakyat, dan negara itu selayaknya negara demokrasi yakni yang berdaulat adalah rakyat.
11
Atas dasar tersebut maka lahirlah teori demokrasi representatif
12
. Karena pada saat ini tidak mungkin semua rakyat berkumpul untuk menentukan
keinginannya setiap saat. Direct democracy adalah suatu bentuk pemerintahan dimana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara
langsung oleh seluruh warga negara yang bertindak berdasarkan prosedur- prosedur mayoritas. Karena faktor populasi penduduk yang terus bertambah maka
tidak memungkinkan dilakukan pada satu tempat dan pada suatu saat, sehingga harus dicari pemecahan masalahnya. Dan muncullah konsep demokrasi
Perwakilan Rakyat atau yang sering lebih disebut sebagai Demokrasi Representatif. Akhirnya Demokrasi Representatif ini hampir dilakukan disetiap
negara modern pada saat ini. Berhubungan dengan ide demokrasi, Ibn Khaldun mengakui bahwa
terdapat banyak negara yang tidak mendasarkan kebijakan dan peraturan negara atas ajaran dan hukum agama, akan tetapi negara itu dapat mewujudkan
ketertiban, keserasian hubungan antara para warga negara, bahkan dapat berkembang dan jaya.
13
11
Solly, Ilmu Negara, h.35.
12
.Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia
Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994, h.70
13
Sjadzali, Islam Dan Tata Negara, h.109-110
Atas dasar pemikiran inilah membuat penulis tertarik untuk melakukan analisis yang lebih mendalam dan komprehensif dalam penelitian skripsi dengan
judul “IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah