Persamaan Hubungan Prinsip Demokrasi Dalam Konsep ’Ashabiyah Ibn Khaldun

kebijakan dan peraturan negara atas ajaran dan hukum agama, namun dapat mewujudkan ketertiban, keserasian hubungan antara para warga negaranya, bahkan dapat berkembang baik dan jaya. 106 Dalam konsep ’ashabiyah supremasi hukum adalah syarat mutlak yang harus ditegakkan dalam sebuah negara. Pengetahuan akan hukum sendiri menjadi syarat mutlak yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, yang oleh Ibn Khaldun dijadikan sebagai syarat mutlak yang harus dimiliki seorang raja dan di implementasikan dalam kehidupan bernegara dengan berlandaskan keadilan. Dengan demikian supremasi hukum dalam konsep ’ashabiyah sebagaimana penjelasan diatas sangatlah demokratis, sebab supremasi hukum dan keadilan adalah merupakan bagian inti dari tegaknya sebuah negara yang demokratis.

2. Persamaan

‘Ashabiyyah tersebut terdapat pada watak manusia yang dasarnya bisa bermacam-macam; ikatan darah atau persamaan keTuhanan, tempat tinggal berdekatan atau bertetangga, persekutuan atau aliansi, dan hubungan antara pelindung dan yang dilindungi. Khusus bangsa Arab menurut Ibn Khaldun, persamaan keTuhananlah yang membuat mereka berhasil mendirikan dinasti. Sebab menurutnya, bangsa Arab adalah bangsa yang paling tidak mau tunduk satu sama lain, kasar, angkuh, ambisius dan masing-masing ingin menjadi pemimpin. 106 Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h.109-110. ‘Ashabiyah yang ada hanya ‘ashabiyah kesukuan atau qabilah yang tidak memungkinkan mendirikan sebuah dinasti karena sifat mereka. 107 Pada dasarnya, bentuk-bentuk persekutuan manusia itu berbeda-beda sesuai dengan faktor-faktor iklim, georafi, dan ekonomi yang sangat berpengaruh terhadap tempramen manusia. Kita temukan bahwa penduduk yang tinggal di kawasan panas, seperti orang-orang Sudan atau Mesir lebih cepat marah, gembira, dan bingung. berbeda dengan para penduduk di kawasan dingin yang tampak lebih melankolis dan peka terhadap rasa sedih. Faktor-faktor ekologis ini dan variasi-variasi tempramental yang dihasilkannya sangat menentukan bentuk persekutuan yang dibentuk dan hukum-hukum perkembangannya. 108 ’Ashabiyah sangat dicela oleh Nabi SAW, namun Ibn Khaldun percaya bahwa celaan tersebut tidak ditujukan kepada ’ashabiyah sebagaimana yang dimaksudnya, akan tetapi ’ashabiyah yang dicela adalah ’ashabiyah sebelum Islam yang biasanya digunakan untuk berperang antara suku. ’Ashabiyah itu ibarat sifat manusia yang lain, ia bisa baik dan bisa juga buruk, tergantung untuk apa ’ashabiyah itu digunakan. ’Ashabiyah akan baik jika digunakan untuk tujuan baik, seperti untuk mendukung agama dan menegakkan keadilan, atau akan menjadi buruk bila digunakan untuk tujuan memperjuangkan hasrat pribadi atau dalam rangka mendukung kezaliman. 107 Ibn Khaldun, Muqaddimah, h.151 108 Madjid Fachry, Sejarah Filsafat Islam Sebuah Peta Kronologis Jakarta: Mizan, 2001, h.126. Nabi SAW juga mencela rasa bangga akan silsilah keturunannya, bagi Nabi semua manusia itu sama tanpa memperhatikan silsilah keturunan atau latar belakangnya. Berkenaan dengan hal ini Allah SWT berfirman: إ سﺎ اﺎﻬ اﺎ آﺎ ﺧ ن و ﺮآذ ﺎ و ﺎ ﻮ آﺎ و ﻰ أ اﻮ رﺎ ﺋ ، نإ ﺮ ﺧ ﷲا نإ ، آﺎ أ ﷲا ﺪ ﻜ ﺮآأ . Artinya : Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. QS. Al Hujurat: 13 Sejalan dengan ayat diatas, Nabi SAW bersabda: ”Tidak ada silsilah keturunan dalam Islam” Menurut Ibn Khaldun, rasa bangga terhadap keturunan merupakan kecenderungan wajar manusia, serta dasar bagi semangat kesukuan. Jika rasa bangga akan keturunan lemah maka semangat kesukuan akan lemah juga. Dia menyebut kekalahan orang-orang Arab akibat pembauran mereka dengan orang- orang non Arab, suatu fenomena yang menyebabkan mereka mengabaikan silsilah keturunan. Untuk mendukung pandangan ini Ibn Khaldun mengutip pernyataan Umar yang menyuruh orang-orang Arab menjaga garis keturunan mereka. Umar melihat silsilah keturunan dari sudut pandang yang sama seperti yang dilakukan Ibn Khaldun. Umar ataupun Ibn Khaldun cenderung memandang bangsa Arab sebagai penakluk bangsa lain. 109 Sejalan dengan penjelasan diatas, Ibn Khaldun menjelaskan bahwa bagi masyarakat yang tidak memiliki ’ashabiyah kelompok yang tidak memiliki silsilah nasab, suku, atau penduduk minoritas, agar terjamin keamanan dan kesejahteraannya ia harus bergabung dengan ’ashabiyah yang ada dengan syarat harus membayar pajak. Hal ini merujuk kepada apa yang sudah dipraktekkan oleh Nabi SAW kepada masyarakat Madinah yang didalamnya terdapat kaum Yahudi minoritas yang terdiri beberapa suku. Mereka bisa hidup dengan penuh ketentraman dan keadilan di bawah kepemimpinan Rasulullah SAW sebagaimana yang tercantum pada Piagam Madinah. 110 Berkenaan dengan penjelasan diatas ada satu pengamatan yang cukup menarik yang dilakukan oleh Ibn Khaldun dalam hal hubungan antara agama dan solidaritas kelompok. Menurutnya da’wah agama tidak akan berhasil tanpa dukungan solidaritas kelompok, sesuai dengan hadis Nabi yang berbunyi: ”Tuhan tidak mengutus seorang Nabi yang tidak mendapat perlindungan dari rakyatnya”. Kalau demikian halnya dengan para Nabi, yang merupakan tokoh-tokoh yang paling mampu melakukan hal-hal yang luar biasa supranatural, apalagi mereka yang bukan Nabi. Mereka tidak dapat diharapkan untuk mencapai sukses atau 109 Fuad BaaliAli Wardi, Ibn Khaldun dan Pola Pikiran Islam Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003, h.182. 110 Ibn Khaldun, Muqaddimah, h. 157. keunggulan tanpa solidaritas kelompok. Agama dapat memperkokoh solidaritas kelompok dan menambah keampuhannya, tetapi agama saja tidak dapat ditegakkan tanpa solidaritas kelompok. Barangkali dari pengamatan ini juga dapat disimpulkan bahwa motivasi agama saja tidak cukup kuat sebagai sebagai pembangkit perasaan senasib kalau tidak didukung oleh solidaritas kelompok yang bertumpu pada faktor-faktor lain non agama. 111 Salah satu dari non agama yang dimaksud adalah persamaan hak tanpa melihat status sosialnya. Persamaan al-musawa dalam konsep ’ashabiyah tertuang pada perjanjian antara masyarakat dan solidaritas kelompoknya, solidaritas kelompok dan negara raja. Dengan demikian Negara menjamin bagi warganya akan persamaan hak utamanya dalam hal kesejahteraan dan keamanan. Satu hal yang patut diketahui bahwa Ibn Khaldun adalah seorang pemikir Islam yang memasukkan salah satu kreteria yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin adalah tidak memihak kepada kelompok tertentu. Jika demikian maka persamaan hak yang terdapat dalam konsep ’ashabiyah sangatlah demokratis dan masih relevan untuk diterapkan.

3. Pemimpin Berasal dari Partai Besar Pemilu